Tugas Kelompok dalam isu-isu politik global pasca sarjana HI UGM MAIR 23
Liberal adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan
tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan adalah nilai
poitik yang utama. Liberalisasi adalah proses kebebasan yang menolak adanya
pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama.[1]
Liberalisasi perdagangan pertanian adalah kebijakan
mengurangi atau bahkan menghilangkan hambatan atas sektor perdagangan pertanian
(beras, kedelai, bawang dan lain sebagainya), dari suatu kebijakan tarif dan
non tarif yang ditetapkan oleh suatu negara dalam melindungi pasar domestik
maupun sektor pertanian dalam negerinya. Namun dalam kebijakan liberalisasi perdagangan
tidak selalu berarti pemerintah meninggalkan kegiatan kontrol pajak impor dan
ekspor, tetapi hanya menahan diri kegiatan yang dirancang untuk menghambat
perdagangan internasional, seperti menerapkan tarif impor dan pembatasan mata
uang.[2]
Kegiatan perdagangan internasional yang dilakukan oleh
banyak negara saat ini tidak serta merta berjalan begitu saja, tetapi ada tata
aturan yang sudah disepakati bersama oleh banyak negara melalui pembentukan
GATT/WTO dalam kegiatan perdagangan internasional.
WTO (World Trade Organization) merupakan satu-satunya
organisasi yang mengatur perdagangan internasional. Terbentuk sejak tahun 1995,
WTO berjalan sesuai dengan perjanjian yang sudah disepakati dan dinegosiasikan
oleh sejumlah besar negara didunia dan diratifikasi melalui parlemen. Tujuan
dari perjanjian-perjanjian WTO adalah untuk membantu produsen barang dan jasa,
eksportir dan importir dalam melakukan kegiatannya.[3]
WTO tidak hanya melakukan pengaturan barang dan jasa, tetapi juga telah
melakukan pengaturan komoditas pertanian, melalui skema Agreement on Agriculture (AoA) yang merupakan bagian tak
terpisahkan dari hukum WTO. Skema signifikan ini merupakan hasil dari negosiasi
dari negara-negara maju setelah perdebatan panjang yang disebabkan
kontroversinya komoditas pertanian semenjak GATT pada 1947.[4]
Skema AoA mempunyai tiga pilar dalam pertanian yaitu[5];
1.
Perluasan Pasar.
Diartikan sebagai penghapusan seluruh hambatan impor dan
dikonversi dalam bentuk tariff. Tariff ini nantinya akan dikurangi sebesar 36
persen bagi negara maju sementara bagi negara berkembang akan dikurangi 24
persen dalam jangka waktu sepeuluh tahun dan pengurangan minimum 10 persen.
2.
Subsidi domestik dalam sektor pertanian:
a.
Amber Box, adalah semua subsidi yang mendistorsi produksi
dan perdagangan sehingga harus dikurangi berdasarkan komitmen.
b.
Blue Box, adalah Amber Box dengan persyarakatan tertentu
untuk mengurangi distorsi.
c.
Green Box, adalah subsidi yang tidak berpengaruh atau
kalaupun ada tidak berpengaruh pada perdagangan.
3.
Subsidi ekspor.
Hak untuk memberlakukan subsidi ekspor pada saat ini
dibatasi pada: (i) subsidi untuk produk-produk tertentu yang masuk dalam
komitmen untuk dikurangi dan masih dalam batas yang ditentukan oleh skedul
komitmen tersebut; (ii) kelebihan pengeluaran anggaran untuk subsidi ekspor
ataupun volume ekspor yang telah disubsidi yang melebihi batas yang ditentukan
oleh skedul komitmen tetapi diatur oleh ketentuan ”fleksibilitas hilir”
(downstream flexibility); (iii) subsidi ekspor yang sesuai dengan ketentuan
S&D bagi negara-negara berkembang; dan (iv) Subsidi ekspor di luar skedul
komitmen tetapi masih sesuai dengan ketentuan anti-circumvention. Segala
jenis subsidi ekspor di luar hal-hal di atas adalah dilarang.
Skema yang diterapkan WTO dalam AoA melalui ketiga pilar tersebut,
merupakan titik awal dari hancurnya sektor pertanian di negara berkembang dan
miskin, yang mana perjanjian ini bersifat kontrak seumur hidup dan mengikat
secara hukum, negara-negara anggota akan terikat seterusnya terhadap
kewajiban-kewajiban dan komitmen yang telah diberikan hingga semua sektor
terbuka. Skema tersebut secara tidak langsung diterapkan untuk
meliberalisasikan komoditas pertanian dan memaksa setiap negara untuk
menerapkannya di pasar domestik.
Perjanjian pertanian yang mengatur komoditas pertanian oleh WTO justru
menguntungkan negara maju semata dibandingkan keuntungan bersama, hal ini
dikarenakan banyaknya pemimpin negara maju mementingkan kepentingan kekuasaan
pasar-pasar di negara berkembang dan miskin, ini tidak sesuai dengan tujuan
umum WTO yang salah satunya mewujudkan ketertiban dan keadilan di bidang
perdagangan khususnya dalam bidang pertanian. Ketertiban dan keadilan
seharusnya dirasakan oleh semua negara, bukan hanya negara maju, bagi negara
berkembang dan miskin ketertiban dan keadilan bersifat fiktif hanya retorika.
Kontroversi AOA terletak pada implementasi skema itu sendiri dimana
negara-negara maju seperti AS dan Uni Eropa untuk tetap mensubsidi pertanian
domestikanya. Carmen Gonzales menjelaskan sebagai berikut :
The controversy stems from the fact that the rules
governing agricultural trade, as embodied in the WTO Agreement on Agriculture,
are perceived as allowing the United States and the European Union to continue
to subsidize agricultural production and to dump sur pluses on world markets at
artificially depressed prices while re- quiring developing countries to open up
their markets to ruinous and unfair competition from industrialized country
producers.[6]
Perlu dipahami bahwa adanya perbedaan kepentingan diantara negara maju dan
berkembang atau miskin disektor pertanian. Negara maju sebagai negara penghasil
dan pengekspor besar hasil pertanian, yang selama ini memberlakukan proteksi
ketat, memberi subsidi besar kepada petani mereka dan menyediakan subsidi
ekspor, seperti contoh petani di AS mempunyai lahan pertanian 200 hektar per
orang, dikelola korporasi dan hasilnya dikelola secara efektif dan efisien dan
didukung oleh teknologi yang maju. Sedangkan negara berkembang atau miskin yang
mempunyai keterbatasan sumberdaya, yang mana sebagian besar para petani negara
berkembang atau miskin menggarap lahan pertanian tidak hanya untuk komersial,
melainkan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan tradisi, tidak mempunyai lahan
yang luas dan hanya mempunyai keahlian dalam bertani, seperti contoh, para
petani indonesia yang hanya mempunyai lahan pertanian 0,22 hektar pada tahun
2012 dan 0,18 pada tahun 2050 serta di berikan subsidi sekitar 10-15 persen
setelah 4 tahun subsidi dihilangkan. Bayangkan petani diberi subsidi masih
susah untuk memenuhi kebutuhan, apalagi jika subsidi dihapuskan, apakah akan
mampu untuk bersaing dengan negara maju.
Berdasarkan
uraian diatas, setidaknya terdapat 3 dampak besar terhadap negara-negara
berkembang:
·
Harga
produk import pertanian dari negara maju menjadi lebih kompetitif dengan harga
murah di pasar negara berkembang sehingga membuat konsumen negara berkembang
lebih memilih produk-produk impor tersebut. Disisi lain produk lokal menjadi
lebih mahal dan tidak menarik karena tidak mendapatkan subsidi
·
Produk-produk
impor memonopoli pasar lokal mengakibatkan permintaan meningkat dan negara
berkembang terus mengimpor produk-produk pertanian tersebut untuk memenuhi
pasar dan permintaan lokal.
·
Negara
berkembang menjadi tergantung pada import pertanian negara maju. Secara
ekonomi, negara berkembang akan rugi sebab mayoritas negara berkembang
bergantung pada produk pertanian sebagai komoditas ekspor mereka. Secara
politis, komoditas import pertanian tersebut dapat digunakan oleh negara maju
untuk menekan negara-negara berkembang dan menyebabkan lemahnya ketahanan
pangan negara berkembang.
[1]
Ririe ritonga,”Liberalisasi Perdagangan Produk pertanian”, http://trihameidaarief.blogspot.com/2011/12/liberalisasi-perdagangan-produk.html,
akses 6 Maret 2014.
[2] Ibid.
[3]
World Trade Organization(WTO),” http://kemlu.go.id/Pages/IFPDisplay.aspx?Name=MultilateralCooperation&IDP=13&P=Multilateral&l=id,
akses 6 Maret 2014.
[4]
Gonzales,carmen. 2002.”Institutionalizing
inequality,agriculture, and developing countries”. Seattle. Seattle
university journal vol.10,hal.438
[5]
Indah kuswardani,”Globalisasi Ekonomi & Liberalisasi Perdagangan,” http://indaharitonang-fakultaspertanianunpad.blogspot.com/2013/06/globalisasi-ekonomi-liberalisasi.html,
akses 6 Maret 2014.
[6]
Gonzales,carmen. 2002.”Institutionalizing
inequality,agriculture, and developing countries”. Seattle. Seattle
university journal vol.10, hal 436
Tidak ada komentar:
Posting Komentar