Pada
era tahun 1950-an hingga 1970-an, dunia melihat analisis gelombang awal regionalisme
dan kerja sama kawasan yang secara khusus berfokus
pada dampak-dampak regional
atas perang dan munculnya institusi regional di Eropa Barat. Pada era 1990-an pasca Perang Dingin, muncullah regionalisme
baru (new regionalism) yang mendorong
usaha-usaha untuk mendefinisikan dan menjelaskan sifat esensial
dan karakteristik dari kerja sama kawasan dalam politik internasional
dalam framework yang kecenderungannya
berubah lebih ke arah integrasi ekonomi global.[1]
Sejak Perang Dunia II berakhir,
bentuk-bentuk kerja sama kawasan mulai muncul di berbagai tempat
dan bentuk-bentuk
regionalisme baru memiliki
signifikansi lebih dalam ekonomi global dibandingkan dengan regionalisme
yang muncul pada era 1950-an dan 1960-an.[2]
Kemudian, sejak awal era
1990-an, kecenderungan konflik maupun kerja sama berbasis kawasan kembali meningkat,
terlebih dengan meluasnya konsep interdependensi antarnegara yang mendorong
terciptanya kerja sama.[3] Dari
sinilah urgensi untuk mengamati dinamika kerja sama ekonomi dan integrasi
kawasan muncul.
Albert
Fishlow dan Stephan Haggard membuat dua klasifikasi besar mengenai munculnya
inisiatif untuk integrasi kawasan, yakni market-driven
dan policy-driven yang mempengaruhi
pertimbangan politik ataupun ekonomi dalam setiap aktivitas kawasan. Meskipun demikian,
motivasi dan kecenderungan terbentuknya integrasi regional di setiap kawasan
tentu dilatarbelakangi oleh faktor-faktor yang beragam. Integrasi di Eropa (Eropa
Barat) misalnya, lebih banyak dipengaruhi oleh motivasi politik untuk menyudahi
situasi konfliktual dan perang antarnegara dalam kawasan Eropa sendiri.
Sementara itu, integrasi kawasan di Amerika Utara melibatkan peleburan proses
ekonomi dan politik yang lebih banyak menekankan pada dorongan integrasi pasar.
Sedangkan di Asia-Pasifik, integrasi pasar juga menjadi dorongan kuat bagi
integrasi ekonomi kawasan, namun demikian latar belakang politik seperti
pengaruh dari kebijakan luar negeri Jepang juga turut mempengaruhi pertimbangan-pertimbangan
dinamika terbentuknya integrasi kawasan.
Integrasi
regional secara umum dapat dilihat dari motivasi politik maupun ekonomi yang
menjadi basis bagi meleburnya kepentingan negara-negara dalam suatu institusi
ataupun entitas kawasan. Dari segi ekonomi, integrasi dipandang sebagai hal
penting pasca Perang Dunia II dimana pasar nasional harus mampu beradaptasi,
merespon, dan mengintegrasikan diri terhadap trend perubahan ekonomi global. Hal tersebut dapat dielaborasikan dari setidaknya tiga pendekatan utama, yakni
neoinstitusionalisme, neo-ekonomi-politik (new
political economy), dan Marxis. Pendekatan neo-institusionalisme
mengasumsikan bahwa institusi innternasional maupun regional dibangun untuk
mengatasi kegagalan pasar dan persoalan kerja sama, serta menghilangkan
hambatan-hambatan perdagangan dalam aktivitas kerja sama ekonomi sebagai
insentif bagi negara untuk memfasilitai kerja sama melalui
mekanisme-mekanisme tertentu. Kelemahan pendekatan ini ialah menafikan
adanya kepentingan
politik dalam sebuah kerja sama kawasan. Sementara itu, pendekatan
neo-ekonomi-politik menekankan pada kepentingan politik kelompok-kelompok tertentu
dan konsekuensi distributif dari kerja sama ekonomi tersebut. Artinya, distribusi
keuntungan ekonomi itu menciptakan kepentingan kawasan, di mana negara yang tidak
tergabung dalam kerja sama kawasan tersebut akan menderita kerugian dan di
dalam kerja sama inklusif itu sendiri selalu terdapat pihak yang paling
diuntungkan ataupun sebaliknya, paling dirugikan. Di
lain pihak, teori Marxis menjelaskan integrasi kawasan sebagai upaya kaum
kapitalis untuk meningkatkan akumulasi modal. Meskipun demikian, teori-teori
dan pendekatan-pendekatan ekonomi ini dianggap tidak memberikan penjelasan yang
eksplanatif mengenai integrasi kawasan karena mengesampingkan faktor-faktor
politis yang memiliki implikasi terhadap proses pembuatan kebijakan yang
menjadi basis dari aksi dan reaksi negara terhadap fenomena global.
Sementara
itu dari segi politik, integrasi kawasan dimaknai
sebagai sebuah solusi
bersama atau yang disebut Gilpin sebagai “institutional
solution” untuk mengatasi persoalan klasik dalam interaksi antarnegara,
yakni perang dan instabilitas politik. Pembentukan
integrasi kawasan dipengaruhi oleh beberapa pendekatan politik, seperti
federalisme, neo-fungsionalisme, neo-institusionalisme, pendekatan politik
domestik, inter-govermentalisme, dan realisme. Federalisme menjelaskan bahwa
integrasi kawasan terbentuk dari hasil persuasi terhadap opini publik untuk
mendirikan institusi demi menghentikan perang. Fungsionalisme dan
neo-fungsionalisme secara umum memberikan penjelasan bahwa integrasi kawasan akan
umumnya dimulai dari kerja sama non-politik yang kemudian memberikan efek
meluas (spill-over effect) dan
kemudian mengarahkan pada integrasi politik yang menjadi esensi dari integrasi
kawasan. Sementara itu, realisme agaknya kurang memberikan penjelasan yang
menjadi justifikasi bagi terbentuknya integrasi politik kawasan.
Oleh karena itu,
untuk menjembatani inefektivitas
teori-teori ekonomi maupun politik yang “sepihak” dan
tampak mengesampingkan pengaruh penting kedua faktor yang melatarbelakanginya,
baik politik maupun ekonomi,
Gilpin menggambarkan pendekatan selektif (eclectic
approach) yang menggabungkan ekonomi-politik sebagai faktor pendorong terbentuknya
integrasi kawasan. Ilustrasi Gilpin mengenai pendekatan ini tampaknya
lebih efektif untuk menggambarkan
terbentuknya integrasi kawasan yang memang tidak dapat terlepas dari keterlibatan interaksional
antara kedua faktor terpenting tersebut, yakni ekonomi-politik.
Pendekatan ekonomi-politik dari sebuah integrasi kawasan penting
artinya untuk melihat ke belakang landasan kemunculan sebuah regionalisme dan
kerja sama kawasan, namun dalam tulisan
Gilpin mengenai “The Political Economy of
Regional Integration” tampaknya justru kurang mengeksplorasi bagaimana
pendekatan tersebut efektif dan signifikan dalam praktik integrasi kawasan yang terjadi di era kontemporer. Dalam
artian, bagaimana kecenderungan itu mempengaruhi berjalannya integrasi kawasan
dan bagaimana pendekatan tersebut menjelaskan masing-masing
integrasi kawasan dapat terintegrasi ke dalam wadah yang lebih besar atu
justru menjadi batu
sandungan bagi terwujudnya “global village” dalam konteks globalisasi yang berlaku
kini?
Gilpin
menyebutkan bahwa regionalisme
ataupun integrasi kawasan menjadi instrumen
bagi negara untuk meningkatkan kekuatan ekonomi dan politik negara.
Bagaimana penjelasan ini kemudian dapat menjadi dasar bagi kecenderungan
sebaliknya, yakni untuk mengintegrasikan kekuatan ekonomi-politik bersama yang
tidak berbasis pada kepentingan bersama namun kepentingan global? Hingga saat ini, diskursus mengenai regionalisme dan integrasi kawasan sebagai batu loncatan (stepping
stone) atau justru penghalang (stumbling
bloc) memang masih terjadi. Salah satu dampak dari
keberadaan regionalisasi ialah
adanya kebebasan individu-individu
yang ada di dalamnya untuk melintas batas negara, terutama dalam kaitannya dengan
perdagangan bebas. Dalam hal ini, regionalisme kemudian disebut-sebut sebagai
batu pijakan bagi terciptanya globalisasi karena ia memudahkan aktor-aktor
dalam hubungan internasional untuk
saling bekerja sama dan berinteraksi, seperti dalam kasus Uni Eropa. Namun memang
tidak dapat dipungkiri regionalisme juga dapat menjadi menjadi batu penghalang
bagi terciptanya globalisasi, yaitu ketika ia mengkotak-kotakkan satu region dengan region yang lain sehingga sulit bagi mereka untuk menjadi komunitas
besar yang mengglobal karena justru kian terpisah-pisah.
Selain itu, dalam pendekatan eklektik, Gilpin menjelaskan
faktor-faktor yang lebih bersifat relatif dan tergantung dari aksi-reaksi
masing-masing negara mengenai faktor-faktor pendorong integrasi kawasan, namun
kurang menyinggung keberadaan faktor-faktor umum atau universal yang kuat mempengaruhi integrasi kawasan. Menurut
Fawcett, beberapa faktor penyebab atau pendorong terbentuk atau munculnya
regionalisme, terutama regionalisme baru (new
regionalism)[4]
yang berkembang mulai tahun 1990-an pasca Perang Dingin
yang lebih
banyak bersifat low politics, dimana aspek-aspek seperti ekonomi, budaya, lingkungan
ataupun isu-isu lainnya lebih
dominan, tidak terelakkan dipengaruhi
oleh beberapa faktor universal berikut:
1.
Respon
terhadap berakhirnya Perang Dingin
Berakhirnya Perang
Dingin menyebabkan terjadinya perubahan sikap dan persepsi aktor-aktor dalam hubungan internasional
terhadap kerja sama, baik negara,
organisasi internasional dan regional, ataupun individu. Inisiatif negara-negara untuk menyudahi perang dan keinginan untuk menata kehidupan domestik yang yang
lebih aman, tenang,
damai, dan sejahtera menimbulkan
kecenderungan kerja sama internasional maupun kawasan. Sehingga para aktor tersebut mulai menganggap pentingnya
kerja sama dalam berbagai aspek kegiatan dan multilevel. Presiden AS Bill
Clinton misalnya, sangat menekankan komitmennya pada apa yang disebutnya sebagai “open regionalism”
dimana AS membuka diri pada pada hubungan kerja sama kawasan Amerika dan Asia Pasifik.
2.
Terjadinya
perubahan ekonomi dunia
Sejak tahun 1980-an,
kesadaran akan pentingnya aspek ekonomi sebagai bentuk regionalisme baru
telah muncul di negara-negara
Eropa yang kemudian berbentuk European
Community. Komunitas ini kemudian merancang rencana-rencana pengembangan
ekonomi, dengan dilandasi paham-paham liberal dan neoliberal, sehingga
dibukalah pasar bersama (common market)
yang sangat mempengaruhi terhadap dinamika kerja sama kawasan di dunia.
3.
Demokratisasi
Liberalisasi politik atau demokratisasi yang telah melanda beberapa
negara juga telah menghasilkan suatu lingkungan yang lebih mendukung
interdependensi pada tatanan regional dan global. Di Eropa Timur misalnya, kelompok
yang percaya pada kerja sama kawasan menjelaskan bahwa komitmen yang lemah di
negara-negara anggota institusi-institusi seperti Pakta Warsawa dan COMMECON
menunjukan bagaimana ketiadaan demokrasi mempersulit tercapainya kerja sama kawasan.
Pada
intinya, muncul dan meluasnya regionalisme ekonomi dan bentuk-bentuk kerja sama kawasan menjadi
respon penting negara untuk bersama-sama menyelesaikan
masalah-masalah politik dan interdependensi yang tinggi dalan ekonomi-politik
global. Selain itu, berbicara mengenai regionalisme dan kerja sama kawasan pada
hakikatnya tidak terlepas dari kaitannya dengan globalisasi. Globalisasi muncul
atas berkembangnya liberalisasi ekonomi dunia, yang melewati batas-batas
kedaulatan negara. Sedangkan regionalisme, dapat diperdebatkan dalam persoalan
kontribusinya
terhadap globalisasi dan integrasi pasar-pasar global, yang dapat dilihat dalam dua cara pandang.[5] Jika
regionalisme itu mendorong adanya peningkatan dalam upaya integrasi kawasan ke
arah yang lebih luas, dimana tidak ada kebijakan yang mengganggu masuknya
produk asing ke suatu negara,
hal itu
akan mendorong terbentuknya integrasi ke arah pasar global. Jika kondisi itu
dipenuhi, maka regionalisme dapat dipahami sebagai upaya untuk mendorong ke
arah globalisasi ekonomi yang lebih baik.
Namun jika sebaliknya, dimana regionalisme diarahkan hanya demi
kepentingan negara-negara anggota melalui kebijakan proteksionisme dan diskriminasi terhadap negara-negara lain, maka regionalisme akan
sangat berpengaruh buruk terhadap perkembangan globalisasi ekonomi. Sebab, cara
seperti itu hanya akan menciptakan kesenjangan antarnegara, sehingga yang
diuntungkan hanya negara-negara kuat semata.
REFERENSI
Catatan mata kuliah Studi Kawasan. 2010. Ilmu Hubungan
Internasional, FISIPOL, UGM, Maret 2010.
Gilpin,
Robert. 2001. Global Political Economy:
Understanding the International Economic Order. Princeton: Princeton
University Press.
Haas, Ernst B. 1968. The Uniting of Europe: Political, Social,
and Economic Forces, 1950-1957. Stanford: Stanford University Press.
Kegley, Charles W., and Eugene R. Witkopff. 2006. World Politics: Trend and Transformation,
10th edition. California: Thomson Wadsworth.
Ravenhill, John. 2005. Global Political Economy. Oxford: Oxford University Press.
Smith, Michael. 2001. “Regions and Regionalism” in Brian
White, Richard Little, and Michael Smith (eds.). 2001. Issues in World Politics, 2nd edition. Oxford University
Press.
Stubbs, Richard Stubbs and Geoferry Underhill. 2006. Political Economy and the Changing Global
Order. Oxford: Oxford University Press.
Suparman,
N., dkk. 2010. Regionalisme dalam Studi
Hubungan Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Winarno, Budi. 2008. “Politik Regionalisme dan Tantangan
ASEAN di Tengah Arus Besar Globalisasi,” SPEKTRUM,
Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional, Vol. 5, No. 2, Juni, 2008.
---. 2010. Isu-isu
Global Kontemporer. Yogyakarta: CAPS.
[1] M. Smith, “Regional and
Regionalism”, dalam
Brian White, et.al., (eds.), Issues in World Politics, 2nd Edition, Palgrave, New York, 2001, p.
56.
[2] R.
Gilpin & J.M.
Gilpin, “Global Political Economy Understanding the International Economic
Order”, dalam Budi
Winarno, Politik Regionalisme dan
Tantangan ASEAN di Tengah Arus Besar Globalisasi, 2008, hal. 4.
[3] M.
Mas’oed & S. M. Setyawati, Studi
Kawasan (Area/Regional Studies), dalam diktat mata kuliah Studi Kawasan,
disampaikan pada kuliah 24 Maret 2010.
[4] N. Suparman, dkk., Regionalisme dalam Studi Hubungan
Internasional, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010.
[5] Winarno, Isu-isu Global Kontemporer.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar