“Aku bersyukur dilahirkan di Indonesia, dimana senyum masih menjadi karakter, budaya masih apik terjaga, dan optimisme masih menyulut semangat. Aku berharap, anak-anakku kelak harus lebih bangga dariku dalam memandang dan memperjuangkan Indonesianya. Jaya Selalu Negeriku Indonesia, Jayalah Selama-lamanya”

Perspektif Dalam Politik Global "Realisme"

Oleh: Endang Prima Yulia Fitriani


Negara sangat identik dengan manusia, karena ciri suatu Negara adalah adanya penduduk dan bagaimana suatu sistem dari Negara tidak dapat dijalankan tanpa ada manusia yang menjalankan. Bahkan suatu state memiliki keharusan untuk melindungi warga negaranya. Negara juga berperan sebagai aktor utama dalam politik internasional. Dalam teori realisme manusia dicirikan sebagai makhluk yang selalu cemas akan keselamatan dirinya sendiri dalam hubungan persaingan[1]. Dalam hal ini manusia memiliki sifat dasar ingin memiliki kekuasaan egois, selfish (mementingkan dirinya sendiri), dan selalu berusaha mempertahankan keinginannya dan keinginan tersebut sifatnya tidak terbatas. Maksudnya manusia tidak akan berhenti untuk mendapatkan kekuasaan meski mereka sudah berada pada posisi tertinggi. Dalam keterkaitannya meraih posisi tersebut, selalu ada persaingan antar-manusia. Dalam persaingan ini manusia akan selalu berusaha menunjukkan siapa diantara mereka yang terkuat. Karena yang terkuatlah yang bisa menjadi dominasi bagi yang lainnya. Akibat dari sifat manusia ini kaum realis melihat Negara itu anarkis karena dikuasai oleh orang-orang yang memiliki kepentingan sendiri diluar kepentingan negaranya.
Keinginan untuk berkuasa ini tidak hanya dimiliki oleh pria saja, namun wanita juga. Hal ini diungkapkan oleh pemikir realis abad keduapuluh, Hans Morgenthau yang mengungkapkan bahwa “pria dan wanita memiliki keinginan untuk berkuasa. Hal ini sangat jelas dalam politik khususnya politik internasional. Politik adalah perjuangan memperoleh kekuasaan atas manusia, dan apapun tujuan akhirnya, kekuasaan adalah tujuan terpentingnya dan cara-cara memperoleh, memelihara dan menunjukkan kekuasaan menentukan teknik tindakan politik”[2]. Karena pemerintah di dalam Negara dipenuhi oleh orang-orang yang memiliki kepentingan lain, maka mejadikannya Negara dan pemerintah itu tidak dapat diharapkan sepenuhnya.

Ide-ide atau asumsi dasar kaum realis meliputi : [3]
1.      Pandangan pesimis atas sifat manusia
2.      Keyakinan bahwa hubungan internasional pada dasarnya konfliktual dan bahwa konflik internasional pada akhirnya diselesaikan melalui perang
3.      Menjunjung tinggi nilai-nilai keamanan nasional dan kelangsungan hidup negara
4.      Skeptisme dasar bahwa terdapat kemajuan dalam politik internasional seperti yang terjadi dalam kehidupan politik domestic.
Berbicara tentang realisme saya akan membahas 2 orang yang dianggap sebagai pemikir besar yang dianggap sebagai bapak pendiri realisme modern atau ‘tradisional’ dalam pengklasifikasian yang dilakukan oleh Scott Burchill-Andrew Linklater, Hans Morgenthau dan E. H. Carr.[4]
Dalam bukunya yang berjudul The Twenty Years Crisis (1939), Carr bercerita tentang kritikan yang ditujukan kepada kaum liberal-utopia atau kaum yang beranggapan bahwa Negara akan lebih damai apabila perang dihapuskan dan diplomasi internasional dapat digunakan sebagai pilihan untuk ketahanan dan keutuhan Negara untuk menciptakan perdamaian. Kaum liberal-utopia kemudian membentuk Liga Bangsa-Bangsa yang dianggap sebagai resolusi konflik. Terbentuknya Liga Bangsa-bangsa oleh kaum liberal-utopia akibat dari reaksi mereka atas kekacauan perang dunia I.[5] Namun sebagai seorang realis Carr melihat itu sebagai harapan mengenai bagaimana dunia seharusnya. Sedangkan untuk mengkaji politik internasional tidaklah cukup apabila hanya berupa harapan atau cita-cita. Carr meyakini bahwa realisme adalah koreksi yang diperlukan terhadap maraknya utopianisme yang sellau berupaya untuk menghapuskan bencana perang. Yang diperlukan adalah pendekatan yang tepat yang lebih menekankan realitas kekuasaaan politik internasional daripada yabg hanya sekedar harapan akan bagaimana dunia seharusnya. Dengan kata lain pemikiran akan kenyataan daripada yang seharusnya jauh lebih masuk akal dalam politik internasional.[6] Kaum Liberal meyakini bahwa setiap Negara meimiliki kepentingan yang sama akan perdamaian, dan Negara yang tidak mau meghargai perdamaian dianggap tidak rasional atau tidak bermoral. Menurtu carr, keyakinan tersebut sama seperti ekspresi dari Negara pemenang perang dengan kepentigan pribadi demi mempertahankan status quo. Tatanan paska perang menunjukkan adanya kepentingan Negara-negara pemneang perang, oleh karenanya tidak mungkin menerima dukungan dari negara-negara yang kalah dalam perang, dan pada akhirnya dalam tatanannya keselarasan kepentingan (harmony of interests) hanyalah berisi kepentingan pribadi dan elit penguasa dari Negara pemenang tersebut.[7] Mereka seperti memiliki hak istimewa  dimana para anggotanya memiliki suara dominan dalam masyarakat sehingga cenderung mengidentifikasi kepentingan masyarakat tersebut sesuai atau tidak dengan apa yang menjadi kepentingan mereka.
Konflik antar Negara bagi Carr tidak bias dihindarkan dalam system internasional tanpa otoritas yang berwenang yang mengatur hubungan di antara mereka. Setiap individu harus tunduk pada ketentuan hukum dalam negara. Namun hal tersebut tidak berlaku bagi Negara. Karena dalam sistem internasional tidak ada sistem peraturan yang dapat memaksakan ketundukan Negara. Tidak ada hukum internasional yang bisa membuat Negara mempertimbangkan tindakan-tindakannya. Negara dapat dengan bebas melakukan apa saja dengan kekuatan yang mereka miliki.[8]
Pemikir realis yang kedua adalah Hans Morgenthau dan bukunya Politics Among Nation. Morgenthau mengungkapkan bahwa ketidaksempurnaan dunia adalah akibat dari paksaan-paksan yang menjadi sifat dasar manusia. Pada hakikatnya tidak mungkin ada tatanan dunia yang sempurna, karena manusia sebagai pembentuk dari Negara tersebut juga tidaklah sempurna. Menurut Morgenthau apabila ingin mengembangkan dunia seseorang harus terbiasa dengan tekanan yang timbul akibat dari paksaan-paksaan tersebut. Adanya pebedaan dari konsep utopia dan kaum realis tentang hakikat politik, Morgenthau memiliki enam prinsip realisme politik, yang secara keseluruhan merumuskan pendekatan teoritisnya terhadap studi hubungan internasional.
Teori realisme mempunyai kelemahan yaitu[9];
·         Realisme merendahkan, mengabaikan, atau mengurangi banyak sendi-sendi penting kehidupan internasional.
·         Realisme memandang tekanan yang bersifat kooperatif dalam sifat manusia.
·         Realisme mengabaikan aktor-aktor penting, seperti manusia dan LSM.
·         Realisme memandang dunia itu anarkis. Jika melihat ada kerjasama pasti orang-orang realis mengganggap ada kepentingan atau maksud lain yang terselubung dalam kegiatan kerjasama tersebut. Dan apabila sudah tidak ada lagi kepentingan, maka akan saling menghabisi.
·         Realisme mengabaikan perluasaan terhadap hubungan internasional yang membentuk masyarakat anarkis dan bukan hanya sistem yang anarkis.
·         Realisme menganggap rendah perluasan hubungan-hubungan negara yang diatur oleh hukum internasional.
·         Realisme juga menganggap rendah perluasaan dimana politik internasional dianggap progresif, yaitu kerjasama dapat menggantikan konflik yang timbul.

Sementara itu kelebihan dari teori realis ini menurut saya adalah mengajarkan tentang kewaspadaan atau kehati-hatian dalam hubungan sosial, karena dalam hal ini tidak ada kawan atau lawan yang abadi, yang hanya adalah kepentingan. Maka dari itu teori realis mengajarkan tentang bagaimana berfikiran realistis terhadap segala kemungkinan yang mungkin dapat terjadi. Rencana kedua selalu diperlukan sebagai bentuk dari kewaspadaan itu.


[1] Robert Jackson&Georg Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional, hal 88
[2] Ibid
[3] Robert Jackson and Georg Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional, Pustaka Pelajar, 2005, hal  88
[4] Scott Burchill-Andrew Linklater. Teori-teoi Hubungan Iinternasional. Bandung, Nusa Media. Hal 90
[5] ibid
[6] Scott Burchill-Andrew Linklater. Teori-Teori Hubungan Iinternasional. Bandung, Nusa Media. Hal 92
[7] Ibid, hal 93
[8] Ibid, hal 97-98
[9] Ibid 127

Tidak ada komentar:

Posting Komentar