“Aku bersyukur dilahirkan di Indonesia, dimana senyum masih menjadi karakter, budaya masih apik terjaga, dan optimisme masih menyulut semangat. Aku berharap, anak-anakku kelak harus lebih bangga dariku dalam memandang dan memperjuangkan Indonesianya. Jaya Selalu Negeriku Indonesia, Jayalah Selama-lamanya”

Efektivitas dan Inefektivitas Regionalisme: Studi Kasus EU dan SAARC


Oleh: Astiwi Inayah, Citra Istiqomah, Dian Trianita Lestari, Feriana Kushindarti, Irani Siti N, Muhammad Nizar H, Nofansyah Ibrahim, Novi Rizka A, Reza Triarda, Siti Fadilah 
Di tengah diskursus mengenai kemunculan regionalisme sebagai bagian dari globalisasi atau justru kontradiksi dari proses itu sendiri, masyarakat internasional mencoba menilai apakah regionalisme tersebut efektif atau tidak, baik dalam kaitannya dengan proses integrasi kawasan maupun integrasi global. Realitanya, sebuah regionalisme seringkali dipandang lebih berhasil dari pada regionalisme lain. Bagaimana konsepsi ini dibentuk? Bagaimana cara mengukurnya? Apa indikatornya? Bagaimana sebuah regionalisme dapat dikatakan berhasil ataupun gagal?
Pada dasarnya, tidak terdapat sebuah konsepsi standar yang secara luas digunakan sebagai indikator mutlak kesuksesan atau kegagalan maupun efektivitas atau inefektivitas sebuah regionalisme. Hal ini disebabkan oleh ketiadaan konsep dasar yang serupa mengenai regionalisme itu sendiri. Namun sesuai perkembangannya, masyarakat internasional, terutama para ahli dan akademisi berusaha merumuskan poin-poin yang dapat mengindikasikan apakah regionalisme dapat dikatakan berhasil atau tidak. Pertama, mengacu pada definisi dan perspektif yang melatarbelakangi kemunculan regionalisme yang pada hakikatnya merefleksikan kemana arah regionalisme itu seharusnya berjalan. Joseph Nye misalnya, menyatakan bahwa regionalisme merupakan “framework of interdependence” sebagai bentuk kohesivitas antarnegara dalam satu kawasan. Artinya, jika dalam sebuah kawasan tidak tercipta interdependensi atau saling ketergantungan, bagaimana regionalisme dapat dikatakan berhasil? Martin Griffiths dan Terry O’Callaghan juga memberikan definisi serupa, yakni intensifikasi proses kerja sama politik dan ekonomi antarnegara dan aktor-aktor lain dalam sebuah kawasan geografis tertentu.[1] Demikian pula dengan definisi yang dipaparkan oleh David Balaam dan Michael Veseth yang menjelaskan regionalisme sebagai proses persetujuan untuk bekerjasama dan berbagi tanggung jawab demi mencapai tujuan bersama.[2] Intensifikasi kerja sama ekonomi-politik dan proses share of responsibility menjadi penting sebagai prasyarat bagi eksistensi maupun efektivitas sebuah regionalisme.
Sementara itu, jika mengacu pada tiap-tiap perspektif ataupun teori, maka akan muncul varian indikator keberhasilan atau efektivitas yang berbeda pula. Menurut kaum neo-realis misalnya, regionalisme muncul sebagai respon terhadap perubahan hubungan keamanan dan kekuatan global. Sedangkan menurut neo-liberal, regionalisme muncul untuk memfasilitasi orde ekonomi liberal sekaligus sebagai respon peningkatan interdependensi yang memerlukan pelembagaan terutama pasca berakhirnya Perang Dingin. Di sisi lain, teori neo-fungsionalisme menyatakan bahwa kerja sama kawasan yang sukses semestinya diawali dari kerja sama non-politik yang nantinya akan memberi efek perluasan/spill-over ke arah kerja sama ekonomi, baru kemudian pada kerja sama politik.[3] Oleh sebab itu, regionalisme harus menjawab masing-masing tantangan ini untuk dapat dikatakan sebagai regionalisme yang berhasil. Jika tidak, maka regionalisme tersebut dapat dikatakan tidak fungsional.

Kedua, indikator keberhasilan regionalisme dapat dilihat mengacu pada esensi maupun urgensi kemunculannya. Bila tidak mampu mencapai tujuan-tujuannya, tentu regionalisme akan dianggap sebagai kerangka atau mekanisme yang gagal. Menurut Ravenhill, regionalisme muncul dikarenakan dua motivasi utama, yakni motivasi politik dan motivasi ekonomi. Dalam aspek politik, kemunculan regionalisme harus mendorong kerja sama ekonomi dan pembentukan rasa percaya diri terhadap kawasan (confidence building), kerja sama ekonomi dan terbentuknya agenda keamanan baru, menjadi alat tawar (bargaining tool), mekanisme untuk “locking-in reforms”, memuaskan konstituen politik domestik, serta memudahkan proses negosiasi dan penerapan perjanjian/persetujuan bersama. Di sisi lain dalam aspek ekonomi, regionalisme idealnya memungkinkan proteksi terhadap sektor-sektor yang kurang kompetitif dalam kompetisi global, membuka kesempatan untuk integrasi yang lebih mendalam, serta membuka pasar yang lebih besar dan peningkatan investasi asing.[4] Berbagai esensi mendasar mengenai kemunculan regionalisme tersebut dapat menjadi penilaian bagi efektivitas kinerja regionalisme, meskipun tidak terdapat batasan yang jelas mengenai seberapa layakkah untuk dikatakan berhasil ataupun gagal? Di dalamnya barangkali justru terdapat kontradiksi atau benturan dari tujuan-tujuan regionalisme itu sendiri.
Ketiga, keberhasilan ataupun kegagalan sebuah regionalisme, serta bagaimana hal itu berkontribusi terhadap globalisasi, juga dapat diukur dari indikator yang paling dominan mempengaruhinya, yakni tingkat integrasi yang terjadi, terutama integrasi dalam aspek ekonomi. Ini dapat diartikan bahwa regionalisme yang baik atau ideal haruslah menjadi kontributor utama yang mendorong proses globalisasi, bukan sebaliknya, berhenti pada proses penyatuan kawasan dan justru menghambat proses globalisasi itu sendiri. Untuk mengukur aktivitas ekonomi, kita dapat menyimak proses dan skala tingkat integrasi fungsional (functional integration) mengenai tingkat kedalaman kerja sama ekonomi dalam satu kawasan dan tingkat penyebarannya secara geografis (geographical spread) mengenai seluas apa integrasi seharusnya dibangun. Keduanya harus berjalan beriringan agar dapat tercapai globalisasi yang sesungguhnya (pure globalization).[5]
Akan tetapi, kembali pada fakta bahwa tidak ada satu pun tolok ukur umum mengenai bagaimana regionalisme semestinya dievaluasi, penilaian terhadap keberhasilan ataupun efektivitas sebuah regionalisme akan tergantung pada dari sudut pandang mana suatu pihak menyorotinya.



[1] M. Griffiths & T. O’Callaghan, International Relations: The Key Concept, Taylor & Francis, London, 2002.
[2] D. Balaam & M. Veseth, Introduction to International Political Economy, Pearson, London, 2007, p. 218.
[3] Catatan mata kuliah Studi Kawasan, Ilmu Hubungan Internasional, FISIPOL, UGM, Maret 2010.
[4] J. Ravenhill, “Regionalism”, in Global Political Economy, Oxford University Press, Oxford, 2005, pp. 122-126.
[5] Mas’oed & Setyawati, Studi Kawasan (Area/Regional Studies).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar