“Aku bersyukur dilahirkan di Indonesia, dimana senyum masih menjadi karakter, budaya masih apik terjaga, dan optimisme masih menyulut semangat. Aku berharap, anak-anakku kelak harus lebih bangga dariku dalam memandang dan memperjuangkan Indonesianya. Jaya Selalu Negeriku Indonesia, Jayalah Selama-lamanya”

Regionalisme: Definisi, Bentuk, dan Karakteristik


Oleh: Astiwi Inayah, Citra Istiqomah, Dian Trianita Lestari, Feriana Kushindarti, Irani Siti N, Muhammad Nizar H, Nofansyah Ibrahim, Novi Rizka A, Reza Triarda, Siti Fadilah                   
Hingga saat ini belum ada penjelasan tunggal mengenai definisi regionalisme. Para ahli kajian regionalisme pun belum mencapai kesepakatan tentang bagaimana regionalisme muncul dan menjadi trend.[1] Pada era tahun 1960-an dan 1970-an, dunia melihat analisis gelombang pertama yang fokus secara khusus pada dampak-dampak regional atas Perang Dingin dan munculnya institusi regional di Eropa dan negara-negara Dunia Ketiga. Pada tahun 1990-an, muncul “new regionalism” pasca Perang Dingin yang telah mendorong usaha-usaha untuk mendefinisikan dan menjelaskan sifat esensial dan karakteristik kawasan dan kerja sama kawasan dalam politik.[2]
Untuk memahami kerja sama kawasan, penting artinya untuk terlebih dahulu memahami konsep kawasan (region), regionalisasi (regionalization), dan regionalisme dengan pengertian yang berbeda-beda. Konsep region sendiri menurut Mansbach adalah “pengelompokan regional diidentifikasi dari basis kedekatan geografis, budaya, perdagangan dan saling ketergantungan ekonomi yang saling menguntungkan, komunikasi serta keikutsertaan dalam organisasi internasional”.[3] Definisi-definisi lain dari Bruce Russett misalnya menyebutkan identifikasi region sebagai kemiripan/homogenitas sosio-kultural dan sikap politik, keanggotaan yang sama dalam organisasi supranasional atau antarpemerintah, interdependensi ekonomi, serta kedekatan geografik. Sedangkan Michael Brecher mengidentifikasi region sebagai ruang lingkup (geografis) yang terbatas yang memiliki sedikitnya tiga anggota, diakui anggota-anggotanya maupun pihak lain sebagi suatu region tersendiri, serta secara relatif lebih rendah posisinya ataupun lebih banyak dipengaruhi oleh perubahan-perubahan dalam sistem internasional dari pada sebaliknya.[4] Poin-poin inilah yang menjadi karakteristik dari kawasan dan dasar bagi perkembangan kerjasama kawasan.
Kerjasama kawasan dapat mengacu pada regionalisme maupun regionalisasi. Regionalisme atau yang sering disebut sebagai proses formal dari regionalisasi, memiliki definisi yang sangat beragam. Namun secara umum, mengacu pada Prof. Budi Winarno dalam bukunya Isu-isu Global Kontemporer (2011), regionalisme dapat diartikan sebagai “pengelompokan regional diidentifikasi dari basis kedekatan geografis, budaya, perdagangan dan saling ketergantungan ekonomi yang saling menguntungkan, dan saling ketergantungan, komunikasi serta keikutsertaan dalam organisasi internasional.”[5]

Regionalisme selalu menjadi bagian dari hubungan internasional dimana terdapat pembagian terhadap aktor-aktornya berdasarkan kawasan. Kawasan yang dimaksud di sini tidak selalu berupa geografi. Dapat dikatakan bahwa regionalisme adalah sebuah proses menuju keteraturan global, sehingga membentuk sebuah bentuk dunia yang baru atau reformasi terhadap posisi aktor-aktor yang terdapat di dalamnya. Hal ini terus berlangsung dan berlanjut sehingga menjadi ciri khas dalam dunia internasional, terutama setelah berakhirnya Perang Dunia II dalam hal keamanan internasional dan perekonomian.[6]
Definisi lain menyatakan bahwa regionalisme merupakan seperangkat gagasan yang mengidentifikasi geografi dan ruang sosial sebagai sebuah proyek regional. Atau dapat diartikan juga sebagai kesadaran membangun sebuah identitas yang kemudian membentuk satu wilayah khusus. Regionalisme seringkali dihubungkan dengan program kebijakan (tujuan yang ingin dicapai) dan strategi (sarana dan mekanisme dalam mencapai tujuan tersebut) yang biasanya akan membawa pada pembentukan institusi.[7]
Sementara itu, regionalisasi lebih menunjuk pada soft regionalism yang menitikberatkan pada proses-proses otonomi yang mengarah pada interdependensi (saling ketergantungan) yang tinggi dalam sebuah wilayah geografi tertentu dibandingkan antara wilayah itu dan bagian wilayah lain di dunia. Proses regionalisasi menjadi tidak dapat dicegah dengan semakin agresifnya aktor-aktor internasional dalam mencapai kepentingan-kepentingan mereka dengan cara mengkoordinasikannya dengan aktor lain. Namun proses regionalisasi tersebut tidak serta-merta menghasilkan kawasan baru. Menurut Fawn, region baru tercipta ketika aktor, mencakup pemerintah berada dalam identitas yang spesifik.
Salah satu dampak adanya regionalisasi yaitu individu-individu yang ada di dalamnya menjadi semakin bebas melintas batas negara mereka, terutama dalam kaitannya dengan perdagangan bebas. Dalam hal ini, regionalisme kemudian disebut-sebut sebagai batu pijakan bagi terciptanya globalisasi karena ia memudahkan aktor hubungan internasional untuk saling bekerja sama dan berinteraksi, seperti dalam kasus Uni Eropa. Namun adakalanya regionalisme juga dapat menjadi menjadi batu penghalang bagi terciptanya globalisasi, yaitu ketika ia mengkotak-kotakkan satu region dengan region yang lain sehingga sulit bagi mereka untuk menjadi sesuatu yang mengglobal karena terpisah-pisah. Misalnya terciptanya NAFTA dan AFTA berada dalam sebuah regional yang berbeda sehingga sulit bagi negara-negara anggota yang berbeda untuk melakukan kerjasama yang sama.
Kemudian, regionalisasi dikatakan juga berada dalam konteks ekonomi ketika aktor yang berperan di dalamnya adalah private actor atau aktor non-negara seperti yang diungkapkan oleh Andrew Hurrell (1995), seperti dalam sebuah organisasi internasional yang mempunyai spesifikasi terhadap isu-isu tertentu, sehingga ia memiliki sebuah identitas sendiri, sehingga dapat disimpulkan bahwa regionalisasi tersebut telah terinstitusionalisasi. Sementara itu, mengenai bentuk-bentuk regionalisme kita dapat mengacu pada Richard Stubbs dan Geoffrey Underhill yang mengklasifikasikan regionalisme ke dalam beberapa varian, yaitu: dimensi spasial/geografis, ruang lingkup dan fungsi, serta level dan luas organisasi regional.[8]


[1] T. H. Cohn, “Global Political Economy: Theory and Practice”, dalam Budi Winarno, Politik Regionalisme dan Tantangan ASEAN di Tengah Arus Besar Globalisasi, Juni 2008, Jurnal Spektrum, Vol. 5, No. 2, hal.1.
[2] M. Smith, “Regional and Regionalism”, dalam Brian White, et.al., (eds.), Issues in World Politics, 2nd Edition, Palgrave, New York, 2001, p. 56.
[3] R. F. Hopkins & R. W. Mansbach, Structure and Process in International Politics, Harper and Row, New York, 1973.
[4] Mas’oed & Setyawati, Studi Kawasan (Area/Regional Studies).
[5] B. Winarno, Isu-isu Global Kontemporer, CAPS, Jakarta, 2011.
[6] A. Acharya & A. I. Johnston (eds.), Crafting Cooperations: Regional Institutions in Comparative Perspective, Cambridge University Press, Cambridge, 2007.
[7] R. Stubbs & G. Underhill, Political Economy and the Changing Global Order, Oxford University Press, Oxford, 2006.
[8] Op.Cit

Tidak ada komentar:

Posting Komentar