“Aku bersyukur dilahirkan di Indonesia, dimana senyum masih menjadi karakter, budaya masih apik terjaga, dan optimisme masih menyulut semangat. Aku berharap, anak-anakku kelak harus lebih bangga dariku dalam memandang dan memperjuangkan Indonesianya. Jaya Selalu Negeriku Indonesia, Jayalah Selama-lamanya”

Critical Review Gilpin (2001) “The Political Economy of Regional Integration”

Oleh: Citra Istiqomah
Pada era tahun 1950-an hingga 1970-an, dunia melihat analisis gelombang awal regionalisme dan kerja sama kawasan yang secara khusus berfokus pada dampak-dampak regional atas perang dan munculnya institusi regional di Eropa Barat. Pada era 1990-an pasca Perang Dingin, muncullah regionalisme baru (new regionalism) yang mendorong usaha-usaha untuk mendefinisikan dan menjelaskan sifat esensial dan karakteristik dari kerja sama kawasan dalam politik internasional dalam framework yang kecenderungannya berubah lebih ke arah integrasi ekonomi global.[1] Sejak Perang Dunia II berakhir, bentuk-bentuk kerja sama kawasan mulai muncul di berbagai tempat dan bentuk-bentuk regionalisme baru memiliki signifikansi lebih dalam ekonomi global dibandingkan dengan regionalisme yang muncul pada era 1950-an dan 1960-an.[2] Kemudian, sejak awal era 1990-an, kecenderungan konflik maupun kerja sama berbasis kawasan kembali meningkat, terlebih dengan meluasnya konsep interdependensi antarnegara yang mendorong terciptanya kerja sama.[3] Dari sinilah urgensi untuk mengamati dinamika kerja sama ekonomi dan integrasi kawasan muncul.
Albert Fishlow dan Stephan Haggard membuat dua klasifikasi besar mengenai munculnya inisiatif untuk integrasi kawasan, yakni market-driven dan policy-driven yang mempengaruhi pertimbangan politik ataupun ekonomi dalam setiap aktivitas kawasan. Meskipun demikian, motivasi dan kecenderungan terbentuknya integrasi regional di setiap kawasan tentu dilatarbelakangi oleh faktor-faktor yang beragam. Integrasi di Eropa (Eropa Barat) misalnya, lebih banyak dipengaruhi oleh motivasi politik untuk menyudahi situasi konfliktual dan perang antarnegara dalam kawasan Eropa sendiri. Sementara itu, integrasi kawasan di Amerika Utara melibatkan peleburan proses ekonomi dan politik yang lebih banyak menekankan pada dorongan integrasi pasar. Sedangkan di Asia-Pasifik, integrasi pasar juga menjadi dorongan kuat bagi integrasi ekonomi kawasan, namun demikian latar belakang politik seperti pengaruh dari kebijakan luar negeri Jepang juga turut mempengaruhi pertimbangan-pertimbangan dinamika terbentuknya integrasi kawasan.
Integrasi regional secara umum dapat dilihat dari motivasi politik maupun ekonomi yang menjadi basis bagi meleburnya kepentingan negara-negara dalam suatu institusi ataupun entitas kawasan. Dari segi ekonomi, integrasi dipandang sebagai hal penting pasca Perang Dunia II dimana pasar nasional harus mampu beradaptasi, merespon, dan mengintegrasikan diri terhadap trend perubahan ekonomi global. Hal tersebut dapat dielaborasikan dari setidaknya tiga pendekatan utama, yakni neoinstitusionalisme, neo-ekonomi-politik (new political economy), dan Marxis. Pendekatan neo-institusionalisme mengasumsikan bahwa institusi innternasional maupun regional dibangun untuk mengatasi kegagalan pasar dan persoalan kerja sama, serta menghilangkan hambatan-hambatan perdagangan dalam aktivitas kerja sama ekonomi sebagai insentif bagi negara untuk memfasilitai kerja sama melalui mekanisme-mekanisme tertentu. Kelemahan pendekatan ini ialah menafikan adanya kepentingan politik dalam sebuah kerja sama kawasan. Sementara itu, pendekatan neo-ekonomi-politik menekankan pada kepentingan politik kelompok-kelompok tertentu dan konsekuensi distributif dari kerja sama ekonomi tersebut. Artinya, distribusi keuntungan ekonomi itu menciptakan kepentingan kawasan, di mana negara yang tidak tergabung dalam kerja sama kawasan tersebut akan menderita kerugian dan di dalam kerja sama inklusif itu sendiri selalu terdapat pihak yang paling diuntungkan ataupun sebaliknya, paling dirugikan. Di lain pihak, teori Marxis menjelaskan integrasi kawasan sebagai upaya kaum kapitalis untuk meningkatkan akumulasi modal. Meskipun demikian, teori-teori dan pendekatan-pendekatan ekonomi ini dianggap tidak memberikan penjelasan yang eksplanatif mengenai integrasi kawasan karena mengesampingkan faktor-faktor politis yang memiliki implikasi terhadap proses pembuatan kebijakan yang menjadi basis dari aksi dan reaksi negara terhadap fenomena global.

Sementara itu dari segi politik, integrasi kawasan dimaknai sebagai sebuah solusi bersama atau yang disebut Gilpin sebagai “institutional solution” untuk mengatasi persoalan klasik dalam interaksi antarnegara, yakni perang dan instabilitas politik. Pembentukan integrasi kawasan dipengaruhi oleh beberapa pendekatan politik, seperti federalisme, neo-fungsionalisme, neo-institusionalisme, pendekatan politik domestik, inter-govermentalisme, dan realisme. Federalisme menjelaskan bahwa integrasi kawasan terbentuk dari hasil persuasi terhadap opini publik untuk mendirikan institusi demi menghentikan perang. Fungsionalisme dan neo-fungsionalisme secara umum memberikan penjelasan bahwa integrasi kawasan akan umumnya dimulai dari kerja sama non-politik yang kemudian memberikan efek meluas (spill-over effect) dan kemudian mengarahkan pada integrasi politik yang menjadi esensi dari integrasi kawasan. Sementara itu, realisme agaknya kurang memberikan penjelasan yang menjadi justifikasi bagi terbentuknya integrasi politik kawasan.
Oleh karena itu, untuk menjembatani inefektivitas teori-teori ekonomi maupun politik yang “sepihak” dan tampak mengesampingkan pengaruh penting kedua faktor yang melatarbelakanginya, baik politik maupun ekonomi, Gilpin menggambarkan pendekatan selektif (eclectic approach) yang menggabungkan ekonomi-politik sebagai faktor pendorong terbentuknya integrasi kawasan. Ilustrasi Gilpin mengenai pendekatan ini tampaknya lebih efektif untuk menggambarkan terbentuknya integrasi kawasan yang memang tidak dapat terlepas dari keterlibatan interaksional antara kedua faktor terpenting tersebut, yakni ekonomi-politik.
Pendekatan ekonomi-politik dari sebuah integrasi kawasan penting artinya untuk melihat ke belakang landasan kemunculan sebuah regionalisme dan kerja sama kawasan, namun dalam tulisan Gilpin mengenai “The Political Economy of Regional Integration” tampaknya justru kurang mengeksplorasi bagaimana pendekatan tersebut efektif dan signifikan dalam praktik integrasi kawasan yang terjadi di era kontemporer. Dalam artian, bagaimana kecenderungan itu mempengaruhi berjalannya integrasi kawasan dan bagaimana pendekatan tersebut menjelaskan masing-masing integrasi kawasan dapat terintegrasi ke dalam wadah yang lebih besar atu justru menjadi batu sandungan bagi terwujudnya “global village” dalam konteks globalisasi yang berlaku kini?
Gilpin menyebutkan bahwa regionalisme ataupun integrasi kawasan menjadi instrumen bagi negara untuk meningkatkan kekuatan ekonomi dan politik negara. Bagaimana penjelasan ini kemudian dapat menjadi dasar bagi kecenderungan sebaliknya, yakni untuk mengintegrasikan kekuatan ekonomi-politik bersama yang tidak berbasis pada kepentingan bersama namun kepentingan global? Hingga saat ini, diskursus mengenai regionalisme dan integrasi kawasan sebagai batu loncatan (stepping stone) atau justru penghalang (stumbling bloc) memang masih terjadi. Salah satu dampak dari keberadaan regionalisasi ialah adanya kebebasan individu-individu yang ada di dalamnya untuk melintas batas negara, terutama dalam kaitannya dengan perdagangan bebas. Dalam hal ini, regionalisme kemudian disebut-sebut sebagai batu pijakan bagi terciptanya globalisasi karena ia memudahkan aktor-aktor dalam hubungan internasional untuk saling bekerja sama dan berinteraksi, seperti dalam kasus Uni Eropa. Namun memang tidak dapat dipungkiri regionalisme juga dapat menjadi menjadi batu penghalang bagi terciptanya globalisasi, yaitu ketika ia mengkotak-kotakkan satu region dengan region yang lain sehingga sulit bagi mereka untuk menjadi komunitas besar yang mengglobal karena justru kian terpisah-pisah.
Selain itu, dalam pendekatan eklektik, Gilpin menjelaskan faktor-faktor yang lebih bersifat relatif dan tergantung dari aksi-reaksi masing-masing negara mengenai faktor-faktor pendorong integrasi kawasan, namun kurang menyinggung keberadaan faktor-faktor umum atau universal yang kuat mempengaruhi integrasi kawasan. Menurut Fawcett, beberapa faktor penyebab atau pendorong terbentuk atau munculnya regionalisme, terutama regionalisme baru (new regionalism)[4] yang berkembang mulai tahun 1990-an pasca Perang Dingin yang lebih banyak bersifat low politics, dimana aspek-aspek seperti ekonomi, budaya, lingkungan ataupun isu-isu lainnya lebih dominan, tidak terelakkan dipengaruhi oleh beberapa faktor universal berikut:
1.        Respon terhadap berakhirnya Perang Dingin
Berakhirnya Perang Dingin menyebabkan terjadinya perubahan sikap dan persepsi aktor-aktor dalam hubungan internasional terhadap kerja sama, baik negara, organisasi internasional dan regional, ataupun individu. Inisiatif negara-negara untuk menyudahi perang dan keinginan untuk menata kehidupan domestik yang yang lebih aman, tenang, damai, dan sejahtera menimbulkan kecenderungan kerja sama internasional maupun kawasan. Sehingga para aktor tersebut mulai menganggap pentingnya kerja sama dalam berbagai aspek kegiatan dan multilevel. Presiden AS Bill Clinton misalnya, sangat menekankan komitmennya pada apa yang disebutnya sebagaiopen regionalism” dimana AS membuka diri pada pada hubungan kerja sama kawasan Amerika dan Asia Pasifik.
2.        Terjadinya perubahan ekonomi dunia
Sejak tahun 1980-an, kesadaran akan pentingnya aspek ekonomi sebagai bentuk regionalisme baru telah muncul di negara-negara Eropa yang kemudian berbentuk European Community. Komunitas ini kemudian merancang rencana-rencana pengembangan ekonomi, dengan dilandasi paham-paham liberal dan neoliberal, sehingga dibukalah pasar bersama (common market) yang sangat mempengaruhi terhadap dinamika kerja sama kawasan di dunia.
3.        Demokratisasi
Liberalisasi politik atau demokratisasi yang telah melanda beberapa negara juga telah menghasilkan suatu lingkungan yang lebih mendukung interdependensi pada tatanan regional dan global. Di Eropa Timur misalnya, kelompok yang percaya pada kerja sama kawasan menjelaskan bahwa komitmen yang lemah di negara-negara anggota institusi-institusi seperti Pakta Warsawa dan COMMECON menunjukan bagaimana ketiadaan demokrasi mempersulit tercapainya kerja sama kawasan.
Pada intinya, muncul dan meluasnya regionalisme ekonomi dan bentuk-bentuk kerja sama kawasan menjadi respon penting negara untuk bersama-sama menyelesaikan masalah-masalah politik dan interdependensi yang tinggi dalan ekonomi-politik global. Selain itu, berbicara mengenai regionalisme dan kerja sama kawasan pada hakikatnya tidak terlepas dari kaitannya dengan globalisasi. Globalisasi muncul atas berkembangnya liberalisasi ekonomi dunia, yang melewati batas-batas kedaulatan negara. Sedangkan regionalisme, dapat diperdebatkan dalam persoalan kontribusinya terhadap globalisasi dan integrasi pasar-pasar global, yang dapat dilihat dalam dua cara pandang.[5] Jika regionalisme itu mendorong adanya peningkatan dalam upaya integrasi kawasan ke arah yang lebih luas, dimana tidak ada kebijakan yang mengganggu masuknya produk asing ke suatu negara, hal itu akan mendorong terbentuknya integrasi ke arah pasar global. Jika kondisi itu dipenuhi, maka regionalisme dapat dipahami sebagai upaya untuk mendorong ke arah globalisasi ekonomi yang lebih baik.
Namun jika sebaliknya, dimana regionalisme diarahkan hanya demi kepentingan negara-negara anggota melalui kebijakan proteksionisme dan diskriminasi terhadap negara-negara lain, maka regionalisme akan sangat berpengaruh buruk terhadap perkembangan globalisasi ekonomi. Sebab, cara seperti itu hanya akan menciptakan kesenjangan antarnegara, sehingga yang diuntungkan hanya negara-negara kuat semata.







REFERENSI

Catatan mata kuliah Studi Kawasan. 2010. Ilmu Hubungan Internasional, FISIPOL, UGM, Maret 2010.
Gilpin, Robert. 2001. Global Political Economy: Understanding the International Economic Order. Princeton: Princeton University Press.
Haas, Ernst B. 1968. The Uniting of Europe: Political, Social, and Economic Forces, 1950-1957. Stanford: Stanford University Press.
Kegley, Charles W., and Eugene R. Witkopff. 2006. World Politics: Trend and Transformation, 10th edition. California: Thomson Wadsworth.
Ravenhill, John. 2005. Global Political Economy. Oxford: Oxford University Press.
Smith, Michael. 2001. “Regions and Regionalism” in Brian White, Richard Little, and Michael Smith (eds.). 2001. Issues in World Politics, 2nd edition. Oxford University Press.
Stubbs, Richard Stubbs and Geoferry Underhill. 2006. Political Economy and the Changing Global Order. Oxford: Oxford University Press.
Suparman, N., dkk. 2010. Regionalisme dalam Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Winarno, Budi. 2008. “Politik Regionalisme dan Tantangan ASEAN di Tengah Arus Besar Globalisasi,” SPEKTRUM, Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional, Vol. 5, No. 2, Juni, 2008.
---. 2010. Isu-isu Global Kontemporer. Yogyakarta: CAPS.


[1] M. Smith, “Regional and Regionalism”, dalam Brian White, et.al., (eds.), Issues in World Politics, 2nd Edition, Palgrave, New York, 2001, p. 56.
[2] R. Gilpin & J.M. Gilpin, “Global Political Economy Understanding the International Economic Order”, dalam Budi Winarno, Politik Regionalisme dan Tantangan ASEAN di Tengah Arus Besar Globalisasi, 2008, hal. 4.
[3] M. Mas’oed & S. M. Setyawati, Studi Kawasan (Area/Regional Studies), dalam diktat mata kuliah Studi Kawasan, disampaikan pada kuliah 24 Maret 2010.
[4] N. Suparman, dkk., Regionalisme dalam Studi Hubungan Internasional, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010.
[5] Winarno, Isu-isu Global Kontemporer.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar