“Aku bersyukur dilahirkan di Indonesia, dimana senyum masih menjadi karakter, budaya masih apik terjaga, dan optimisme masih menyulut semangat. Aku berharap, anak-anakku kelak harus lebih bangga dariku dalam memandang dan memperjuangkan Indonesianya. Jaya Selalu Negeriku Indonesia, Jayalah Selama-lamanya”

Regionalisme Uni Eropa


Oleh: Astiwi Inayah, Citra Istiqomah, Dian Trianita Lestari, Feriana Kushindarti, Irani Siti N, Muhammad Nizar H, Nofansyah Ibrahim, Novi Rizka A, Reza Triarda, Siti Fadilah
Berbeda dengan contoh organisasi sebelumnya, Uni Eropa (European Union) banyak disebut oleh para akademisi sebagai contoh dari regionalisme yang berhasil atau efektif. Setidaknya, diantara banyak organisasi kawasan di dunia, Uni Eropa merupakan satu-satunya kawasan yang mampu untuk menciptakan lembaga supranasional yang efektif dalam mengatur interaksi antar negara-negara anggotanya, sekaligus sebagai lembaga dimana para anggotanya menyerahkan sebagian kedaulatanya kepada Uni Eropa.
Sejarah integrasi Uni Eropa dimulai ketika Belanda, Belgia, Italia, Jerman, Luksemburg, dan Perancis membentuk suatu organisasi yang bernama “Komunitas Batu Bara dan Baja Eropa” (European Coal and Steel Community) pada tanggal 18 April 1951 di Paris dan berlaku sejak 25 Juli 1952. Tujuan utama ECSC Treaty adalah penghapusan berbagai hambatan perdagangan dan menciptakan suatu pasar bersama dimana produk, pekerja, dan modal dari sector batu bara dan baja dari  negara-negara anggotanya dapat bergerak dengan bebas. Kerja sama itulah yang menjadi titik balik bagi Eropa untuk membentuk sebuah region (kawasan) yang kuat dan terintegrasi. lalu pada tahun 1957 dibentuklah EEC (European Economic Community) dan Euratom (European Atomic Energy Community). Kemudian pada tahun 1967 ketiganya melebur menjadi EC (European Community) dan pada akhirnya melalui penandatanganan Traktat Maastricht tahun 1992, terbentuklah EU (European Union) atau yang kita kenal sebagai Uni Eropa.
Dilihat dari awal sejarahnya, pembentukan Uni Eropa bisa dijelaskan menggunakan teori neo-fungsionalisme. Teori neo-fungsionalisme mengelaborasikan suatu pendekatan dimana sebuah regionalisme yang berhasil pada umunya diawali dengan kerja sama non-politik, misalnya dengan agenda ekonomi, sosial, ataupun kebudayaan. Kerja sama yang berhasil di bidang itu lambat laun akan membawa kerangka kerja sama sebuah regionalisme meluas (spill-over) pada agenda politik sebagai isu sensitif sebuah kerja sama.[1]

SAARC dan Inefektivitas Regionalisme


Oleh: Astiwi Inayah, Citra Istiqomah, Dian Trianita Lestari, Feriana Kushindarti, Irani Siti N, Muhammad Nizar H, Nofansyah Ibrahim, Novi Rizka A, Reza Triarda, Siti Fadilah 
Contoh regionalisme yang barangkali dapat digolongkan gagal atau tidak efektif adalah SAARC (The South Asian Association for Regional Cooperation). SAARC merupakan mekanisme kerja sama di berbagai bidang antara delapan negara di kawasan Asia Selatan, yaitu: Afghanistan, Bangladesh, Bhutan, Maldives, Nepal, Pakistan, dan Sri Lanka yang disepakati pada 8 Desember 1985.[1] Dalam dinamikanya, banyak pihak mengkritisi efektivitas peran SAARC ini karena kerja sama tersebut dinilai tidak memberikan keuntungan bagi negara-negara anggotanya maupun menciptakan stabilitas yang luas untuk mendorong terciptanya integrasi dan perdamaian. Hal tersebut dapat dilihat dari berbagai aspek, seperti struktur, esensi, dan tujuan kerja sama, sistem internasional, serta beberapa faktor terkait.
Faktor pertama yang mendasari inefektivitas SAARC ialah disfungsi organisasi tersebut dalam menghindarkan munculnya konflik antarnegara di kawasan Asia Selatan sendiri. Relasi konfliktual, terutama antara major powers yakni India dengan Pakistan jelas menjadi gambaran riil persaingan kekuatan sekaligus kontradiksi bagi terwujudnya integrasi dan perdamaian yang dimaksud. Realitanya, hubungan yang terjadi antara negara-negara di dalam kawasan ini justru menunjukkan adanya power-over di mana dominasi India untuk mengejar kepentingan nasionalnya sangatlah tampak. Sedangkan negara-negara lain yakni Pakistan, Bangladesh, Nepal, Bhutan, Sri Lanka, Maldives, dan Afghanistan hanya berada di bawah bayang-bayang kekuatan India yang kian menguat. Sejak India mereformasi kebijakan pasarnya di tahun 1991, pembangunan di sektor ekonomi melalui transformasi kebijakan luar negeri kian menjadi fokus pengembangan negara itu dan logikanya posisi SAARC dalam hal ini dimanfaatkan dengan baik oleh India sebagai instrumen untuk mengejar kepentingan, power, dan prestise negaranya.
Selain itu, faktor lain yang menyebabkan SAARC menjadi tidak efektif ialah lemahnya kapabilitas organisasi tersebut. Dari pandangan neo-realis, dapat dikatakan SAARC tidak memiliki tiga hal mendasar yang menjadi motif tindakan aktor dalam hubungan internasional, yakni power, prestise, dan keuntungan (relative gains).[2] Berbeda dengan organisasi yang ideal pada umumnya seperti PBB, SAARC tidak mempunyai kapabilitas sebagai potensi ancaman maupun deterrence bagi aktor-aktor lain dalam hubungan internasional. Karena ia tidak mampu menjadi kontra-hegemoni ataupun rezim internasional yang kuat, SAARC tidak dapat berkontribusi aktif dalam menciptakan kontrol atas kondisi politik global yang anarkis. Goodwill yang rendah dari negara-negara anggota SAARC untuk mendukung situasi balance of power serta kohesi yang lemah dalam tubuh SAARC sendiri tidak memungkinkan terciptanya pertimbangan-pertimbangan logis secara maksimal sebagai pilihan rasional (rational choice) untuk mencapai kekuatan dan prestise di mata dunia.

Efektivitas dan Inefektivitas Regionalisme: Studi Kasus EU dan SAARC


Oleh: Astiwi Inayah, Citra Istiqomah, Dian Trianita Lestari, Feriana Kushindarti, Irani Siti N, Muhammad Nizar H, Nofansyah Ibrahim, Novi Rizka A, Reza Triarda, Siti Fadilah 
Di tengah diskursus mengenai kemunculan regionalisme sebagai bagian dari globalisasi atau justru kontradiksi dari proses itu sendiri, masyarakat internasional mencoba menilai apakah regionalisme tersebut efektif atau tidak, baik dalam kaitannya dengan proses integrasi kawasan maupun integrasi global. Realitanya, sebuah regionalisme seringkali dipandang lebih berhasil dari pada regionalisme lain. Bagaimana konsepsi ini dibentuk? Bagaimana cara mengukurnya? Apa indikatornya? Bagaimana sebuah regionalisme dapat dikatakan berhasil ataupun gagal?
Pada dasarnya, tidak terdapat sebuah konsepsi standar yang secara luas digunakan sebagai indikator mutlak kesuksesan atau kegagalan maupun efektivitas atau inefektivitas sebuah regionalisme. Hal ini disebabkan oleh ketiadaan konsep dasar yang serupa mengenai regionalisme itu sendiri. Namun sesuai perkembangannya, masyarakat internasional, terutama para ahli dan akademisi berusaha merumuskan poin-poin yang dapat mengindikasikan apakah regionalisme dapat dikatakan berhasil atau tidak. Pertama, mengacu pada definisi dan perspektif yang melatarbelakangi kemunculan regionalisme yang pada hakikatnya merefleksikan kemana arah regionalisme itu seharusnya berjalan. Joseph Nye misalnya, menyatakan bahwa regionalisme merupakan “framework of interdependence” sebagai bentuk kohesivitas antarnegara dalam satu kawasan. Artinya, jika dalam sebuah kawasan tidak tercipta interdependensi atau saling ketergantungan, bagaimana regionalisme dapat dikatakan berhasil? Martin Griffiths dan Terry O’Callaghan juga memberikan definisi serupa, yakni intensifikasi proses kerja sama politik dan ekonomi antarnegara dan aktor-aktor lain dalam sebuah kawasan geografis tertentu.[1] Demikian pula dengan definisi yang dipaparkan oleh David Balaam dan Michael Veseth yang menjelaskan regionalisme sebagai proses persetujuan untuk bekerjasama dan berbagi tanggung jawab demi mencapai tujuan bersama.[2] Intensifikasi kerja sama ekonomi-politik dan proses share of responsibility menjadi penting sebagai prasyarat bagi eksistensi maupun efektivitas sebuah regionalisme.
Sementara itu, jika mengacu pada tiap-tiap perspektif ataupun teori, maka akan muncul varian indikator keberhasilan atau efektivitas yang berbeda pula. Menurut kaum neo-realis misalnya, regionalisme muncul sebagai respon terhadap perubahan hubungan keamanan dan kekuatan global. Sedangkan menurut neo-liberal, regionalisme muncul untuk memfasilitasi orde ekonomi liberal sekaligus sebagai respon peningkatan interdependensi yang memerlukan pelembagaan terutama pasca berakhirnya Perang Dingin. Di sisi lain, teori neo-fungsionalisme menyatakan bahwa kerja sama kawasan yang sukses semestinya diawali dari kerja sama non-politik yang nantinya akan memberi efek perluasan/spill-over ke arah kerja sama ekonomi, baru kemudian pada kerja sama politik.[3] Oleh sebab itu, regionalisme harus menjawab masing-masing tantangan ini untuk dapat dikatakan sebagai regionalisme yang berhasil. Jika tidak, maka regionalisme tersebut dapat dikatakan tidak fungsional.

Pengaruh Regionalisme terhadap Globalisasi


Oleh: Astiwi Inayah, Citra Istiqomah, Dian Trianita Lestari, Feriana Kushindarti, Irani Siti N, Muhammad Nizar H, Nofansyah Ibrahim, Novi Rizka A, Reza Triarda, Siti Fadilah    
Regionalisme adalah sebuah istilah yang sudah muncul sejak PD II berakhir, dimana terjadi fluktuasi atas fenomena tersebut, sampai akhirnya menjadi kajian menarik dalam hubungan internasional pada 1990-an. Regionalisme sendiri merupakan sebuah konsep mengenai bagaimana seharusnya hubungan antarnegara dikelola untuk memaksimalkan “gain”  atau keuntungan. Untuk itu, regionalisme perlu untuk melibatkan banyak aktor tidak hanya state melainkan aktor non-state seperti NGOs juga ikut andil.
Dalam kaca mata kaum neo-realis, regionalisme dipandang sebagai cara untuk mewujudkan kemakmuran dan perdamain internasional. Karena pada dasarnya, konsep ini akan berupaya meningkatkan hubungan antar negara dengan rule of the game yang saling mengikat antar anggotanya. Sehingga berbagai macam kerjasama mulai dari ekonomi, politik, dan sosial dapat berjalan dan saling menguntungkan semua pihak.
Berbicara mengenai regionalisme dan kaitannya dengan globalisasi, kedua fenomena tersebut memang berjalan dalam koridor yang bersamaan. Globalisasi muncul atas berkembangnya liberalisasi ekonomi dunia, yang melewati batas-batas kedaulatan negara. Sedangkan regionalisme, merupakan cara bagi pelaku pasar free trade itu melakukan ekspansi atas bisnis mereka.
Melalui regionalisme, upaya untuk memperluas bisnis MNCs menjadi semakin tampak jelas karena sada seperangkat aturan yang membolehkan para pemilik modal tersebut dengan leluasa membangun bisnis mereka di negara lain. Aturan tersebut diatur dalam perjanjian regionalisme, dan setiap negara yang terlibat di dalamnya wajib mengikuti aturan tersebut, meski pada akhirnya banyak juga agreements tersebut yang dilanggar.

Faktor-faktor Penyebab dan Pendorong Munculnya Regionalisme sebagai Isu Global




Oleh: Astiwi Inayah, Citra Istiqomah, Dian Trianita Lestari, Feriana Kushindarti, Irani Siti N, Muhammad Nizar H, Nofansyah Ibrahim, Novi Rizka A, Reza Triarda, Siti Fadilah                          

Latar belakang kemunculan regionalisme menjadi isu global tidak hanya dapat dijelaskan dari sisi bahwa hal tersebut merupakan isu transnasional/lintas-batas negara yang melibatkan interkonektivitas banyak pihak, namun juga dari masing-masing kerangka berpikir teoretik yang menjelaskan mengapa regionalisme muncul. Menurut kaum realis, dan kemudian diadopsi oleh neo-realis, regionalisme muncul sebagai respon terhadap perubahan security dan power, misalnya pada saat ASEAN dibentuk untuk membendung pengaruh penyebaran komunisme yang meningkat di Asia Tenggara pada pertengahan era 1960-an. Atau dalam kasus terbentuknya kerja sama di Eropa di awal 1950-an sebagai upaya konsolidasi perdamaian dan keamanan regional pasca Perang Dunia II. Lain halnya dengan realis dan neo-realis, kaum liberal dan neo-liberal menjelaskan bahwa regionalisme muncul untuk memfasilitasi orde ekonomi-liberal yang mencuat, terutama di Eropa pasca Perang Dunia II. Pada era 1980-an dan 1990-an, peningkatan interdependensi yang luar biasa memerlukan institusionalisasi. Karena pada masa itu GATT sempat mengalami kemacetan, liberalisasi perdagangan dilakukan melalui mekanisme kerja sama regional. Sementara itu, kaum strukturalis berargumen bahwa regionalisme merupakan akibat dari kepentingan MNC dan pengendali modal transnasional, serta akibat dari dorongan negara hegemon untuk mengendalikan kawasan.[1]
Muncul dan meluasnya regionalisme ekonomi menjadi respon penting negara-negara untuk bersama-sama menyelesaikan masalah-masalah politik dan interdependensi yang tinggi dalan ekonomi-politik global. Sejak Perang Dunia II berakhir, bentuk-bentuk kerja sama kawasan mulai muncul di berbagai tempat. Kerja sama kawasan bisa ditemukan di hampir semua kawasan di dunia. Bentuk-bentuk regionalisme baru lebih memiliki signifikansi dalam ekonomi global dibandingkan dengan regionalisme yang muncul pada era 1950-an dan 1960-an.[2]
Pada dasarnya, terdapat banyak faktor yang mendorong munculnya kerja sama kawasan. Salah satu faktor pendorong penting kerja sama kawasan adalah globalisasi.[3] Namun globalisasi bukanlah satu-satunya faktor penyebab munculnya kerja sama kawasan. Globalisasi merupakan salah satu di antara banyak faktor pendorong negara untuk terlibat dalam kerjasama dengan negara lain dalam suatu kawasan. Kerja sama kawasan bahkan telah dimulai jauh sebelum trend globalisasi menjadi salah satu topik penting.[4]

Pengaruh Globalisasi Terhadap Regionalisme




Oleh: Astiwi Inayah, Citra Istiqomah, Dian Trianita Lestari, Feriana Kushindarti, Irani Siti N, Muhammad Nizar H, Nofansyah Ibrahim, Novi Rizka A, Reza Triarda, Siti Fadilah                          
Terdapat beberapa pandangan atau sisi tentang pengaruh Globalisasi terhadap regionalisme saat ini:
Pertama, integrasi yang semakin mendalam menciptakan persoalan-persoalan yang membutuhkan manajemen kolektif, dan lebih spesifik, bentuk-bentuk manajemen dan regulasi yang melibatkan hak prerogatif negara. Inilah suatu rangsangan politis bagi regionalisme dalam membangun institusi-institusi tertentu pada tataran regional dari pada tingkat global.
Kedua, karakteristik global dalam banyak isu seringkali dilebih-lebihkan. Isu-isu global seperti lingkungan hidup, pengungsi karena bencana alam, atau migrasi karena ancaman human security, kemudian permasalahan kekerasan terhadap hak asasi manusia (HAM), semua itu memang sudah disadari oleh semua orang di dunia dan menimbulkan empati orang sedunia. Namun, yang lebih merasakan efek serta dampak dari isu-isu tersebut adalah individu dan kawasan tertentu dimana isu-isu tersebut terjadi dari pada tataran global. sehingga, penyelesaiannya alangkah lebih baik diselesaikan dalam tataran regional dimana keseimbangan kepentingan dan insentif yang mungkin menekan negara-negara untuk mencari respon kebijakan.
Ketiga, terdapat pendapat bahwa regionalisme adalah ikatan atau wadah yang paling mewakili tingkat negara-negara untuk menghadapi kinerja pasar dan tekanan-tekanan teknologi karena tren globalisasi.
Keempat, integrasi global mungkin bertindak sebagai perangsang yang kuat bagi regionalisme ekonomi dengan mengubah serta memperkuat pola-pola persaingan ekonomi kaum merkantilis. Regionalisme ekonomi mungkin digerakan oleh perusahaan-perusahaan transnasional dan percaturan politik dalam integrasi regional bisa dipahami dalam kerangka penyatuan berbagai kepentingan antar elit-elit negara dan perusahaan dalam menanggapi berbagai perubahan dalam struktur ekonomi internasional.

Regionalisme: Definisi, Bentuk, dan Karakteristik


Oleh: Astiwi Inayah, Citra Istiqomah, Dian Trianita Lestari, Feriana Kushindarti, Irani Siti N, Muhammad Nizar H, Nofansyah Ibrahim, Novi Rizka A, Reza Triarda, Siti Fadilah                   
Hingga saat ini belum ada penjelasan tunggal mengenai definisi regionalisme. Para ahli kajian regionalisme pun belum mencapai kesepakatan tentang bagaimana regionalisme muncul dan menjadi trend.[1] Pada era tahun 1960-an dan 1970-an, dunia melihat analisis gelombang pertama yang fokus secara khusus pada dampak-dampak regional atas Perang Dingin dan munculnya institusi regional di Eropa dan negara-negara Dunia Ketiga. Pada tahun 1990-an, muncul “new regionalism” pasca Perang Dingin yang telah mendorong usaha-usaha untuk mendefinisikan dan menjelaskan sifat esensial dan karakteristik kawasan dan kerja sama kawasan dalam politik.[2]
Untuk memahami kerja sama kawasan, penting artinya untuk terlebih dahulu memahami konsep kawasan (region), regionalisasi (regionalization), dan regionalisme dengan pengertian yang berbeda-beda. Konsep region sendiri menurut Mansbach adalah “pengelompokan regional diidentifikasi dari basis kedekatan geografis, budaya, perdagangan dan saling ketergantungan ekonomi yang saling menguntungkan, komunikasi serta keikutsertaan dalam organisasi internasional”.[3] Definisi-definisi lain dari Bruce Russett misalnya menyebutkan identifikasi region sebagai kemiripan/homogenitas sosio-kultural dan sikap politik, keanggotaan yang sama dalam organisasi supranasional atau antarpemerintah, interdependensi ekonomi, serta kedekatan geografik. Sedangkan Michael Brecher mengidentifikasi region sebagai ruang lingkup (geografis) yang terbatas yang memiliki sedikitnya tiga anggota, diakui anggota-anggotanya maupun pihak lain sebagi suatu region tersendiri, serta secara relatif lebih rendah posisinya ataupun lebih banyak dipengaruhi oleh perubahan-perubahan dalam sistem internasional dari pada sebaliknya.[4] Poin-poin inilah yang menjadi karakteristik dari kawasan dan dasar bagi perkembangan kerjasama kawasan.
Kerjasama kawasan dapat mengacu pada regionalisme maupun regionalisasi. Regionalisme atau yang sering disebut sebagai proses formal dari regionalisasi, memiliki definisi yang sangat beragam. Namun secara umum, mengacu pada Prof. Budi Winarno dalam bukunya Isu-isu Global Kontemporer (2011), regionalisme dapat diartikan sebagai “pengelompokan regional diidentifikasi dari basis kedekatan geografis, budaya, perdagangan dan saling ketergantungan ekonomi yang saling menguntungkan, dan saling ketergantungan, komunikasi serta keikutsertaan dalam organisasi internasional.”[5]

Critical Review Stephan Haggard “Introduction: The Political Economy of the Asian Financial Crisis”


Oleh: Citra Istiqomah
Krisis ekonomi Asia di tahun 1997-1998 merupakan salah satu krisis terbesar sepanjang sejarah ekonomi dunia pasca berakhirnya Perang Dingin. Negara-negara yang sedang berada dalam puncak pertumbuhan ekonominya di era 1960-an sepeti Hongkong, Singapura, Korea Selatan, dan Taiwan serentak mengalami krisis ekonomi akibat rentetan dari krisis yang terlebih dahulu melanda Thailand. Banyak orang, ahli, akademisi, teoritisi, pengamat ekonomi dan sebagainya yang kemudian menganalisis kejatuhan negara-negara tersebut dari sudut pandang ekonomi. Akan tetapi, hal yang seringkali luput dari analisis penyebab di balik terjadinya krisis tersebut ialah ketiadaan analisis politik yang sistematis yang dapat menjelaskan peristiwa itu dalam konteks yang lebih holistik atau secara ekonomi-politik. Inilah salah satu hal yang kemudian menjadi concern beberapa analis, seperti Stephan Haggard yang dalam tulisannya “The Political Economy of the Asian Financial Crisis” melihat sisi lain yang melatarbelakangi terjadinya krisis finansial Asia 1997, yakni dari aspek-aspek politik.
Haggard dalam tulisannya berfokus menyoroti tiga poin terkait politik yang penting kaitannya dengan krisis finansial Asia tahun 1997, yakni faktor-faktor politik yang berkontribusi pada kerentanan wilayah Asia terhadap krisis, kesinambungan manajemen yang dilakukan pemerintah dan stakeholders dalam melakukan penyesuaian diri (adjustment) secara politik terhadap situasi krisis, serta konsekuensi politik dari krisis 1997 seperti konsolidasi demokrasi. Argumentasi-argumentasi inti yang diungkapkan Haggard yang diasumsikannya sebagai pemantik terjadinya krisis finansial Asia diantaranya ialah kedekatan hubungan antara pemerintah dengan kelompok bisnis yang mendistorsi proses liberalisasi, meningkatkan kerentanan terhadap krisis, dan membuat proses penyesuaian (adjustment) pasca krisis menjadi rumit; ketidakpastian politik (political uncertainty) kaitannya dengan ketidakmampuan pemerintah untuk memberikan peringatan-peringatan pra-krisis; ketidakmampuan pemerintahan yang tidak demokratis untuk menyesuaikan diri terhadap dinamika krisis; instabilitas politik seperti proses suksesi kepemimpinan yang kurang terorganisir, korupsi, dan sebagainya; resistensi politik yang secara substansial menghalangi proses restrukturisasi (terutama restrukturisasi korporasi dan keuangan), juga proses reformasi yang lamban; penilaian terhadap kekeliruan posisi pemerintah baik secara politik maupun administratif dalam merespon dimensi sosial dari krisis; serta implementasi demokrasi yang tidak sempurna, terutama kaitannya dengan rendahnya akuntabilitas dan tingkat transparansi pemerintah, juga kuatnya pengaruh kelompok-kelompok kepentingan.[1]
Pada dasarnya, diskursus mengenai penyebab yang disebut-sebut melatarbelakangi terjadinya krisis finansial Asia sangat beragam dan bervariasi sesuai negara yang menjadi objek kajian peristiwa tersebut. Sebagian pihak menilai, pemerintah, seperti di Malaysia dan Taiwan, melakukan kekeliruan terkait penyesuaian nilai tukar dan memaksakan kontrol terhadap modal. Pihak lain menilai adanya instabilitas keuangan di dua negara paling berpengaruh di Asia yang kemudian membawa efek domino ke negara-negara Asia lainnya, yakni devaluasi mata uang Cina, Yuan, pada tahun 1994 dan kelesuan perekonomian Jepang yang berkepanjangan. Hal ini memberikan implikasi besar bagi negara-negara yang tergolong sebagai middle income countries serta negara-negara yang banyak terlibat langsung dengan kedua negara tersebut dalam sektor-sektor tertentu, seperti Korea Selatan dan Malaysia yang mengalami trade shock akibat menurunnya harga semikonduktor sebagai salah satu komoditas ekspor andalan.[2]

Perdebatan Seputar MNC Yang Lebih Kuat Dari Negara

Oleh: Muhammad Nizar Hidayat
Kemunculan MNCs sebagai salah satu aktor yang berpengaruh di dalam HI tidak bisa lagi dinafikan kebenarannya. Setelah kemunculannya yang oleh beberapa penstudi bisa di trace back hingga pada 2000 tahun sebelum masehi yang diwakili oleh kerajaan Assiria, hingga pada kebangkitannya di era modern pada tahun 1960-1970an.

Setelah itu, kemunculan MNCs pun banyak diperdebatkan oleh para penstudi, dengan semakin berpengaruhnya peran MNCs dalam EPI, apakah MNCs akan bisa menggantikan peran negara bangsa dalam HI? Bagaimana sebenarnya pola interaksi anatara MNCs dan negara bangsa? Pandangan pertama lebih condong kepada pola interaksi konfliktual antara MNCs dan negara (khususnya negara host, yang umumnya negara-negara berkembang) dimana mereka berpendapat bahwa tujuan dari negara dan MNCs sangat bertolak belakang dimana negara menekankan kepentingan publik dan MNCs mengejar kepentingan privat, dan oleh sebab itu konflik kepentingan antara keduanya tidak bisa dihindari. Pandangan kedua lebih menyoroti pola interaksi kooperatif antara MNCs dan negara (khususnya negara home, yang umumnya merupakan negara maju), dimana pembahasan lebih kepada apakah MNCs merupakan perpanjangan kepentingan dari negara home ataukah negara home merupakan alat dari MNCs untuk mencapai kepentingannya?

Pembahasan tentang pola-pola interaksi itu semakin dalam dengan adanya pihak yang mengatakan bahwa MNCs akan bisa menggantikan peran negara bangsa, dan pengaruhnya sudah jauh melebihi kapasias negara bangsa dengan melihat berbagai contoh dimana MNCs bisa mempengaruhi pembuatan keputusan di suatu negara  sesuai dengan kepentingannya. Di pihak lain ada yang berpendapat bahwa MNCs tidak akan pernah lepas dari bayang-bayang negara, atau dengan kata lain, MNCs sejatinya merupakan subordinat dari negara home mereka, dan tidak ada institusi tertinggi setelah negara dalam interaksi dalam HI, sehingga berimplikasi bahwa apapun yang ingin MNCs lakukan, segala sesuatunya pasti harus melalui negara.

Maka dari itu pembahasan tentang “power” MNCs pada kali ini, lebih condong untuk mendefinisikan “power” MNCs tersebut dalam bentuk peningkatan pengaruh MNCs terhadap pembuatan keputusan otoritatif bagi yang sebelumnya hanya merupakan hak prerogative dari negara bangsa saja. Dalam upayanya untuk mempengaruhi pembuatan keputusan yang otoritatif tersebut MNCs memiliki posisi tawar yang ditopang oleh kekuatan finasial, teknologi, skill managerial, akses ke pasar global dan lain sebagainya, yang dibutuhkan oleh negara-negara khususnya negara berkembang. Sementara daya tawar negara terletak pada otoritas politik, ekonomi, dan akses terhadap teritori negara yang merupakan kepentingan dari MNCs. Bagaimana kedua pihak memainkan “kartu as” mereka itulah yang akan membentuk pola interaksi antar keduanya, yang kemudian mungkin bisa membantu kita dalam memahami permasalahan tentang “siapa yang lebih powerful diantara keduanya?”

Perdebatan Teoritis Seputar Penyebab Krisis Keuangan di Asia Timur Tahun 1997



    Oleh: Dian Trianita Lestari  13/352095/PSP/04654


    Tentu masih sangat jelas di ingatan kita salah satu momen bersejarah yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998, yaitu digulingkannya rezim presiden Soeharto. Peristiwa tersebut merupakan salah satu contoh dari dampak yang ditimbulkan oleh krisis keuangan di Asia yang bermula pada Juli 1997 di Thailand. Krisis yang tidak hanya berdampak pada stabilitas ekonomi regional tetapi juga di tingkat global tersebut akhirnya mewabah ke beberapa Negara bagian di Asia. Namun banyak yang berpendapat bahwa Thailand, Indonesia, Malaysia dan Korea Selatan lah Negara yang paling terkena dampak dari krisis tersebut.
     Tak ada asap tanpa api, maka tak mungkin krisis terjadi tanpa sebab-sebab tertentu. Berikut merupakan beberapa teori yang saya dapatkan dari berbagai sumber yang dapat menjelaskan mengenai penyebab munculnya krisis keuangan di Asia Timur di tahun 1997:
1.      Teori krisis oleh Krugman (1999). Krisis yang melanda Asia Timur tidak terkait dengan defisit fiskal ataupun masalah yang terkait dengan fundamental ekonomi, namun lebih disebabkan oleh adanya kelebihan likuiditas yang kemudian berdampak pada runtuhnya sektor keuangan.[1]
2.      Teori Open Economy oleh Bernanke-Gertler (1989).[2] Teori ini menyatakan bahwa telah terjadi sesuatu yang menyebabkan terjadinya ketidakstabilan politik, kemudian ditambah dengan adanya krisis keuangan di Negara lain yang diduga oleh para investor akan terjadi juga di Negara lainnya, serta adanya manipulasi pasar oleh spekulan-spekulan besar, yang pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya depresiasi nilai tukar secara mendadak. Hal inilah yang menyebabkan kehancuran dalam neraca pembayaran sehingga mengakibatkan terjadinya krisis.

Critical Review Gilpin (2001) “The Political Economy of Regional Integration”

Oleh: Citra Istiqomah
Pada era tahun 1950-an hingga 1970-an, dunia melihat analisis gelombang awal regionalisme dan kerja sama kawasan yang secara khusus berfokus pada dampak-dampak regional atas perang dan munculnya institusi regional di Eropa Barat. Pada era 1990-an pasca Perang Dingin, muncullah regionalisme baru (new regionalism) yang mendorong usaha-usaha untuk mendefinisikan dan menjelaskan sifat esensial dan karakteristik dari kerja sama kawasan dalam politik internasional dalam framework yang kecenderungannya berubah lebih ke arah integrasi ekonomi global.[1] Sejak Perang Dunia II berakhir, bentuk-bentuk kerja sama kawasan mulai muncul di berbagai tempat dan bentuk-bentuk regionalisme baru memiliki signifikansi lebih dalam ekonomi global dibandingkan dengan regionalisme yang muncul pada era 1950-an dan 1960-an.[2] Kemudian, sejak awal era 1990-an, kecenderungan konflik maupun kerja sama berbasis kawasan kembali meningkat, terlebih dengan meluasnya konsep interdependensi antarnegara yang mendorong terciptanya kerja sama.[3] Dari sinilah urgensi untuk mengamati dinamika kerja sama ekonomi dan integrasi kawasan muncul.
Albert Fishlow dan Stephan Haggard membuat dua klasifikasi besar mengenai munculnya inisiatif untuk integrasi kawasan, yakni market-driven dan policy-driven yang mempengaruhi pertimbangan politik ataupun ekonomi dalam setiap aktivitas kawasan. Meskipun demikian, motivasi dan kecenderungan terbentuknya integrasi regional di setiap kawasan tentu dilatarbelakangi oleh faktor-faktor yang beragam. Integrasi di Eropa (Eropa Barat) misalnya, lebih banyak dipengaruhi oleh motivasi politik untuk menyudahi situasi konfliktual dan perang antarnegara dalam kawasan Eropa sendiri. Sementara itu, integrasi kawasan di Amerika Utara melibatkan peleburan proses ekonomi dan politik yang lebih banyak menekankan pada dorongan integrasi pasar. Sedangkan di Asia-Pasifik, integrasi pasar juga menjadi dorongan kuat bagi integrasi ekonomi kawasan, namun demikian latar belakang politik seperti pengaruh dari kebijakan luar negeri Jepang juga turut mempengaruhi pertimbangan-pertimbangan dinamika terbentuknya integrasi kawasan.
Integrasi regional secara umum dapat dilihat dari motivasi politik maupun ekonomi yang menjadi basis bagi meleburnya kepentingan negara-negara dalam suatu institusi ataupun entitas kawasan. Dari segi ekonomi, integrasi dipandang sebagai hal penting pasca Perang Dunia II dimana pasar nasional harus mampu beradaptasi, merespon, dan mengintegrasikan diri terhadap trend perubahan ekonomi global. Hal tersebut dapat dielaborasikan dari setidaknya tiga pendekatan utama, yakni neoinstitusionalisme, neo-ekonomi-politik (new political economy), dan Marxis. Pendekatan neo-institusionalisme mengasumsikan bahwa institusi innternasional maupun regional dibangun untuk mengatasi kegagalan pasar dan persoalan kerja sama, serta menghilangkan hambatan-hambatan perdagangan dalam aktivitas kerja sama ekonomi sebagai insentif bagi negara untuk memfasilitai kerja sama melalui mekanisme-mekanisme tertentu. Kelemahan pendekatan ini ialah menafikan adanya kepentingan politik dalam sebuah kerja sama kawasan. Sementara itu, pendekatan neo-ekonomi-politik menekankan pada kepentingan politik kelompok-kelompok tertentu dan konsekuensi distributif dari kerja sama ekonomi tersebut. Artinya, distribusi keuntungan ekonomi itu menciptakan kepentingan kawasan, di mana negara yang tidak tergabung dalam kerja sama kawasan tersebut akan menderita kerugian dan di dalam kerja sama inklusif itu sendiri selalu terdapat pihak yang paling diuntungkan ataupun sebaliknya, paling dirugikan. Di lain pihak, teori Marxis menjelaskan integrasi kawasan sebagai upaya kaum kapitalis untuk meningkatkan akumulasi modal. Meskipun demikian, teori-teori dan pendekatan-pendekatan ekonomi ini dianggap tidak memberikan penjelasan yang eksplanatif mengenai integrasi kawasan karena mengesampingkan faktor-faktor politis yang memiliki implikasi terhadap proses pembuatan kebijakan yang menjadi basis dari aksi dan reaksi negara terhadap fenomena global.