“Aku bersyukur dilahirkan di Indonesia, dimana senyum masih menjadi karakter, budaya masih apik terjaga, dan optimisme masih menyulut semangat. Aku berharap, anak-anakku kelak harus lebih bangga dariku dalam memandang dan memperjuangkan Indonesianya. Jaya Selalu Negeriku Indonesia, Jayalah Selama-lamanya”

Faktor-faktor Penyebab dan Pendorong Munculnya Regionalisme sebagai Isu Global




Oleh: Astiwi Inayah, Citra Istiqomah, Dian Trianita Lestari, Feriana Kushindarti, Irani Siti N, Muhammad Nizar H, Nofansyah Ibrahim, Novi Rizka A, Reza Triarda, Siti Fadilah                          

Latar belakang kemunculan regionalisme menjadi isu global tidak hanya dapat dijelaskan dari sisi bahwa hal tersebut merupakan isu transnasional/lintas-batas negara yang melibatkan interkonektivitas banyak pihak, namun juga dari masing-masing kerangka berpikir teoretik yang menjelaskan mengapa regionalisme muncul. Menurut kaum realis, dan kemudian diadopsi oleh neo-realis, regionalisme muncul sebagai respon terhadap perubahan security dan power, misalnya pada saat ASEAN dibentuk untuk membendung pengaruh penyebaran komunisme yang meningkat di Asia Tenggara pada pertengahan era 1960-an. Atau dalam kasus terbentuknya kerja sama di Eropa di awal 1950-an sebagai upaya konsolidasi perdamaian dan keamanan regional pasca Perang Dunia II. Lain halnya dengan realis dan neo-realis, kaum liberal dan neo-liberal menjelaskan bahwa regionalisme muncul untuk memfasilitasi orde ekonomi-liberal yang mencuat, terutama di Eropa pasca Perang Dunia II. Pada era 1980-an dan 1990-an, peningkatan interdependensi yang luar biasa memerlukan institusionalisasi. Karena pada masa itu GATT sempat mengalami kemacetan, liberalisasi perdagangan dilakukan melalui mekanisme kerja sama regional. Sementara itu, kaum strukturalis berargumen bahwa regionalisme merupakan akibat dari kepentingan MNC dan pengendali modal transnasional, serta akibat dari dorongan negara hegemon untuk mengendalikan kawasan.[1]
Muncul dan meluasnya regionalisme ekonomi menjadi respon penting negara-negara untuk bersama-sama menyelesaikan masalah-masalah politik dan interdependensi yang tinggi dalan ekonomi-politik global. Sejak Perang Dunia II berakhir, bentuk-bentuk kerja sama kawasan mulai muncul di berbagai tempat. Kerja sama kawasan bisa ditemukan di hampir semua kawasan di dunia. Bentuk-bentuk regionalisme baru lebih memiliki signifikansi dalam ekonomi global dibandingkan dengan regionalisme yang muncul pada era 1950-an dan 1960-an.[2]
Pada dasarnya, terdapat banyak faktor yang mendorong munculnya kerja sama kawasan. Salah satu faktor pendorong penting kerja sama kawasan adalah globalisasi.[3] Namun globalisasi bukanlah satu-satunya faktor penyebab munculnya kerja sama kawasan. Globalisasi merupakan salah satu di antara banyak faktor pendorong negara untuk terlibat dalam kerjasama dengan negara lain dalam suatu kawasan. Kerja sama kawasan bahkan telah dimulai jauh sebelum trend globalisasi menjadi salah satu topik penting.[4]

Selain itu, faktor penyebab atau pendorong terbentuknya atau munculnya regionalisme juga dapat dielaborasikan dengan menggunakan pendekatan regionalisme klasik dan regionalisme baru (new regionalism)[5] sebagai berikut:
a.         Regionalisme klasik adalah regionalisme yang muncul pada tahun 1960-an seiring dengan kemunculan organisasi-organisasi internasional. Bersifat high politics, dimana aspek politik lebih mendominasi kinerja organisasi-organisasi tesebut. Pembentukan organisasi tersebut didorong oleh inisiatif negara dalam hal ini pemerintah yang mengarahkan kerjasama yang dibagun. Kerjasamanya bisa dalam berbagai aspek, misalnya menyangkut kerjasama perdangangan antar negara, kesepakatan membentuk aliansi keamanan bersama, pertukaran pelajar sebagai bentuk kerjasama dalam bidang pendidikan dan budaya, dan banyak hal lainnya. Namun regionalisme klasik ini lebih banyak diwarnai dimensi keamanan sebagai upaya meredam konflik, agar konflik tidak menyebar. Jadi pembentukan regionalisme menurut pendekatan regionalisme klasik adalah lebih sebagai kesadaran bersama memebentuk kerjasama kawasan untuk meredam/menghindari peperangan.
b.        Regionalisme baru adalah regionalisme yang berkembang pada tahun 1990-an, pasca perang dingin. Bersifat low politics, dimana aspek-aspek seperti ekonomi, budaya, lebih mendominasi negara-negara. Menurut Fawcett, ada beberapa faktor yang mempengaruhi terbentuknya regionalisme baru ini :
1.         Respon terhadap berakhirnya Perang Dingin
Berakhirnya Perang Dingin menyebabkan terjadinya perubahan sikap dan persepsi para aktor hubungan internasional, baik itu negara, organisasi internasional, atau bahkan individu, terhadap kerjasama internasional. Ketidaknyamanan negara-negara terhadap perang atau melakukan ekspansi wilayah dan lebih ingin menata kehidupan domestik yang aman, tenang, damai, dan sejahtera. Sehingga para aktor tersebut mulai menganggap pentingnya kerja sama dalam berbagai aspek kegiatan dan multilevel. Presiden AS Bill Clinton misalnya, sangat menekankan komitmennya pada apa yang ia sebut “open regionalism” dimana Amerika membuka diri pada pada hubungan kerjasama regional Amerika dan Asia Pasifik.
2.      Terjadinya perubahan ekonomi dunia
Pada akhir tahun 1980-an, banyak negara menaganggap marjinalisasi ekonomi lebih mengancam daripada marjinalisasi keamanan yang terjadi dalam sistem bipolar. Sehingga, memikirkan permasalahan ekonomi tidak kurang penting dengan memikirkan masalah keamanan. Permasalahan ekonomi menjadi penting karena menyangkut masalah pemenuhan kebutuhan manusia, baik primer maupun skunder. Sejak tahun 1980-an, kesadaran akan pentingnya aspek ekonomi sebagai bentuk regionalisme baru, telah muncul di negara-negara Eropa yang kemudian berbentuk European Community. Komunitas ini kemudian merancang rencana-rencana pengembangan ekonomi, dengan dilandasi paham-paham liberal dan neoliberal, sehingga dibukalah pasar bersama (common market).
3.      Demokratisasi
Liberalisai politik atau “demokratisasi” yang telah melanda beberapa negara juga telah menghasilkan suatu lingkungan yang lebih mendukung interdependensi pada tatanan regional dan global. Di Eropa Timur misalnya, kaum regionalis menjelaskan bahwa komitmen yang lemah di negara-negara anggota institusi-institusi seperti Pakta Warsawa dan COMMECON menunjukan bagaimana ketiadaan demokrasi mempersulit tercapainya kerja sama regional.


[1] Mas’oed & Setyawati, Studi Kawasan (Area/Regional Studies).
[2] R. Gilpin & J.M. Gilpin, “Global Political Economy Understanding the International Economic Order”, dalam Budi Winarno, Politik Regionalisme dan Tantangan ASEAN di Tengah Arus Besar Globalisasi, 2008, hal. 4.
[3] Winarno, Isu-isu Global Kontemporer, hal. 99.
[4] Ibid., hal. 101.
[5] N. Suparman, dkk., Regionalisme dalam Studi Hubungan Internasional, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar