Oleh: : Citra Istiqomah 13/352281/PSP/4666
1.
Apa relevansi gerakan aktif nirkekerasan bagi Indonesia
sekarang ini?
2.
Bayangkanlah Anda berada di dekat Gandhi pada saat
penembakan dan Anda memegang senjata api, apa yang akan Anda lakukan?
3.
Gerakan aktif nirkekerasan yang dilakukan Gandhi
kadang-kadang gagal dan kadang-kadang berhasil. Bagaimana menjelaskan variasi
ini?
4.
Menurut Anda, apakah esensi gerakan aktif nirkekerasan
yang ditunjukan dalam film?
5.
Seandainya sms, e-mail, dan media sosial sudah ada pada
masa Gandhi, bagaimana ia akan menggunakan teknologi komunikasi ini dalam
mencapai tujuannya?
6.
Jelaskan pengertian "ahimsa" dan penerapannya!
JAWAB:
1. Di Indonesia,
aksi-aksi kekerasan berkaitan dengan radikalisme dan terorisme menjadi isu yang
barangkali sudah tidak asing lagi dan cukup dekat dengan masyarakat. Aksi-aksi
semacam ini dapat diatasi (bersifat preventif) maupun direspon dengan gerakan
aktif nirkekerasan. Praktik nirkekerasan dan bina-damai sangat relevan dan penting
kaitannya dalam menjaga stabilitas kondisi sosial-masyarakat Indonesia yang
heterogen dengan berbagai latar belakang suku, etnis, agama, ras yang beragam,
dan karenanya rentan terhadap konflik atau friksi kepentingan. Sehingga,
penting artinya untuk membina kehidupan sosial yang harmonis agar terhindar
dari konflik yang merugikan banyak pihak, tidak hanya kelompok etnis atau relijius
tertentu, namun juga negara sebagai wadah individu-individu dalam menjalankan
aktivitasnya. Dalam konteks yang lebih riil, dapat dilihat bahwa upaya-upaya
rekonsiliasi, terutama yang bersifat nirkekerasan seperti di Aceh, Sampang,
ataupun daerah-daerah lain di Indonesia yang mengalami gejolak konflik sangat
penting untuk menciptakan tatanan/order
sosial yang mendukung kelancaran aktivitas-aktivitas politik-ekonomi negara.
2. Dalam konteks tersebut
saya adalah pengikut Gandhi, karena itu saya tidak akan menggunakan kekerasan
untuk “menghukum” atau membalas penembak Gandhi sekalipun saya membawa senjata
api. Mengutip kata Gandhi dalam film tersebut: “Where there is injustice, I always believed in fighting. But the
question is: do you fight to change things or to punish? If it is about
punishment, leave it to God.” Tindakan menghukum merupakan tindakan yang
semestinya hanya menjadi hak Tuhan, bukan oleh manusia untuk menjustifikasi
kekeliruan atau “dosa” manusia lain. Selain itu, penggunaan kekerasan untuk
membalas kekerasan hanya akan menimbulkan kekerasan yang lebih besar. Sebagai
gantinya, saya akan menggerakkan massa untuk menimbulkan efek “guilty” pada diri pelaku.
3. Aksi nirkekerasan
seperti yang dihimbau Gandhi terkadang gagal karena manusia kembali pada
kepercayaan asalnya bahwa mereka memiliki “power
to do violence” dan legitimate
untuk melakukannya, terlebih dalam kondisi sebagai korban yang berhak membalas
perilaku kekerasan. Ketika korban merespon kekerasan dengan kekerasan,
barangkali dia bergerak dengan insting/nalurinya, karena kekerasan itu buta. Selain
itu, aksi nirkekerasan pada dasarnya bersifat self-consistent. Terkadang orang tanpa sadar melupakan konsistensi
mereka untuk tidak melakukan kekerasan, terutama pada saat situasi
genting/mendesak. Inilah yang barangkali membuat gerakan nirkekerasan tidak
selalu berhasil. Disamping itu pula, keberhasilannya juga akan ditentukan oleh
bagaimana respon khalayak memandang efektivitas pengunaan aksi nirkekerasan
tersebut.
4. Esensinya adalah
menunjukkan pada kolonialis (Inggris sebagai penjajah) bahwa pride dan dignity adalah hal yang tidak akan pernah bisa mereka ambil dari
rakyat India, meskipun mereka mengambil semua yang rakyat India miliki (harta,
nyawa, dan sebagainya). Intinya adalah membuat lawan merefleksikan diri atas
tindakan kekerasan mereka sendiri yang tidak memiliki dasar, apalagi basis
moral sebuah tindakan. Ketika seseorang yang menggunakan kekerasan menghadapi
lawan yang menggunakan metode nirkekerasan dengan keberanian, penuh hormat,
bahkan tetap menggunakan basis kasih-sayang untuk meresponnya, dia akan
mengalami semacam “moral-judo”, dimana energi si penyerang dengan sendirinya
mengalami redirection dan membuatnya
mempertanyakan stabilitas posisinya atau justifikasi tindakannya (“knocking someone’s balance”).
5. Saya rasa Gandhi akan
aktif menyebarkan nilai-nilai nirkekerasan melalui teknologi komunikasi, terutama
melalui jejaring sosial yang merebak saat ini. Teknologi dan media menjembatani
komunikasi dan akses informasi yang lebih efisien dalam hal jarak dan waktu.
Seseorang bahkan kini bisa melakukan protes atas suatu persoalan yang tidak sesuai
dengan kaidah yang semestinya menurut dirinya dengan membuat petisi online dan menarik massa untuk ikut
menyetujui atau menandatanganinya. Jika teknologi semacam ini sudah ada pada
saat Gandhi masih hidup, saya rasa beliau akan memanfaatkannya semaksimal
mungkin untuk mendeklarasikan ketidakadilan dan menyebarkan nilai-nilai hukum keadilan
yang semestinya, serta menarik massa dan berkomunikasi dengan audiens yang
luas.
6. Ahimsa secara
terminology Sansekerta berarti “tidak melukai” (do not injure). Ahimsa atau yang kemudian dikenal sebagai prinsip
nirkekerasan (principle of non-violence)
merupakan sifat alamiah dari manusia itu sendiri (man’s nature itself) yang hanya bisa dilakukan atau disebarkan
secara efektif hanya dengan menjalaninya. Konsep Gandhi mengenai nirkekerasan
ini bukan semata-mata menolak kekerasan, namun juga menekankan pada cinta,
pencarian kebenaran, membangun hubungan yang positif antarsesama, dan membangun
struktur yang adil (yang mungkin mengorbankan diri sendiri dalam artian self-supression dan suffering). Dalam konteks perjuangan Gandhi, penerapan ahimsa dapat
dilihat saat ia dan rakyat India melawan represi kolonialis Inggris masa itu,
melalui peaceful non-cooperation, long march, mogok kerja oleh para buruh,
mogok makan, ataupun bentuk-bentuk civil
resistance lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar