“Aku bersyukur dilahirkan di Indonesia, dimana senyum masih menjadi karakter, budaya masih apik terjaga, dan optimisme masih menyulut semangat. Aku berharap, anak-anakku kelak harus lebih bangga dariku dalam memandang dan memperjuangkan Indonesianya. Jaya Selalu Negeriku Indonesia, Jayalah Selama-lamanya”

Efektivitas Global Governance


Oleh: Astiwi Inayah, Citra Istiqomah, Dian Trianita Lestari, Feriana Kushindarti, Irani Siti N, Muhammad Nizar H, Nofansyah Ibrahim, Novi Rizka A, Reza Triarda, Siti Fadilah 
Konsep global governance telah muncul bersamaan dengan peristiwa Perang Dingin. Perang Dingin tidak hanya merepresentasikan perang dan ancaman secara bipolar saja, namun juga telah membentuk sebuah model analisis pemerintahan atau organizing, dan prakteknya sistem politik internasional[1]. Isu- isu dengan landasan asumsi tersebut, terus berkembang, sampai pada akhirnya disebut dengan konsep global governance. Global governance lebih dikenal dengan cara pengorganisasian sistem politik internasional yang lebih inklusif dan sesuai dengan tata cara atau aturan yang ada[2]. Setidaknya dengan asumsi dasar tersebut, bisa memunculkan berbagai argumen tentang konsep global governance, baik dari sisi definitif maupun prakteknya. Global governance yang bisa disebut menjadi sebuah cara untuk mengendalikan sesuatu, bisa diartikan sebagai lembaga paling tinggi, dimana dalam konteks hubungan internasional, negara- negara mempunyai hak untuk patuh dan tunduk pada peraturan global governance tersebut. Global governance juga mencerminkan kekuatan atau power yang kuat, dimana konsep tersebut seakan- akan mengikat dengan erat bagi para anggota yang terlibat didalamnya. Tetapi tentu saja negara anggota mempunyai kepentingan yang khusus dalam hal kebutuhan akan bergabungnya didalam sebuah global governance. Di dunia banyak contoh dari global governance yang identik dengan lembaga yang mempunyai peraturan secara internasional dan harus ditaati oleh negara anggota seperti lembaga PBB, WTO, Liga Arab, dll, termasuk kelompok- kelompok khusus yang terbatas anggotanya seperti G-8, G-20, dll.
Untuk mengetahui efektifitas dari global governance dalam mengatasi permasalahan global, tentu saja membutuhkan beberapa indikator. Indikator dalam hal ini sebenarnya bisa dikategorikan menjadi banyak poin, namun disini hanya akan mengambil beberapa dengan pertimbangan yang lebih relevan dan mudah untuk dicapai. Pertama, efektif karena adanya peraturan atau syarat khusus yang diterapkan oleh suatu global governance. Negara- negara calon anggota akan ditunjukkan beberapa poin yang harus dilaksanakan olehnya, apabila masuk menjadi anggota. Negara- negara yang setuju akan memberikan seluruh haknya, dan nantinya pasti diikuti dengan keuntungan yang diperoleh untuk negara tersebut juga. Logikanya adalah negara- negara di dunia ini tidak akan terlibat dalam suatu global governance yang tidak menguntungkan mereka, sehingga hal ini akan menuntut mereka untuk mencari alternatif lebih dari satu organisasi. Dengan pandangan tersebut, tentu saja banyak global governance yang menyesuaikan peraturannya dengan kebutuhan negara. Apabila negara sudah menemukan model dan sistem yang cocok, maka mereka akan bergabung dengan menaati seluruh peraturannya, yang nantinya akan berimbas juga pada keuntungan yang didapat oleh negara.

Indikator yang kedua adalah peran global civil society. Seperti yang disebutkan oleh Falk dan Kaldor bahwa …”very important claims have been made about normative potentially of global civil society as an arena of politics that is able to transcend the inside/ outside character of traditional politics and to fashion and provide space for new forms of political community, solidarity, and identity[3]. Peran global civil society dianggap bisa menjadi salah satu wadah dalam hubungannya dengan public sphere, dimana dalam public sphere tersebut banyak hal yang bisa terjadi seperti kompetisi, kerjasama, dll. Global civil society ini seperti halnya jembatan antara masyarakat domestik dengan lingkungan internasional. Dunia internasional bisa mengetahui apa yang terjadi dan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat domestik. Dengan negara menjadi anggota global governance, peran global civil society tersebut bisa dengan bersamaan berkembang, karena negara membutuhkan peran mereka untuk mengetahui apa yang menjadi kepentingan negara anggota lain, sehingga dapat tercipta mutual understanding dan mutual advantage bagi seluruh negara anggota. Jadi, global governance membutuhkan global civil society sebagai jembatan hubungannya dengan masyarakat domestik. Global civil society bisa berbentuk organisasi masyarakat internasional atau NGO internasional.
Ketiga adalah eksistensi globalisasi yang telah melunturkan batas- batas negara, termasuk didalamnya batas- batas kepentingan. Sebenarnya globalisasi bisa menimbulkan banyak kekhawatiran bagi sebagian atau bahkan mayoritas negara di dunia. Hal ini dikarenakan globalisasi memunculkan banyak persaingan di banyak bidang, sehingga banyak negara yang berlomba- lomba yang ingin bisa mencapai target kepentingan mereka. Khawatir akan keamanan, kepentingan, kebutuhan, dll bisa menimbulkan efektifitas global governance yang bisa menjadi wadah bagi negara- negara yang mempunyai kepentingan yang sama. Global governance akan menawarkan berbagai alternatif yang menguntungkan bagi negara- negara, terlepas dari segala konsekuensinya. Jadi, global governance akan efektif apabila aturan dan goals yang ditawarkan akan bermanfaat serta menguntungkan negara- negara calon anggota ataupun yang sudah menjadi anggota.



[1] Michael Barnett & Raymond Duvall: 2005: Power in Global Governance: Cambridge Press University: hal.5
[2] Ibid
[3] Andrew Hurrell: 2005: Power, Institution, and The Production of Inequality dalam Power in Global Governance: Cambridge Press University: hal. 43

Tidak ada komentar:

Posting Komentar