“Aku bersyukur dilahirkan di Indonesia, dimana senyum masih menjadi karakter, budaya masih apik terjaga, dan optimisme masih menyulut semangat. Aku berharap, anak-anakku kelak harus lebih bangga dariku dalam memandang dan memperjuangkan Indonesianya. Jaya Selalu Negeriku Indonesia, Jayalah Selama-lamanya”

Posisi Negara Dalam Liberalisasi Pertanian


Oleh: Haryo Prasodjo (haryoprasodjo@ymail.com)
 
Seiring dengan berakhirnya perang dingin, kapitalisme dan demokroasi liberal semakin kokoh menjadi pemenang atas sistem ekonomi dan politik dunia. Kapitalisme dianggap menjadi satu-satnya sistem ekonomi yang dapat berjalan dan demokrasi liberal menjadi salah satu agen kemajuan. Neoliberalisme dalam bentuk ekonomi politik telah menjadi pemenang diabad ke-21 ini dan menjadi alur pembangunan khsusunya di daerah negara dunia ketiga. Globalisasi yang merupakan inti dari ajaran neoliberalisme telah memunculkan sebuah model baru bagi mekanisme kebijakan negara dalam hubungannya dengan pasar yang dipercaya bagi sebagian banyak orang akan menjanjikan kemudahan, kesejahteraan, dan keadilan. Yang meskipun pada akhirnya kita saksikkan dalam kehidupan sehari-hari hal tersebut justru menunjukkan hasil sebaliknya. Dimana globalisasi yang dominan justru menjadikan ketimpangan sosial dan kemiskinan dimana-mana.
Para kaum yang menganut ajaran neoliberal selama ini meyakini bahwa neoliberal akan menciptakan kemakmuran bagi ummat manusia. Kebebasan pasar memiliki keuntungan yang jauh lebih besar dari pada kerugian yang ditimbulkan olehnya. Pasar merupakan jalan terbaik dalam mendistribusikan sebuah barnag komoditas karena merupakan alur langsung pertemuan antara konsumen dan produsen. Dalam kebijakan neoliberal sendiri sangat diisyaratkan untuk meminimalisisr peran negara dalam kegiatan perekonomian. Karena ditakutkan, terlalu seringnya negara ikut campur dalam kegiatan ekonomi dapat mendistrosi pasar itu sendiri. Maka liberalisasi, prvatisasi, dan deregulasi menjadi hal mutlak yang harus dilakukan agar pasar dapat berjalan dan bekerja secara optimal.
Kelompok negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang dan Uni Eropa tetap mempertahankan subsidi di bidang pertaniannya. Sebaliknya, kelompok negara berkembang justru mengambil posisi berseberangan. Kebijakan proteksi negara-negara maju dalam bidang pertanian tidak hanya bertentangan dengan prinsip-prinsip liberalisasi perdaganan itu sendri teteapi sekaligus turut merugikan negara-negara berkembang. Produk-produk pertanian dari negara berkembang akan dapat dipastikan sulit menembus pasar di negara-negara maju. Keadaan sebaliknya akan dirasakan oleh pasar pertanian di negara maju yang akan dengan mudahnya menerjang pasar di negara-negara berkembang. Posisi negara berkembang akan kian terjepit dengan hadirnya barng-barang dari negara maju.

Saat ini, neoliberalisme yang dibarengi dengan globalisasi seakan telah menjadi sebuah diskursus hegemonik yang mana pengaruhnya telah dirasakan sangat mendalam terhadap ara berfikir masyarakat dunia. Hampir semua negara yang ada didunia ini mengadopsi sebuah sistem yang sama baik negara runtuhan unisoviet maupun negaara-negara yang tadinya beraliran kiri seperti China.
Liberalisasi perekonomian lebih cenderung pada kebebasan bagi semua aktor ekonomi untuk menguasai potensi-potensi ekonomi yang ada di suatu wilayah di muka bumi ini. Liberalisasi perdaganan yang terjadi saat ini tidak hanya dapat dipandang melalu kacamata analisa ekonomi semata, melainkan juga dapat ditinjau melalui aspek politik yang ada didalamnya yaitu bagiamana ekonomi juga menjadi jalan untuk mencapai sebuah kekuasaan. Dalam hal ini bagaimana negara-negara besar menggunakan instrumen ekonomi sebagai alat untuk memperoleh kekuasaan akan pasar internasional.
Perdagangan merupakan salah satu cara bagi negara-negara didunia dalam memenuhi kebutuhan dalam negerinya. Perdaganan internasional dapat membuat suatau negara melakukan impor dan ekspor barang dan jasa dari negara satu menuju negara lainnya. Mazhab neoliberal semakin menampakkan nya dengan memanfaatkan institusi-institusi ekonomi, keuangan, dan perdaganan internasional seperti IMF, Bank Dunia, dan WTO sebagai triangel siystem. Pembentukan lembaga-lembaga tersebut merupakan salah satu bentuk liberalisasi perdagan. Dengan dalih akan menciptakan sebuah perdaganan yang lebih adil dan terbuka serta melakukan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang merata. Selain itu fungsi utama dari lembaga-lembaga internasional tersebut adalah untuk memberikan kerangka kelembagaan bagi hubungan perdagangan antar negara anggota dalam implementasi perjanjian dan juga dalam bentuk beberapa instrumen yang berbentuk hukum. Para agen dari neoliberal ini berhasil membujuk negara-negara dunia ketiga untuk melakukan integrasi perdaganan dan ekonomi secara global dalam sebuah wadah organisasi perdagangan dunia yang disebut World Trade Orgaization (WTO).
Pada awalnya WTO terbatas hanya pada menghilangkan segala hambatan seperti kuota dan tariff. Namun saat ini, jangkauan WTO telah mencapai persoalan jasa, hak kekayaan intelektual, kesehatan, standar keamanan, serta pengaturan suatu produk. Selain mengatur perdagangan barang manufaktur WTO juga telah melakukan pengarturan terhadap  barang-barang komoditas pertanian melalui mekanisme yang disebut Agreement on Agriculture (AoA) yan gjuga merupakan sebauh agenda hukum yang tidak terpisahkan dari WTO. Paling tidak terdapat tiga point komitmen dalam AoA yaitu perluasan akses pasar, pengurangan susidi domestik, dan pengurangan subsidi impor. AoA dan juga WTO dengan bantuan IMF telah mengancurkan tembok-tembok kedaulatan nasional negara-negara merdeka, khsusunya kelompok negara-negara berkembang yang dipaksa untuk tunduk dan patuh terhadap segala aturan AoA. Berbeda dengan negara-negara maju yang posisinya adalah sebagai pendesaak pemberlakuan AoA, dimana mereka justru lebih banyak melakukan pengingkaran-pengingkaran terhadap aturan tersebut.
Persetujuan dalam bidang pertanian telah diatur oleh WTO sejak tahun 1995, yang mana tujuanya agar setiap negara mau menghapus tarif pertaniannya dan mau menghapus subsidi pertaniannya. Yang intinya adalah dinginkannya penerapan perdaganan bebas bagi produk-produk pertanian dan sistem pertanian yang liberal. Persetujuan dalam bidang pertanian bertujuan untuk meciptakan perdaganan hasil pertanian yang fair dengan cara menghapus subsidi serta akses pasar dengan memperharikan kepentingan pembangunan dan kepentingan negara-negara miskin.
Sebuah janji akan kerterbuakaan dan keadilan pasar hanya menjadi sebauh keniscayaan dan menjadikan negara-negara berkembang menjadi lebih bergantung terhadap negara maju dalam hal pemenuhan stok pangan masyarakatnya. Liberalisai pertanian melalui AoA-WTO justru menjadikan menjamurnya produk pangan impor yang terus membanjiri negara-negara berkembang. Hal ini yang menjadi sangat kontradiktif dengan upaya pemenuhan hak atas pangan. Membanjirnya pangan impor juga mengakibatkan terjadinya keterjebakan pangan dimana negara tidak lagi memiliki kedaulatan akan pangan. Kejadian seperti ini tentu akan mengancam kedaulatan sebuah negara secara umum karena pangan merupakan sebuah unsur utama dari ketahanan nasional. Dalam situasi seperti ini, peran negara secara perlahan digantikan oleh pasar, pemenuhan akan hak dasar pangan kian lambat laun kian terhambat dikarenakan pasar tidak memiliki ketercukupan untuk memikirkan ketersediaan pangan masyarakat secara luas.
Pertarungan pasar pertanian antara negara maju dan berkembang akan berlangsung dengan tidak seimbang. Banyak dari kelompok negara-negara berkembang yang belum siap untuk bersaing dalam kompetisi liberalisasi perdaganan khsusunya dalam bidang hortikultura dan pertanian. Akan sangat sulit dibayangkan jika negara-negara berkembang dipaksa untuk dapat berkompetisi dengan negara-negara industri maju yang notabenn memiliki tingkat efisiensi yang tinggi, yang justru jauh berbanding terbalik dengan tingkat efisiensi yang ada di negara berkembang. Kurangnya efisiensi tekhnologi dalam pengadaan barang berupa varian tanaman seperti bibit unggul dan pupuk mengakibatkan biaya produksi yang mahal. Meskipun upah buruh murah namun dengan kurangnya dalam penguasaan tekhnologi membuat kelompok negara-negara berlembang kalah bersaing dengan negara-negara maju. Dalam hal ini, seperti contoh yang dialami negara Indonesia dimana jauh sebelum liberalisasi pertanian diberlakukan secara penuh justru telah diterjang oleh barang-barang yang masuk dari luar negeri baik secara legal maupun ilegal[1].
Kekalahan negara-negara berkembang terlihat dari terus meningkatnya angka kemiskinan dan kalaparan, kesenjangan sosial global terus meningkat. Sebaliknya, negara-negara maju terus memiliki ambisi untuk menimbung kekayaan menjadikan yang kaya semakin kaya dan yang miskin menjadi semakin miskin. Kemakmuran yang dijanjikan oleh kapitalis hanya terjadi dikalangan elit dunia, yaitu elit kapitalis transnasional negara-negara besar, sementara sebagian besar populasi dunia semakin terpinggirkan. Kelompok-kelompok negara maju terus ingin mempertahankan tingkat kemakmurannya sedangkan kelompok negara-negara bekembang terus mengalami penderitaan. Ambisi tersebut terus diperlihatkan oleh kelompok-kelompok negara besar dalam forum organisasi perdagangn dunia (WTO) yang menuntut negara-negara berkembang untuk membuka pasar mereka seluas-luanya sedangkan negara maju itu sendiri justru memproteksi pasar domestiknya.
Sistem pangan dan pertanian secara luas dan global berada dibawah monopoli dan kekuasaan perisahaan-perusahaan raksasa yang berada dibalik layar dengan selalu memaksakan beijakan neoliberal dan perdagangan bebas. Karena, hanya dengan diberlakukannya sistem tersebut, negara-negara terbelakang yang mana mayoritas penduduknya adalah  masyarakat miskin dan kelaparan akan terus dipaksa pada impor pertanian. Pertanian-pertanian yang berskala kecil dianggap tidak efisien yang pada akhirnya harus habisi dan kemudian digantikan melalui liberalisasi. Lahan-lahan besar yang sebelumnya diperuntukkan untuk tanaman-tanaman pangan kemudian akan dikonversikan  untuk tanaman-tanaman perkebunan. Hal yang sedemikian rupa secara tidak langsung telah mematikan sebagian besar mata pencaharian penduduk yang tinggal di pedesaan serta turut meperunyam wajah kemiskinan dan kelaparan yang tengah berlangsung. Mendorong peningkatan ekspor melalui perkebunan-perkebunan tersebut menjadi prioritas karena dianggap sebagai sumber alat pembayaran luar negeri yang dibutuhkan untuk mengimpor pangan.
Bercokolnya negara-negara besar dalam hal pertanian juga membawa agenda tersendiri yaitu penggunaan alat-alat dan produk pertanian milik perusahaan asing yang ada di negara-negara tersebut. Hal yang demikian ini pada akhirnya akan menyebabkan tingginya harga pangan yang berujung pada kuatnya kontrol monopoli dari perusahaan-perusahaan transnasional seperti Monsanto, Nestle, dan sistem pertanian dan pangan lainnya[2].
Berbagai macam bentuk kebijakan yang berkaitan dengan kebijakan global telah dijadikan syarat hutang oleh institusi-institusi dan lembaga keuangan internasional seperti IMF, Bank Dunia, kepada negara-negara yang kekurangan dana dan pada akhirnya akan mengajukan hutang kepada lembaga tersebut. Sementara di sisi lain, WTO berserta negara-negara maju melalui perjanjian-perjanjian regional dan bilateral lainnya dengan negara-negara berkembang mengizinkan transnational cooperations TNCs untuk mendominasi dan memegang kekuasaan penuh atas pasar pertanian dan pangan di negara berkembang.[3] Kedaulatan pangan tidak menentang akan mekanisme perdagangan namun lebih kepada penentangan atas diberikannya wewenang kepada pasar sebagai pengatur dan penentu kebijakan pertanian dan pangan. Imbas dari kebijakan tersebut adalah rusaknya swasembada pangan dalam tingkat lokal dinegara berkembang, karena kenyataannya akses terhadap pasar internasional bukanlah solusi yang terbaik bagi para petani. Yang menjadi masalah utama adalah kurangnya akses terhadap pasar lokal mereka sendiri karena telah dibanjiri oleh produk-produk impor.
Negara-negar maju seperti Amerika Srikat dan Uni Eropa  terus memberikan bantuan berupa subsidi kepada para petani yang ada di negaranya hingga mencapai miliayan dollar kepada industri pertaniannya agar dapat memiliki harga yang marah dan kemudian akan membuang kelebihan dari hasil produksi tersebut kepasar internasional dan menghancurkan mata pencaharian para petani yang memiliki industru serupa dalam skala kecil. Meningkatnya ekspor pangan oleh korporasi-korporasi besar akan menyebabkan lahan pertanian milik petani-petani kecil yang berada di negara berkembang menjadi kian terdesak. Perjanjian dalam bidang pertanian secara tidak langsung telah menciptakan kompetisi  antar produk pertanian dengan dukungan subsidi di negaara-negara kaya dengan produk pertanian tanpa subsidi yang ada id negara berkembang.
Tidak adanya ketahanan akan pangan hanya akan menjadikan masyarakat negara-negara berkembang yang kaya akan sumber daya mineral dan pangan seperti Indonesia menjadi seperti ayam yang mati dilumbung padi. Karena masyarakat pertanian yang hidup dinegara berkembang memang masih sangat membutuhkan proteksi dari pemerintah negara setempat. WTO telah menciptakan persaingan yang tidak adil kerena negara-negara maju hanya sedikit sekali membuka akses pasarnya terhadap produk-produk dari negara berkembang dibandingkan dari kalangan mereka sendiri serta lebih cenderung untuk menerapkan tarif yang tinggi pada produk-produk yang paling berharga bagi negara berkembang. Kondisi yang timpang  antara negara maju dan negara berkembang ini terus diabaikan dalam liberalisasi perdaganan yang dikehendaki oleh WTO. Meskipun fakta lapangan  menunjukkan hasil adanya ketimpangan dalam pendistribusian manfaat dan memperlebar kesenjagan antara negara maju dengan negara berkembang bahkan meningkatkan kesenjangan didalam negara itu sendiri. Negara-negar berkembang semakin terpinggirkan dan masyarakatnya kehilangan sumber-sumber kehidupan.
Daftar Pustaka
Ohmae, Kenichi dalam “Dunia Tanpa Batas, Kekuatan dan Strategidi Dalam Ekonomi Yang saling Terkait”. Diterjemahkan oleh FX Budiyanto. Binarupa Aksara, Jakarta 1991.
Pribadi, Airlangga. dkk. Dalam “Globalisasi dan Neoliberalisme, Pengaruh dan Dampaknya Bagi Demokratisasi Indonesia”. Logung Pustaka, Yogyakarta 2009.
Burchill, Scott dan Andrew Linklater. Dalam “ Teori-Teori Hubungan Internasional”. Diterjemahkan oleh M. Shobirin. Nusa Media, Bandung 1996.
Dalam “Indonesia Kedodoran Hadapi Liberalisasi Perdagangan”. Diakses melalui http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=2591&coid=2&caid=19&gid=4. Pada tanggal 6 Maret 2014.
Mantra, Dodi. Dalam “ Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme, Menelusuri Langkah Indonesia Menuju Masyarakat Ekonomi 2015”. Diakses melalui http://www.academia.edu/4740100/Hegemoni_dan_Diskursus_Neoliberalisme_Menelusuri_Langkah_Indonesia_Menuju_Masyarakat_Ekonomi_ASEAN_2015. Pada tanggal 6 Maret 2014.
Tusi, Ahmad. Dalam “Liberalisasi Pertanian di Era Kapitalisme”. Diakses melalui http://staff.unila.ac.id/atusi/2013/01/04/liberalisasi-pertanian-di-era-kapitalisme/. Diakses pada tanggal 6 Maret 2014.



[1] Dalam “Indonesia Kedodoran Hadapi Liberalisasi Perdagangan”. Diakses melalui http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=2591&coid=2&caid=19&gid=4. Pada tanggal 6 Maret 2014.

[2] Tusi, Ahmad. Dalam “Liberalisasi Pertanian di Era Kapitalisme”. Diakses melalui http://staff.unila.ac.id/atusi/2013/01/04/liberalisasi-pertanian-di-era-kapitalisme/. Diakses pada tanggal 6 Maret 2014.
[3] Aminuddin, Faishal. dkk. Dalam “Respon Atas Globalisasi: Dinamika Ketergantungan Ekonomi dalam Pemganbunan di Indonesia”. Logung Pustaka, Yogyakarta 2009. Hal 43.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar