Oleh: Astiwi Inayah, Citra Istiqomah, Dian Trianita Lestari, Feriana Kushindarti, Irani Siti N, Muhammad Nizar H, Nofansyah Ibrahim, Novi Rizka A, Reza Triarda, Siti Fadilah
Di tengah diskursus mengenai
kemunculan regionalisme sebagai bagian dari globalisasi atau justru kontradiksi
dari proses itu sendiri, masyarakat internasional mencoba menilai apakah
regionalisme tersebut efektif atau tidak, baik dalam kaitannya dengan proses
integrasi kawasan maupun integrasi global. Realitanya, sebuah regionalisme
seringkali dipandang lebih berhasil dari pada regionalisme lain. Bagaimana
konsepsi ini dibentuk? Bagaimana cara mengukurnya? Apa indikatornya? Bagaimana
sebuah regionalisme dapat dikatakan berhasil ataupun gagal?
Pada dasarnya, tidak terdapat
sebuah konsepsi standar yang secara luas digunakan sebagai indikator mutlak
kesuksesan atau kegagalan maupun efektivitas atau inefektivitas sebuah
regionalisme. Hal ini disebabkan oleh ketiadaan konsep dasar yang serupa
mengenai regionalisme itu sendiri. Namun sesuai perkembangannya, masyarakat
internasional, terutama para ahli dan akademisi berusaha merumuskan poin-poin
yang dapat mengindikasikan apakah regionalisme dapat dikatakan berhasil atau
tidak. Pertama, mengacu pada definisi
dan perspektif yang melatarbelakangi kemunculan regionalisme yang pada
hakikatnya merefleksikan kemana arah regionalisme itu seharusnya berjalan.
Joseph Nye misalnya, menyatakan bahwa regionalisme merupakan “framework of interdependence” sebagai
bentuk kohesivitas antarnegara dalam satu kawasan. Artinya, jika dalam sebuah
kawasan tidak tercipta interdependensi atau saling ketergantungan, bagaimana
regionalisme dapat dikatakan berhasil? Martin Griffiths dan Terry O’Callaghan
juga memberikan definisi serupa, yakni intensifikasi proses kerja sama politik
dan ekonomi antarnegara dan aktor-aktor lain dalam sebuah kawasan geografis
tertentu.[1] Demikian pula
dengan definisi yang dipaparkan oleh David Balaam dan Michael Veseth yang
menjelaskan regionalisme sebagai proses persetujuan untuk bekerjasama dan
berbagi tanggung jawab demi mencapai tujuan bersama.[2] Intensifikasi
kerja sama ekonomi-politik dan proses share
of responsibility menjadi penting sebagai prasyarat bagi eksistensi maupun
efektivitas sebuah regionalisme.
Sementara itu, jika mengacu pada
tiap-tiap perspektif ataupun teori, maka akan muncul varian indikator
keberhasilan atau efektivitas yang berbeda pula. Menurut kaum neo-realis
misalnya, regionalisme muncul sebagai respon terhadap perubahan hubungan
keamanan dan kekuatan global. Sedangkan menurut neo-liberal, regionalisme
muncul untuk memfasilitasi orde ekonomi liberal sekaligus sebagai respon
peningkatan interdependensi yang memerlukan pelembagaan terutama pasca
berakhirnya Perang Dingin. Di sisi lain, teori neo-fungsionalisme menyatakan
bahwa kerja sama kawasan yang sukses semestinya diawali dari kerja sama
non-politik yang nantinya akan memberi efek perluasan/spill-over ke arah kerja sama ekonomi, baru kemudian pada kerja
sama politik.[3]
Oleh sebab itu, regionalisme harus menjawab masing-masing tantangan ini untuk
dapat dikatakan sebagai regionalisme yang berhasil. Jika tidak, maka
regionalisme tersebut dapat dikatakan tidak fungsional.
Kedua,
indikator keberhasilan regionalisme dapat dilihat mengacu pada esensi maupun
urgensi kemunculannya. Bila tidak mampu mencapai tujuan-tujuannya, tentu
regionalisme akan dianggap sebagai kerangka atau mekanisme yang gagal. Menurut
Ravenhill, regionalisme muncul dikarenakan dua motivasi utama, yakni motivasi
politik dan motivasi ekonomi. Dalam aspek politik, kemunculan regionalisme
harus mendorong kerja sama ekonomi dan pembentukan rasa percaya diri terhadap
kawasan (confidence building), kerja
sama ekonomi dan terbentuknya agenda keamanan baru, menjadi alat tawar (bargaining tool), mekanisme untuk “locking-in reforms”, memuaskan
konstituen politik domestik, serta memudahkan proses negosiasi dan penerapan
perjanjian/persetujuan bersama. Di sisi lain dalam aspek ekonomi, regionalisme
idealnya memungkinkan proteksi terhadap sektor-sektor yang kurang kompetitif
dalam kompetisi global, membuka kesempatan untuk integrasi yang lebih mendalam,
serta membuka pasar yang lebih besar dan peningkatan investasi asing.[4] Berbagai esensi
mendasar mengenai kemunculan regionalisme tersebut dapat menjadi penilaian bagi
efektivitas kinerja regionalisme, meskipun tidak terdapat batasan yang jelas
mengenai seberapa layakkah untuk dikatakan berhasil ataupun gagal? Di dalamnya
barangkali justru terdapat kontradiksi atau benturan dari tujuan-tujuan
regionalisme itu sendiri.
Ketiga,
keberhasilan ataupun kegagalan sebuah regionalisme, serta bagaimana hal itu
berkontribusi terhadap globalisasi, juga dapat diukur dari indikator yang
paling dominan mempengaruhinya, yakni tingkat integrasi yang terjadi, terutama
integrasi dalam aspek ekonomi. Ini dapat diartikan bahwa regionalisme yang baik
atau ideal haruslah menjadi kontributor utama yang mendorong proses
globalisasi, bukan sebaliknya, berhenti pada proses penyatuan kawasan dan
justru menghambat proses globalisasi itu sendiri. Untuk mengukur aktivitas
ekonomi, kita dapat menyimak proses dan skala tingkat integrasi fungsional (functional integration) mengenai tingkat
kedalaman kerja sama ekonomi dalam satu kawasan dan tingkat penyebarannya
secara geografis (geographical spread)
mengenai seluas apa integrasi seharusnya dibangun. Keduanya harus berjalan
beriringan agar dapat tercapai globalisasi yang sesungguhnya (pure globalization).[5]
Akan tetapi, kembali pada fakta
bahwa tidak ada satu pun tolok ukur umum mengenai bagaimana regionalisme
semestinya dievaluasi, penilaian terhadap keberhasilan ataupun efektivitas
sebuah regionalisme akan tergantung pada dari sudut pandang mana suatu pihak
menyorotinya.
[1] M.
Griffiths & T. O’Callaghan, International
Relations: The Key Concept, Taylor & Francis, London, 2002.
[2] D.
Balaam & M. Veseth, Introduction to
International Political Economy, Pearson, London, 2007, p. 218.
[3] Catatan
mata kuliah Studi Kawasan, Ilmu Hubungan Internasional, FISIPOL, UGM, Maret
2010.
[4] J.
Ravenhill, “Regionalism”, in Global
Political Economy, Oxford University Press, Oxford, 2005, pp. 122-126.
[5] Mas’oed
& Setyawati, Studi Kawasan
(Area/Regional Studies).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar