Oleh: Bayu Setyawan
Sejak swasembada pangan terjadi di
pertengahan tahun 1980-an, Indonesia tidak lagi mampu mencukupi sendiri
kebutuhan pangannya. Bahkan, selama hampir kurang lebih satu decade sejak
reformasi, Indonesia terus-menerus menjadi salah satu pengimpor terbesar bahan
pangan di dunia. Liberalisasi sektor pertanian yang diprakarsai oleh IMF pasca
kebangkrutan ekonomi pada akhir 1990-an, membuat sektor pertanian dan
perkebunan di Indonesia terus mengalami penurunan produktivitas. Bahkan, dapat
dikatakan nyaris bangkrut. Dan, sejak saat itu, isu mengenai ketahanan pangan
menjadi salah satu isu krusial dalam landscape
ekonomi politik Indonesia saat ini. Sebagai Negara agraris, sebagian besar
penduduk Indonesia menyandarkan hidupnya dari sektor pertanian. Namun
sayangnya, petani justru paling tidak beruntung dalam kehidupan ekonomi
Indonesia. Luas lahan yang relatif kecil (kurang dari 0,5 ha) dan nilai tukar
produk pertanian yang sangat rendah dibandingkan dengan produk lainnya membuat
petani sulit sekali keluar dari lingkaran kemiskinan. Hal ini dapat dilihat
dari kecenderungan data statitik di mana penduduk termiskin sebagian besar
berada di sektor pertanian pedesaan.
Kegagalan IMF dalam kebijakan pangan
Indonesia melalui SAP yang berperan besar dalam mengarahkan kebijakan makro
pemerintahan Indonesia dan melupakan sektor mikro (riil) yang juga penting,
paket structural yang dimaksud berisi
point-point berikut.
1. Pembenahan
Struktur Ekonomi Makro
2. Liberalisasi
dan Optimalisasi Mekanisme Pasar
3. Pembenahan
Kebijakan Moneter
4. Pembenahan
Sektor Fiskal dan Finansial
Privatisasi,
akar dari masalah ini tidak hanya parsial pada aspek impor dan harga seperti
yang sering didengungkan oleh pemerintah dan pers. Lebih besar dari itu,
ternyata negara dan rakyat Indonesia tidak lagi punya kedaulatan, yakni
kekuatan dalam mengatur produksi, distribusi dan konsumsi di sektor pangan.
Saat ini di sektor pangan, kita telah tergantung oleh mekanisme pasar yang
dikuasai oleh segelintir perusahaan raksasa. Privatisasi sektor pangan yang
notabene merupakan kebutuhan pokok rakyat, tentunya tidak sesuai dengan mandat
konstitusi RI, yang menyatakan bahwa “Cabang-cabang produksi yang menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat”. Faktanya, Bulog dijadikan privat, dan industri hilir
pangan hingga distribusi (ekspor-impor) dikuasai oleh perusahaan seperti
Cargill dan Charoen Phokpand. Mayoritas rakyat Indonesia jika tidak bekerja
menjadi kuli di sektor pangan, pasti menjadi konsumen atau end-user.
Privatisasi ini pun berdampak serius, sehingga berpotensi besar dikuasainya
sektor pangan hanya oleh monopoli atau oligopoli (kartel), seperti yang sudah
terjadi saat ini.
Liberalisasi,
disebabkan oleh kebijakan dan praktek yang menyerahkan urusan pangan kepada
pasar (1998, Letter of Intent IMF), serta mekanisme perdagangan pertanian yang
ditentukan oleh perdagangan bebas (1995, Agreement on Agriculture, WTO).
Akibatnya negara dikooptasi menjadi antek perdagangan bebas. Negara ini pun
melakukan upaya liberalisasi terhadap hal yang harusnya merupakan state
obligation terhadap rakyat. Market access Indonesia dibuka lebar-lebar, bahkan
hingga 0% seperti kedelai (1998, 2008) dan beras (1998). Sementara domestic subsidy
untuk petani kita terus berkurang (tanah, irigasi, pupuk, bibit, teknologi dan
insentif harga). Di sisi lain, eksport subsidi dari negara-negara overproduksi
pangan seperti AS dan Uni Eropa beserta perusahaan-perusahaannya malah
meningkat. Indonesia pun dibanjiri barang pangan murah, sehingga pasar dan
harga domestik kita hancur. Hal ini jelas membunuh petani kita.
Deregulasi,
beberapa kebijakan sangat dipermudah untuk perusahaan besar yang mengalahkan
pertanian rakyat. Seperti contoh UU No. 1/1967 tentang PMA, UU No. 4/2004
tentang Sumber Daya Air, Perpres 36 dan 65/2006, UU No. 18/2003 Tentang
Perkebunan, dan yang termutakhir UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal. Dengan
kemudahan regulasi ini, upaya privatisasi menuju monopoli atau kartel di sektor
pangan semakin terbuka. Hal ini semakin parah dengan tidak diupayakannya secara
serius pembangunan koperasi-koperasi dan UKM dalam produksi, distribusi dan
konsumsi di sektor pangan.
Dengan
sistem kebijakan dan praktek ini, Indonesia kini tergantung kepada pasar
internasional (harga dan tren komoditas). Maka saat terjadi perubahan pola-pola
produksi – distribusi – konsumsi secara internasional, kita langsung terkena
dampaknya. Kasus kedelai 2008 ini sebenarnya bukanlah yang pertama, karena ada
kasus-kasus sebelumnya (beras pada tahun 1998, susu pada tahun 2007, dan minyak
goreng pada tahun 2007). Hal ini akan sedikit banyak serupa pada beberapa
komoditas pangan yang sangat vital bagi rakyat yang masih tergantung pada pasar
internasional: beras, kedelai, jagung, gula, singkong dan minyak goreng.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar