“Aku bersyukur dilahirkan di Indonesia, dimana senyum masih menjadi karakter, budaya masih apik terjaga, dan optimisme masih menyulut semangat. Aku berharap, anak-anakku kelak harus lebih bangga dariku dalam memandang dan memperjuangkan Indonesianya. Jaya Selalu Negeriku Indonesia, Jayalah Selama-lamanya”

Globalisasi dan Isu Demokrasi (Studi Kasus: Krisis Demokrasi di WTO)


Oleh: Adi Rio Arianto Salamun, Arif Muliawan, Arizona Flora Krisandy, Farida Choirunisa, Diakonia Pungkassari, Evita, Frederik Sarira, Meutia Larasati, Muhtar Lutfi, Zulkifli H. Manna       

Abstract
This paper explains about the definition of democracy and globalization, its effects in level of global, in this case the WTO justice and equality mean to be respected as democratic organizations. As long as we know like Prof. Budi Winarno analytically explained, that democracy and globalization has impact the WTO policy, such promise not only economic growth but also new system that unifies the world as one place, called democratic as one world government (cosmopolitanism). This idea, even until now, WTO creates pro and contra in case of “undemocratic situations” such: “no one man, one vote”, “the role of green room”, and “the decision making process” in WTO. The collaboration between globalization, commercialization and capitalism increasingly erode the principle of autonomy of the WTO that skepticism towards liberal democracy excellence in the welfare and prosperity of the member. Followed by erosion and the shift WTO orientation make this organization creating crisis of democracy which is restrain from ideally democratic organization as Prof. Budi Winarno offers cosmopolitan democracy (democracy cosmopolitan vision) in WTO as a solution. Hopefully this article will bring clarity of democracy and globalization in internal WTO as a whole.

Keyword: Demokrasi liberal, globalisasi, prinsip WTO, krisis demokrasi, dan demokrasi kosmopolitan.

A.   Pendahuluan
Lembaga-lembaga multilateral seperti IMF, Bank Dunia, dan WTO tidak hanya mempunyai kekuasaan ekonomi, tetapi juga politik yang sangat besar.[1] Lembaga-lembaga ini diharapkan agar bersifat bijak atau pro terhadap keadilan demi mensejahterakan dan memakmurkan masyarakat internasional atau dunia. Tetapi yang terjadi malah ketimpangan, karena mereka bertolak belakang dengan tujuan awal didirikannya lembaga tersebut, dimana keberadaannya lebih merefleksikan kepentingan-kepentingan perusahaan transnasional dibandingkan dengan warga negara diseluruh dunia. Makanya didalam lembaga-lembaga yang melampaui kekuatan negara telah terjadi pembajakan demokrasi (garis miring istilah dari demos).

WTO sebagai organisasi internasional mengalami perkembangan sesuai dengan kondisi zaman kontemporer. Seiring dengan perkembangan itu, maka tidak menutup kemungkinan dalam WTO kebijakan yang mendasari pendiriannya mengalami proses pergeseran sehingga melahirkan situasi “krisis demokrasi” dalam pengambilan kebijakan.
WTO, merupakan sebuah organisasi perdagangan internasional yang dibentuk pada tanggal 15 April 1994 di Marakesh, Maroko setelah perundingan panjang mengenai perdagangan dunia yang disebut Putaran Uruguay dan hingga kini telah menaungi 153 negara di dalamnya. Organisasi ini berfungsi sebagai forum bagi kerjasama internasional dalam hal kebijakan perdagangan antarnegara.
WTO berlaku efektif sejak 1 Januari 1995. Dalam membuat kebijakan, negara-negara anggota WTO menerapkan prinsip konsensus. Di mana konsensus ini membutuhkan pemungutan suara atau voting. Dalam meberikan voting ini akan didasarkan pada andil perdagangan yang dilakuka suatu negara. Sebagai contoh, Amerika Serikat memiliki 17% suara, sedangkan negara berkembang yang memiliki andil perdagangan kurang dari 1% dari perdagangan dunia juga memiliki kurang dari 1% suara. Namun, jalan ini ternyata mendapat banyak kritikan, sebagai akibat dari melencengnya penggunaan hak voting dalam menjalankan prinsip WTO. Ssejalan dengan pendapat dari Hoekman bahwa “There has been much criticism of the WTO decision making process as being undemocratic, non-transparent and accountable to none. War on Want, a British NGO fighting poverty in developing countries.”[2]
Dalam pelaksanaan tugasnya, WTO berupaya untuk membangun skema perekonomian yang sehat bagi semua negara anggota dengan cara membentuk kerangka kebijakan perdagangan yang dapat menfasilitasi kepentingan setiap negara dalam hal perdagangan internasional. Kerangka untuk mengatur kebijakan perdagangan ini tertuang dalam prinsip-prinsip WTO yang menjadi dasar dari sistem perdagangan multilateral. Selain itu, WTO juga memiliki perangkat pengambilan keputusan dalam rapat-rapat penting anatar anggota. Namun, melihat semakin meluasnya keanggotaan WTO maka tidak bias dihindari munculnya dominasi kepentingan anatara-negara-negara yang memiliki kepentingan besar dalam setiap agenda yang diluncurkan oleh WTO dibawah rejim yang sangat didominasi oleh negara maju.


[1] Budi Winarno, 2007, “Globalisasi dan Krisis Demokrasi”, Yogyakarta: MedPress, hal. 67
[2] Hoekman, Bernard, “The WTO: Function and Basic Principles”, hlm 42

Tidak ada komentar:

Posting Komentar