Oleh: Astiwi Inayah, Citra Istiqomah, Dian Trianita Lestari, Feriana Kushindarti, Irani Siti N, Muhammad Nizar H, Nofansyah Ibrahim, Novi Rizka A, Reza Triarda, Siti Fadilah
Hingga
saat ini belum ada penjelasan tunggal mengenai definisi regionalisme. Para ahli
kajian regionalisme pun belum mencapai kesepakatan tentang bagaimana
regionalisme muncul dan menjadi trend.[1]
Pada era tahun 1960-an dan 1970-an, dunia melihat analisis gelombang pertama
yang fokus secara khusus pada dampak-dampak regional atas Perang Dingin dan
munculnya institusi regional di Eropa dan negara-negara Dunia Ketiga. Pada
tahun 1990-an, muncul “new regionalism”
pasca Perang Dingin yang telah mendorong usaha-usaha untuk mendefinisikan dan
menjelaskan sifat esensial dan karakteristik kawasan dan kerja
sama kawasan dalam politik.[2]
Untuk
memahami kerja sama kawasan, penting artinya untuk terlebih dahulu memahami
konsep kawasan (region),
regionalisasi (regionalization), dan
regionalisme dengan pengertian yang berbeda-beda. Konsep region sendiri menurut
Mansbach adalah “pengelompokan regional diidentifikasi dari basis kedekatan
geografis, budaya, perdagangan dan saling ketergantungan ekonomi yang saling menguntungkan,
komunikasi serta keikutsertaan dalam organisasi internasional”.[3] Definisi-definisi
lain dari Bruce Russett misalnya menyebutkan identifikasi region sebagai kemiripan/homogenitas sosio-kultural dan sikap
politik, keanggotaan yang sama dalam organisasi supranasional atau
antarpemerintah, interdependensi ekonomi, serta kedekatan geografik. Sedangkan
Michael Brecher mengidentifikasi region
sebagai ruang lingkup (geografis) yang terbatas yang memiliki sedikitnya tiga
anggota, diakui anggota-anggotanya maupun pihak lain sebagi suatu region tersendiri, serta secara relatif
lebih rendah posisinya ataupun lebih banyak dipengaruhi oleh
perubahan-perubahan dalam sistem internasional dari pada sebaliknya.[4]
Poin-poin inilah yang menjadi karakteristik dari kawasan dan dasar bagi
perkembangan kerjasama kawasan.
Kerjasama kawasan dapat mengacu pada regionalisme maupun
regionalisasi. Regionalisme atau yang sering disebut sebagai proses formal dari
regionalisasi, memiliki definisi yang sangat beragam. Namun secara umum,
mengacu pada Prof. Budi Winarno dalam bukunya Isu-isu Global Kontemporer
(2011), regionalisme dapat diartikan sebagai “pengelompokan regional
diidentifikasi dari basis kedekatan geografis, budaya, perdagangan dan saling
ketergantungan ekonomi yang saling menguntungkan, dan saling ketergantungan,
komunikasi serta keikutsertaan dalam organisasi internasional.”[5]
Regionalisme selalu menjadi bagian dari hubungan
internasional dimana terdapat pembagian terhadap aktor-aktornya berdasarkan
kawasan. Kawasan yang dimaksud di sini tidak selalu berupa geografi. Dapat
dikatakan bahwa regionalisme adalah sebuah proses menuju keteraturan global,
sehingga membentuk sebuah bentuk dunia yang baru atau reformasi terhadap posisi
aktor-aktor yang terdapat di dalamnya. Hal ini terus berlangsung dan berlanjut
sehingga menjadi ciri khas dalam dunia internasional, terutama setelah
berakhirnya Perang Dunia II dalam hal keamanan internasional dan perekonomian.[6]
Definisi lain menyatakan bahwa regionalisme merupakan
seperangkat gagasan yang mengidentifikasi geografi dan ruang sosial sebagai
sebuah proyek regional. Atau dapat diartikan juga sebagai kesadaran membangun
sebuah identitas yang kemudian membentuk satu wilayah khusus. Regionalisme
seringkali dihubungkan dengan program kebijakan (tujuan yang ingin dicapai) dan
strategi (sarana dan mekanisme dalam mencapai tujuan tersebut) yang biasanya
akan membawa pada pembentukan institusi.[7]
Sementara itu, regionalisasi lebih menunjuk pada soft regionalism yang menitikberatkan pada proses-proses otonomi
yang mengarah pada interdependensi (saling ketergantungan) yang tinggi dalam
sebuah wilayah geografi tertentu dibandingkan antara wilayah itu dan bagian
wilayah lain di dunia. Proses regionalisasi menjadi tidak dapat dicegah dengan
semakin agresifnya aktor-aktor internasional dalam mencapai
kepentingan-kepentingan mereka dengan cara mengkoordinasikannya dengan aktor
lain. Namun proses regionalisasi tersebut tidak serta-merta menghasilkan kawasan
baru. Menurut Fawn, region baru
tercipta ketika aktor, mencakup pemerintah berada dalam identitas yang
spesifik.
Salah satu dampak adanya regionalisasi yaitu individu-individu yang ada di
dalamnya menjadi semakin bebas melintas batas negara mereka, terutama dalam kaitannya
dengan perdagangan bebas. Dalam hal ini, regionalisme kemudian disebut-sebut
sebagai batu pijakan bagi terciptanya globalisasi karena ia memudahkan aktor
hubungan internasional untuk saling bekerja sama dan berinteraksi, seperti
dalam kasus Uni Eropa. Namun adakalanya regionalisme juga dapat menjadi menjadi
batu penghalang bagi terciptanya globalisasi, yaitu ketika ia
mengkotak-kotakkan satu region dengan region yang lain sehingga sulit bagi
mereka untuk menjadi sesuatu yang mengglobal karena terpisah-pisah. Misalnya
terciptanya NAFTA dan AFTA berada dalam sebuah regional yang berbeda sehingga
sulit bagi negara-negara anggota yang berbeda untuk melakukan kerjasama yang
sama.
Kemudian, regionalisasi dikatakan juga berada dalam konteks ekonomi ketika
aktor yang berperan di dalamnya adalah private actor atau aktor non-negara seperti yang diungkapkan oleh Andrew Hurrell (1995),
seperti dalam sebuah organisasi internasional yang mempunyai spesifikasi
terhadap isu-isu tertentu, sehingga ia memiliki sebuah identitas sendiri,
sehingga dapat disimpulkan bahwa regionalisasi tersebut telah terinstitusionalisasi.
Sementara itu, mengenai bentuk-bentuk regionalisme kita dapat mengacu pada
Richard Stubbs dan Geoffrey Underhill yang mengklasifikasikan regionalisme ke
dalam beberapa varian, yaitu: dimensi spasial/geografis, ruang lingkup dan
fungsi, serta level dan luas organisasi regional.[8]
[1] T. H.
Cohn, “Global Political Economy: Theory and Practice”, dalam Budi Winarno, Politik Regionalisme dan Tantangan ASEAN di
Tengah Arus Besar Globalisasi, Juni 2008, Jurnal Spektrum, Vol. 5, No. 2,
hal.1.
[2] M. Smith, “Regional and
Regionalism”, dalam
Brian White, et.al., (eds.), Issues in World Politics, 2nd Edition, Palgrave, New York, 2001, p.
56.
[3] R. F.
Hopkins & R. W. Mansbach, Structure
and Process in International Politics, Harper and Row, New York, 1973.
[4] Mas’oed
& Setyawati, Studi Kawasan
(Area/Regional Studies).
[5] B.
Winarno, Isu-isu Global Kontemporer,
CAPS, Jakarta, 2011.
[6] A.
Acharya & A. I. Johnston (eds.), Crafting
Cooperations: Regional Institutions in Comparative Perspective, Cambridge
University Press, Cambridge, 2007.
[7] R.
Stubbs & G. Underhill, Political
Economy and the Changing Global Order, Oxford University Press, Oxford,
2006.
[8] Op.Cit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar