Oleh: Citra Istiqomah
Krisis
ekonomi Asia di tahun 1997-1998 merupakan salah satu krisis terbesar sepanjang
sejarah ekonomi dunia pasca berakhirnya Perang Dingin. Negara-negara yang
sedang berada dalam puncak pertumbuhan ekonominya di era 1960-an sepeti
Hongkong, Singapura, Korea Selatan, dan Taiwan serentak mengalami krisis
ekonomi akibat rentetan dari krisis yang terlebih dahulu melanda Thailand.
Banyak orang, ahli, akademisi, teoritisi, pengamat ekonomi dan sebagainya yang
kemudian menganalisis kejatuhan negara-negara tersebut dari sudut pandang
ekonomi. Akan tetapi, hal yang seringkali luput dari analisis penyebab di balik
terjadinya krisis tersebut ialah ketiadaan analisis politik yang sistematis
yang dapat menjelaskan peristiwa itu dalam konteks yang lebih holistik atau secara
ekonomi-politik. Inilah salah satu hal yang kemudian menjadi concern beberapa analis, seperti Stephan
Haggard yang dalam tulisannya “The
Political Economy of the Asian Financial Crisis” melihat sisi lain yang
melatarbelakangi terjadinya krisis finansial Asia 1997, yakni dari aspek-aspek
politik.
Haggard
dalam tulisannya berfokus menyoroti tiga poin terkait politik yang penting
kaitannya dengan krisis finansial Asia tahun 1997, yakni faktor-faktor politik
yang berkontribusi pada kerentanan wilayah Asia terhadap krisis, kesinambungan manajemen
yang dilakukan pemerintah dan stakeholders
dalam melakukan penyesuaian diri (adjustment)
secara politik terhadap situasi krisis, serta konsekuensi politik dari krisis
1997 seperti konsolidasi demokrasi. Argumentasi-argumentasi inti yang
diungkapkan Haggard yang diasumsikannya sebagai pemantik terjadinya krisis
finansial Asia diantaranya ialah kedekatan hubungan antara pemerintah dengan
kelompok bisnis yang mendistorsi proses liberalisasi, meningkatkan kerentanan
terhadap krisis, dan membuat proses penyesuaian (adjustment) pasca krisis menjadi rumit; ketidakpastian politik (political uncertainty) kaitannya dengan
ketidakmampuan pemerintah untuk memberikan peringatan-peringatan pra-krisis; ketidakmampuan
pemerintahan yang tidak demokratis untuk menyesuaikan diri terhadap dinamika
krisis; instabilitas politik seperti proses suksesi kepemimpinan yang kurang
terorganisir, korupsi, dan sebagainya; resistensi politik yang secara
substansial menghalangi proses restrukturisasi (terutama restrukturisasi
korporasi dan keuangan), juga proses reformasi yang lamban; penilaian terhadap
kekeliruan posisi pemerintah baik secara politik maupun administratif dalam
merespon dimensi sosial dari krisis; serta implementasi demokrasi yang tidak sempurna,
terutama kaitannya dengan rendahnya akuntabilitas dan tingkat transparansi
pemerintah, juga kuatnya pengaruh kelompok-kelompok kepentingan.[1]
Pada
dasarnya, diskursus mengenai penyebab yang disebut-sebut melatarbelakangi
terjadinya krisis finansial Asia sangat beragam dan bervariasi sesuai negara
yang menjadi objek kajian peristiwa tersebut. Sebagian pihak menilai, pemerintah,
seperti di Malaysia dan Taiwan, melakukan kekeliruan terkait penyesuaian nilai
tukar dan memaksakan kontrol terhadap modal. Pihak lain menilai adanya instabilitas
keuangan di dua negara paling berpengaruh di Asia yang kemudian membawa efek
domino ke negara-negara Asia lainnya, yakni devaluasi mata uang Cina, Yuan,
pada tahun 1994 dan kelesuan perekonomian Jepang yang berkepanjangan. Hal ini
memberikan implikasi besar bagi negara-negara yang tergolong sebagai middle income countries serta
negara-negara yang banyak terlibat langsung dengan kedua negara tersebut dalam
sektor-sektor tertentu, seperti Korea Selatan dan Malaysia yang mengalami trade shock akibat menurunnya harga
semikonduktor sebagai salah satu komoditas ekspor andalan.[2]
Selain
itu, terdapat setidaknya beberapa argumentasi dominan dari tiga kelompok
perspektif berbeda yang menjelaskan mengapa krisis finansial Asia terjadi, yaitu
dari pandangan kelompok fundamentalis, internasionalis, dan neo-fundamentalis. Fundamentalis
mengungkapkan bahwa krisis dilatarbelakangi oleh persoalan makroekonomi dan
kekeliruan manajemen nilai tukar. Menurut kelompok fundamentalis, krisis terjadi
akibat kepanikan rasional (rational panic)
yang tidak dapat diantisipasi dan diikuti oleh penyesuaian nilai tukar yang
terlampau besar. Di sisi lain, internasionalis berpandangan bahwa pasar keuangan
internasional sedang mengalami kelesuan dan di saat bersamaan beberapa pihak,
seperti para investor melakukan tindakan spekulatif yang kemudian membawa efek menular
(contagious effect). Seperti
yang dipaparkan dalam teori bank runs
bahwa saat krisis mulai menyebar ke Asia Timur, para investor mengalami kepanikan
dan kemudian memutuskan untuk menjual aset atau menarik dana mereka karena
ketakutan akan kondisi ekonomi yang akan semakin memburuk. Akibatknya, harga
aset mengalami kemerosotan secara tiba-tiba dan terjadi krisis likuiditas.[3] Contohnya saat Taiwan memutuskan untuk floating mata uangnya dan kemudian mengalami
devaluasi, hal ini membawa efek spekulatif pada sektor keuangan Hongkong yang
diawali dengan peningkatan suku bunga yang sangat tinggi dan diikuti dengan
penjualan besar-besaran stok saham pasar keuangan Hongkong dan pada akhirnya
menyebabkan krisis pasar keuangan Hongkong. Spekulasi inipun juga menyebar ke
Korea Selatan dan mengakibatkan krisis serupa yang demikian parah, sehingga
pemerintah Korea Selatan harus menyetujui program bantuan besar-besaran dari
IMF, World Bank, Asian Development Bank. Rentetan krisis ini pada akhirnya
bermuara pada krisis keuangan yang melanda pasar Asia Tenggara. Sementara itu, neo-fundamentalis
melihat dari aspek regulasi dan persoalan-persoalan struktural dalam sektor
finansial sebagai penyebab krisis. Latar belakang internal/sudut pandang setting domestik ataupun kerentanan domestik (domestic vulnerabilities). Mereka menitikberatkan pada lemahnya sektor keuangan Asia Timur
itu sendiri, seperti laju pertumbuhan pinjaman yang sangat cepat. Di Korea
Selatan misalnya, sebelum terjadi krisis, terjadi peningkatan investasi dengan
sumber pembiayaan bank yang mengakibatkan pinjaman tumbuh dengan pesatnya
dan memperburuk neraca perbankan.[4]
Pada dasarnya, terdapat
banyak penjelasan-penjelasan lain mengenai faktor-faktor yang melatarbelakangi
krisis finansial Asia ini, misalnya teori disaster
myopia yang menunjukkan bahwa ketidakstabilan keuangan yang terjadi di Asia
Timur disebabkan oleh perilaku kompetitif lembaga keuangan yang berdampak pada
kondisi dimana kredibilitas peminjam diabaikan dan risiko dikurangi.[5]
Namun, beberapa argumentasi tersebut di atas telah memberikan elaborasi
kompleks yang cukup jelas mengenai berbagai penyebab yang melatarbelakangi
krisis finansial yang melanda Asia di tahun 1997. Meskipun demikian, masih
terdapat beberapa kontroversi yang beredar terkait krisis tersebut, terutama
pada persoalan apakah preskripsi dari IMF memberikan jalan keluar dari krisis
atau justru sebaliknya, menambah kompleksitas krisis ataupun memicu terjadinya
krisis yang lebih parah.
Terlepas dari
hal itu, krisis tersebut dianggap memberikan perubahan berarti pada proses
politik dan mempengaruhi agenda demokratisasi Asia yang selama ini dipandang
kurang terbuka karena pemerintahan yang cenderung otoriter ataupun
militeristik. Akan tetapi, diskursus mengenai perubahan politik pasca krisis sebagai
pemantik masih tergolong cukup hangat dan terus-menerus dikaji oleh para
analis. Pasalnya, tidak semua negara yang terkena dampak krisis tersebut
kemudian benar-benar mengadopsi dan mengimplementasikan sistem demokrasi layaknya di negara-negara
Barat ke dalam sistem politik
domestik. Realitanya, negara-negara di
kawasan Asia Timur memiliki model
pembangunan ekonomi yang berbeda yang
disebut sebagai East Asian developmental
state model yang
seakan justru menjadi “anomali” dalam pembangunan
ekonomi dan relevansinya dengan transformasi
ekonomi-politik suatu negara pasca krisis.
REFERENSI
Raz, Arisyi F., dkk. 2012. Krisis Keuangan Global dan Pertumbuhan Ekonomi: Analisa dari
Perekonomian Asia Timur. www.bi.go.id.
Gilpin, Robert. 2001. Global
Political Economy: Understanding the International Economic Order.
Princeton: Princeton University Press.
Haggard, Stephan. 2000. The Political Economy of the Asian Financial
Crisis. Washington DC: Institute for International Economics.
Ravenhill, John. 2005. Global Political Economy. Oxford: Oxford University Press.
Stubbs, Richard, and Geoferry Underhill. 2006. Political Economy and the Changing Global
Order. Oxford: Oxford University Press.
[1] S. Haggard, The Political Economy of the
Asian Financial Crisis, Institute for International Economics, Washington DC, 2000, pp. 1-2.
[3] A.F. Raz, dkk, Krisis
Keuangan Global dan Pertumbuhan Ekonomi: Analisa dari Perekonomian Asia Timur,
2012, dalam <www.bi.go.id>.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar