“Aku bersyukur dilahirkan di Indonesia, dimana senyum masih menjadi karakter, budaya masih apik terjaga, dan optimisme masih menyulut semangat. Aku berharap, anak-anakku kelak harus lebih bangga dariku dalam memandang dan memperjuangkan Indonesianya. Jaya Selalu Negeriku Indonesia, Jayalah Selama-lamanya”

Regionalisme Uni Eropa


Oleh: Astiwi Inayah, Citra Istiqomah, Dian Trianita Lestari, Feriana Kushindarti, Irani Siti N, Muhammad Nizar H, Nofansyah Ibrahim, Novi Rizka A, Reza Triarda, Siti Fadilah
Berbeda dengan contoh organisasi sebelumnya, Uni Eropa (European Union) banyak disebut oleh para akademisi sebagai contoh dari regionalisme yang berhasil atau efektif. Setidaknya, diantara banyak organisasi kawasan di dunia, Uni Eropa merupakan satu-satunya kawasan yang mampu untuk menciptakan lembaga supranasional yang efektif dalam mengatur interaksi antar negara-negara anggotanya, sekaligus sebagai lembaga dimana para anggotanya menyerahkan sebagian kedaulatanya kepada Uni Eropa.
Sejarah integrasi Uni Eropa dimulai ketika Belanda, Belgia, Italia, Jerman, Luksemburg, dan Perancis membentuk suatu organisasi yang bernama “Komunitas Batu Bara dan Baja Eropa” (European Coal and Steel Community) pada tanggal 18 April 1951 di Paris dan berlaku sejak 25 Juli 1952. Tujuan utama ECSC Treaty adalah penghapusan berbagai hambatan perdagangan dan menciptakan suatu pasar bersama dimana produk, pekerja, dan modal dari sector batu bara dan baja dari  negara-negara anggotanya dapat bergerak dengan bebas. Kerja sama itulah yang menjadi titik balik bagi Eropa untuk membentuk sebuah region (kawasan) yang kuat dan terintegrasi. lalu pada tahun 1957 dibentuklah EEC (European Economic Community) dan Euratom (European Atomic Energy Community). Kemudian pada tahun 1967 ketiganya melebur menjadi EC (European Community) dan pada akhirnya melalui penandatanganan Traktat Maastricht tahun 1992, terbentuklah EU (European Union) atau yang kita kenal sebagai Uni Eropa.
Dilihat dari awal sejarahnya, pembentukan Uni Eropa bisa dijelaskan menggunakan teori neo-fungsionalisme. Teori neo-fungsionalisme mengelaborasikan suatu pendekatan dimana sebuah regionalisme yang berhasil pada umunya diawali dengan kerja sama non-politik, misalnya dengan agenda ekonomi, sosial, ataupun kebudayaan. Kerja sama yang berhasil di bidang itu lambat laun akan membawa kerangka kerja sama sebuah regionalisme meluas (spill-over) pada agenda politik sebagai isu sensitif sebuah kerja sama.[1]

Perluasan kerjasama yang semula hanya beroperasi di wilayah ekonomi, kemudian melebar menjadi kerjasama politik menunjukkan tingkat kohesi yang tinggi antar anggota Uni Eropa. Belum lagi jika ditambah fakta bahwa perluasan area kerjasama tersebut juga diiringi dengan perluasan anggota yang semula hanya 6 negara inti penggagas ECSC menjadi 28 negara anggota, dengan anggota terbaru yakni Kroasia yang bergabung pada tanggal 1 Juli 2013.
Menurut John Ravenhill, integrasi politik merupakan proses dimana aktor-aktor politik dari beberapa negara mengatur untuk memberi loyalitas, harapan, dan aktivitas politik yang mengarah secara terpusat kepada institusi baru yang memiliki atau menuntut yurisdiksi pada negara-negara yang ada di dalamnya.[2] Sedangkan menurut Leon Lindberg, dalam studinya tahun 1963 tentang European Economic Community, integrasi politik adalah sebuah proses dimana (a.) sebuah negara mendahulukan keinginan dan kemampuan untuk menyelenggarakan pokok-pokok kebijakan domestik dan luar negeri dengan mandiri satu dengan yang lain, daripada hanya membuat kesepakatan bersama atau mendelegasikan proses pembuatan kebijakan kepada institusi baru; (b.) aktor-aktor politik menggeser aktivitas politik mereka ke sebuah sentra organisasi baru.[3]
Fakta bahwa Uni Eropa mampu menciptakan suatu lembaga supranasional dengan 28 negara anggota menyerahkan sebagian kedaulatannya, merupakan suatu bentuk keberhasilan regionalisme Eropa. Selain itu, juga terdapat perangkat pemerintahan supranasional seperti Parlemen Eropa, Komisi Eropa, Dewan Uni Eropa, dan badan-badan lain yang berfungsi untuk menjalankan roda pemerintahan Uni Eropa.
Indikator selanjutnya adalah tingkat compliance yang tinggi oleh para anggota kepada setiap traktat yang dihasilkan oleh Uni Eropa. Dengan transfer kedaulatan oleh negara-negara anggota kepada Uni Eropa, maka lembaga tersebut memiliki kemampuan untuk mengatur regulasi yang harus ditaati oleh para anggotanya, dalam hal ini melalui Mahkamah Eropa sebagai lembaga yang menjamin bahwa penerapan regulasi yang dihasilkan oleh traktat benar-benar dilaksanakan oleh para anggota, dan penerapannya pun seragam.
Selain itu, eksistensi Uni Eropa sebagai sebuah regionalisme yang sukses dapat dilihat melalui kedudukannya dalam hierarki ekonomi regional, yang menandakan seberapa dalam kerja sama yang dibangun oleh suatu area. Uni Eropa merupakan satu-satunya regionalisme yang telah mencapai tingkat economic union tersebut, terbukti dengan adanya penggunaan mata uang bersama (common currency).[4] Barangkali inilah indikator yang paling mudah untuk melihat seberapa efektif regionalisme Uni Eropa ini berjalan. Tidak ada suatu kawasan lain di dunia yang memiliki satu mata uang tunggal seperti Uni Eropa. Penyeragaman mata uang ini mengimplikasikan bahwa integrasi antar anggota Uni Eropa sudah sampai pada transfer kedaulatan atas wilayah perekonomian mereka, para anggota menyerahkan kedaulatan moneter mereka kepada Bank Sentral Eropa. Walaupun ada beberapa negara yang tidak mengadopsi Euro sebagai mata uangnya, namun itu tidak berpengaruh terhadap kestabilan ekonomi di wilayah Eropa.
Apa yang dapat disimpulkan dari regionalisme Uni Eropa adalah suatu keberhasilan dalam integrasi antara negara anggotanya untuk menciptakan suatu lembaga supranasional yang mengatur interaksi sosial, politik dan ekonomi di kawasan tersebut. Dengan tingkat kohesivitas yang tinggi Uni Eropa mampu menjaga kestabilan sosial-politik maupun ekonomi dengan menggunakan legitimasi yang didelegasikan kepada lembaga itu. Selain itu, tingkat compliance yang tinggi anggota Uni Eropa juga jarang ditemukan di kawasan lain, mengingat setiap keputusan yang dikeluarkan oleh Uni Eropa wajib diterapkan oleh anggotanya.



[1] Ravenhill, p. 137.
[2] E. Haas, The Uniting of Europe: Political, Social, and Economic Forces, 1950-1957, Stanford University Press, Stanford, 1958, p. 16.
[3] L. Lindberg, The Political Dynamics of European Economic Integration, Stanford University Press, Stanford, 1963, pp. 6-7.
[4] Ravenhill, p. 137.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar