“Aku bersyukur dilahirkan di Indonesia, dimana senyum masih menjadi karakter, budaya masih apik terjaga, dan optimisme masih menyulut semangat. Aku berharap, anak-anakku kelak harus lebih bangga dariku dalam memandang dan memperjuangkan Indonesianya. Jaya Selalu Negeriku Indonesia, Jayalah Selama-lamanya”

Perdebatan Teoritis Seputar Penyebab Krisis Keuangan di Asia Timur Tahun 1997



    Oleh: Dian Trianita Lestari  13/352095/PSP/04654


    Tentu masih sangat jelas di ingatan kita salah satu momen bersejarah yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998, yaitu digulingkannya rezim presiden Soeharto. Peristiwa tersebut merupakan salah satu contoh dari dampak yang ditimbulkan oleh krisis keuangan di Asia yang bermula pada Juli 1997 di Thailand. Krisis yang tidak hanya berdampak pada stabilitas ekonomi regional tetapi juga di tingkat global tersebut akhirnya mewabah ke beberapa Negara bagian di Asia. Namun banyak yang berpendapat bahwa Thailand, Indonesia, Malaysia dan Korea Selatan lah Negara yang paling terkena dampak dari krisis tersebut.
     Tak ada asap tanpa api, maka tak mungkin krisis terjadi tanpa sebab-sebab tertentu. Berikut merupakan beberapa teori yang saya dapatkan dari berbagai sumber yang dapat menjelaskan mengenai penyebab munculnya krisis keuangan di Asia Timur di tahun 1997:
1.      Teori krisis oleh Krugman (1999). Krisis yang melanda Asia Timur tidak terkait dengan defisit fiskal ataupun masalah yang terkait dengan fundamental ekonomi, namun lebih disebabkan oleh adanya kelebihan likuiditas yang kemudian berdampak pada runtuhnya sektor keuangan.[1]
2.      Teori Open Economy oleh Bernanke-Gertler (1989).[2] Teori ini menyatakan bahwa telah terjadi sesuatu yang menyebabkan terjadinya ketidakstabilan politik, kemudian ditambah dengan adanya krisis keuangan di Negara lain yang diduga oleh para investor akan terjadi juga di Negara lainnya, serta adanya manipulasi pasar oleh spekulan-spekulan besar, yang pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya depresiasi nilai tukar secara mendadak. Hal inilah yang menyebabkan kehancuran dalam neraca pembayaran sehingga mengakibatkan terjadinya krisis.

3.      Teori krisis oleh Radelet dan Sachs yang menyatakan bahwa krisis yang melanda Asia Timur pada 1997 dikarenakan oleh krisis yang menimpa sistem keuangan internasional sehingga menyebabkan pasar keuangan internasional menjadi tidak stabil. Atau dengan kata lain, krisis tersebut hampir serupa dengan krisis western capitalism.[3]
4.      Teori Developmental State. Teori ini didasari pemahaman yang melihat keterkaitan hasil-hasil pembangunan ekonomi dengan pengaturan institusi yang berpusat pada Negara. Hal ini dikaitkan dengan kritik yang berasal dari kaum neo-klasik yang menyatakan bahwa teori ini rentan akan kapitalisme yang dapat menimbulkan krisis ekonomi karena birokrasi yang tidak bersih (KKN). Contohnya yang terjadi di Korea Selatan[4] dimana sangat terlihat jelas kontras antara gagasan utama teori ini yang telah dituliskan diatas yaitu Negara sentris dengan ide demokratisasi dan liberalisasi ekonomi yang menegaskan bahwa Negara hanya mengambil sedikit peran dalam pembangunan ekonomi.
5.      Three distinct schools: fundamentalist, internationalist, and new fundamentalist. Yang pertama yaitu fundamentalist dengan istilahnya yaitu rational panic, bahwa krisis tersebut ialah sesuatu yang tidak dapat diantisipasi yang diikuti oleh penyesuaian nilai tukar yang terlampau besar. Selanjutnya ada yang disebut dengan hubungan keuangan antara satu Negara dengan Negara lain. Hal ini didukung oleh teori regionalisme yang sarat akan efek domino. Contohnya yaitu saat Taiwan mengalami devaluasi yang mencetuskan krisis pasar di Hongkong pada akhir Oktober, kemudian diturunkan ke Korea Selatan, yang akhirnya bermuara pada krisis keuangan yang melanda pasar Asia Tenggara.  Yang terakhir yaitu dari new fundamentalist yang menitikberatkan pada lemahnya sektor keuangan Asia Timur itu sendiri, contohnya yaitu laju pertumbuhan pinjaman yang sangat cepat. Salah satu contohnya yaitu Korea Selatan yang mengalami peningkatan investasi yang dibiayai oleh bank sebelum 1997, yang mengakibatkan pinjaman tumbuh dengan pesatnya dan memperburuk neraca perbankan.[5]
6.      Teori debt and financial fragility, teori disaster myopia dan teori bank runs oleh David (2001)[6]. Pertama, teori debt and financial fragility yang meyakini bahwa perekonomian selalu mengikuti siklus yang terdiri dari dua periode pertumbuhan, yaitu positif dan negatif (Fisher, 1933). Dengan tingkat perekonomian yang melaju sangat pesat di Asia Timur, utang dan kegiatan pengambilan risiko pun turut meningkat. Hal tersebutlah yang kemudian mencetuskan gelembung aset yang akan mengarah pada pertumbuhan negatif. Kedua, teori disaster myopia yang memberikan bukti bahwa ketidakstabilan keuangan yang terjadi di Asia Timur disebabkan oleh perilaku kompetitif lembaga keuangan yang bermuara pada kondisi dimana kredibilitas peminjam diabaikan dan risiko dikurangi (Herring, 1999). Ketiga, teori bank runs menjelaskan kondisi dimana pada saat angin krisis mulai merambah Asia Timur, para investor kemudian mengalami kepanikan sehingga memutuskan untuk menjual aset mereka atau menarik dana mereka karena takut bahwa kondisi ekonomi akan semakin memburuk (Diamond dan Dybvig, 1983, Davis, 1994). Hal tersebutlah yang mengakibatkan kemerosotan secara tiba-tiba pada harga aset dan krisis likuiditas.

     Dari beberapa teori di atas, maka saya pribadi mendukung teori nomor empat yaitu Developmental State sebagai teori yang tepat untuk menjelaskan mengapa krisis keuangan bisa terjadi di Asia Timur pada 1997. Hal ini berdasarkan apa yang telah saya sebutkan di atas bahwa apabila Negara memilih untuk menerapkan model developmental state ini, maka besar kemungkinan Negara tersebut akan diserang oleh apa yang disebut dengan kapitalisme. Seperti yang kita ketahui, sebelum akhirnya mengalami krisis keuangan di 1997, Negara-negara di Asia khususnya Asia Timur mengalami masa kejayaannya (Asian Miracle). Dan seperti yang dijabarkan oleh Poppy di salah satu tulisannya, bahwa model developmental state sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan jika proses pembangunan ekonomi suatu Negara telah mencapai titik keemasannya, karena hal tersebut justru akan membuat Negara rentan akan krisis dengan sifat model ini yang telah berubah menjadi penghambat untuk Negara lebih berhasil lagi dalam perekonomiannya[7].
     Lalu apa hubungan model di atas dengan kapitalisme? Ini sungguh jelas kaitannya bila melihat inti dari sistem kapitalisme dimana pemerintah melakukan intervensi demi keuntungan pribadi. Hal tersebut dapat dijelaskan dengan adanya bom investor di awal tahun 1990-an dimana mereka telah menginvestasikan milyaran dollar ke pasar Asia Tenggara. Investasi inilah yang memicu adanya perluasan kredit yang berlebihan yang pada akhirnya mengalami pergeseran ketersediaan kredit yang terjadi pada 1997. Masalah terus berlanjut dengan menurunnya tingkat ekspor dan nilai tukar mata uang yang menyebabkan macetnya pinjaman bank. Ditambah lagi dengan kenyataan yang harus dihadapi oleh pemerintah Thailand dan Indonesia yang hutangnya telah jatuh tempo dan harus segera dilunasi dengan menggunakan dollar. Sementara para investor yang sudah skeptis akan keberhasilan investasinya sudah menarik dollar mereka dari Negara-negara tersebut. Hal ini memaksa Negara kemudian untuk menggunakan devisa mereka demi membeli dollar untuk membayar hutang. Disinilah inflasi kemudian terjadi.
    
Daftar Pustaka
     Arisyi F. Raz, dkk. 2012. Krisis Keuangan Global dan Pertumbuhan Ekonomi: Analisa dari Perekonomian Asia Timur. Disalur dari www.bi.go.id.
     Haggard, S. 2000. The Political Economy of the Asian Financial Crisis. Washington, DC: Institute For International Economics.
     Poppy S. Winanti. 2003. Developmental State dan Tantangan Globalisasi: Pengalaman Korea Selatan. UGM: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
     Shinta, dkk. 2008. Bangkitnya perekonomian Asia Timur: satu dekade setelah krisis. Jakarta: Elex Media Komputindo.


[1] Shinta, dkk. 2008. Bangkitnya Perekonomian Asia Timur: Satu Dekade Setelah Krisis. Jakarta: Elex Media Komputindo

[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Contoh ini berdasarkan tulisan Poppy S. Winanti: Developmental State dan Tantangan Globalisasi: Pengalaman Korea Selatan.
[5] Haggard, S. 2000. The Political Economy of the Asian Financial Crisis. Washington, DC: Institute For International Economics.
[6] Arisyi F. Raz, dkk. 2012. Krisis Keuangan Global dan Pertumbuhan Ekonomi: Analisa dari Perekonomian Asia Timur. Disalur dari www.bi.go.id.
[7] Poppy S. Winanti. 2003. Developmental State dan Tantangan Globalisasi: Pengalaman Korea Selatan. UGM: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Hal. 198.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar