Oleh: Astiwi Inayah, Citra Istiqomah, Dian Trianita Lestari, Feriana Kushindarti, Irani Siti N, Muhammad Nizar H, Nofansyah Ibrahim, Novi Rizka A, Reza Triarda, Siti Fadilah
Konsep global governance telah muncul bersamaan dengan peristiwa Perang
Dingin. Perang Dingin tidak hanya merepresentasikan perang dan ancaman secara
bipolar saja, namun juga telah membentuk sebuah model analisis pemerintahan
atau organizing, dan prakteknya
sistem politik internasional[1].
Isu- isu dengan landasan asumsi tersebut, terus berkembang, sampai pada
akhirnya disebut dengan konsep global
governance. Global governance
lebih dikenal dengan cara pengorganisasian sistem politik internasional yang
lebih inklusif dan sesuai dengan tata cara atau aturan yang ada[2].
Setidaknya dengan asumsi dasar tersebut, bisa memunculkan berbagai argumen
tentang konsep global governance, baik dari sisi definitif maupun prakteknya. Global governance yang bisa disebut
menjadi sebuah cara untuk mengendalikan sesuatu, bisa diartikan sebagai lembaga
paling tinggi, dimana dalam konteks hubungan internasional, negara- negara
mempunyai hak untuk patuh dan tunduk pada peraturan global governance tersebut. Global
governance juga mencerminkan kekuatan atau power yang kuat, dimana konsep
tersebut seakan- akan mengikat dengan erat bagi para anggota yang terlibat
didalamnya. Tetapi tentu saja negara anggota mempunyai kepentingan yang khusus
dalam hal kebutuhan akan bergabungnya didalam sebuah global governance. Di
dunia banyak contoh dari global
governance yang identik dengan lembaga yang mempunyai peraturan secara
internasional dan harus ditaati oleh negara anggota seperti lembaga PBB, WTO,
Liga Arab, dll, termasuk kelompok- kelompok khusus yang terbatas anggotanya
seperti G-8, G-20, dll.
Untuk mengetahui efektifitas dari global governance dalam mengatasi
permasalahan global, tentu saja membutuhkan beberapa indikator. Indikator dalam
hal ini sebenarnya bisa dikategorikan menjadi banyak poin, namun disini hanya
akan mengambil beberapa dengan pertimbangan yang lebih relevan dan mudah untuk
dicapai. Pertama, efektif karena
adanya peraturan atau syarat khusus yang diterapkan oleh suatu global governance. Negara- negara calon
anggota akan ditunjukkan beberapa poin yang harus dilaksanakan olehnya, apabila
masuk menjadi anggota. Negara- negara yang setuju akan memberikan seluruh
haknya, dan nantinya pasti diikuti dengan keuntungan yang diperoleh untuk
negara tersebut juga. Logikanya adalah negara- negara di dunia ini tidak akan
terlibat dalam suatu global governance
yang tidak menguntungkan mereka, sehingga hal ini akan menuntut mereka untuk
mencari alternatif lebih dari satu organisasi. Dengan pandangan tersebut, tentu
saja banyak global governance yang
menyesuaikan peraturannya dengan kebutuhan negara. Apabila negara sudah
menemukan model dan sistem yang cocok, maka mereka akan bergabung dengan
menaati seluruh peraturannya, yang nantinya akan berimbas juga pada keuntungan
yang didapat oleh negara.
Indikator yang kedua adalah peran global
civil society. Seperti yang disebutkan oleh Falk dan Kaldor bahwa …”very important claims have been made about
normative potentially of global civil society as an arena of politics that is
able to transcend the inside/ outside character of traditional politics and to
fashion and provide space for new forms of political community, solidarity, and
identity”[3]. Peran global civil society dianggap bisa
menjadi salah satu wadah dalam hubungannya dengan public sphere, dimana dalam public
sphere tersebut banyak hal yang bisa terjadi seperti kompetisi, kerjasama,
dll. Global civil society ini seperti halnya jembatan antara masyarakat
domestik dengan lingkungan internasional. Dunia internasional bisa mengetahui
apa yang terjadi dan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat domestik. Dengan
negara menjadi anggota global governance,
peran global civil society tersebut
bisa dengan bersamaan berkembang, karena negara membutuhkan peran mereka untuk
mengetahui apa yang menjadi kepentingan negara anggota lain, sehingga dapat
tercipta mutual understanding dan mutual advantage bagi seluruh negara
anggota. Jadi, global governance membutuhkan global civil society sebagai jembatan hubungannya dengan masyarakat
domestik. Global civil society bisa
berbentuk organisasi masyarakat internasional atau NGO internasional.
Ketiga
adalah eksistensi globalisasi yang telah melunturkan batas- batas negara,
termasuk didalamnya batas- batas kepentingan. Sebenarnya globalisasi bisa
menimbulkan banyak kekhawatiran bagi sebagian atau bahkan mayoritas negara di
dunia. Hal ini dikarenakan globalisasi memunculkan banyak persaingan di banyak
bidang, sehingga banyak negara yang berlomba- lomba yang ingin bisa mencapai
target kepentingan mereka. Khawatir akan keamanan, kepentingan, kebutuhan, dll
bisa menimbulkan efektifitas global governance yang bisa menjadi wadah bagi
negara- negara yang mempunyai kepentingan yang sama. Global governance akan
menawarkan berbagai alternatif yang menguntungkan bagi negara- negara, terlepas
dari segala konsekuensinya. Jadi, global governance akan efektif apabila aturan
dan goals yang ditawarkan akan bermanfaat serta menguntungkan negara- negara
calon anggota ataupun yang sudah menjadi anggota.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar