“Aku bersyukur dilahirkan di Indonesia, dimana senyum masih menjadi karakter, budaya masih apik terjaga, dan optimisme masih menyulut semangat. Aku berharap, anak-anakku kelak harus lebih bangga dariku dalam memandang dan memperjuangkan Indonesianya. Jaya Selalu Negeriku Indonesia, Jayalah Selama-lamanya”

Krisis Keamanan Antara Rusia dan Ukraina Dalam Perspektif Realis



Oleh: Febrilya Widiartanti , Arfianto Rifki , Haryo Prasodjo
Pendahuluan
Dalam dua dekade terakhir, Rusia tidak pernah melakukan intervensi di luar perbatasan dan mengatasnamakan diaspora etnis Rusia. Krisis antara Rusia dan kraina dimulai saat Rusia mengirimkan pasukannya ke Crimea. Meskipun berbagai kecaman agar Rusia menarik pasukannya dari Crimea datang dari Ukraina dan negara-negara yang tergabung dalam NATO. Pengambil aliahn wilayah Crimea dilakukan oleh Rusia dengan menguasai gedung-gedung pemerintahan, infrastruktur komunikasi, pangkalan militer, dan juga gudang-gudang senjata.[1]
Setelah bergabungnya Crimea menjadi bagian dari Rusia, ketegangan antara Rusia dan Ukraina terus meningkat. Hal ini dapat dilihat dari pengiriman sejumlah pasukan Rusia ke wilayah Ukraina. Aneksasi yang dilakukan Rusia terhadap Ukraina menjadi titik awal diamna konflik ini bergejolak. Pada masa Uni Soviet, wilayah Crimea telah menjadi salah satu pangkalan militer Uni Soviet untuk menguasai  area Laut Hitam. Setelah Uni Soviet runtuh, Rusia tetap menjadikan kawasan tersebut sebagai pangkalan militernya dengan membayar sewa kepada Ukraina. Selain itu pembentukan negara baru telah dideklarasikan dan bendera Rusia telah berkibar di atas sebuah gedung parlemen lokal di Simferopol Crimea.
Selain Rusia dan Ukraina, ketegangan juga dirasakan oleh negara-negara sekitar yang tergabung dalam NATO. Hal ini ditandai dengan pengiriman sejumlah pesawat tempur milik Inggris dan Perancis untuk melakukan operasi, melindungi negara-negara anggota NATO yang berada di kawasan Eropa Timur dan Baltik. Selain mengirim pesawat tempurnya, Prancis juga sudah mengirimkan 70 personel militer dan sejumlah kapal perang untuk berpatroli di kawasan tersebut.[2]
Tidak seperti saat perang dingin, saat ini semua negara-negara di dunia telah terkoneksi satu dengan lainnya. Sehingga satu masalah yang terjadi di sebuah wilayah akan memiliki dampak kepada wilayah sekitarnya. Meskipun aneksasi negara yang berdaulat bukan lagi menjadi trend di masa modern ini. Namun yang demikian masih menjadi sebuah hal yang rasional dalam perspektif realis.

Pandangan Realis Dalam Krisis Keamanan Rusia-Ukraina
Realisme merupakan salah satu perspektif utama dalam studi Hubungan Internasional. Realisme dimaknai sebagai perspektif mengenai politik internasional yang menitikberatkan pada sisi konflik dan kompetisi. Perspektif ini meyakini bahwa politik dunia berjalan dengan sistem anarki internasional negara-negara berdaulat, dimana tidak ada kekuasaan tertinggi di atas negara. Segala macam aktivitas politik menitikberatkan pada tujuan kekuasaan, alat-alat kekuasaan dan penggunaan kekuasaan. Dengan demikian, politik internasional digambarkan sebagai “politik kekuatan”.
Selain itu, realisme juga meyakini bahwa tidak ada kewajiban internasional dalam moral antar negara-negara merdeka. Menurut Machiavelli, salah satu tokoh realis, menganggap bahwa nilai politik tertinggi adalah kebebasan nasional yaitu kemerdekaan. Negara harus bertanggung jawab atas kelangsungan hidup dan stabilitas nasionalnya karena tidak akan ada negara lain yang bersedia membantu jika negara tersebut mengalami kesulitan. Jika pun ada, maka sudah dipastikan bahwa ada maksud terselubung di balik bantuan yang diberikan. Oleh karena itu, setiap negara harus berupaya mencari keunggulan dan mempertahankan kepentingan negaranya serta menjamin kelangsungan hidupnya.
Asusmsi dasar mengenai pandangan yang pesimis terhadap sifat manusia, keyakinan bahwa hubungan internasional sifatnya adalah konfliktual, menjunjung tinggi nilai-nilai keamanan , serta skeptis terhadap kemajuan politik internasional merupakan ide pokok dari pemikiran realis. Keempat hal tersebut dapat kita lihat melalui krisis keamanan yang terjadi antara Rusia dan Ukraina pada di awal tahun 2014 lalu.  Yang mana terjadi ketegangan antara Ukraina terhadap aksi Rusia yang mengambil alih wilayah Crimea dan menjadikannya bagian dari Negara Rusia. Keinginan untuk berkuasa yang dengan didukung oleh sumber kekuatan yang kuat, menjadikan Rusia berani untuk menganeksasi Crimea. Hal ini juga sebagaimana yang menjadi dasar realisme yang mengambarkan, bahwa yang paling utama dari politik internasional adalah politik kekuasaan.[3]
Dalam pandangan realis, kepentingan nasional memiliki arti khusus sebagai kekuatan strategis. Dimana Realis mengkonsepsikan kepentingan nasional sebagai kondisi permanen yang memberikan panduan rasional kepada para pembuat kebijakan untuk bertindak.[4] Maka negara harus dapat memastikan bahwa terdapat adanya keseimbangan kekuatan antar negara yang nyata dalam sistem internasional. Dalam kasus ini, Rusia melihat pengambilan alih kekuasaan atas Wilayah Crimea merupakan sebuah bentuk rasionalitas dari kepentingan nasionalnya. Menginggat terdapat pangkalan militer Rusia yang telah ada sejak masa Uni Soviet berkuasa. Dan setelah keruntuhannya Rusia harus menyewanya kepada Ukraina.
Dalam hal nasionalisme, kaum realis mengkonsepsikan nasionalisme sebagai kekuatan yang mendamaikan benturan kepentingan antar kelas dalam negara. Untuk menghindari ataupun meminimalisir adanya benturan kepentingan nasional dan timbulnya perang. Dalam hal aneksasi yang dilakukan Rusia terhadap Crimea dengan mengunakan nasionalisme untuk mengintervensi dan mengatasnamakan etnis Rusia  sebagai sumber legtimasinya di Crimea. Sebisa mungkin Rusia berusaha untuk melindungi kepentingan negara dan Rakyat Rusia yang ada di sana dari ancaman luar. Disisi lain, pengambil alih kedaulatan Crimea oleh membuat Rusia mengabaikan prinsip-prinsip moral yang disetujui secara universal oleh dunia internasional, yaitu sebuah prinsip akan kedaulatan suatu negara. Karena kaum realis berpendapat, prinsip moral universal tidak menuntun sikap negara untuk mencapai tujuan dari kepentingan nasionalnya .
Realisme mempertahankan pandangan bahwa pencarian kekuasaan dan keamanan nasional adalah logika dominan dalam politik global.[5] Maka tidak heran dalam melihat krisis keamanan yang terjadi antara Rusia dan Ukraina, Kaum Realis dapat mengatakan apa yang dilakukan oleh Rusia dengan menganekasasi Crimea merupakan salah satu bentuk dari bagaimana Rusia berusaha untuk mencapai kekuasaan.
Selain itu, invasi militer yang hampir dilakukan oleh Rusia dengan mengirimkan pasukanya ke perbatasan Ukraina dan respon Ukraina terhadap ancaman tersebut dalam kacamata realis dapat dikatagorikan sebagai usaha dari negara yang mencoba untuk mempertahankan keamanan dan kedaulatan antara kedua negara khususnya kedaulatan Ukraina yang berusaha dikuasai oleh Rusia. Peristiwa tersebut juga dapat dlihat sebagai respon dari Ukraina terhadap ancaman militer Rusia yang dipersepsikan juga akan berusaha mengambil alih kedaulatan negara tersebut. Selain itu karena perspektif realis juga menekankan pada konsep power, maka respon Ukraina tersebut juga dituntut untuk dapat menahan kekuatan militer dari Rusia.
Perspektif Realis juga melihat respon Ukraina yang juga mengirimkan armada militernya, sebagai bentuk penyeimbangan kekuatan militer sebagai respon terhadap kekuatan militer Rusia. Karena kaum realis berpendapat, bahwa  langkah yang demikian, meskipun tidak dapat menjamin perang itu akan terjadi, paling tidak langkah ini dapat mengurangi resiko dari terjadinya perang itu sendiri. Dan salah satu aspek yang juga digunakan oleh realis dalam melakukan pretahanan dari luar negara salah satunya adalah dapat meminimalisir resiko keamanan yang akan terjadi. Karena dengan adanya respon Ukraina terhadap pergertakan militer Rusia sebagaimana realis melihat merupakan sebuah cara untuk mencegah terjadinya penguasaan kekuatan yang hegemonik oleh negara yang memiliki kekuatan lebih besar seperti Rusia.
Dalam kasus ini dapat dilihat bagaimana sikap Rusia dan Ukraina yang meskipun sudah berada di ambang perang namun tidak satupun dari kedua negara tersebut yang melakukan serangan antara satu dengan lainnya. Perimbangan kekuatan kedua negara tersebut menjadikan keduanya dalam siuasi apa yang kemudian dinamakan oleh kaum realis sebagai situasi dilemma keamanan dimana pencapaian keamanan domestik melalui penciptaan negara yang selalu disertai oleh kondisi ketidakamanan internasional yang berakar pada sistem anarki. Meskipun demikian situasi ini juga dapat dilihat sebagai kepentingan nasional kedua negara yang sama-sama ingin mempertahankan kedaulatannya. Bagi Rusia Ukraina yang dianggap sebagai halamannya karena berbagi ribuan kilometer garis perbatasan mulai dikuasai Barat. Rusia beranggapan bahwa perlu adanya perlindungan warga negara di Crimea yang pada dasarnya memberikan loyalitasnya kepada Rusia tersebut karena posisi Ukraine yang tidak stabil yang justru membahayakan bagi Crimea.
Sifat internasional yang anarki dalam realis juga digambarkan jelas dengan bagaimana respon Rusia yang tidak menghiraukan kecaman dari NATO serta Amerika Serikat yang meminta Rusia untuk menarik mundur pasukannya dari Crimea dan patuh kepada aturan internasional. Langkah  Rusia yang mempersepsikan kekuatan negara sebagai kekuatan utama membuat negara-negara seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa khawatir akan terjadinya perang di kawasan tersebut. Lemahnya kekuatan militer yang dimiliki oleh Ukraine untuk membuat perlawanan terhadap invasi pasukan militer Russia yang semakin besar, sehingga menjadikan posisi Ukraina merasa terancam dan berusaha mencari pertolongan ke dunia internasional dengan menunjukkan keadaannya yang terpuruk atas invasi militer Rusia tersebut. Karena bagi perspektif realis tidak akan terdapat sebuah kedamaian yang sifatnya permanen atau terjamin diantara negara-negara berdaulat. Selain itu dalam perspektif realis, hukum akan dipatuhi jika berada dalam kepentingan keamanan dan kelangsungan hidup negara untuk melakukannya.[6]
Realis melihat, pergolakan yang terjadi pada sisi militer kedua negara yang menjadikan kekuatan militer tersebut sebagai alat politik berkaitan dengan pertahanan keamanan negara, menjadi salah satu elemen penting bagi power suatu negara. Hal ini ditandai dengan sikap Rusia dibawah Vladimir Putin yang tetap melaksanakan uji coba beberapa rudal balistik antar benua meski konflik wilayah saat itu sedang memanas. Selain menembakan beberapa rudal, ditengah situasi memanasnya hubungan kedua negara tersebut. Rusia juga melakukan latihan manuver pada pesawat-pesawat tempurnya di selat Inggris. Meskipun menurut Vladimir Putin sendiri, latihan militer tersebut tidak ada kaitannya dengan krisis yang terjadi di Ukraina namun kaum realis dapat melihat bagaimana Rusia mencoba untuk menunjukkan kekuatan negaranya yang kemudian direspon oleh Ukraina sebagai faktor ancaman. Selain sebagai bentuk untuk menunjukkan kekuatan militernya. Latihan tersebut juga dipandang oleh kaum realis sebagai respon Rusia yang merasa terancam dengan keberadaan perisai anti-rudal AS yang sedang dibangun di Eropa karena dapat menganggu keamanan di Rusia.
Peluncuran rudal tersebut menyusul keputusan Rusia mengirim pasukan ke wilayah Crimea di Ukraina Selatan. Terkait pengiriman pasukan tersebut, Moskwa beralasan bahwa kehidupan warga etnis Rusia di sana terancam oleh pergolakan politik di Ukraina. Dengan dalih tidak ingin campur tangan terhadap Ukraina, pengiriman aksi militer ini dianggap sebagai hak dasar negara Rusia untuk melindungi orang-orang berbahasa Rusia di selatan dan timur Rusia dan tidak ada tujuan perang dengan rakyat Ukraina. Kekuatan militer yang ditunjukkan oleh Rusia kepada Ukraina dapat dilihat melalu kacamata realis sebagai bentuk distirbution of power untuk mencoba mendominasi Ukraina.
Sikap pemimpin Rusia, Vladimir Putin, dalam masalah Krisis Ukraina ini sangat nyata halnya dengan bagaimana sikap pemimpin yang dikemukakan oleh Machiavelli. Menurut Machiavelli, seorang pemimpin harus dapat menentukan kebijakan luar negeri. Dimana, seorang pemimpin diharuskan mempunyai power yang kuat dan harus mempunyai sifat cerdik dengan penggunaan power tersebut. Dengan demikian, pemimpin dapat mempertahankan negara atau menyerang negara yang mempunyai power lemah untuk memperluas kekuasaan. Machiavelli menambahkan, bahwa pemimpin juga harus mampu mengumpulkan kekuasaan agar apat memenuhi kepentingan pribadi dan kelangsungan hidup negara dan rakyatnya. Selain itu, pemimpin juga membutuhkan kecerdikan dalam mengejar kepentingannya.
Hal tersebut dapat dilihat dai langkah Putin dalam mengirimkan pasukan militer ke Ukraina merupakan penolakan langsung terhadap para pemimpin Barat yang berulang kali mendesak Rusia untuk tidak melakukan intervensi terhadap Ukraina. Salah satunya Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, yang menyampaikan kepada Presiden Rusia bahwa Rusia telah melanggar hukum internasional dengan mengirimkan pasukan ke Ukraina.
Menanggapi hal ini, Putin membantah semua tuduhan bahwa pasukan Rusia ikut campur dalam peristiwa yang tengah terjadi di Ukraina. Putin menganggap bahwa, mengenai Crimea, sudah diputuskan oleh hasil referendum di semenanjung dimana Rusia tidak berencana untuk mengambil tindakan militer apapun di Crimea melainkan Rusia ingin menjalin hubungan dalam realitas geopolitis. Namun, tindakan pengiriman pasukan militer Rusia tersebut hanya dikarenakan adanya ancaman nyata terhadap penduduk berbahasa Rusia.
Selain itu, bagaimana langkah seorang pemimpin Rusia yang cerdik juga digambarkan saat masuknya pasukan bersenjata Rusia ke Ukraina yang mulai berjalan setelah adanya kesepakatan antara Majelis Parlemen Rusia yang menyepakati permintaan Presiden Vladimir Putin untuk mengerahkan pasukan Rusia di Ukraina. Alasan dari Putin adalah, agar Rusia dapat mengawasi daerah tersebut sampai kondisi politik di negara tersebut normal. Hal ini dikarenakan Crimea yang merupakan tempat bagi sebagian besar etnik Rusia dan terkait otorisasi penggunaan kekuatan di Ukraina adalah untuk melindungi warga Rusia.
Atas tindakan Putin tersebut, pemerintahan baru Ukraina memperingatkan kemungkinan perang dan menempatkan pasukannya dalam siaga tinggi. Selain itu, pemerintah Ukraina juga telah meminta bantuan kepada NATO untuk mengkaji segala kemungkinan untuk melindungi integritas teritorial dan kedaulatan Ukraina. Menurut Perdana Menteri Ukraina, Arseny Yatseniuk, tindakan militer Rusia tersebut dapat menjadi awal perang dan akhir dari hubungan antara Ukraina dan Rusia. Karena dalam realis, etika hubungan internasional adalah etika situasional atau politik yang berbeda jauh dari moralitas pribadi.
Penutup
Realis melihat bahwa krisis keamanan yang terjadi antara Rusia dan Ukraina merupakan sebuah bentuk dari bagaimana kedua negara yang sama-sama mencoba untuk mempertahankan kedaulatannya dimana negara menjadi aktor. Disisi lain, kepentingan nasional Rusia yang menuntun kebijakan luar negerinya untuk menguasai wilayah Crimea meskipun dengan alasan terdapat banyak etnis Rusia yang tinggal diwilayah tersebut namun realis tetap melihatnya sebagai kepentingan Rusia untuk dapat menguasai wilayah tersebut karena wilayah tersebut meruapkan pangkalan militer Rusia di Laut Hitam. Respon Ukraina terhadap militer Rusia juga dapat dilihat sebagai sebuah fenomena bagaimana Ukraina berusaha untuk menjadi penyeimbang dengan mengirimkan armada militernya. Dalam krisis keamanan ini, terlihat jelas bagaimana power politics dan distribution of power kedua negara sama-sama memainkan peran penting dalam situasi ini.
Referensi:
Jackson, R., & Georg Sorensen, 2005. Pengantar Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Goldstein, Joshua S., 2005. International Relations, Pearson/Longman
Schouten, Peer., Bambang Wahyu Nugroho & Ahmad Hanafi Rais, 2012. Theory Talks: Perbincangan Pakar Sedunia tentang Teori Hubungan Internasional Abad ke-21, LP3M & PPSK, Yogyakarta
Burchill, Scott. Andrew Linklater. “Teori-Teori Hubungan Internasional”.Nusamedia, Bandung 1996.

Mansbach, Richard W, & Kirsten L. Rafferty. “ Introduction to Global Politics”. Nusamedia, Bandung 2012.


Website:
“Tentang Putin, Ukraina dan Militer Rusia” dalam http://jakartagreater.com/tentang-putin-ukraina-dan-militer-rusia/ 
“Rusia dan Ukraina di Ambang Perang” dalam http://jakartagreater.com/rusia-dan-ukraina-di-ambang-perang/
“Krisis Ukraina: Rusia Uji Rudal Balistik” dalam http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2014/03/140305_rusia_misil.shtml







[1] Oleh Oleksandr V. Turchynov. Dalam, “Kiev’s Message to Moscow, Ukraine’s President Rebuffs Russian ‘Imprealism’. 11 Maret 2014. Diakeses melalui http://www.nytimes.com/2014/03/12/ukraines-president-rebuffs-russian-imperialism.html. Pada tanggal 7 Juni 2014.
[2] Dalam, “Ketegangan Rusia-Ukraina Meningkat, Inggris dan Perancis Kirim Jet Tempur”. Senin 28 April 2014. Diakses melalui http://www.tribunnews.com/ketegangan-rusia-ukraina-meningkat-inggris-dan-perancis-kirim-jet-tempur. Pada tanggal 7 Juni 2014.
[3] Jackson, Robert. Georg Sorensen. “Pengantar Studi Hubungan Internasional”. Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2009. Hal 88.
[4] Burchill, Scott. Andrew Linklater. “Teori-Teori Hubungan Internasional”.Nusamedia, Bandung 1996. Hal 104.
[5] Ibid, Hal 110.
[6] Jackson, Robert. Georg Sorensen. Opcit hal: 98

Tidak ada komentar:

Posting Komentar