Oleh: Haryo Prasodjo 13/359514/PSP/04941
Pendahuluan
Manusia
hidup tidak akan dapat dipisahkan dari apa yang kita sebut sebagai konflik.
Sehingga dpat dipastikan bahwa usia konflik yang ada saat ini, sama dengan usia
saat adanya kehidupan manusia. Secara harfiah, konflik dapat diartikan sebagai
percekcokkan, perselisihan, atau bahkan pertentangan. Konflik biasanya terjadi
akibat adanay perbedaan, persingungan, dan juga pergerakan. Hal ini
dikarenakan, setiap manusia memiliki cara gerak yang khas, unik dan berbeda
antara satu dengan yang lainnya. Oleh karenanya, konflik merupakan suatu hal
ang tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia. Konflik sendiri biasanya
melibatkan berbagai macam aktor didalamnya. Mereka di dalamnya ada yang
terlibat langsug, maupun ada yang hanya sebagai penghubung dan mediator dalam
konflik yang berlangsung. Mereka yang peduli akan resolusi sebuah konflik akan
terfokus pada peranan dari para aktor yang berusaha menjembatani dan
menyelesaikan masalah tersebut dengan berbagai cara dari negosiasi hingga
mediasi.
Dalam
perjalanannya, resolusi konflik memeiliki sebuah posisi yang sangat penting
dalam sebuah evolusi dan dinamika konflik terbaru beserta analisisnya. Yaitu
erat hubungannya dengan sejarah konflik, penyebab konflik, serta komposisi
masing-masing pihak yang berkonflik di dalamnya. Mulai dari sifat
keterlibatannya, perspektif, posisi, serta motifasinya dibalik keterlibatannya
dalam konflik tersebut. Sedangkan adanya tujuan intervensi dalam sebuah konflik
merupakan sebuah bentuk bantuan yang digunakan untuk menanggulangi dinamika
dari siklus konflik seta mengurangi tingkat kekerasan atau permusuhan, dan
memberi peluang untuk terbukanya sebuah dialog. Dlam sebuah konflik, biasanya
terdapat beberapa pihak yang ikut masuk kedalamnya sebagai mediator kubu-kubu
yang berkonflik. Tujuan dari adanya mediator tersebut tidaklah lain untuk terciptanya sebuah kondisi tanpa adanya
kekerasan, atau yang juga bisa disebut dengan perjalanan kondisi menuju sebuah
perdamaian.
Konsep Perdamaian
Konsep
perdamaian dalam definisi Galtung lebih diartikan sebagai keadaan dimana tidak
adanya kekerasan. Dan dapat diartikan, bahwa perdamaian adalah jarak keadaan
dari kekerasan menuju pada ketiadaan kekerasan. Selain itu, menurut Galtung
perdamaian atau damai sendiri terbagi ke dalam dua katagori. Dalam bukunya
tersebut, Galtung membagi kekerasan ke dalam tiga pembagian. Yang pertama
adalah kekerasan fisik langsung, kekerasan seperti ini biasanya ditandai dengan
bentuk kekerasan yang dapat dilihat oleh mata dan dilakukan secaa langsung.
Seperti contoh pada konflik yang terjadi atas dasar agama ataupun suku seperti
pembunuhan, penganiayaan, serta perusakan. Yang kedua adalah kekerasan
struktural, kekerasan seperti ini adalah kekerasan yang terjadi akibat ketidak
seimbangan pada sebuah sistem sosial. Yang mana ketimpangan tersebut
mengakibatkan sebagian manusia merasakan penderitaan dan penindasan. Biasanya
kekerasan dalam bentuk struktural ini memiliki dampak yang tidak secara
langsung dirasakan. Seperti kemiskinan, diskriminasi, pengangguran dll. Dan
bentuk kekerasan yang terakhir adalah kekerasan kultiral. Kekekrasan pada model
yan gketiga ini, biasanya identik dengan kekerasan yang diakibatkan atau
dipengaruhi oleh aspek-aspek bawaan dalam diri mansuia. Seperti halnya aspek
agama, budaya, ideologi, atau bahkan pada sebuah kesenian ataupun yang pad
ailmu pengetahuan.
Dan
saat bicara mengenai perdamaian, Galtung membaginya kedalam dua macam bentuk
pedamaian. Yang pertama adalah Negative
Peace (perdamaian negatif) yaitu sebuah kondisi yang ditandai dengan
ketiadaan kekerasan yang dilakukan oleh perseorangan, perdamaian dalam bentuk
ini biasanya lebih merujuk pada kekerasan personal. Sedangkan bentuk perdamaian
yang kedua menurut Galtung adalah Positive
Peace (perdamaian positif) yang diartikan sebagai keadaan saat tidak
terdapat kekerasan yang dilakukan secara terstruktur, berbeda terbalik dengan
negative peace, positive peace lebih merujuk pada kekerasan dalam bentruk
struktural. Perdamaian juga tidak hanya berfokus pada bagaimana mengontrol dan
mereduksi kekerasan yang terjadi. Lebih dari itu, perdamaian juga harus dapat
memberikan sebuah pembangunan vertikal yang lebih baik. Perdamaian juga tidak
hanya menyangkut pada teori-teori yang bersangkutan dengan konflik semata, tapi
jug aharus mencakup pada pembangunan perdamaian itu sendiri. Penelitian
mengenai perdamaian juga harus mencakup hal-hal ataupun situasi yang berkenaan
dengan masa lalu, saat ini, dan juga yang akan datang. Selain itu, ntuk
mewujudkan perdamaian tersebut, maka harus terdapat hubungan antara perdamaian
itu sendiri dengan cara untuk melakukan pembangunan perdamaian. Kekerasan
personal yag kerap terjadi, biasanya terdapat dalam sebuah struktur. Dan untuk
mengatasi perdamaian dalam kekerasan struktural membutuhkan sebuah dorongan
lebih, dari pada penyelesaian perdamaian dalam kekerasan personal.
Membangun
perdamaian pada kekerasan personal dan kekerasan struktural dapat berjalan
mudah apa bila kita fokus terlebih dahulu pada satu diantara dua pilihan
tersebut. Lebih dikedepankan perdamaian yang sifatnya lebih ke struktural, hal
ini dikarenakan dalam sebuah struktur ada hukum sosial yang mengatur. Selain
itu, kekerasan personal erat kaitannya dengan kekerasan struktural seperti
contoh adanya ketidak adilan dalam hukum. Sehingga apa bila dapat mendamaikan
sebuah kekerasan struktural, paling tidak kita juga dapat mengurangi kekerasan
personal. Setidaknya terdapat tiga jawaban mengenai definisi dari perdamaian
itu sendiri. Yang pertama adalah, perdamaian lebih dikedepankan pada sebuah
konsep yang nyata, yaitu sebuah konsep dimana ketidak adaan kekerasan personal
dan adanya keadilan sosial. Yang kedua adalah, kata peace sendiri lebih
diartikan secara general dan universal, seperti halnya konsep peace dalam sebuah agama yang menyatakan
arti damai ut sediri lebih kepada cinta dan persaudaraan. Dan jawaban yang
ketiga adalah kombinasi dari dua jawaban sebelumnya. Yaitu adanya hukum dan
perintah dalam sebuah masyarakat serta adanya nilai yang mengikat.
Konsep Perdamaian Dalam Kasus
Sengketa Wilayah Jammu Khasmir Antara India-Pakistan
Dalam
tulisan ini saya akan melakukan aktualisasi konsep dari perdamaian dalam
melihat kasus persengketaan batas wilayah antara India dan Pakistan di wilayah
Jammu Khasmir. Persengketaan tersebut dimulai setelah Inggris meninggalkan
kawasan tersebut di tahun 1947. Dan menjadikan dua negara yaitu India dan
Pakistan menjadi negara yang merdeka dan berdaulat. Secara geografis, kedua
negara yang berada di kawasan Asia Selatan negara ini merupakan negara tetangga
yang saling berdekatan dan berbatasan. Negara India memiliki keadaan ekonomi
yang jauh lebih baik dengan mayoritas penduduknya yang beragama Hindu. Sebaliknya, Pakistan memiliki keadaan ekonomi
yang berada di bawah India dengan mayoritas penduduk beragama Islam. Namun
sesuai dengan partisi 562, wilayah Jammu dan Khasmir diberikan kebebeasan untuk
memilik negara mana yang akan diikuti. Pilihan tersebut, biasanya didasari atas
banyaknya agama mayoritas di negara bagian tersebut. Yang mana terdapat tiga
perempat dari penduduk yang tinggal di wilayah tersebut merupakan masyarakat
muslim, dan sebagian lainnya merupakan masyarakat yang beragama Hindu.
Setidaknya Pakistan mengklaim bahwa Khasmir yang berpenduduk 70% merupakan muslim
adalah bagian dari Pakistan. Sedangkan bagi India, setelah Khasmir memiliki
raja yang beragamakan Hindu, maka wilayah tersebut berhak untuk ikut masuk ke
dalam wilayah teritorial India.[1]
Dengan
adanya keputusan tersebut dan ketidak puasan di pihak Pakistan maka kerap kali
konflik antara dua negara tersebut bergejolak. Konflik yang terjadi tidaklah
lain terkait dengan masalah perebutan wilayah perbatasan yang disengketakan.
Sejatinya perdamaian adalah keadaan dimana tidak ada kekerasan, baik kekerasan
terhadap individu maupun kekerasan secara struktural. Namun apa yang terjadi di
wilayah tersebut merupakan sebuah gabungan antara dua kekerasan tersebut. Yaitu
kekerasan personal dengan adanya kekerasan yang dilakukan secara fisik dan juga
kekerasan struktural karena dilakuan oleh aktor yang negara. Lkekerasan
tersebut terjadi dalam sebuah pepeperangan terbuka yang terjadi antara India
dan Pakistan di tahun 1947. Upaya perdamaian dalam peperangan tersebut telah
diusahakan oleh India, yaitu dengan cara meminta bantuan kepada PBB selaku
lembaga internasional yang dapat berperan sebagai mediator dalam konflik
tersebut.
Usaha
yang dilakuakan oleh India saat itu terbilang cukup berhasil untuk meredam
konflik di kawasan tersebut, yaitu setelah diadakannya gencatan senjata antara
India dan Pakistan. Seperti yang telah kita bahas pada konsep perdamaian di
atas bahwa perdamaian adalah kondisi dimana tidak adanya kekerasan baik secara
fisik maupun struktural. Namun perdamaian dalam kasus ini masih dapat kita
golongkan pada negative peace karena
masih hanya sebatas ketiadaan kontak fisik antara kubu yang berselisih. Adapun,
usaha perdamaian yang dilakukan oleh Dewan Keamanan PBB saat itu adalah dengan
cara mendirikan sebuah komisi yang dinamakan United Nation Commision for India and Pakistan (UNCIP) untuk
menyelidiki perselisihan dan menjadi mediator dalam perselisihan yang terjadi
antara India dan Pakistan. Selain itu, tujuan dibentuknya komisi tersebut juga
sebagai komisi yang berperan untuk memonitoring kawasan yang dipersengketakan.[2]
Beberapa
perjanjian dan referendum disepakati baik oleh India maupun oleh Pakistan.
Ditahun 1965 perang kedua negara antara India dan Pakistan kembali terjadi,
setelah bentrokan antara petugas patroli perbatasan di negara bagian Rann of
Kutch, India. Hal tersebut juga diperparah dengan menyebrangnya pasukan
Pakistan sebanyak 33.000 orang dengan menggunakan pakaian seperti layaknya
penduduk Khasmir. Hal tersebut di respon oleh pihak India denga mengirimkan
pasukan bersenjata dan sebanyak 600 tank ke wilayah perbatasan. Usaha membangun
budaya perdamaian sepertinya belum berhasil untuk meredam konflik kedua negara
tersebut terkait wilayah perbatasan. Masing-masing negara memeiliki pandangan
dan memiliki kepentingan yang berbeda dalam melihat wilayah yang dipersengketakan
tersebut. Dan mau tidak mau, konflik yang berupa peperangan kembali terjadi
antara India dan Pakistan. Tidak seperti perang di tahun 1947, peperangan yang
terjadi pada tahun 1965 tidak berlagsung lama, karena pada bulan September di
tahun tersebut genjatan senjata kembali dilakukan oleh masing-masing pihak yang
berkonflik. Hal tersebut dilakukan setelah adanya perintah dari dewan Keamaman PBB
untuk menghentikan perang.
Namun
perang kembali pecah di tahun 1971, setelah pasukan Pakistan menjatuhkan bom di
lapangan terbang wilayah barat laut India. Peperangan terjadi selama 13 hari
dengan kekalahan di pihak Pakistan. Dalam kasus peperangan yang ketiga kembali
kekerasan personal yang diakibatkan oleh kekerasan struktural. Kekerasan
tersebut terjadi dalam bentuk adanya sekitar 23.000 warga sipil Pakistan Timur
menjadi korban dan mengungsi ke wilayah India karena merasa nyawanya terancam. Namun
konflik tersebut berhenti setelah Pakistan Timur resmi lepas dari Pakistan
Barat dan berdiri menjadi negara yang merdeka dengan nama Bangladesh pada
tanggal 6 Desember 1971. Selain itu, lebih dari 90.000 pasukan Pakistan menjadi
tawanan perang. Perang di tahun 1971 menjadi perang terbuka terakhir antara
India dan Pakistan. Setelah tahun tersebut, baik India maupun Pakistan tidak
lagi pernah terlibat dalam sebuah peperangan. Bahkan bebrapa langkah untuk
membangun sebuah perdamaian terus dilakukan oleh kedua negara tersebut, dan
salah satunya adalah dengan melakukan dialog
composite. Yaitu sebuah forum dialog antar kedua negara yang menghadirkan
pejabat-pejabat pemerintah dari berbagai tingkatan. Sehingga pembicaraan dapat
lebih terbuka dan semua masalah dapat saling diungkapkan secara jelas. Selain
itu, dalam upaya membangun sebuah kerjasama dan perdamaian, kedua negara juga
sepakat untuk menandatangai sebuah nota kesepakatan dalam bentuk confidence building measure (CMB).Yaitu
sebuah kerjamasa yang ditujukan untuk saling mengedepankan rasa saling percaya
antara kedua belah pihak.
Hingga
saat ini, hubungan damai antara India dan Pakistan relatif stabil, meskipun
tidak jarang pula diwarnai dengan konflik-konflik kecil serta aksi teror yang
dilakukan oleh kelompok-kelompok sparatis. Namun komitmen kedua negara dalam
menejemen konflik melalui diskusi terbuka antar pejabat pemerintahan menjadi
sebuah cara yang dijadikan untuk saling menjaga kepercayaan agar terciptanya
perdamaian di kawasan Asia Selatan.
Kesimpulan
Bentuk
konflik yang terjadi antara Idnia dan Pakistan terkait dengan konflik wilayah
perbatasan dapat digolongkan kedalam konflik struktural. Adapun konsep dari
perdamaian dalam hal ini lebih merujuk pada positive peace, dimana konsep ini
lebih menekankan pada ketiadaan akan kekerasan yang dilakukan secara struktur. Kekerasan
struktur terjadi akibat perselisihan dalam bentuk peperangan antara aktor
negara yaitu India dan Pakistan. Negara sebagai lembaga tertinggi dalam
struktur masyarakat seharusnya dapat memberikan perlindungan dan keamanan bagi
individu masyarakatnya. Namun hal tersebut tidak ditemukan baik pada India
maupun pada Paksitan. Perdamaian yang dibangun dengan melalui gencatan senjata
kerap kali tidak bertahan lama. Selain itu, Dewan Keamanan PBB selaku lembaga
tertinggi dalam struktur internasional sudah dapat memainkan perannya dengan
baik dalam melakukan upaya perdamaian. Peperangan yang terjadi di tahun 1971
tersebut, sepertinya telah menjadi perang terbuka terakhir antara India dan
Paksitan. Yan g mana kita tidak pernah lagi melihat peperangan terjadi antara
kedua negara tersebut terjadi hingga saat ini. Secara perlahan, konflik dalam
bentuk struktural berusaha diredam oleh kedua negara melalui cara peace
building dengan cara melakukan berbagai macam rangkaian kerjasama dalam bidang
ekonomi.
Daftar Pustaka
Galtung,
Johan. “Violence, Peace, and, Peace Research”. International Peace Research
Institute Oslo.
Francis,
Diana. “Teori Dasar Trasnformasi Konflik Sosial”. Quills Press, Yogyakarta
2006.
Dalam “India-Pakistan Relation: A 50 Year
History”. Diakses melalui http://asiasociety.org/asia/india-pakistan-relations-50-year-history. Pada tanggal
22 Juni 2014.
Dalam “United Nation MilitaryObserver Group in
India and Pakistan”. Diakses melalui http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/unmogip/background.shtml. Pada tanggal
22 Juni 2014.
[1] Dalam “India-Pakistan Relation:
A 50 Year History”. Diakses melalui http://asiasociety.org/asia/india-pakistan-relations-50-year-history. Pada tanggal 22 Juni 2014.
[2] Dalam “United Nation
MilitaryObserver Group in India and Pakistan”. Diakses melalui http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/unmogip/background.shtml. Pada tanggal 22 Juni 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar