“Aku bersyukur dilahirkan di Indonesia, dimana senyum masih menjadi karakter, budaya masih apik terjaga, dan optimisme masih menyulut semangat. Aku berharap, anak-anakku kelak harus lebih bangga dariku dalam memandang dan memperjuangkan Indonesianya. Jaya Selalu Negeriku Indonesia, Jayalah Selama-lamanya”

Teori-Teori Islamisas Nusantara Dan Tahap-Tahap Perkembangan Islam Masuknya Islam di Nusantara

 Indonesia adalah negara kepulauan. Wilayah barat Nusantara dan sekitar Malaka sejak masa kuno merupakan wilayah yang menjadi titik perhatian, terutama karena hasil bumi yang dijual di sana menarik bagi para pedagang, dan menjadi daerah lintasan penting antara Cina dan India. Sementara itu pala dan cengkeh yang berasal dari Maluku, dipasarkan di Jawa dan Sumatera, untuk kemudian dijual pada pedagang asing. Melalui Malaka, hasil hutan dan rempah-rempah dari seluruh pelosok dibawa ke Cina dan India terutama Gujarat.
Lebih ke barat lagi dari Gujarat, perjalanan laut melintasi Laut Arab. Melalui jalan pelayaran tersebut kapal-kapal Arab, Persia, dan India mondar-mandir dari barat ke timur dan terus ke negeri Cina. Pelabuan-pelabuan penting di Sumatera dan Jawa antara abad ke-1 dan ke-7 M sering disinggahi pedagang asing, seperti Lamuri (aceh), Barus dan Palembang di Sumatera; Sunda Kelapa dan Gresik di Jawa.
Pedagang-pedagang muslim asal Arab, Persia, dan India juga ada yang sampai ke kepulauan Indonesia untuk berdagang sejak abad ke-7 M (abad 1 H), ketika Islam pertama kali berkembang di Timur Tengah. Ada indikasi bahwa kapal-kapal Cina mengikuti jalan tersebut sesudah abad ke-9 M,. Kapal-kapal Indonesia juga mengambil bagian dalam perjalanan niaga tersebut. Pada zaman Sriwijaya pedagang-pedagang Nusantara mengunjungi pelabuhan-pelabuhan Cina dan pantai timur Afrika.
Kapankah Islam masuk ke Nusantara?
Menurut J.C. Leur, berdasarkan berbagai cerita perjalanan dapat diperkirakan bahwa sejak 674 M ada koloni-koloni Arab di barat laut Sumatera, yaitu Barus. Dari berita Cina bisa diketahui bahwa di masa Dinasti Tang (abad 9-10) orang-orang Ta-Shih (sebutan orang Arab dan Persia yang jelas menjadi muslim) sudah ada di Kanton (kang-fu) dan Sumatera. Perkembangan pelayaran dan perdagangan yang bersifat internasional antara negeri-negeri di Asia bagian barat dan timur mungkin disebabkan oleh kegiatan kerajaan Islam di bawah Dinasti Umayyah di bagian barat, kerajaan Cina zaman Tang di Asia bagian timur dan kerajaan Sriwijaya di Asia Tenggara.
Menjelang abad ke 13 M, masyarakat muslim sudah ada di Samudera Pasai, Perlak dan Palembang di Sumatera. Di Jawa, makam Fatimah binti Maimun di Leran (Gresik) tahun 475 H/1082 M), makam-makam Islam di Tralaya yang berasal dari abad ke-13 M merupakan bukti berkembangan komunitas Islam, termasuk di pusat kekuasaan Hindu-Jawa ketika itu Majapahit. Namun sumber sejarah yang sahih dan dapat dipertanggungjawabkan tentang perkembangan masyarakat Islam di Indonesia, baik berupa prasasti dan historiografi tradisional maupun berita asing, baru terdapat ketika “komunitas Islam” berubah menjadi pusat kekuasaan.
Teori-Teori Masuknya Islam ke Nusantara
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka terdapat tiga teori tentang masuknya Islam ke nusantara.
  1. Teori Gujarat
  2. Teori Makkah
  3. Teori Persia

Teori Gujarat
Dinamakan teori Gujarat, karena bertolak dari pandangan yang mengatakan bahwa islam masuk ke Nusantara berasal dari Gujarat pada abad ke-13 M, dan pembawanya adalah pedagang dari India Muslim. Peletak dasar teori ini adalah Snouck Hurgronje., dalam bukunya berjudul L’ Arabie et les Indes Neelrandaises atau Revue de I’Histoire des Religious. Pandangan ini mendasarkan pada:
  • Pertama, kurangnya fakta yang menjelaskan peranan Arab dalam penyebaran Islam di Nusantara,
  • Kedua, adanya kenyataan hubungan dagang India-Indonesia yang telah lama terjalin.
  • Ketiga, inkripsi tertuan tentang Islam yang terdapat di Sumatera memberikan gambaran hubungan antara Sumatera dan Gujarat.
Sarjana lain yang mendukung teori Gujarat ini adalah W.F.Stutterheim, dalam bukunya De Islam en Zijn Komst In de Archipel, menyatakan bahwa Islam masuk ke Nusantara pada abad ke-13 dari Gujarat. Alasannya adalah:
  • Pertama, bukti batu nisan Sultan Pertama Kerajaan Samudera Pasai, yakni Malik al-Shaleh yang wafat pada tahun 1297. Relief nisan tersebut bersifat Hinduistis yang mempunyai kesamaan dengan nisan yang terdapat di Gujarat.
  • Kedua, adanya kenyataan bahwa Islam disebarkan melalui jalan perdagangan antara Indonesia-Cambai (Gujarat)-Timur Tengah-Eropa.
Sejarawan lain yang mendukung teori ini antara lain juga ada Bernard H.M. Vlekke, Clifford Geertz, dan Harry J. Benda.Vlekke dalam bukunya A History of Indonesia, mendasarkan argumennya pada keterangan Marco Polo yang pernah singgah di Sumatera pada tahun 1292. Di sana disebutkan tentang situasi ujung utara Sumatera bahwa, Perlak penduduknya telah masuk Islam.
Selain itu sama dengan sejarawah sebelumnya, Vlekke menyatakan bahwa nisan Sultan Malik al-Shaleh sama dengan nisan yang ada di Cambai Geertz dan Benda mempunyai pendapat yang sama tentang besarnya peranan India ketimbang Arab dalam proses Islamisasi di Indonesia, terutama ajaran mistik Islam yang dikembangkan oleh bangsa India yang telah beragama Islam. Bahkan Benda menegaskan bila agama Islam berasal langsung dari Timur Tengah dan menerapkan ajaran asli di Nusantara, mungkin tidak akan menemukan tempat di kepulauan itu, lebih-lebih pulau Jawa.
Hanya dengan melalui pemantulan dua kalilah, rupanya agama islam mendapatkan titik pertemuan dengan Indonesia, khususnya dengan pulau Jawa. Benda memperkuat pendapatnya dengan mendasarkan pada kenyataan adanya orang-orang Arab yang telah lama tinggal di pantai-pantai, tetapi mengapa baru pada abad ke-15 dan ke-16 islam menjadi kekuatan kebudayaan dan agama utamanya di nusantara.
Teori Makkah
Teori ini dinyatakan oleh Hamka yang mengoreksi teori sebelumnya, yakni teori Gujarat. Hamka menguatkan teorinya dengan berdasarkan paandangannya pada peranan bangsa Arab sebagai pembawa Islam ke Nusantara, kemudian diikuti oleh orang Persia dan Gujarat. Gujarat dinyatakan sebagai tempat singgah semata, dan Makkah sebagai pusat atau Mesir sebagai tempat pengambilan ajaran Islam.
Hamla menolak bahwa Islam baru masuk pada abad ke-13, karena kenyataannya di nusantara pada abad itu telah berdiri suatu kekuatan politik Islam, maka sudah tentu Islam masuk jauh sebelumnya yakni abad ke-7 Masehi atau pada abad pertama Hijriah.
T.W. Arnold dalam The Preaching of Islam: a History of the Propagation of the Moslem Faith, menyatakan bahwa bangsa Arab sejak abad ke-2 SM telah menguasai perdagangan di Ceylon. Memang dalam informasinya sejarah tersebut tidak disebutkan lebih lanjut tentang sampainya di Indonesia, tetapi jika dihubungkan dengan kepustakaan Arab kuno disebutkan al-Hind sebagai India atau pulau-pulau sebelah timurnya sampai ke Cina dan Indonesia pun disebut sebagai pulau-pulau Cina, maka besar kemungkinan pada abad ke-2 SM bangsa Arab telah sampai ke Indonesia. Karena bangsa India dan Cina baru mengadakan hubungan dengan Indonesia pada abad 1 M. Sedangkan hubungan Arab dengan Cina terjadi jauh lebih lama, melalui jalan darat menggunakan “kapal sahara”, jalan darat ini sering disebut sebagai “jalur sutra”, berlangsung sejak 500 SM.
Dengan demikian halnya hubungan antara Arab dengan negara-negara Asia lainnya, maka tidak mengherankan jika pada tahun 674 M telah terdapat perkampungan perdagangan Arab Islam di Pantai Barat Sumatera, bersumber dari berita Cina. Kemudian berita Cina ini ditulis kembali oleh T.W. Arnold (1896), J.C. van Leur (1955), dan Hamka (1959). Timbulnya perkampungan perdagangan Arab Islam ini karena ditunjang oleh kekuatan laut Arab.
Dari keterangan tentang peranan bangsa Arab dalam dunia perniagaan seperti di atas, kemudian dikuatkan dengan kenyataan sejarah adanya perkampungan Arab Islam di pantai Barat Sumatera di abad ke-7, maka terbukalah kemungkinan peranan bangsa Arab dalam memasukkan Islam ke Nusantara.
Selain itu Hamka juga mempunyai argumentasi lain yang menjadikan dirinya begitu yakin bahwa Islam yang masuk ke Nusantara berasal dari daerah asalnya, Timur Tengah, yaitu pengamatannya pada masalah madzab Syafi’i, sebagai madzab istimewa di Makkah dan mempunyai pengaruh terbesar di Indonesia. Analisi pada madzab Syafi’I inilah yang menjadikan Hamka berbeda dengan sejarawan Barat atau Orientalis.
Pengamatan ini dilupakan oleh sejarwan Barat sekalipun mereka menggunakan sumber yang sama, yakni laporan kunjungan Ibnu Batutah ke Sumatera dan Cambay.Pada teori ini selain sejarawan di atas , tercatat juga beberapa nama tokoh dan ilmuwan yang memiliki kesamaan pandangan anatar lain adalah Crawfurd, Keijzer, Naimann, de Hollander,termasuk beberapa sejarawan Indonesia-Melayu seperti Hasjmi, al-Attas, dan Azumardi Azra.

Teori Persia
Pencetus teori ini adalah P.A. Hoesein Djajadiningrat. Teori ini berpendapat bahwa agama islam yang masuk ke Nusantara berasal dari Persia, singgah ke Gujarat, sedangkan waktunya sekitar abad ke-13. Fokus pandangan teori ini berbeda dengan teori Gujarat dan Makkah, sekalipun mempunyai kesamaan masalah Gujaratnya, serta Madzab Syafi’inya.
Teori ini lebih menitik beratkan tinjaunnya kepada kebudayaan yang hidup di kalangan masyarakat Islam Indonesia yang dirasakan memiliki persmaan dengan Persia. Di antaranya adalah:
Pertama, Peringatan 10 Muharram atau Asyura sebagai hari peringatan Syi’ah atas syahidnya Husein. Peringatan ini berbentuk pembuatan bubur syura.
Di Minangkabau bulan Muharram disebut bulan Hasan-Husein. Di Sumatera Tengah sebelah barat disebut bulan Tabut, dan diperingati dengan mengarak keranda Husein untuk dilemparkan ke sungai. Kearanda tersebut disebut tabut diambil dari bahasa Arab.
Kedua, adanya kesamaan ajaran antara Syaikh Siti jenar dengan ajaran Sufi Iran al-Hallaj, sekalipun al-hallaj telah meninggal pada 310 H/922 M, tetapi ajaarannyaa berkembang terus dalam bentuk puisi sehingga memungkinkan Syaikh Siti Jenar yang hidup pada abad ke-16 dapat mempelajarinya.
Ketiga, penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab, untuk tanda-tanda bunyi harakat dalam pengajian Qur’an tingkat awal:
Contoh :
Bahasa Iran Bahasa Arab
Jabar - zabar fathah
Jer - ze-er kasrah
P’es – py’es dhammah
Huruf Sin yang tidak bergigi berasal dari Persia, sedangkan Sin yang bergigi berasal dari Arab.
Keempat, nisan pada makam Malik Saleh (1297) dan makam Malik Ibrahim (1419) di Gresik dipesan dari Gujarat. Dalam hal ini teori Persia mempunyai kesamaan dengan teori Gujarat
Empat Pokok Berkaitan dengan Permulaan Penyebaran Islam di Nusantara.
Azurmar i Azra mencatat ada empat pokok, yaitu:
  1. Islam dibawa langsung dari Arab
  2. Islam diperkenalkan oleh para guru dan penyiar profesional (mereka yang khusus bermaksud menyebarkan Islam semacam “zondiq”).
  3. Pihak yang mula-mula masuk Islam adalah penguasa.
  4. Mayoritas para penyebar Islam profesional datang ke nusantara pada abad ke-12 dan 13.
Menurut Azra meskipun mungkin Islam sudah diperkenalkan ke nusantara sejak abad pertama Hijriah, namun hanya setelah abad ke-12 M pengaruh Islam tampak lebih nyata, dan proses Islamisasi baru mengalami aakselerasi antara abad ke 12 dan 16Masehi.
Fase Perkembangan Agama Islam
Sampai berdirinya kerajaan-kerajaan Islam itu, perkembangan agama Islam di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga fase:
  1. Singgahnya pedagang-pedagang Islam di pelabuhan-pelabuhan Nusantara (sumbernya berita Cina).
  1. Adanya komunitas-komunitas Islam di beberapa daerah kepulauan Indonesia (sumbernya berita-berita asing dan makam-makan Islam).
  2. Berdirinya kerajaan-kerajaan Islam.

Cikal bakal kekuasaan Islam telah dirintis pada periode abad 1-5 H / 7-8 M, tetapi semuanya tenggelam dalam hegemoni maritim Sriwijaya yang berpusat di Palembang dan kerajaan Hindu-Jawa seperti Singasari dan Majapahit di Jawa Timur. Pada periode ini para pedagang dan Mubaligh muslim membentuk komunitas-komunitas Islam.
Pada abad ke 7 sampai 10 M, kerajaan Sriwijaya meluaskan kekuasaannya ke daerah Semenanjung Malaka sampai Kedah. Pada akhir abad ke 12 M, kerajaan ini mulai memasuki kemundurannya. Kemunduran politik dan ekonomi Sriwijaya dipercepat oleh usaha-usaha kerajaan Singasari yang sedang bangkit di Jawa. Pada tahun 1275 kerajaan ini melakukan ekspansi ke Sumatera dan kemudian mengalahkan kerajaan-kerajaan Melayu di Sumatera. Akibat kekuasaan kerajaan Singasari ini banyak daerah-daerah di selat Malaka yang dikuasai kerajaan Sriwijaya melepaskan diri dari kerajaan tersebut.
Kelemahan Sriwijaya dimanfaatkan pula oleh pedagang-pedagang muslim untuk mendapstkan keuntungan politik dan perdagangan. Mereka mendukung daerah-daerah yang muncul dan daerah yang menyatakan diri sebagai kerajaan yang bercorak Islam, yaitu kerajaan Samudera Pasai di pesisir timur laut Aceh.
Daerah ini sudah disinggahi pedagang-pedagang muslim sejak abad ke-7 dan ke-8 M. Proses Islamisasi tentu berjalan sejak abad tersebut. Namun kerajaan ini baru berdiri sejak pertengahan abad ke 13 M. Setelah kerajaan Islam ini berdiri, perkembangan masyarakat muslim di Malaka makin lama makin meluas dan pada awal abad ke-15 M, di daerah ini lahir kerajaan Islam, yang merupakan kerajaan kedua di Asia Tenggara.
Proses Islamisasi di Sumatera dan di Jawa
Proses Islamisasi ke daerah-daerah pedalaman Aceh, Sumatera Barat, terutama terjadi sejak Aceh melakukan ekspansi politiknya pada abad ke 16 dan 17 M. Sementara itu di Jawa, proses islamisasi sudah berlangsung sejak abad ke-11 M, meskipun belum meluas; terbukti dengan ditemukannya makam fatimah binti Maimun di Leran Gresik (475 H/1085 M). Perkembangan Islam di pulau Jawa bersamaan dengan melemahnya posisi raja Majapahit. Hal itu memberi peluang kepada raja-raja Islam pesisir untuk membangun pusat-pusat kekuasaan yang bebas. Di bawah bimbingan spiritual Sunan Kudus, meskipun bukan yang tertua dari Wali Songo, Demak akhirnya berhasil menggantikan Majapahit sebagai kartor pusat.
Genealogi Penyebar Islam
Dahwa Islam berkembang terus dan meluas ke segenap penjuru tanah air. Untuk menjaga kelangsungannya, tidak ada jalan lain kecuali dengan pengkaderan beberapa orang muballigh baru. Mereka dididik secara khusus, di samping diajari ilmu agama Islam, dibekali juga dengan sejarah perjuangan Muhammad sebagai teladan dalam melakukan dakwah Islamiyah. Untuk kepentingan itu, banyak bermunculan perguruan-perguruan yanag dipimpin oleh seorang ulama dan ikuti oleh beberapa murid. Tokoh-tokoh yang terkenal di Samudera Pasai antara lain Hamzah Fansuri, Abdur Rauf Singkel, dan Nuruddin Ar-Raniri. Pada umumnya dalam menyebarkan Islam dan dalam memberikan pendidikan Islam, mereka cenderung pada aliran tasawuf. Hal ini menunjukkan bahwa mereka datang dari gujarat, suatu tempat yang banyak dipengaruhi oleh aliran tasawuf.
Di Jawa, terutama di pesisir utara laut Jawa, para pemimpin madrasah dan gerakan dakwah Islam terkenal dengan sebutan “wali”. Perkumpulan para wali terkenal dengan “Wali Sanga” yang masing-masing dipanggil dengan sebutan “sunan”.
Lalu apa yang dimaksud dengan istilah-istilah “wali”, “sanga”. Dan “sunan”?
Pengertian “Wali”, “Sanga” dan “Sunan”
WALI
Istilah “wali” diberikan kepada semua tokoh adalah dari kata Arab (yang berarti orang suci). Keringkasan dari waliullah, artinya orang yang dianggap dekat dengan Tuhan, orang keramat, yang memiliki macam-macam keanehan. Wali-wali itu dianggap sebagai orang-orang yang mula-mula menyiarkan agama Islam di Jawa dan biasa dinamakan Wali Sanga atau wali sembilan, meskipun jumlahnya tidak selalu sembilan (H.C.Ricklefs, 1983). Setelah sunan ampel wafat, para wali di pulau Jawa mengajarkan segala macam wirid, yang berasal dari Qur’an, Hadits, Ijma’, dan Qiyas.
Pada masa kerajaan Demak ada 3 angkatan para wali yang memberikan pelajaran. Tidap angkatan terdiri dari delapan orang wali. Angkatan pertama berlangsung pada awal Kerajaan Demak, angkatan kedua dan ketiga berlangsung pada akhir Kerajaan Demak dan Pajang. Dengan memperhatikan nama-nama wali, maka dapat dipahami bahwa jumlah wali yang menyebarkan agama Islam di Jawa ternyata tidak hanya sembilan orang dan tidak ada dalam satu periode (Aboe Bakar, 1905).

SANGA
Kata “sanga” dalam bahasa Sansekerta berarti “Saggha”, artinya sekumpulan, partai, serikat, group. Istilah ini dipakai dalam bahasa sehari-hari di India Timur umumnya dan Bangladesh pada khususnya. Dapat dikatakan bahwa arti Wali Sanga adalah sekelompok wali. Ada istilah populer dalam bahasa Jawa Jawata Sanga Dewa Telongpuluh : artinya Tiga puluh Dewa dipimpin 9 orang. Di dalam pertunjukan wayang pun, istilah itu sering disebut, baik di kota maupun di desa. Istilah ini jelas pengaruh dari Sultan Agung, di mana ia mengartikan istilah sanga dengan “9” yang didasarkan pada 8 arah angin dan 1 pemancar / pusat. Sejak itu populerlah wali Snga yang semula berarti kelompok wali menjadi “wali sembilan” (Simuh)
SUNAN
Kata “sunan” mendekati kata “suhunan”, berarti orang yang selalu dimintai benatuannya sebagai tempat bertanya dan tumpuhan masalah, daripada dikatakan sebagai bentuk jamak dari kata bahasa Arab, sunnan, sebab tidak ada hubungan pengertian antara sunan sebagai gelar dengan sunan sebagai kata dalam bahasa Arab. Gelar Sunan yang mereka (para wali) pakai adalah kata Jawa, tetapi asal kata ini kurang jelas, mungkin berasal dari kata suhun yang berarti “menghormati”, sedangkan di sini dipakai dalam bentuk pasif yang berarti “dihormati” (Riklefs, 1990)
Sunan: Suhunan (Jawa) yang dihormati yaitu gelar yang diberikan kepada para wali dan raja-raja Mataram sejak Kajenaran sampai Paku Buwono XII. Raja Mataram bergelar Inghkang Sunuwun Kanjeng Sultan Hamengkubuwono. Pendapat lain menyatakan; kata sunan berasal dari bahasa Tionghoa, Syu-Syu-hu-nan, berarti guru-guru terhormat atau tempat para guru besar. Jadi kata “sunan “ itu merupakan sebutan yang menunjukkan tempat asal para wali, meskipun yang berasal dari dataran China hanya beberapa orang saja.
Islam di Belahan Timur
Pengaruh Islam masuk ke Indonesia bagian timur, khususnya daerah Maluku tidak dapat dipisahkan dari jalur perdagangan. Menurut tradisi setempat, sejak abad ke-14 M Islam datang ke Maluku. Raja Ternate yang ke-12 Molomatea (1350-1357 M) bersahabat karib dengan orang Arab yang memberinya petunjuk cara pembuatan kapal, agaknya bukan dalam hal kepercayaan. Di Kalimantan Timur diislamkan oleh Datuk Ribandang dan Tunggang Parangan. Kedua Muballigh ini datang ke Kutai setelah orang-orang Makasar masuk Islam. Proses Islamisasi di Kutai terjadi sekitar tahun 1575 M. Di Sulawesi pada abad ke-16 di daerah Gowa terdapat masyarakat Islam. Raja Gowa Masuk Islam pada tahun 1605 M.
Strategi-strategi Islamisasi di Nusantara
Proses islamisasi melalui beberapa cara antara lain melalui perdagangan (pelayaran internasional dan nasional), perkawinan (misalnya Raden Rahmat dengan Nyai Manila) Brawijaya dengan putri Campa yang menurunkan Raden Patah—raja pertama Demak), tasawuf (para muballigh mengajar teo-sofi pada masyarakat pribumi yang sudah mempunyai alam pikiran agama lama Hindu dan Budha), pendidikan (ulama-ulama mendirikan pesantren), kesenian (pertunjukan wayang oleh para wali), dan politik ( misalnya raja masuk Islam kemudian rakyatnya mengikuti).
Dari Heterodox ke Ortodox
Kontinuitas ialah kesinambungan suatu unsur yang tidak henti-hentinya dia dalam kontek sejarah. Adapun perubahan di sini ialah proses perubahan dari heterodox ke ortodox. Dua unsur terjadi dalam peristiwa sejarah Islam di Jawa, di mana unsur pertama telah membuktikan peranannya dalam menentukan persepsi keislaman bagi pemeluknya dan karenanya berarti bahwa Islam sebagai suatu ajarah agama dipahami bukan dalam bentuknya yang asli. Unsur kedua merupakan masalah yang pokok karena di sini dipandang adanya langkah koreksi terhadap kenyataan pemahaman dari praktek keagamaan kini, ke arah usaha pemurnian.
Sinkretisme di Jawa
Pada waktu Islam masuk ke Jawa, kehidupan keagamaan yang nampak adalah campuran antara kepercayaan-kepercayaan tradisional dengan bentuk-bentuk mistik yang dijiwai oleh agama Hindu dan Budha. Dalam perkembangannya hingga saat ini kepercayaan tersebut tercermin dalam falsafah hidup yang meskipun dipengaruhi juga oleh nilai-nilai kerokhanian dari pada agama Islam, namun kepercayaan tradisional Jawa tetap hidup dan mempengaruhi bentuk kehidupan keagamaannya. Dasar pandangan hidup orang Jawa adalah keyakinan bahwa segala sesuatu pada hakekatnya adalah satu, merupakan kesatuan hidup. Karenanya agama menurut orang Jawa meliputi lebih banyak bidang daripada agama-agama formal, sehingga kurang membedakan antara lapangan hidp duniawi dengan lapangan hidup keagamaan dan hampir segala hal dimasukkan ke dalam bidang keagamaan.
 Ciri-ciri orang Jawa selalu berusaha akan mengembangkan kepribadian asli baik mental, pemikiran maupun agama tetap ada dalam menghadapi gejala pengasingan. Bukan hanya orang Jawa tetapi juga bangsa Indonesia umumnya, yang mengakibatkan Bosch mencetuskan istilah “local genius”. Mereka mengaku menganut suatu agama tetapi dalam paham keagamaan asli tidak diganti.
 Sufistis Pembawa Islam Ke Nusantra
Seperti diketahui bahwa Islam datang ke Indonesia melalui saudagar Gujarat. Mereka adalah bangsa India beragama Islam yang dalam kehidupannya masih dipengaruhi oleh unsur-unsur budaya setempat. Tambahan lagi mereka ini kebanyakan dari golongan sufi, melalui ajaran tasawuf inilah nampaknya lebih memudahkan masyarakat Jawa menerima Islam. Hal ini karena di antara unsur-unsur ajaran tasawuf terdapat persamaan-persamaan dengan pola-pola pemikiran Jawa. Sebagai contoh misalnya, bahwa nilai yang paling tinggi dari kepribadian manusia ialah tercapainya ketenangan batin. Hal ini hanya dapat dilakukan dengan mengendalikan hawa nafsu, dengan tidak terlalu memperhatikan barang-barang material.
 Dan jikalau sudah demikian maka seseorang akan memperoleh kekuatan untuk mengatur dunia sekitarnya. Dengan pemantulan dua kali nampak agama Islam mendapat titik pertemuan dengan Indonesia khususnya pulau Jawa. Dan dengan teori ini akan kuatlah kemungkinan yang seperti dikatakan Benda, seandainya Islam berasal langsung dari Timur Tengah dengan menerapkan kepercayaan monotheis serta menyapu segala sesuatu yang ada sebelumnya mungkin sekali akan tidak menemukan tempat untuk memasuki Indonesia, lebih-lebih pulau Jawa.
Dengan gambaran seperti itu dapat dikatakan bahwa bentuk Islam yang diperkenalkan kepada bangsa Indonesia menunjukkan persamaan dengan alam pikiran yang telah dimiliki oleh orang-orang Jawa Hindu. Persamaan tersebut tidak hanya pada alam pikiran saja, tetapi juga gambaran ciri-ciri yang dianggap yang mutlak. Di sini Tuhan dipandang sebagai sesuatu yang tidak berbentuk dan tidak bisa dirasa yang meliputi seluruh jagad, dan ia dipandang sebagai wujud yang transenden. Dan orang Islam Indonesia bagaimanapun lebih menekankan Islam tasawuf daripada ajaran tauhid dari syariat Islam.


Dampak Dakwah Islam yang Tidak Merata di Nusantara
Sementara itu proses islamisasi berjalan tidak merata di Jawa. Di daerah-daerah yang secara intensif mengalami islamisasi dari basis-basis Islam yang kemudian diteruskan oleh para wali beserta keturunan dan murid-muridnya terbentuklah kelompok masyarakat muslimin yang ortodox sedangkan di daerah-daerah yang jauh dari pusat Islam dan mengalami proses Islam yang intensitasnya rendah terbentuklah kelompok masyarakat yang “less islamic” yang disebut kemudian “islam abangan”.
Kekuatan Pengaruh Hindu dan Budha dalam Islam
Tidak meratanya intensitas penyebaran Islam tersebut sebagaimana dikatakan, adalah juga disebabkan karena masih kuatnya pengaruh Hindu-Budha. Dalam hal ini Harry J. Benda mengatakan “Only in those of Indonesia which had been least affected by Hindu civilization in past centuries—such as Acheh and Minagkabau region in Sumatera and Banten in West Java,--did Islam almost from the outset profoundly affect the religious, social and political conciousness of its adherent. Thus it is in those regions that the new faith has manifested itself in a purer, less conciliatory and at times even agressive form. In the greater parts of Java, on the other hand Islam had been forced to adopt itself to centuries old traditions, partly indigenious, partly Hindu-Budhist and in the process to lose much of its doctrinal rigidity.
Perbebedaan Latar Budaya Menyebabkan Perbedaan dalam Berislam
Pada masa para wali hal demikian merupakan masalah yang sulit juga sehingga menimbulkan perbedaan pendapat di antara mereka dalam menyebarkan Islam kepada penduduk yang masih kuat dengan kepercayaan lama. Di satu pihak Sunan Ampel dan Sunan Giri bahwa penyebaran Islam harus dilakukan secara murni dengan arti lain umat Islam harus diajarkan atau disuruh menjalankan agama yang lurus sesuai dengan sumber aslinya. tetapi Sunan kali jaga tidak, ia lebih bersikap lunak terhadap adat istiadat lama. Sunan Kalijaga tidak menginginkan kalau adat istiadat lama harus sekaligus diberantas karena hal itu akan menimbulkan kesulitan terhadap dakwah Islam. Apa yang dilakukannya adalah dengan memberikan warna baru terhadap bentuk-bentuk lama, partisipasi sambil mempengaruhi, sehingga kontinuitas dalam menuju kepada ajaran murni tetap diharapkan, baik nantinya oleh para dai di kemudian hari, maupun kesadaran masyarakat sendiri terhadap agamanya.

Kontinuitas Perubahan dalam Islam
Pada pertengahan abad ke 19 dan seterusnya, agama Islam muncul dengan kegairahan baru. Di sini Islam lambat laun menghilangkan sifat-sifat sinkretisnya. meningkatnya hubungan laut terutama sekali setelah dibukanya terusan Siez pada tahun 1869 menyebabkan meningkatnya jumlah jamaah haji Indonesia ke tanah suci, sebagian dari mereka ada yang tinggal beberapa tahun di Mekah untuk menuntut dan memperdalam masalah-masalah keagamaan dan sekembalinya di tanah air mereka ini membuat perubahan-perubahan yang berarti dalam kehidupan keagamaan. Sementara pesatnya orang-orang Arab Hadramaut yang memasuki Indonesia berarti menambah pula jumlah Islam ortodox di Indonesia.
Munculnya gerakan-gerakan Islam modern yang diilhami oleh ajaran Wahabi dan gerakan pembaharuan Mesir di Indonesia adalah bukti adanya kesadaran tersebut. Gerakan-gerakan baru ini menambah kekuatan agama Islam dan tanpa disadari demikian ini pernah menimbulkan perselisihan antara para pemimpin adat dan sekular kolonial dengan pemimpin agama. Perang Padri di Sumatera Barat atau kemudian perang Aceh, memaksa pemerintah kolonial melakukan intervensi. Dari sinilah kiranya, bahwa gerakan-gerakan pembaharuan dalam Islam merupakan suatu bukti perkembangan Islam di Indonesia senantiasa berhubungan dengan unsur-unsur luar sebagai faktor penting dalam perubahan tersebut. Semuanya ini hendaklah dipandang sebagai refleksi dari prinsip-prinsip ajaran Islam tentang ide terbentuknya suatu umat tanpa membedakan bangsa, ras dan negara. Sehingga mewujudkan sistem peribadatan yang murni yang bersih dari pengaruh-pengaruh peribadatan dan penyembahan dari tradisi nasional atau suatu bangsa tertentu. Pikiran-pikiran tersebut menguatkan asumsi bahwa orang Islam Indonesia memiliki rasa nasionalisme yang tipis atau bahkan mungkin tidak sama sekali.



 









Tidak ada komentar:

Posting Komentar