Oleh: Muhammad Nizar
Hidayat
Kemunculan MNCs sebagai salah satu
aktor yang berpengaruh di dalam HI tidak bisa lagi dinafikan kebenarannya.
Setelah kemunculannya yang oleh beberapa penstudi bisa di trace back hingga pada 2000 tahun sebelum masehi yang diwakili oleh
kerajaan Assiria, hingga pada kebangkitannya di era modern pada tahun
1960-1970an.
Setelah itu, kemunculan MNCs pun
banyak diperdebatkan oleh para penstudi, dengan semakin berpengaruhnya peran
MNCs dalam EPI, apakah MNCs akan bisa menggantikan peran negara bangsa dalam
HI? Bagaimana sebenarnya pola interaksi anatara MNCs dan negara bangsa? Pandangan
pertama lebih condong kepada pola interaksi konfliktual antara MNCs dan negara
(khususnya negara host, yang umumnya negara-negara berkembang) dimana mereka
berpendapat bahwa tujuan dari negara dan MNCs sangat bertolak belakang dimana
negara menekankan kepentingan publik dan MNCs mengejar kepentingan privat, dan
oleh sebab itu konflik kepentingan antara keduanya tidak bisa dihindari.
Pandangan kedua lebih menyoroti pola interaksi kooperatif antara MNCs dan
negara (khususnya negara home, yang umumnya merupakan negara maju), dimana
pembahasan lebih kepada apakah MNCs merupakan perpanjangan kepentingan dari
negara home ataukah negara home merupakan alat dari MNCs untuk mencapai
kepentingannya?
Pembahasan tentang pola-pola interaksi
itu semakin dalam dengan adanya pihak yang mengatakan bahwa MNCs akan bisa
menggantikan peran negara bangsa, dan pengaruhnya sudah jauh melebihi kapasias
negara bangsa dengan melihat berbagai contoh dimana MNCs bisa mempengaruhi
pembuatan keputusan di suatu negara sesuai
dengan kepentingannya. Di pihak lain ada yang berpendapat bahwa MNCs tidak akan
pernah lepas dari bayang-bayang negara, atau dengan kata lain, MNCs sejatinya
merupakan subordinat dari negara home mereka, dan tidak ada institusi tertinggi
setelah negara dalam interaksi dalam HI, sehingga berimplikasi bahwa apapun
yang ingin MNCs lakukan, segala sesuatunya pasti harus melalui negara.
Maka dari itu pembahasan tentang
“power” MNCs pada kali ini, lebih condong untuk mendefinisikan “power” MNCs
tersebut dalam bentuk peningkatan pengaruh MNCs terhadap pembuatan keputusan otoritatif
bagi yang sebelumnya hanya merupakan hak prerogative dari negara bangsa saja.
Dalam upayanya untuk mempengaruhi pembuatan keputusan yang otoritatif tersebut
MNCs memiliki posisi tawar yang ditopang oleh kekuatan finasial, teknologi,
skill managerial, akses ke pasar global dan lain sebagainya, yang dibutuhkan
oleh negara-negara khususnya negara berkembang. Sementara daya tawar negara
terletak pada otoritas politik, ekonomi, dan akses terhadap teritori negara
yang merupakan kepentingan dari MNCs. Bagaimana kedua pihak memainkan “kartu
as” mereka itulah yang akan membentuk pola interaksi antar keduanya, yang
kemudian mungkin bisa membantu kita dalam memahami permasalahan tentang “siapa
yang lebih powerful diantara keduanya?”
Untuk membahas perdebatan yang
mengatakan bahwa MNCs lebih powerful daripada negara-bangsa maka kita akan
melihat argumen-argumen yang mendukung dan menentang pandangan tersebut.
Pandangan yang mendukung:
Bagi mereka yang mendukung pandangan
bahwa MNCs lebih powerful dari negara-bangsa, adalah hal yang jelas bila
dilihat dari statistik yang dikeluarkan oleh United Nations Conference on Trade
and Development (UNCTAD), dimana pada tahun 2002 MNCs mempekerjakan sekitar 53,
sedang pada data yang dikeluarkan pada tahun 2004 oleh lembaga yang sama
mencatat bahwa 100 MNCs besar di dunia mengontrol kurang lebih 14% total
penjualan di seluruh dunia, 12% dari asset global, dan menyumbang 13% dari
total tenaga kerja di dunia, kemudian dengan tingkat produksi senilai 16
triliun Dollar AS pada tahun 2010. Hal ini ditambah kemudian dengan data bahwa
beberapa MNCs raksasa, seperti General Motor, Ford Motor (sebelum 2008), Exxon,
Toyota, Samsung, IBM, dll memiliki tingkat penjualan atau bagi negara seperti
GDP, yang mana tingkat penjualan MNCs tersebut jauh diatas GDP banyak negara.
Salah satu pendukung pandangan ini, Kenichi Ohmae bahkan berkata bahwa peran
negara-bangsa akan tergantikan oleh MNCs. Dengan globalisasi ekonomi seperti
saat ini, maka tidak jelas suatu barang itu diproduksi dimana, kepemilikan MNCs
tersebut oleh negara mana, dan konsumennya pun berada dimana. Globalisasi
ekonomi telah menciptakan a borderless world, seperti judul bukunya yang
kemudian menafikan peran negara dengan batasan-batasan teritorialnya.
Selain itu, pendukung pandangan ini
juga mengemukakan data dimana MNCs dianggap berhasil mempengaruhi pengambilan
keputusan oleh negara yang memihak kepentingan MNCs. Salah satu contohnya
adalah keberhasilan MNCs asal AS dalam mempengaruhi pemerintah AS untuk membuat
kebijakan luar negeri yang menghentikan bantuan luar negeri terhadap negara
yang menasionalisasikan cabang MNCs AS di negara tersebut (Hickenlooper
amendment), kemudian Overseas Private Investment Corporation yang melindungi
investasi MNCs AS di negara-negara selatan, dan Gonzalez amendment yang
mewajibkan AS untuk tidak mendukung Bank-Bank multilateral yang meminjamkankan
dananya kepada negara yang menasionalisasikan MNCs AS. Jika contoh diatas menggambarkan
kekuatan MNCs terhadap negara induknya, maka contoh besarnya pengaruh MNCs
terhadap negara host akan sangat mudah ditemukan, contohnya Freeport yang
berhasil memaksa pemerintah Indonesia untuk memberikan konsesi tambang emas di
Papua kepada mereka dan memaksa pemerintah RI untuk menerima dana bagi hasil
yang sangat sedikit. Hal ini belum ditambah dengan contoh paling ekstrem
mengenai campur tangan MNCs dalam politik domestic seperti yang dicontohkan
oleh International Telephone & Telegraph
Company (ITT) di Chile dan Brazil pada tahun 1973 dan 1964. Di Chile,
ITT yang khawatir terpilihnya Salvador Allende sebagai presiden Chile yang akan
menasionalisasikan cabang perusahaannya disana mendanai kaum oposisi militer
serta menggunakan harian milik mereka untuk mempropagandakan penggulingan
Allende hingga Allende benar-benar lengser dari jabatannya. Dan hal yang sama juga dilakukan oleh ITT di
Brazil yang kemudian melengserkan presiden Joao Goulart yang juga ingin
menasionalisasikan anak perusahaan ITT.
Pandangan yang menolak:
Bagi mereka yang menolak pandangan
bahwa MNCs lebih powerful daripada negara berpendapat bahwa walupun MNCs
beroperasi di banyak negara, namun semua aturan yang diperlukan agar MNCs itu
bisa beroperasi dihasilkan oleh negara. Pendukung pandangan ini seperti Doremus
dan Michael Porter berpendapat bahwa karakteristik dari MNCs ditentukan oleh
negara induknya. Oleh sebab itu pula maka terdapat perbedaan antara
karakteristik MNCs dari Jerman, As, dan Jepang seperti yang dipaparkan di dalam Multinationals
and the Myth of Globalization. Jika benar globalisasi itu terjadi maka
perbedaan karakteristik itu tidak akan muncul dengan asumsi borderless world.
Memang benar apabila dalam kasus MNCs
asal AS, MNCs berhasil membuat AS mengeluarkan kebijakan yang melindungi
kepentingan mereka di dunia. Namun di sisi lain, terdapat fakta bahwa kontrol
terhadap otoritas tetap terdapat pada negara. MNCs membutuhkan negara untuk
melindungi kepentingan mereka di luar negeri.
MNCs juga tidak selalu bisa menguasai
pembuatan kebijakan suatu negara, salah satu contohnya adalah perusahaan mesin
jahit Singer yang ingin masuk ke Taiwan kemudian dipaksa oleh Taiwan untuk
menuruti semua permintaan Taiwan mulai dari pemenuhan suplai bahan mesin jahit
dari produsen domestic, hingga pada penyediaan blueprint spare-part yang ingin
dihasilkan oleh Singer kepada para produsen domestic tersebut sehingga
menciptakan transfer teknologi dari Singer ke perusahaan-perusahaan domestic.
Fenomena paling ekstrem yang menunjukkan bahwa MNCs tidak selalu bisa
mempengaruhi pengambilan keputusan di suatu negara untuk menuruti
kepentingannya adalah apa yang dilakukan oleh presiden Evo Morales di Bolivia
yang menasionalisasikan perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di Bolivia.
Dengan segala kekuatan finansial yang dimiliki oleh MNCs ternyata tidak mampu
untuk mencegah keputusan Morales dalam program nasionalisasinya.
Pandangan saya terhadap hal ini adalah
penerimaan terhadap fakta bahwa peran MNCs dalam EPI tidak bisa lagi dinafikan
keberadaannya. Bahwa MNCs berkontribusi dalam membentuk dunia kontemporer
dengan segala sumber daya yang dimiliki mereka. Bahwa negara-bangsa bukan lagi
menjadi pemain tunggal dalam HI, dan munculnya MNCs sebagai aktor juga membuka
pandangan kita akan peranan aktor non-negara lainnya seperti NGO. Namun dibalik
semua itu, peran negara-bangsa juga tidak bisa bisa begitu saja dikatakan
berkurang apalagi menghilang, bahkan beberapa kasus diatas menegaskan
keberadaan negara sebagai satu-satunya aktor yang memiliki kedaulatan dan
otoritas politik yang tidak dimiliki oleh aktor-aktor lain
Tidak ada komentar:
Posting Komentar