Bali
Process sendiri, pertamakali dicetuskan pada Bulan Februari tahun 2002 dalam
sebuah konferensi “Regional Ministerial
Conference on People Smuggling, Trafficking in Persons and Related
Transnational Crime” di Bali, Indonesia. Kerjasama Bali Process sangat terfokus pada aspek yang bersifat teknis dalam
membangun menejemen perbatasan antar negara anggota serta peningkatan kapasitas
kontrol negara yang termasuk didalamnya penguatan penegakan hukum dalam
berbagai macam kasus pemalsuan dokumen. Hal tersebut dilakukan oleh negara, melalu
pengimplementasian sistem perundang-undangan dan sistem visa termasuk dalam
berbagai informasi yang terkait dengan imigran ilegal.[1]
Dalam
perkembangannya, gagasan mengenai Bali
Regional Ministerial Meeteng on People Smugling, Traficcking in Person and
Related Transnational Crime (BRMC) terus berlanjut selama dua tahun dari
2002 dan juga 2003, dalam pertemuan yang sama. Dua pertemuan tersebut
menghasilkan sebuah Regional Consultative
Process (RCP) yang kemudian dikenal dengan Bali Process on People Smuggling, Traffincking in Persons and Related
Transnational Crime (Bali Process), dimana Indonesia dan Australia
bertindak sebagai Co-chair.
Meskipun
berlangsung selama dua tahun, secara resmi bentuk kerjasama Bali Process telah dimulai pada tahun
2002. Dengan tema besar permasalahan yang terkait dengan penyelundupan manusia,
perdagangan manusia, dan juga kejahatan transnasional yang tidak mungkin dapat
diselesaikan hanya oleh satu negara. Bali
Process telah efektif dalam meningkatkan kesadaran negara-negara dalam
lingkup regional, terhadap konsekuensi yang ditimbulkan dari kejahatan
transnasional. Tujuan utama dari Bali Process itu sendiri adalah untuk
menangani masalah yang terkait dengan peyelundupan dan perdagangan mansia serta
kejahatan transnasional lainnya.
Bali Process
berusaha untuk terus mengembangkan sebuah strategi yang dapat diimplementasikan
dan membentuk sebuah kerjasama praktis dalam merespon berbagai ancaman dari
kejatahan transnasional khususnya yang berada di kawasan regional. Setidaknya
terdapat lebih dari 45 anggota yang berpartisipasi dalam forum Bali Process seperti Komisi Tinggi PBB
yang mengurusi masalah pengungsi (UNHCR), Organisasi Internasional untuk
Migrasi (IOM), serta Dewan PBB yang menangani masalah Narkoba dan Kejahatan
(UNODC).[2]
Sebagai
sebuah Regional Consultative Process,
Bali Process memiliki kekhususan
dibandingkan dengan forum lainnya. Kekhususan tersebut terletak pada fungsi
dari Bali Process itu sendiri, yaitu
sebagai forum dialog dan kerjasama yang mempertemukan antara negara asal,
negara transit, dan negara tujuan para imigran ilegal. Kekhususan tersbut
merupakan sebuah nilai tambah bagi upaya membangun kepercayaan diri bagi
negara-negara anggotanya untuk menyelesaikan masalah imigran ilegal secara
konstruktif.
Keprihatinan
banyak negara dari tingginya tingakat kegiatan penyelundupan dan perdanganan
manusia yang telah diatur oleh jaringan kriminal internasional yang juga
terlibat dalam jaringan perdanganan narkotika, pemalsuan dokumen, pencucian
uang, penyelundupan senjata, dan kejahatan transnasional lainnya juga menjadi
faktor pendorong sebuah negara bergabung dengan Bali Process. Adanya dugaan mengenai hubungan erat antara
penyelundupan dan perdangan manusia dengan penyebaran operasi terorisme
menjadikan negara-negara anggota mengambil inisiatif untuk menyelenggarakan dan
membentuk sebuah forum yang dinamakan Bali Process. Forum ini ditujukan untuk memperkuat penegakan
hukum yang ada di daerah, adanya kalaborasi antar negara dalam merespon
tingginya tingkat penyelundupan dan perdagangan manusia.[3]
[1] Dalam “Bali Process,
UNHCR Indonesia”, diakses melalui http://unhcr.or.id/id/bali-process-id,
pada tanggal 26 Juni 2015.
[3] Dalam “Ad Hoc Group Disruption Crimnal Network”, Diakses
melalui http://www.baliprocess.net/files/Ad_Hoc_Group/Disruption_Criminal_Networks_WG_ToR_.pdf, pada
tanggal 26 Juni 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar