Kaum
neoliberal menjadikan gagasan dari Smith dan Ricardo sebagai prinsip dasar
dilakukannya perdagangan bebas sampai saat ini.[1]
Menurut Adam Smith[2],
masing-masing negara dalam sistem ekonomi internasional yang tidak diregulasi
akan menemukan ceruk produktif yang berasal dari keuntungan absolut yang mereka
miliki. Kemudian, mereka dapat memproduksi barang-barang berdasarkan keuntungan
absolut tersebut untuk diperdagangkan dengan negara lain. David Ricardo[3]
memperkuat argumen mengenai perdagangan bebas ini dengan mengemukakan bahwa dua
negara akan mendapatkan keuntungan dari perdagangan dengan mendasarkan pada
keuntungan komparatif yang mereka miliki meskipun negara tersebut tidak
memiliki keuntungan absolut sebagaimana dikemukakan smith. Sebuah argumen yang
mendasari eksistsensi perdagangan bebas dewasa ini.
Pembela
perdagangan bebas seperti Martin Wolf beranggapan bahwa, perdagangan bebas
merupakan cara paling baik dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran
rakyat. Richard Cobden (1995) mengemukakan bahwa perdagangan bebas merupakan “the spirit of truth and justice… (and)
good-will among men”, Thrusting aside the antagonism of race and creed and
language and uniting us in bonds of eternal peace”[4].
Teori
keuntungan komparatif yang merupakan hasil pemikiran dari David Ricardo menjadi
landasan pertama untuk perdagangan bebas. Teori keuntungan komparatif
menyarankan agar suatu negara mengkhususkan diri untuk memproduksi
barang-barang yang mempunyai ongkos paling rendah dibandingkan dengan negara
lain berdasarkan keuntungan komparatif yang dimilikinya. Sebagai misal, jika
Indonesia mempunyai keunggulan komparatif untuk memproduksi tepung beras maka
jauh lebih baik jika Indonesia mengkhususkan menjual komoditas tersebut. Untuk
produk-produk lain yang dibutuhkan, Indonesia bisa mendapatkannya dari pasar
internasional melalui pertukaran internasional karena hal tersebut akan jauh lebih
murah dibandingkan dengan jika Indonesia memproduksi sendiri. Menurut teori
keuntungan komparatif[5],
meskipun suatu negara lebih efisien dalam memproduksi segala sesuatu dibanding
negara lainnya, negara lain tersebut masih bisa untung dengan mengkhususkan
diri membuat barang yang ongkos produksinya memberinya keuntungan melebihi
mitra dagangnya. Begitupun sebaliknya, suatu negara masih akan bisa mendapatkan
keuntungan meskipun ia tidak mempunyai keuntungan ongkos produksinya melelebihi
mitra dagangnya dalam memproduksi apa pun asalkan ia mengkhususkan diri untuk
memproduksi barang yang mempunyai paling sedikit ongkos produksinya.
[1] Schott Burchill dan Andew Linklater.
1996. Teori-Teori Hubungan Internasional. Edisi terjemahan. Bandung: Nusa
Media, hal. 74.
[3] Theodore H. Cohn. 2003. Global Political Economi: Theory and
Practice. Second Edition. Dalam buku Budi Winarno, Ibid., hal. 38
[4] Dikutip dari Graham Dunkley, 2004. Free Trade: Myth, Reality and Alternatives,
London and New York: Zed Books, dalam buku Budi Winarno hal. 36
[5] Ha-Joong Chang. Bad Samaritans:
Negara-Negara Kaya, Kebijakan-Kebijakan Buruk, dan Ancaman bagi Dunia
Berkembang. Dalam buku Budi Winarno, Op.Cit., hal. 36
Tidak ada komentar:
Posting Komentar