Oleh: Astiwi Inayah, Citra Istiqomah, Dian Trianita Lestari, Feriana Kushindarti, Irani Siti N, Muhammad Nizar H, Nofansyah Ibrahim, Novi Rizka A, Reza Triarda, Siti Fadilah
Berbeda dengan contoh organisasi
sebelumnya, Uni Eropa (European Union)
banyak disebut oleh para akademisi sebagai contoh dari regionalisme yang
berhasil atau efektif. Setidaknya, diantara banyak organisasi kawasan di dunia,
Uni Eropa merupakan satu-satunya kawasan yang mampu untuk menciptakan lembaga
supranasional yang efektif dalam mengatur interaksi antar negara-negara
anggotanya, sekaligus sebagai lembaga dimana para anggotanya menyerahkan sebagian
kedaulatanya kepada Uni Eropa.
Sejarah integrasi
Uni
Eropa dimulai ketika Belanda, Belgia, Italia, Jerman, Luksemburg,
dan Perancis membentuk suatu organisasi
yang bernama “Komunitas Batu Bara dan Baja Eropa” (European Coal and Steel Community)
pada tanggal
18 April 1951 di Paris dan berlaku sejak 25 Juli 1952. Tujuan utama ECSC Treaty
adalah penghapusan berbagai hambatan perdagangan dan menciptakan suatu pasar
bersama dimana produk, pekerja, dan modal dari sector batu bara dan baja dari negara-negara
anggotanya dapat bergerak dengan bebas.
Kerja
sama itulah yang menjadi titik balik bagi Eropa untuk membentuk sebuah region (kawasan) yang kuat dan
terintegrasi. lalu pada tahun 1957 dibentuklah EEC (European Economic Community) dan Euratom (European Atomic Energy Community). Kemudian pada tahun 1967
ketiganya melebur menjadi EC (European
Community) dan pada akhirnya melalui penandatanganan Traktat Maastricht
tahun 1992, terbentuklah EU (European
Union) atau yang kita kenal sebagai Uni Eropa.
Dilihat dari awal sejarahnya,
pembentukan Uni Eropa bisa dijelaskan menggunakan teori neo-fungsionalisme.
Teori neo-fungsionalisme mengelaborasikan suatu pendekatan dimana sebuah
regionalisme yang berhasil pada umunya diawali dengan kerja sama non-politik,
misalnya dengan agenda ekonomi, sosial, ataupun kebudayaan. Kerja sama yang
berhasil di bidang itu lambat laun akan membawa kerangka kerja sama sebuah
regionalisme meluas (spill-over) pada
agenda politik sebagai isu sensitif sebuah kerja sama.[1]
Perluasan kerjasama yang semula
hanya beroperasi di wilayah ekonomi, kemudian melebar menjadi kerjasama politik
menunjukkan tingkat kohesi yang tinggi antar anggota Uni Eropa. Belum lagi jika
ditambah fakta bahwa perluasan area kerjasama tersebut juga diiringi dengan
perluasan anggota yang semula hanya 6 negara inti penggagas ECSC menjadi 28
negara anggota, dengan anggota terbaru yakni Kroasia yang bergabung pada
tanggal 1 Juli 2013.
Menurut John Ravenhill, integrasi politik
merupakan proses dimana aktor-aktor politik
dari beberapa negara mengatur untuk memberi loyalitas, harapan, dan aktivitas
politik yang mengarah secara terpusat kepada institusi baru yang memiliki atau
menuntut yurisdiksi pada negara-negara yang ada di dalamnya.[2] Sedangkan
menurut Leon Lindberg, dalam studinya tahun 1963 tentang European Economic
Community, integrasi politik adalah sebuah proses dimana (a.) sebuah negara
mendahulukan keinginan dan kemampuan untuk menyelenggarakan pokok-pokok
kebijakan domestik dan luar negeri dengan mandiri satu dengan yang lain,
daripada hanya membuat kesepakatan bersama atau mendelegasikan proses pembuatan
kebijakan kepada institusi baru; (b.) aktor-aktor politik menggeser aktivitas
politik mereka ke sebuah sentra organisasi baru.[3]
Fakta bahwa Uni Eropa mampu
menciptakan suatu lembaga supranasional dengan 28 negara anggota menyerahkan
sebagian kedaulatannya, merupakan suatu bentuk keberhasilan regionalisme Eropa.
Selain itu, juga terdapat perangkat pemerintahan supranasional seperti Parlemen
Eropa, Komisi Eropa, Dewan Uni Eropa, dan badan-badan lain yang berfungsi untuk
menjalankan roda pemerintahan Uni Eropa.
Indikator selanjutnya adalah
tingkat compliance yang tinggi oleh
para anggota kepada setiap traktat yang dihasilkan oleh Uni Eropa. Dengan
transfer kedaulatan oleh negara-negara anggota kepada Uni Eropa, maka lembaga
tersebut memiliki kemampuan untuk mengatur regulasi yang harus ditaati oleh
para anggotanya, dalam hal ini melalui Mahkamah Eropa sebagai lembaga yang
menjamin bahwa penerapan regulasi yang dihasilkan oleh traktat benar-benar
dilaksanakan oleh para anggota, dan penerapannya pun seragam.
Selain itu, eksistensi Uni Eropa
sebagai sebuah regionalisme yang sukses dapat dilihat melalui kedudukannya
dalam hierarki ekonomi regional, yang menandakan seberapa dalam kerja sama yang
dibangun oleh suatu area. Uni Eropa merupakan satu-satunya regionalisme yang
telah mencapai tingkat economic union
tersebut, terbukti dengan adanya penggunaan mata uang bersama (common currency).[4] Barangkali
inilah indikator yang paling mudah untuk melihat seberapa efektif regionalisme
Uni Eropa ini berjalan. Tidak ada suatu kawasan lain di dunia yang memiliki
satu mata uang tunggal seperti Uni Eropa. Penyeragaman mata uang ini
mengimplikasikan bahwa integrasi antar anggota Uni Eropa sudah sampai pada
transfer kedaulatan atas wilayah perekonomian mereka, para anggota menyerahkan
kedaulatan moneter mereka kepada Bank Sentral Eropa. Walaupun ada beberapa
negara yang tidak mengadopsi Euro sebagai mata uangnya, namun itu tidak
berpengaruh terhadap kestabilan ekonomi di wilayah Eropa.
Apa yang dapat disimpulkan dari
regionalisme Uni Eropa adalah suatu keberhasilan dalam integrasi antara negara
anggotanya untuk menciptakan suatu lembaga supranasional yang mengatur
interaksi sosial, politik dan ekonomi di kawasan tersebut. Dengan tingkat
kohesivitas yang tinggi Uni Eropa mampu menjaga kestabilan sosial-politik
maupun ekonomi dengan menggunakan legitimasi yang didelegasikan kepada lembaga
itu. Selain itu, tingkat compliance yang
tinggi anggota Uni Eropa juga jarang ditemukan di kawasan lain, mengingat
setiap keputusan yang dikeluarkan oleh Uni Eropa wajib diterapkan oleh
anggotanya.
[1]
Ravenhill, p. 137.
[2] E. Haas,
The Uniting of Europe: Political, Social,
and Economic Forces, 1950-1957, Stanford University Press, Stanford, 1958,
p. 16.
[3] L.
Lindberg, The Political Dynamics of
European Economic Integration, Stanford University Press, Stanford, 1963,
pp. 6-7.
[4]
Ravenhill, p. 137.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar