Oleh: Astiwi Inayah, Citra Istiqomah, Dian Trianita Lestari, Feriana
Kushindarti, Irani Siti N, Muhammad Nizar H, Nofansyah Ibrahim, Novi Rizka A, Reza
Triarda, Siti Fadilah
Latar belakang kemunculan regionalisme
menjadi isu global tidak hanya dapat dijelaskan dari sisi bahwa hal tersebut
merupakan isu transnasional/lintas-batas negara yang melibatkan
interkonektivitas banyak pihak, namun juga dari masing-masing kerangka berpikir
teoretik yang menjelaskan mengapa regionalisme muncul. Menurut kaum realis, dan
kemudian diadopsi oleh neo-realis, regionalisme muncul sebagai respon terhadap
perubahan security dan power, misalnya pada saat ASEAN dibentuk
untuk membendung pengaruh penyebaran komunisme yang meningkat di Asia Tenggara
pada pertengahan era 1960-an. Atau dalam kasus terbentuknya kerja sama di Eropa
di awal 1950-an sebagai upaya konsolidasi perdamaian dan keamanan regional
pasca Perang Dunia II. Lain halnya dengan realis dan neo-realis, kaum liberal
dan neo-liberal menjelaskan bahwa regionalisme muncul untuk memfasilitasi orde
ekonomi-liberal yang mencuat, terutama di Eropa pasca Perang Dunia II. Pada era
1980-an dan 1990-an, peningkatan interdependensi yang luar biasa memerlukan
institusionalisasi. Karena pada masa itu GATT sempat mengalami kemacetan,
liberalisasi perdagangan dilakukan melalui mekanisme kerja sama regional.
Sementara itu, kaum strukturalis berargumen bahwa regionalisme merupakan akibat
dari kepentingan MNC dan pengendali modal transnasional, serta akibat dari
dorongan negara hegemon untuk mengendalikan kawasan.[1]
Muncul dan meluasnya regionalisme
ekonomi menjadi respon penting negara-negara untuk bersama-sama menyelesaikan
masalah-masalah politik dan interdependensi yang tinggi dalan ekonomi-politik
global. Sejak Perang Dunia II berakhir, bentuk-bentuk kerja sama kawasan mulai
muncul di berbagai tempat. Kerja sama kawasan bisa ditemukan di hampir semua
kawasan di dunia. Bentuk-bentuk regionalisme baru lebih memiliki signifikansi
dalam ekonomi global dibandingkan dengan regionalisme yang muncul pada era
1950-an dan 1960-an.[2]
Pada dasarnya, terdapat banyak
faktor yang mendorong munculnya kerja sama kawasan. Salah satu faktor pendorong
penting kerja sama kawasan adalah globalisasi.[3] Namun
globalisasi bukanlah satu-satunya faktor penyebab munculnya kerja sama kawasan.
Globalisasi merupakan salah satu di antara banyak faktor pendorong negara untuk
terlibat dalam kerjasama dengan negara lain dalam suatu kawasan. Kerja sama kawasan
bahkan telah dimulai jauh sebelum trend
globalisasi menjadi salah satu topik penting.[4]
Selain itu, faktor penyebab atau
pendorong terbentuknya atau munculnya regionalisme juga dapat dielaborasikan
dengan menggunakan pendekatan regionalisme klasik dan regionalisme baru (new regionalism)[5] sebagai
berikut:
a.
Regionalisme klasik adalah regionalisme yang muncul pada tahun 1960-an seiring dengan
kemunculan organisasi-organisasi internasional. Bersifat high politics, dimana aspek politik lebih mendominasi kinerja
organisasi-organisasi tesebut. Pembentukan organisasi tersebut didorong oleh
inisiatif negara dalam hal ini pemerintah yang mengarahkan kerjasama yang
dibagun. Kerjasamanya bisa dalam berbagai aspek, misalnya menyangkut kerjasama
perdangangan antar negara, kesepakatan membentuk aliansi keamanan bersama,
pertukaran pelajar sebagai bentuk kerjasama dalam bidang pendidikan dan budaya,
dan banyak hal lainnya. Namun regionalisme klasik ini lebih banyak diwarnai dimensi
keamanan sebagai upaya meredam konflik, agar konflik tidak menyebar. Jadi
pembentukan regionalisme menurut pendekatan regionalisme klasik adalah lebih
sebagai kesadaran bersama memebentuk kerjasama kawasan untuk
meredam/menghindari peperangan.
b.
Regionalisme baru adalah regionalisme yang berkembang pada tahun 1990-an, pasca perang
dingin. Bersifat low politics, dimana
aspek-aspek seperti ekonomi, budaya, lebih mendominasi negara-negara. Menurut
Fawcett, ada beberapa faktor yang mempengaruhi terbentuknya regionalisme baru
ini :
1.
Respon
terhadap berakhirnya Perang Dingin
Berakhirnya Perang Dingin menyebabkan terjadinya
perubahan sikap dan persepsi para aktor hubungan internasional, baik itu
negara, organisasi internasional, atau bahkan individu, terhadap kerjasama
internasional. Ketidaknyamanan negara-negara terhadap perang atau melakukan
ekspansi wilayah dan lebih ingin menata kehidupan domestik yang aman, tenang,
damai, dan sejahtera. Sehingga para aktor tersebut mulai menganggap pentingnya
kerja sama dalam berbagai aspek kegiatan dan multilevel. Presiden AS Bill
Clinton misalnya, sangat menekankan komitmennya pada apa yang ia sebut “open regionalism” dimana Amerika membuka
diri pada pada hubungan kerjasama regional Amerika dan Asia Pasifik.
2. Terjadinya perubahan ekonomi dunia
Pada akhir tahun 1980-an, banyak negara menaganggap
marjinalisasi ekonomi lebih mengancam daripada marjinalisasi keamanan yang
terjadi dalam sistem bipolar. Sehingga, memikirkan permasalahan ekonomi tidak
kurang penting dengan memikirkan masalah keamanan. Permasalahan ekonomi menjadi
penting karena menyangkut masalah pemenuhan kebutuhan manusia, baik primer
maupun skunder. Sejak tahun 1980-an, kesadaran akan pentingnya aspek ekonomi
sebagai bentuk regionalisme baru, telah muncul di negara-negara Eropa yang
kemudian berbentuk European Community.
Komunitas ini kemudian merancang rencana-rencana pengembangan ekonomi, dengan
dilandasi paham-paham liberal dan neoliberal, sehingga dibukalah pasar bersama
(common market).
3. Demokratisasi
Liberalisai politik atau “demokratisasi” yang telah
melanda beberapa negara juga telah menghasilkan suatu lingkungan yang lebih
mendukung interdependensi pada tatanan regional dan global. Di Eropa Timur
misalnya, kaum regionalis menjelaskan bahwa komitmen yang lemah di
negara-negara anggota institusi-institusi seperti Pakta Warsawa dan COMMECON
menunjukan bagaimana ketiadaan demokrasi mempersulit tercapainya kerja sama
regional.
[1] Mas’oed
& Setyawati, Studi Kawasan
(Area/Regional Studies).
[2] R.
Gilpin & J.M.
Gilpin, “Global Political Economy Understanding the International Economic
Order”, dalam Budi
Winarno, Politik Regionalisme dan
Tantangan ASEAN di Tengah Arus Besar Globalisasi, 2008, hal. 4.
[4] Ibid., hal. 101.
[5] N. Suparman, dkk., Regionalisme dalam Studi Hubungan
Internasional, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar