Negara sangat identik dengan manusia, karena ciri
suatu Negara adalah adanya penduduk dan bagaimana suatu sistem dari Negara
tidak dapat dijalankan tanpa ada manusia yang menjalankan. Bahkan suatu state memiliki keharusan untuk
melindungi warga negaranya. Negara juga berperan sebagai aktor utama dalam
politik internasional. Dalam teori realisme manusia dicirikan sebagai makhluk
yang selalu cemas akan keselamatan dirinya sendiri dalam hubungan persaingan[1].
Dalam hal ini manusia memiliki sifat dasar ingin memiliki kekuasaan egois, selfish (mementingkan dirinya sendiri),
dan selalu berusaha mempertahankan keinginannya dan keinginan tersebut sifatnya
tidak terbatas. Maksudnya manusia tidak akan berhenti untuk mendapatkan
kekuasaan meski mereka sudah berada pada posisi tertinggi. Dalam keterkaitannya
meraih posisi tersebut, selalu ada persaingan antar-manusia. Dalam persaingan
ini manusia akan selalu berusaha menunjukkan siapa diantara mereka yang
terkuat. Karena yang terkuatlah yang bisa menjadi dominasi bagi yang lainnya. Akibat
dari sifat manusia ini kaum realis melihat Negara itu anarkis karena dikuasai
oleh orang-orang yang memiliki kepentingan sendiri diluar kepentingan
negaranya.
Keinginan untuk berkuasa ini tidak hanya dimiliki
oleh pria saja, namun wanita juga. Hal ini diungkapkan oleh pemikir realis abad
keduapuluh, Hans Morgenthau yang mengungkapkan bahwa “pria dan wanita memiliki
keinginan untuk berkuasa. Hal ini sangat jelas dalam politik khususnya politik
internasional. Politik adalah perjuangan memperoleh kekuasaan atas manusia, dan
apapun tujuan akhirnya, kekuasaan adalah tujuan terpentingnya dan cara-cara
memperoleh, memelihara dan menunjukkan kekuasaan menentukan teknik tindakan
politik”[2].
Karena pemerintah di dalam Negara dipenuhi oleh orang-orang yang memiliki
kepentingan lain, maka mejadikannya Negara dan pemerintah itu tidak dapat
diharapkan sepenuhnya.
Ide-ide atau asumsi dasar kaum realis meliputi : [3]
1.
Pandangan pesimis atas
sifat manusia
2.
Keyakinan bahwa
hubungan internasional pada dasarnya konfliktual dan bahwa konflik
internasional pada akhirnya diselesaikan melalui perang
3.
Menjunjung tinggi
nilai-nilai keamanan nasional dan kelangsungan hidup negara
4.
Skeptisme dasar bahwa
terdapat kemajuan dalam politik internasional seperti yang terjadi dalam
kehidupan politik domestic.
Berbicara tentang realisme saya akan membahas 2
orang yang dianggap sebagai pemikir besar yang dianggap sebagai bapak pendiri
realisme modern atau ‘tradisional’ dalam pengklasifikasian yang dilakukan oleh
Scott Burchill-Andrew Linklater, Hans Morgenthau dan E. H. Carr.[4]
Dalam bukunya yang berjudul The Twenty Years Crisis (1939), Carr bercerita tentang kritikan
yang ditujukan kepada kaum liberal-utopia atau kaum yang beranggapan bahwa
Negara akan lebih damai apabila perang dihapuskan dan diplomasi internasional
dapat digunakan sebagai pilihan untuk ketahanan dan keutuhan Negara untuk menciptakan
perdamaian. Kaum liberal-utopia kemudian membentuk Liga Bangsa-Bangsa yang
dianggap sebagai resolusi konflik. Terbentuknya Liga Bangsa-bangsa oleh kaum
liberal-utopia akibat dari reaksi mereka atas kekacauan perang dunia I.[5]
Namun sebagai seorang realis Carr melihat itu sebagai harapan mengenai
bagaimana dunia seharusnya. Sedangkan untuk mengkaji politik internasional
tidaklah cukup apabila hanya berupa harapan atau cita-cita. Carr meyakini bahwa
realisme adalah koreksi yang diperlukan terhadap maraknya utopianisme yang
sellau berupaya untuk menghapuskan bencana perang. Yang diperlukan adalah
pendekatan yang tepat yang lebih menekankan realitas kekuasaaan politik
internasional daripada yabg hanya sekedar harapan akan bagaimana dunia
seharusnya. Dengan kata lain pemikiran akan kenyataan
daripada yang seharusnya jauh lebih
masuk akal dalam politik internasional.[6]
Kaum Liberal meyakini bahwa setiap Negara meimiliki kepentingan yang sama akan
perdamaian, dan Negara yang tidak mau meghargai perdamaian dianggap tidak
rasional atau tidak bermoral. Menurtu carr, keyakinan tersebut sama seperti
ekspresi dari Negara pemenang perang dengan kepentigan pribadi demi
mempertahankan status quo. Tatanan paska perang menunjukkan adanya kepentingan
Negara-negara pemneang perang, oleh karenanya tidak mungkin menerima dukungan
dari negara-negara yang kalah dalam perang, dan pada akhirnya dalam tatanannya keselarasan kepentingan (harmony of
interests) hanyalah berisi kepentingan pribadi dan elit penguasa dari
Negara pemenang tersebut.[7]
Mereka seperti memiliki hak istimewa dimana
para anggotanya memiliki suara dominan dalam masyarakat sehingga cenderung
mengidentifikasi kepentingan masyarakat tersebut sesuai atau tidak dengan apa
yang menjadi kepentingan mereka.
Konflik antar Negara bagi Carr tidak bias
dihindarkan dalam system internasional tanpa otoritas yang berwenang yang
mengatur hubungan di antara mereka. Setiap individu harus tunduk pada ketentuan
hukum dalam negara. Namun hal tersebut tidak berlaku bagi Negara. Karena dalam
sistem internasional tidak ada sistem peraturan yang dapat memaksakan
ketundukan Negara. Tidak ada hukum internasional yang bisa membuat Negara
mempertimbangkan tindakan-tindakannya. Negara dapat dengan bebas melakukan apa
saja dengan kekuatan yang mereka miliki.[8]
Pemikir realis yang kedua adalah Hans Morgenthau dan
bukunya Politics Among Nation. Morgenthau
mengungkapkan bahwa ketidaksempurnaan dunia adalah akibat dari paksaan-paksan
yang menjadi sifat dasar manusia. Pada hakikatnya tidak mungkin ada tatanan dunia
yang sempurna, karena manusia sebagai pembentuk dari Negara tersebut juga tidaklah
sempurna. Menurut Morgenthau apabila ingin mengembangkan dunia seseorang harus
terbiasa dengan tekanan yang timbul akibat dari paksaan-paksaan tersebut.
Adanya pebedaan dari konsep utopia dan kaum realis tentang hakikat politik,
Morgenthau memiliki enam prinsip realisme politik, yang secara keseluruhan
merumuskan pendekatan teoritisnya terhadap studi hubungan internasional.
Teori realisme
mempunyai kelemahan yaitu[9];
·
Realisme
merendahkan, mengabaikan, atau mengurangi banyak sendi-sendi penting kehidupan
internasional.
·
Realisme memandang
tekanan yang bersifat kooperatif dalam sifat manusia.
·
Realisme
mengabaikan aktor-aktor penting, seperti manusia dan LSM.
·
Realisme memandang
dunia itu anarkis. Jika melihat ada kerjasama pasti orang-orang realis
mengganggap ada kepentingan atau maksud lain yang terselubung dalam kegiatan
kerjasama tersebut. Dan apabila sudah tidak ada lagi kepentingan, maka akan
saling menghabisi.
·
Realisme
mengabaikan perluasaan terhadap hubungan internasional yang membentuk
masyarakat anarkis dan bukan hanya sistem yang anarkis.
·
Realisme menganggap
rendah perluasan hubungan-hubungan negara yang diatur oleh hukum internasional.
·
Realisme juga
menganggap rendah perluasaan dimana politik internasional dianggap progresif,
yaitu kerjasama dapat menggantikan konflik yang timbul.
Sementara itu kelebihan dari teori
realis ini menurut saya adalah mengajarkan tentang kewaspadaan atau
kehati-hatian dalam hubungan sosial, karena dalam hal ini tidak ada kawan atau
lawan yang abadi, yang hanya adalah kepentingan. Maka dari itu teori realis
mengajarkan tentang bagaimana berfikiran realistis terhadap segala kemungkinan
yang mungkin dapat terjadi. Rencana kedua selalu diperlukan sebagai bentuk dari
kewaspadaan itu.
[1] Robert Jackson&Georg Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional, hal 88
[2] Ibid
[3] Robert Jackson and
Georg Sorensen, Pengantar Studi Hubungan
Internasional, Pustaka Pelajar, 2005, hal
88
[4] Scott
Burchill-Andrew Linklater. Teori-teoi
Hubungan Iinternasional. Bandung, Nusa Media. Hal 90
[5] ibid
[6] Scott
Burchill-Andrew Linklater. Teori-Teori
Hubungan Iinternasional. Bandung, Nusa Media. Hal 92
[7] Ibid, hal 93
[8] Ibid, hal 97-98
Tidak ada komentar:
Posting Komentar