“Aku bersyukur dilahirkan di Indonesia, dimana senyum masih menjadi karakter, budaya masih apik terjaga, dan optimisme masih menyulut semangat. Aku berharap, anak-anakku kelak harus lebih bangga dariku dalam memandang dan memperjuangkan Indonesianya. Jaya Selalu Negeriku Indonesia, Jayalah Selama-lamanya”

Kerangka Konsep Neoliberal

Tugas Kelompok dalam isu-isu politik global pasca sarjana HI UGM MAIR 23



Gagasan neoliberalisme masih berpijak pada teori liberalisme klasik yang diusung oleh Adam Smith dan David Ricardo. Tradisi liberal berangkat dari pemahaman bahwa kebebasan individu adalah hal yang paling mendasar dan kekuasaan negara yang berlebihan akan mempunyai potensi merusak tatanan dalam masyarakat. Dalam konteks ini, tradisi pemikiran liberal pada hakekatnya tidak berarti pemikiran yang anti terhadap negara. Tradisi pemikiran liberal sekedar memagari kekuasaan negara yang cenderung mempunyai potensi merusak. Meskipun tidak serta merta dapat dimaknai sebagai gagasan yang anti negara, liberalisme klasik ala Adam Smith ini percaya pada peran negara yang minimalis. Tradisi liberal yang berangkat dari tradisi Adam Smith ini kemudian diberi label liberalisme klasik[1].
Definisi mengenai neoliberalisme dapat ditemukan melalui pendapat Balaam dan Veseth yang memaknai neoliberalisme sebagai:
a viewpoint that favors a return to the economic policies advocated by classical liberals such as Adam Smith and David Ricardo. Neoliberalism emphasizes market deregulation, privatization of government enterprises, minimal government intervention, and open international markets. Unlike classical liberalism, neoliberalism is primarily an agenda of economic policies rather than a political economy perspective”.[2]
  Neoliberalisme dicirikan dengan gagasan yang lebih menekankan pada deregulasi pasar, privatisasi badan usaha milik negara, campur tangan pemerintah yang terbatas, serta pasar internasional yang lebih terbuka. Neoliberalisme lahir ditengah perdebatan antara paham liberalisme klasik dan paham keynesian[3]. Stagflasi yang melanda dunia pada tahun 1970-an meruntuhkan asumsi-asumsi sistem sosialisme demokrasi yang diusung oleh Keynes. Krisis yang terjadi muncul sebagai akibat dari intervensi negara yang terlalu jauh dalam urusan ekonomi. Intervensi yang sedianya ditujukan untuk menjamin kesejahteraan sosial justru telah menimbulkan inefisiensi dan menyebabkan krisis. Dalam kondisi semacam ini, para pemikir liberal berupaya mengembalikan doktrin liberalisme kepada liberalisme klasik ala Adam Smith dan David Ricardo yang percaya unregulated market akan meningkatkan efisiensi dan mendorong pertumbuhan dan menghasilkan kemakmuran global. Meskipun demikian, kebangkitan pemikiran liberalisme klasik (neo-classical economy) atau yang kemudian lebih dikenal sebagai neoliberalisme memiliki sejumlah perbedaan mendasar dengan liberalisme klasik. Liberalisme klasik ala Adam Smith menentang bentuk-bentuk monopoli baik oleh negara maupun kelompok bisnis. Namun dalam pandangan liberalisme klasik Mill dan Keynes peran negara tetap dibutuhkan terutama untuk menciptakan lingkungan yang dapat menjamin hak-hak individu. Sementara neoliberal berada pada posisi yang lebih ’mencurigai’ peran negara sehingga dari segi apa pun kekuasaan negara perlu tetap dikontrol.[4]

Kebangkitan kembali liberalisme klasik dapat ditelusuri lewat pemikiran Friedrich von Hayek (1899 – 1992) dan Milton Friedman (1912 - 2006). Upaya pengembalian pemikiran liberalisme klasik ini tidak hanya berhenti pada tataran ide. Gagasan tersebut kemudian tertuang dalam kebijakan-kebijakan ekonomi politik domestik di Inggris di bawah perdana menteri Margaret Thatcher dan pada saat yang hampir bersamaan diterapkan oleh Ronald Reagan di AS. Sehingga kemunculan neoliberalisme kerap disepadankan dengan neokonservatisme mengingat kebangkitannya di Inggris melekat pada Thatcher yang berasal dari partai konservatif. Tidak berhenti sampai disitu, dengan disponsori oleh Inggris dan AS, di tingkat global gagasan neoliberalisme juga menjadi landasan dalam diplomasi ekonomi internasional yang tercermin dari kebijakan-kebijakan yang diambil oleh lembaga-lembaga ekonomi internasional seperti IMF, WTO, dan Bank Dunia.[5]


[1]Poppy S. Winanti, ‘Melacak Asal-Usul Neoliberalisme’, Poppy SW (online), <http://poppysw.staff.ugm.ac.id/posts/articles/melacak-asalusul-neoliberalisme/>,  diakses 7 Maret 2014.
[2]David N Balaam dan Michael Veseth. 2005. Introduction to International Political Economy 3rd edtion. New Jersey: Pearson Education Inc, hal. 507
[3]Keynes melalui The General Theory of Employment, Interest, and Money (1936) menolak asumsi dasar self-regulating market liberalisme klasik yang memisahkan peran negara dalam ekonomi. Lepasnya peran negara dalam urusan ekonomi menurutnya justru menimbulkan instabilitas dan tingginya tingkat pengangguran sebagaimana tercermin pada masa Great Depression tahun 1930an (Heywood, 2002). Keynes meyakini bahwa salah satu prasyarat agar kapitalisme dapat terus berkembang adalah full employment yang hanya akan dapat dicapai jika pemerintah dan bank sentral melakukan intervensi. Keynes karenanya percaya akan peran positif pemerintah dapat bermanfaat mengatasi persoalan yang tidak bisa ditangani oleh pasar seperti inflasi dan pengangguran. Ajaran Keynes yang lebih dikenal sebagai Keynesian Economics ini mendominasi kebijakan ekonomi politik pasca perang dunia kedua di bawah sistem Bretton Woods hingga akhir 1970-an. Dalam, ‘Melacak Asal-Usul Neoliberalisme’, Poppy SW (online).
[4] Poppy S. Winanti, ‘Melacak Asal-Usul Neoliberalisme’, Poppy SW (online).
[5] ibid
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar