Oleh: Astiwi Inayah, Citra Istiqomah, Dian Trianita Lestari, Feriana Kushindarti, Irani Siti N, Muhammad Nizar H, Nofansyah Ibrahim, Novi Rizka A, Reza Triarda, Siti Fadilah
Regionalisme adalah sebuah istilah yang sudah muncul
sejak PD II berakhir, dimana terjadi fluktuasi atas fenomena tersebut, sampai
akhirnya menjadi kajian menarik dalam hubungan internasional pada 1990-an.
Regionalisme sendiri merupakan sebuah konsep mengenai bagaimana seharusnya
hubungan antarnegara dikelola untuk memaksimalkan “gain” atau keuntungan. Untuk
itu, regionalisme perlu untuk melibatkan banyak aktor tidak hanya state melainkan aktor non-state seperti NGOs juga ikut andil.
Dalam kaca mata kaum neo-realis, regionalisme dipandang
sebagai cara untuk mewujudkan kemakmuran dan perdamain internasional. Karena
pada dasarnya, konsep ini akan berupaya meningkatkan hubungan antar negara
dengan rule of the game yang saling
mengikat antar anggotanya. Sehingga berbagai macam kerjasama mulai dari
ekonomi, politik, dan sosial dapat berjalan dan saling menguntungkan semua
pihak.
Berbicara mengenai regionalisme dan kaitannya dengan
globalisasi, kedua fenomena tersebut memang berjalan dalam koridor yang
bersamaan. Globalisasi muncul atas berkembangnya liberalisasi ekonomi dunia,
yang melewati batas-batas kedaulatan negara. Sedangkan regionalisme, merupakan
cara bagi pelaku pasar free trade itu
melakukan ekspansi atas bisnis mereka.
Melalui regionalisme, upaya untuk memperluas bisnis MNCs
menjadi semakin tampak jelas karena sada seperangkat aturan yang membolehkan
para pemilik modal tersebut dengan leluasa membangun bisnis mereka di negara
lain. Aturan tersebut diatur dalam perjanjian regionalisme, dan setiap negara
yang terlibat di dalamnya wajib mengikuti aturan tersebut, meski pada akhirnya
banyak juga agreements tersebut yang
dilanggar.
Upaya legalisasi tersebut kemudian mendorong kontribusi
regionalisme terhadap globalisasi dan integrasi pasar-pasar global dalam
dilihat dalam dua cara pandang.[1]
Jika regionalisme itu mendorong adanya peningkatan dalam upaya integrasi
kawasan ke arah yang lebih luas, dimana tidak ada kebijakan yang mengganggu
masuknya produk asing ke suatu negara. Dengan demikian hal itu akan mendorong
terbentuknya integrasi ke arah pasar global. Jika kondisi itu dipenuhi, maka
regionalisme dapat dipahami sebagai upaya untuk mendorong ke arah globalisasi
ekonomi yang lebih baik.
Selanjutnya, jika kondisi diatas justru menimbulkan
kebalikannya, dimana regionalisme diarahkan hanya demi kepentingan
negara-negara anggota melalui kebijakan proteksionisme dan diskrimasi terhadap
negara-negara lain, maka regionalisme akan sangat berpengaruh buruk terhadap
perkembangan globalisasi ekonomi. Sebab, cara seperti itu hanya akan
menciptakan kesenjangan antar negara, sehingga yang diuntungkan hanya negara powerful.
Meskipun demikian, regionalisme memiliki sisi lain yang
dapat mendorong ke arah integrasi ekonomi global. Pertama, seperangkat aturan main yang menjadi kesepakatan para
anggotanya, secara otomatis akan mempermudah dalam penyeragaman kebijakan bagi
negara anggota lainnya dan hal itu akan mendorong ke arah integrasi global
(globalisasi). Meskipun hal itu mungkin saja kurang tepat, karena pada dasarnya
setiap negara akan berlomba-lomba untuk mendapatkan kpentingan nasionalnya, dan
cenderung mengorbankan perjanjian yang tidak menguntungkan negaranya. Kedua, globalisasi akan sulit untuk
diprediksi jika persyaratan pertama di atas tidak terpenuhi sebagai akibat dari
beragamnya kepentingan yang bermain dalam arena regionalisme itu sendiri.
Setidaknya regionalisme itu bagaikan dua sisi mata uang
yang akan saling mempengaruhi satu sama lainnya. Jika tidak dikelola dengan
baik, maka regionalisme dapat menjadi ancaman serius bagi globalisasi dan
kemanan internasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar