“Aku bersyukur dilahirkan di Indonesia, dimana senyum masih menjadi karakter, budaya masih apik terjaga, dan optimisme masih menyulut semangat. Aku berharap, anak-anakku kelak harus lebih bangga dariku dalam memandang dan memperjuangkan Indonesianya. Jaya Selalu Negeriku Indonesia, Jayalah Selama-lamanya”

SAARC dan Inefektivitas Regionalisme


Oleh: Astiwi Inayah, Citra Istiqomah, Dian Trianita Lestari, Feriana Kushindarti, Irani Siti N, Muhammad Nizar H, Nofansyah Ibrahim, Novi Rizka A, Reza Triarda, Siti Fadilah 
Contoh regionalisme yang barangkali dapat digolongkan gagal atau tidak efektif adalah SAARC (The South Asian Association for Regional Cooperation). SAARC merupakan mekanisme kerja sama di berbagai bidang antara delapan negara di kawasan Asia Selatan, yaitu: Afghanistan, Bangladesh, Bhutan, Maldives, Nepal, Pakistan, dan Sri Lanka yang disepakati pada 8 Desember 1985.[1] Dalam dinamikanya, banyak pihak mengkritisi efektivitas peran SAARC ini karena kerja sama tersebut dinilai tidak memberikan keuntungan bagi negara-negara anggotanya maupun menciptakan stabilitas yang luas untuk mendorong terciptanya integrasi dan perdamaian. Hal tersebut dapat dilihat dari berbagai aspek, seperti struktur, esensi, dan tujuan kerja sama, sistem internasional, serta beberapa faktor terkait.
Faktor pertama yang mendasari inefektivitas SAARC ialah disfungsi organisasi tersebut dalam menghindarkan munculnya konflik antarnegara di kawasan Asia Selatan sendiri. Relasi konfliktual, terutama antara major powers yakni India dengan Pakistan jelas menjadi gambaran riil persaingan kekuatan sekaligus kontradiksi bagi terwujudnya integrasi dan perdamaian yang dimaksud. Realitanya, hubungan yang terjadi antara negara-negara di dalam kawasan ini justru menunjukkan adanya power-over di mana dominasi India untuk mengejar kepentingan nasionalnya sangatlah tampak. Sedangkan negara-negara lain yakni Pakistan, Bangladesh, Nepal, Bhutan, Sri Lanka, Maldives, dan Afghanistan hanya berada di bawah bayang-bayang kekuatan India yang kian menguat. Sejak India mereformasi kebijakan pasarnya di tahun 1991, pembangunan di sektor ekonomi melalui transformasi kebijakan luar negeri kian menjadi fokus pengembangan negara itu dan logikanya posisi SAARC dalam hal ini dimanfaatkan dengan baik oleh India sebagai instrumen untuk mengejar kepentingan, power, dan prestise negaranya.
Selain itu, faktor lain yang menyebabkan SAARC menjadi tidak efektif ialah lemahnya kapabilitas organisasi tersebut. Dari pandangan neo-realis, dapat dikatakan SAARC tidak memiliki tiga hal mendasar yang menjadi motif tindakan aktor dalam hubungan internasional, yakni power, prestise, dan keuntungan (relative gains).[2] Berbeda dengan organisasi yang ideal pada umumnya seperti PBB, SAARC tidak mempunyai kapabilitas sebagai potensi ancaman maupun deterrence bagi aktor-aktor lain dalam hubungan internasional. Karena ia tidak mampu menjadi kontra-hegemoni ataupun rezim internasional yang kuat, SAARC tidak dapat berkontribusi aktif dalam menciptakan kontrol atas kondisi politik global yang anarkis. Goodwill yang rendah dari negara-negara anggota SAARC untuk mendukung situasi balance of power serta kohesi yang lemah dalam tubuh SAARC sendiri tidak memungkinkan terciptanya pertimbangan-pertimbangan logis secara maksimal sebagai pilihan rasional (rational choice) untuk mencapai kekuatan dan prestise di mata dunia.

Kemudian, faktor berikutnya yang diidentifikasi melatarbelakangi inefektivitas SAARC berasal dari aspek ekonomi organisasi tersebut. Kerja sama yang dibangun melalui kerangka SAARC bukan hanya inefektif secara politis, namun juga tidak efektif dalam konteks ekonomi sendiri. Dalam kurun waktu 10 tahun sejak tahun 1995-2005, nilai total perdagangan internal antar anggota SAARC hanya mencapai sekitar 4%.[3] Nilai ini bahkan lebih rendah jika dibandingkan nilai perdagangan internal negara-negara ASEAN. Rendahnya nilai ini disebabkan oleh ketidak percayaan antarnegara anggota SAARC sendiri. Masing-masing negara lebih memilih untuk mengarahkan preferensinya membangun hubungan kerja sama dengan negara-negara lain di luar kawasan dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Bagi India, menjalin kerja sama dengan great powers seperti Amerika Serikat, Rusia, Cina, dan negara-negara besar lainnya tentu akan lebih menguntungkan terutama secara politis dibandingkan jika bekerja sama dengan negara-negara kecil di kawasan Asia Selatan. Sedangkan bagi Pakistan, sikap disintegratifnya dalam SAARC dilandasi oleh antisipasinya terhadap hegemoni India, sehingga ia berpikir akan lebih aman bila bekerja sama dengan negara lain di luar kawasan.[4] Sementara itu, bagi negara-negara kecil seperti Nepal, Bangladesh, Bhutan, dan lainnya, eksistensi ancaman dua kekuatan besar membuat mereka harus bertindak sangat hati-hati. Akibatnya, kerja sama yang dibangun lewat SAARC ini tidak banyak berimplikasi maupun secara signifikan mendongkrak pertumbuhan ekonomi domestik masing-masing negara anggota. Dari beberapa elaborasi dan asumsi dasar tersebut, dapat disimpulkan bahwa SAARC  tidak efektif sebagai mekanisme pendorong terwujudnya integrasi dan/atau perdamaian. Inefektivitas ini dapat dilihat baik dari aspek politis-strategis, maupun dari aspek ekonomi itu sendiri.



[1] SAARC Information Centre, SAARC (online), 2010, <http://www.saarc-sic.org/beta/index.asp>.
[2] C.W. Kegley & E.R. Witkopff, World Politics: Trend and Transformation, 10th edition, Thomson Wadsworth, California, 2006, pp. 47-48.
[3] N. Taneja, et.al, ‘Indian Council for Research on International Economic Relations’, Enhancing Intra-SAARC Trade: Pruning India’s Sensitive List under SAFTA (online), <http://www.icrier.org/pdf/Working_Paper_255.pdf>.
[4] R. Thapar, ‘Stanford Journal of International Relations’, SAARC: Ineffective in Promoting Economic Cooperation in South Asia (online), <http://www.stanford.edu/group/sjir/7.1.03_thapar.html>.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar