“Aku bersyukur dilahirkan di Indonesia, dimana senyum masih menjadi karakter, budaya masih apik terjaga, dan optimisme masih menyulut semangat. Aku berharap, anak-anakku kelak harus lebih bangga dariku dalam memandang dan memperjuangkan Indonesianya. Jaya Selalu Negeriku Indonesia, Jayalah Selama-lamanya”

Perdagangan Bebas

Tugas Kelompok dalam isu-isu politik global pasca sarjana HI UGM MAIR 23



Kaum neoliberal menjadikan gagasan dari Smith dan Ricardo sebagai prinsip dasar dilakukannya perdagangan bebas sampai saat ini.[1] Menurut Adam Smith[2], masing-masing negara dalam sistem ekonomi internasional yang tidak diregulasi akan menemukan ceruk produktif yang berasal dari keuntungan absolut yang mereka miliki. Kemudian, mereka dapat memproduksi barang-barang berdasarkan keuntungan absolut tersebut untuk diperdagangkan dengan negara lain. David  Ricardo[3] memperkuat argumen mengenai perdagangan bebas ini dengan mengemukakan bahwa dua negara akan mendapatkan keuntungan dari perdagangan dengan mendasarkan pada keuntungan komparatif yang mereka miliki meskipun negara tersebut tidak memiliki keuntungan absolut sebagaimana dikemukakan smith. Sebuah argumen yang mendasari eksistsensi perdagangan bebas dewasa ini.
Pembela perdagangan bebas seperti Martin Wolf beranggapan bahwa, perdagangan bebas merupakan cara paling baik dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran rakyat. Richard Cobden (1995) mengemukakan bahwa perdagangan bebas merupakan “the spirit of truth and justice… (and) good-will among men”, Thrusting aside the antagonism of race and creed and language and uniting us in bonds of eternal peace[4].

Teori keuntungan komparatif yang merupakan hasil pemikiran dari David Ricardo menjadi landasan pertama untuk perdagangan bebas. Teori keuntungan komparatif menyarankan agar suatu negara mengkhususkan diri untuk memproduksi barang-barang yang mempunyai ongkos paling rendah dibandingkan dengan negara lain berdasarkan keuntungan komparatif yang dimilikinya. Sebagai misal, jika Indonesia mempunyai keunggulan komparatif untuk memproduksi tepung beras maka jauh lebih baik jika Indonesia mengkhususkan menjual komoditas tersebut. Untuk produk-produk lain yang dibutuhkan, Indonesia bisa mendapatkannya dari pasar internasional melalui pertukaran internasional karena hal tersebut akan jauh lebih murah dibandingkan dengan jika Indonesia memproduksi sendiri. Menurut teori keuntungan komparatif[5], meskipun suatu negara lebih efisien dalam memproduksi segala sesuatu dibanding negara lainnya, negara lain tersebut masih bisa untung dengan mengkhususkan diri membuat barang yang ongkos produksinya memberinya keuntungan melebihi mitra dagangnya. Begitupun sebaliknya, suatu negara masih akan bisa mendapatkan keuntungan meskipun ia tidak mempunyai keuntungan ongkos produksinya melelebihi mitra dagangnya dalam memproduksi apa pun asalkan ia mengkhususkan diri untuk memproduksi barang yang mempunyai paling sedikit ongkos produksinya.


[1] Schott Burchill dan Andew Linklater. 1996. Teori-Teori Hubungan Internasional. Edisi terjemahan. Bandung: Nusa Media, hal. 74.
[2] Budi Winarno. 2011. Isu-Isu Global Kontemporer, Yogyakarta: Caps, hal. 38
[3] Theodore H. Cohn. 2003. Global Political Economi: Theory and Practice. Second Edition. Dalam buku Budi Winarno, Ibid., hal. 38
[4] Dikutip dari Graham Dunkley, 2004. Free Trade: Myth, Reality and Alternatives, London and New York: Zed Books, dalam buku Budi Winarno hal. 36
[5] Ha-Joong Chang. Bad Samaritans: Negara-Negara Kaya, Kebijakan-Kebijakan Buruk, dan Ancaman bagi Dunia Berkembang. Dalam buku Budi Winarno, Op.Cit.,  hal. 36

Tidak ada komentar:

Posting Komentar