Oleh:
Febrilya Widiartanti , Arfianto Rifki , Haryo Prasodjo
Pendahuluan
Dalam
dua dekade terakhir, Rusia tidak pernah melakukan intervensi di luar perbatasan
dan mengatasnamakan diaspora etnis Rusia. Krisis antara Rusia dan kraina
dimulai saat Rusia mengirimkan pasukannya ke Crimea. Meskipun berbagai kecaman
agar Rusia menarik pasukannya dari Crimea datang dari Ukraina dan negara-negara
yang tergabung dalam NATO. Pengambil aliahn wilayah Crimea dilakukan oleh Rusia
dengan menguasai gedung-gedung pemerintahan, infrastruktur komunikasi,
pangkalan militer, dan juga gudang-gudang senjata.[1]
Setelah
bergabungnya Crimea menjadi bagian dari Rusia, ketegangan antara Rusia dan
Ukraina terus meningkat. Hal ini dapat dilihat dari pengiriman sejumlah pasukan
Rusia ke wilayah Ukraina. Aneksasi yang dilakukan Rusia terhadap Ukraina
menjadi titik awal diamna konflik ini bergejolak. Pada masa Uni Soviet, wilayah
Crimea telah menjadi salah satu pangkalan militer Uni Soviet untuk
menguasai area Laut Hitam. Setelah Uni
Soviet runtuh, Rusia tetap menjadikan kawasan tersebut sebagai pangkalan
militernya dengan membayar sewa kepada Ukraina. Selain itu pembentukan negara
baru telah dideklarasikan dan bendera Rusia telah berkibar di atas sebuah
gedung parlemen lokal di Simferopol Crimea.
Selain
Rusia dan Ukraina, ketegangan juga dirasakan oleh negara-negara sekitar yang
tergabung dalam NATO. Hal ini ditandai dengan pengiriman sejumlah pesawat
tempur milik Inggris dan Perancis untuk melakukan operasi, melindungi
negara-negara anggota NATO yang berada di kawasan Eropa Timur dan Baltik.
Selain mengirim pesawat tempurnya, Prancis juga sudah mengirimkan 70 personel
militer dan sejumlah kapal perang untuk berpatroli di kawasan tersebut.[2]
Tidak
seperti saat perang dingin, saat ini semua negara-negara di dunia telah
terkoneksi satu dengan lainnya. Sehingga satu masalah yang terjadi di sebuah
wilayah akan memiliki dampak kepada wilayah sekitarnya. Meskipun aneksasi negara
yang berdaulat bukan lagi menjadi trend di masa modern ini. Namun yang demikian
masih menjadi sebuah hal yang rasional dalam perspektif realis.
Pandangan Realis Dalam Krisis Keamanan
Rusia-Ukraina
Realisme
merupakan salah satu perspektif utama dalam studi Hubungan Internasional.
Realisme dimaknai sebagai perspektif mengenai politik internasional yang
menitikberatkan pada sisi konflik dan kompetisi. Perspektif ini meyakini bahwa
politik dunia berjalan dengan sistem anarki internasional negara-negara
berdaulat, dimana tidak ada kekuasaan tertinggi di atas negara. Segala macam
aktivitas politik menitikberatkan pada tujuan kekuasaan, alat-alat kekuasaan
dan penggunaan kekuasaan. Dengan demikian, politik internasional digambarkan
sebagai “politik kekuatan”.
Selain
itu, realisme juga meyakini bahwa tidak ada kewajiban internasional dalam moral
antar negara-negara merdeka. Menurut Machiavelli, salah satu tokoh realis,
menganggap bahwa nilai politik tertinggi adalah kebebasan nasional yaitu
kemerdekaan. Negara harus bertanggung jawab atas kelangsungan hidup dan
stabilitas nasionalnya karena tidak akan ada negara lain yang bersedia membantu
jika negara tersebut mengalami kesulitan. Jika pun ada, maka sudah dipastikan
bahwa ada maksud terselubung di balik bantuan yang diberikan. Oleh karena itu,
setiap negara harus berupaya mencari keunggulan dan mempertahankan kepentingan
negaranya serta menjamin kelangsungan hidupnya.
Asusmsi
dasar mengenai pandangan yang pesimis terhadap sifat manusia, keyakinan bahwa
hubungan internasional sifatnya adalah konfliktual, menjunjung tinggi
nilai-nilai keamanan , serta skeptis terhadap kemajuan politik internasional
merupakan ide pokok dari pemikiran realis. Keempat hal tersebut dapat kita
lihat melalui krisis keamanan yang terjadi antara Rusia dan Ukraina pada di
awal tahun 2014 lalu. Yang mana terjadi
ketegangan antara Ukraina terhadap aksi Rusia yang mengambil alih wilayah
Crimea dan menjadikannya bagian dari Negara Rusia. Keinginan untuk berkuasa
yang dengan didukung oleh sumber kekuatan yang kuat, menjadikan Rusia berani
untuk menganeksasi Crimea. Hal ini juga sebagaimana yang menjadi dasar realisme
yang mengambarkan, bahwa yang paling utama dari politik internasional adalah
politik kekuasaan.[3]
Dalam
pandangan realis, kepentingan nasional memiliki arti khusus sebagai kekuatan
strategis. Dimana Realis mengkonsepsikan kepentingan nasional sebagai kondisi
permanen yang memberikan panduan rasional kepada para pembuat kebijakan untuk
bertindak.[4] Maka
negara harus dapat memastikan bahwa terdapat adanya keseimbangan kekuatan antar
negara yang nyata dalam sistem internasional. Dalam kasus ini, Rusia melihat
pengambilan alih kekuasaan atas Wilayah Crimea merupakan sebuah bentuk rasionalitas
dari kepentingan nasionalnya. Menginggat terdapat pangkalan militer Rusia yang
telah ada sejak masa Uni Soviet berkuasa. Dan setelah keruntuhannya Rusia harus
menyewanya kepada Ukraina.
Dalam
hal nasionalisme, kaum realis mengkonsepsikan nasionalisme sebagai kekuatan
yang mendamaikan benturan kepentingan antar kelas dalam negara. Untuk
menghindari ataupun meminimalisir adanya benturan kepentingan nasional dan
timbulnya perang. Dalam hal aneksasi yang dilakukan Rusia terhadap Crimea
dengan mengunakan nasionalisme untuk mengintervensi dan mengatasnamakan etnis
Rusia sebagai sumber legtimasinya di
Crimea. Sebisa mungkin Rusia berusaha untuk melindungi kepentingan negara dan
Rakyat Rusia yang ada di sana dari ancaman luar. Disisi lain, pengambil alih
kedaulatan Crimea oleh membuat Rusia mengabaikan prinsip-prinsip moral yang
disetujui secara universal oleh dunia internasional, yaitu sebuah prinsip akan
kedaulatan suatu negara. Karena kaum realis berpendapat, prinsip moral
universal tidak menuntun sikap negara untuk mencapai tujuan dari kepentingan
nasionalnya .
Realisme
mempertahankan pandangan bahwa pencarian kekuasaan dan keamanan nasional adalah
logika dominan dalam politik global.[5]
Maka tidak heran dalam melihat krisis keamanan yang terjadi antara Rusia dan
Ukraina, Kaum Realis dapat mengatakan apa yang dilakukan oleh Rusia dengan
menganekasasi Crimea merupakan salah satu bentuk dari bagaimana Rusia berusaha
untuk mencapai kekuasaan.
Selain
itu, invasi militer yang hampir dilakukan oleh Rusia dengan mengirimkan
pasukanya ke perbatasan Ukraina dan respon Ukraina terhadap ancaman tersebut
dalam kacamata realis dapat dikatagorikan sebagai usaha dari negara yang
mencoba untuk mempertahankan keamanan dan kedaulatan antara kedua negara
khususnya kedaulatan Ukraina yang berusaha dikuasai oleh Rusia. Peristiwa
tersebut juga dapat dlihat sebagai respon dari Ukraina terhadap ancaman militer
Rusia yang dipersepsikan juga akan berusaha mengambil alih kedaulatan negara
tersebut. Selain itu karena perspektif realis juga menekankan pada konsep
power, maka respon Ukraina tersebut juga dituntut untuk dapat menahan kekuatan
militer dari Rusia.
Perspektif
Realis juga melihat respon Ukraina yang juga mengirimkan armada militernya,
sebagai bentuk penyeimbangan kekuatan militer sebagai respon terhadap kekuatan
militer Rusia. Karena kaum realis berpendapat, bahwa langkah yang demikian, meskipun tidak dapat
menjamin perang itu akan terjadi, paling tidak langkah ini dapat mengurangi
resiko dari terjadinya perang itu sendiri. Dan salah satu aspek yang juga
digunakan oleh realis dalam melakukan pretahanan dari luar negara salah satunya
adalah dapat meminimalisir resiko keamanan yang akan terjadi. Karena dengan
adanya respon Ukraina terhadap pergertakan militer Rusia sebagaimana realis
melihat merupakan sebuah cara untuk mencegah terjadinya penguasaan kekuatan
yang hegemonik oleh negara yang memiliki kekuatan lebih besar seperti Rusia.
Dalam
kasus ini dapat dilihat bagaimana sikap Rusia dan Ukraina yang meskipun sudah
berada di ambang perang namun tidak satupun dari kedua negara tersebut yang
melakukan serangan antara satu dengan lainnya. Perimbangan
kekuatan kedua negara tersebut menjadikan keduanya dalam siuasi apa yang kemudian
dinamakan oleh kaum realis sebagai situasi dilemma keamanan dimana pencapaian
keamanan domestik melalui penciptaan negara yang selalu disertai oleh kondisi
ketidakamanan internasional yang berakar pada sistem anarki. Meskipun demikian situasi
ini juga dapat dilihat sebagai kepentingan nasional kedua negara yang sama-sama
ingin mempertahankan kedaulatannya. Bagi Rusia Ukraina yang dianggap sebagai
halamannya karena berbagi ribuan kilometer garis perbatasan mulai dikuasai
Barat. Rusia
beranggapan bahwa perlu adanya perlindungan warga negara di Crimea yang pada
dasarnya memberikan loyalitasnya kepada Rusia tersebut karena
posisi Ukraine yang tidak stabil yang justru membahayakan bagi Crimea.
Sifat internasional yang anarki dalam realis
juga digambarkan jelas dengan bagaimana respon Rusia yang tidak menghiraukan
kecaman dari NATO serta Amerika Serikat yang meminta Rusia untuk menarik mundur
pasukannya dari Crimea dan patuh kepada aturan internasional. Langkah Rusia yang mempersepsikan kekuatan negara
sebagai kekuatan utama membuat negara-negara seperti Amerika Serikat dan Uni
Eropa khawatir akan terjadinya perang di kawasan tersebut. Lemahnya kekuatan
militer yang dimiliki oleh Ukraine untuk membuat perlawanan terhadap invasi
pasukan militer Russia yang semakin besar, sehingga menjadikan posisi Ukraina merasa terancam dan
berusaha mencari pertolongan ke dunia internasional dengan menunjukkan
keadaannya yang terpuruk atas invasi militer Rusia tersebut. Karena bagi perspektif realis tidak akan terdapat sebuah
kedamaian yang sifatnya permanen atau terjamin diantara negara-negara
berdaulat. Selain itu dalam perspektif realis, hukum akan dipatuhi jika berada
dalam kepentingan keamanan dan kelangsungan hidup negara untuk melakukannya.[6]
Realis
melihat, pergolakan yang terjadi pada sisi militer kedua negara yang menjadikan
kekuatan militer tersebut sebagai alat politik berkaitan dengan pertahanan
keamanan negara, menjadi salah satu elemen penting bagi power suatu negara. Hal
ini ditandai dengan sikap Rusia dibawah Vladimir Putin yang tetap melaksanakan
uji coba beberapa rudal balistik antar benua meski konflik wilayah saat itu
sedang memanas. Selain menembakan beberapa rudal, ditengah situasi memanasnya hubungan
kedua negara tersebut. Rusia juga melakukan latihan manuver pada
pesawat-pesawat tempurnya di selat Inggris. Meskipun menurut Vladimir Putin
sendiri, latihan militer tersebut tidak ada kaitannya dengan krisis yang
terjadi di Ukraina namun kaum realis dapat melihat bagaimana Rusia mencoba
untuk menunjukkan kekuatan negaranya yang kemudian direspon oleh Ukraina
sebagai faktor ancaman. Selain sebagai bentuk untuk menunjukkan kekuatan
militernya. Latihan tersebut juga dipandang oleh kaum realis sebagai respon
Rusia yang merasa terancam dengan keberadaan perisai anti-rudal AS yang sedang
dibangun di Eropa karena dapat menganggu keamanan di Rusia.
Peluncuran
rudal tersebut menyusul keputusan Rusia mengirim pasukan ke wilayah Crimea di
Ukraina Selatan. Terkait pengiriman pasukan tersebut, Moskwa beralasan bahwa
kehidupan warga etnis Rusia di sana terancam oleh pergolakan politik di
Ukraina. Dengan dalih tidak ingin campur tangan terhadap Ukraina, pengiriman
aksi militer ini dianggap sebagai hak dasar negara Rusia untuk melindungi
orang-orang berbahasa Rusia di selatan dan timur Rusia dan tidak ada tujuan
perang dengan rakyat Ukraina. Kekuatan militer yang ditunjukkan oleh Rusia
kepada Ukraina dapat dilihat melalu kacamata realis sebagai bentuk distirbution of power untuk mencoba
mendominasi Ukraina.
Sikap
pemimpin Rusia, Vladimir Putin, dalam masalah Krisis Ukraina ini sangat nyata
halnya dengan bagaimana sikap pemimpin yang dikemukakan oleh Machiavelli.
Menurut Machiavelli, seorang pemimpin harus dapat menentukan kebijakan luar
negeri. Dimana, seorang pemimpin diharuskan mempunyai power yang kuat dan harus mempunyai sifat cerdik dengan penggunaan power tersebut. Dengan demikian,
pemimpin dapat mempertahankan negara atau menyerang negara yang mempunyai power lemah untuk memperluas kekuasaan.
Machiavelli menambahkan, bahwa pemimpin juga harus mampu mengumpulkan kekuasaan
agar apat memenuhi kepentingan pribadi dan kelangsungan hidup negara dan
rakyatnya. Selain itu, pemimpin juga membutuhkan kecerdikan dalam mengejar
kepentingannya.
Hal
tersebut dapat dilihat dai langkah Putin dalam mengirimkan pasukan militer ke
Ukraina merupakan penolakan langsung terhadap para pemimpin Barat yang berulang
kali mendesak Rusia untuk tidak melakukan intervensi terhadap Ukraina. Salah
satunya Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, yang menyampaikan kepada
Presiden Rusia bahwa Rusia telah melanggar hukum internasional dengan
mengirimkan pasukan ke Ukraina.
Menanggapi
hal ini, Putin membantah semua tuduhan bahwa pasukan Rusia ikut campur dalam
peristiwa yang tengah terjadi di Ukraina. Putin menganggap bahwa, mengenai
Crimea, sudah diputuskan oleh hasil referendum di semenanjung dimana Rusia
tidak berencana untuk mengambil tindakan militer apapun di Crimea melainkan
Rusia ingin menjalin hubungan dalam realitas geopolitis. Namun, tindakan
pengiriman pasukan militer Rusia tersebut hanya dikarenakan adanya ancaman
nyata terhadap penduduk berbahasa Rusia.
Selain
itu, bagaimana langkah seorang pemimpin Rusia yang cerdik juga digambarkan saat
masuknya pasukan bersenjata Rusia ke Ukraina yang mulai berjalan setelah adanya
kesepakatan antara Majelis Parlemen Rusia yang menyepakati permintaan Presiden
Vladimir Putin untuk mengerahkan pasukan Rusia di Ukraina. Alasan dari Putin
adalah, agar Rusia dapat mengawasi daerah tersebut sampai kondisi politik di
negara tersebut normal. Hal ini dikarenakan Crimea yang merupakan tempat bagi
sebagian besar etnik Rusia dan terkait otorisasi penggunaan kekuatan di Ukraina
adalah untuk melindungi warga Rusia.
Atas
tindakan Putin tersebut, pemerintahan baru Ukraina memperingatkan kemungkinan
perang dan menempatkan pasukannya dalam siaga tinggi. Selain itu, pemerintah
Ukraina juga telah meminta bantuan kepada NATO untuk mengkaji segala
kemungkinan untuk melindungi integritas teritorial dan kedaulatan Ukraina.
Menurut Perdana Menteri Ukraina, Arseny Yatseniuk, tindakan militer Rusia
tersebut dapat menjadi awal perang dan akhir dari hubungan antara Ukraina dan
Rusia. Karena dalam realis, etika hubungan internasional adalah etika
situasional atau politik yang berbeda jauh dari moralitas pribadi.
Penutup
Realis
melihat bahwa krisis keamanan yang terjadi antara Rusia dan Ukraina merupakan
sebuah bentuk dari bagaimana kedua negara yang sama-sama mencoba untuk
mempertahankan kedaulatannya dimana negara menjadi aktor. Disisi lain,
kepentingan nasional Rusia yang menuntun kebijakan luar negerinya untuk
menguasai wilayah Crimea meskipun dengan alasan terdapat banyak etnis Rusia
yang tinggal diwilayah tersebut namun realis tetap melihatnya sebagai
kepentingan Rusia untuk dapat menguasai wilayah tersebut karena wilayah
tersebut meruapkan pangkalan militer Rusia di Laut Hitam. Respon Ukraina
terhadap militer Rusia juga dapat dilihat sebagai sebuah fenomena bagaimana
Ukraina berusaha untuk menjadi penyeimbang dengan mengirimkan armada
militernya. Dalam krisis keamanan ini, terlihat jelas bagaimana power politics dan distribution of power kedua negara sama-sama memainkan peran
penting dalam situasi ini.
Referensi:
Jackson, R., & Georg Sorensen, 2005. Pengantar Studi Hubungan Internasional.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Goldstein, Joshua S., 2005. International Relations, Pearson/Longman
Schouten, Peer., Bambang Wahyu Nugroho & Ahmad
Hanafi Rais, 2012. Theory Talks:
Perbincangan Pakar Sedunia tentang Teori Hubungan Internasional Abad ke-21,
LP3M & PPSK, Yogyakarta
Burchill, Scott. Andrew
Linklater. “Teori-Teori Hubungan Internasional”.Nusamedia, Bandung 1996.
Mansbach, Richard W, &
Kirsten L. Rafferty. “ Introduction to Global Politics”. Nusamedia, Bandung
2012.
Website:
“Tentang Putin, Ukraina dan Militer Rusia” dalam http://jakartagreater.com/tentang-putin-ukraina-dan-militer-rusia/
“Rusia dan Ukraina di Ambang Perang” dalam http://jakartagreater.com/rusia-dan-ukraina-di-ambang-perang/
“Krisis Ukraina: Rusia Uji Rudal Balistik” dalam http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2014/03/140305_rusia_misil.shtml
“Rusia Uji
Rudal Balistik Saat Ketegangan Meninggi di Ukraina” dalam http://internasional.kompas.com/read/2014/03/05/1020345/Rusia.Uji.Rudal.Balistik.Saat.Ketegangan.Meninggi.di.Ukraina
“Rusia Lakukan Uji Coba Sejumlah Rudal Balistik”
dalam http://internasional.kompas.com/read/2014/05/08/2100283/Rusia.Lakukan.Uji.Coba.Sejumlah.Rudal.Balistik
[1] Oleh
Oleksandr V. Turchynov. Dalam, “Kiev’s Message to Moscow, Ukraine’s President
Rebuffs Russian ‘Imprealism’. 11 Maret 2014. Diakeses melalui http://www.nytimes.com/2014/03/12/ukraines-president-rebuffs-russian-imperialism.html.
Pada tanggal 7 Juni 2014.
[2] Dalam,
“Ketegangan Rusia-Ukraina Meningkat, Inggris dan Perancis Kirim Jet Tempur”.
Senin 28 April 2014. Diakses melalui http://www.tribunnews.com/ketegangan-rusia-ukraina-meningkat-inggris-dan-perancis-kirim-jet-tempur.
Pada tanggal 7 Juni 2014.
[3] Jackson,
Robert. Georg Sorensen. “Pengantar Studi
Hubungan Internasional”. Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2009. Hal 88.
[4]
Burchill, Scott. Andrew Linklater. “Teori-Teori
Hubungan Internasional”.Nusamedia, Bandung 1996. Hal 104.
[5] Ibid,
Hal 110.
[6] Jackson,
Robert. Georg Sorensen. Opcit hal: 98
Tidak ada komentar:
Posting Komentar