Gagasan
neoliberalisme masih berpijak pada teori liberalisme klasik yang diusung oleh
Adam Smith dan David Ricardo. Tradisi liberal berangkat dari pemahaman bahwa
kebebasan individu adalah hal yang paling mendasar dan kekuasaan negara yang
berlebihan akan mempunyai potensi merusak tatanan dalam masyarakat. Dalam
konteks ini, tradisi pemikiran liberal pada hakekatnya tidak berarti pemikiran
yang anti terhadap negara. Tradisi pemikiran liberal sekedar memagari kekuasaan
negara yang cenderung mempunyai potensi merusak. Meskipun tidak serta merta
dapat dimaknai sebagai gagasan yang anti negara, liberalisme klasik ala Adam
Smith ini percaya pada peran negara yang minimalis. Tradisi liberal yang
berangkat dari tradisi Adam Smith ini kemudian diberi label liberalisme klasik[1].
Definisi
mengenai neoliberalisme dapat ditemukan melalui pendapat Balaam dan Veseth yang
memaknai neoliberalisme sebagai:
“a
viewpoint that favors a return to the economic policies advocated by classical
liberals such as Adam Smith and David Ricardo. Neoliberalism emphasizes market
deregulation, privatization of government enterprises, minimal government
intervention, and open international markets. Unlike classical liberalism,
neoliberalism is primarily an agenda of economic policies rather than a
political economy perspective”.[2]
Neoliberalisme dicirikan dengan gagasan yang
lebih menekankan pada deregulasi pasar, privatisasi badan usaha milik negara,
campur tangan pemerintah yang terbatas, serta pasar internasional yang lebih
terbuka. Neoliberalisme lahir ditengah perdebatan antara paham liberalisme
klasik dan paham keynesian[3].
Stagflasi yang melanda dunia pada tahun 1970-an meruntuhkan asumsi-asumsi sistem
sosialisme demokrasi yang diusung oleh Keynes. Krisis yang terjadi muncul
sebagai akibat dari intervensi negara yang terlalu jauh dalam urusan ekonomi.
Intervensi yang sedianya ditujukan untuk menjamin kesejahteraan sosial justru
telah menimbulkan inefisiensi dan menyebabkan krisis. Dalam kondisi semacam
ini, para pemikir liberal berupaya mengembalikan doktrin liberalisme kepada
liberalisme klasik ala Adam Smith dan David Ricardo yang percaya unregulated
market akan meningkatkan efisiensi dan mendorong pertumbuhan dan menghasilkan
kemakmuran global. Meskipun demikian, kebangkitan pemikiran liberalisme klasik
(neo-classical economy) atau yang kemudian lebih dikenal
sebagai neoliberalisme memiliki sejumlah perbedaan mendasar dengan liberalisme
klasik. Liberalisme klasik ala Adam Smith menentang bentuk-bentuk monopoli baik
oleh negara maupun kelompok bisnis. Namun dalam pandangan liberalisme klasik
Mill dan Keynes peran negara tetap dibutuhkan terutama untuk menciptakan
lingkungan yang dapat menjamin hak-hak individu. Sementara neoliberal berada
pada posisi yang lebih ’mencurigai’ peran negara sehingga dari segi apa pun
kekuasaan negara perlu tetap dikontrol.[4]
Kebangkitan
kembali liberalisme klasik dapat ditelusuri lewat pemikiran Friedrich von Hayek
(1899 – 1992) dan Milton Friedman (1912 - 2006). Upaya pengembalian pemikiran
liberalisme klasik ini tidak hanya berhenti pada tataran ide. Gagasan tersebut
kemudian tertuang dalam kebijakan-kebijakan ekonomi politik domestik di Inggris
di bawah perdana menteri Margaret Thatcher dan pada saat yang hampir bersamaan
diterapkan oleh Ronald Reagan di AS. Sehingga kemunculan neoliberalisme kerap
disepadankan dengan neokonservatisme mengingat kebangkitannya di Inggris
melekat pada Thatcher yang berasal dari partai konservatif. Tidak berhenti
sampai disitu, dengan disponsori oleh Inggris dan AS, di tingkat global gagasan
neoliberalisme juga menjadi landasan dalam diplomasi ekonomi internasional yang
tercermin dari kebijakan-kebijakan yang diambil oleh lembaga-lembaga ekonomi
internasional seperti IMF, WTO, dan Bank Dunia.[5]
[1]Poppy S.
Winanti, ‘Melacak Asal-Usul Neoliberalisme’, Poppy SW (online),
<http://poppysw.staff.ugm.ac.id/posts/articles/melacak-asalusul-neoliberalisme/>, diakses 7 Maret 2014.
[2]David N Balaam dan Michael Veseth. 2005. Introduction to International
Political Economy 3rd edtion. New Jersey: Pearson Education Inc,
hal. 507
[3]Keynes melalui The General Theory of Employment, Interest, and Money
(1936) menolak asumsi dasar self-regulating
market liberalisme klasik yang memisahkan peran negara dalam
ekonomi. Lepasnya peran negara dalam urusan ekonomi menurutnya justru
menimbulkan instabilitas dan tingginya tingkat pengangguran sebagaimana
tercermin pada masa Great
Depression tahun 1930an (Heywood, 2002). Keynes meyakini bahwa
salah satu prasyarat agar kapitalisme dapat terus berkembang adalah full employment yang
hanya akan dapat dicapai jika pemerintah dan bank sentral melakukan intervensi.
Keynes karenanya percaya akan peran positif pemerintah dapat bermanfaat
mengatasi persoalan yang tidak bisa ditangani oleh pasar seperti inflasi dan
pengangguran. Ajaran Keynes yang lebih dikenal sebagai Keynesian Economics ini
mendominasi kebijakan ekonomi politik pasca perang dunia kedua di bawah sistem
Bretton Woods hingga akhir 1970-an. Dalam, ‘Melacak Asal-Usul Neoliberalisme’, Poppy SW (online).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar