Oleh: Citra Istiqomah
Post-kolonialisme merupakan perspektif
yang muncul sebagai kritik dari kolonialisme. Perspektif ini lahir sebagai bentuk kritik dan kekecewaan
terhadap teori utama yang muncul sebelumnya yang cenderung memfokuskan diri
pada aspek power, politik maupun
negara. Perspektif ini mulai dikenal dan berkembang dalam
hubungan internasional sejak tahun 1960-an melalui tulisan Edward Said “Orientalism”
dan “The Wretched of The Earth” karya
Frantz Fanon.[1]
Dalam “Orientalism”, Said
menitikberatkan pada perbedaan yang terjadi antara Barat dan Timur dimana
bangsa Barat mempunyai kendali terhadap bangsa Timur. Sedangkan Fanon
beranggapan bahwa kolonialisme yang terjadi membuat bangsa yang dijajah
terutama negara dunia ketiga terus bergantung pada negara yang menjajah.
Ketergantungan ini sengaja diciptakan oleh negara Barat untuk dapat tetap
menguasai mereka baik itu dalam aspek sosial, ekonomi, politik dan lainnya.
Dengan ketergantungan ini, negara dunia
ketiga tidak dapat hidup mandiri dan mengembangkan diri untuk mengatasi masalah
yang ada.
Post-kolonialisme
memandang fenomena yang terjadi dalam hubungan internasional dari perspektif
bangsa yang dijajah (the oppressed). Untuk itu, para pemikir post-kolonialis berusaha
memberikan kontribusinya untuk membantu negara-negara dunia ketiga untuk dapat
lebih exist dalam hubungan antar
negara. Menurut pandangan ini, kebodohan dan kemiskinan yang muncul dan
berkembang dalam masyarakat merupakan akibat dari kolonialisasi yang dilakukan
oleh bangsa Barat kepada bangsa Timur. Selain itu pada masa kolonialisme
terjadi, kolonialisme meninggalkan beberapa peninggalan budaya a la Barat di negara jajahan dan mempengaruhi
perkembangan pola pikir masyarakat. Selain itu, kolonialisme juga menciptakan
adanya istilah dalam masyarakat seperti The
Man and The Native di Eropa yang
menganggap bahwa The Man berhak untuk
menguasai The Native. Kemunculan
post-kolonialisme bertujuan untuk menghapuskan peninggalan dan pola pikir yang
ada serta menolak adanya golongan dalam masyarakat. Akibat dari permasalahan
yang muncul tersebut, pandangan ini muncul dan berkembang sebagai bentuk
perlawanan masyarakat anti-kolonialisme. Kaum post-kolonialisme ini mendambakan
adanya tatanan dunia yang lebih baik yang didorong oleh adanya self-determination yang dapat mendorong
adanya kebebasan negara dan masyarakat dalam berpolitik dan dekolonialisasi.
Fokus
dari perspektif post-kolonialisme ini adalah power dan knowledge,
identitas dan perlawanan. Power dan knowledge di sini tidak hanya berfokus
pada kekuatan militer dan ekonomi suatu negara, namun juga diartikan sebagai
kekuatan dan pengetahuan bangsa Barat yang lebih besar jika dibandingkan dengan
negara dunia ketiga. Dengan demikian, bangsa Barat akan cenderung berusaha dan
melakukan invasi ke negara lain yang dianggap mempunyai power dan knowledge yang lebih
rendah dibandingkan bangsanya. Sedangkan identitas, merupakan suatu pengertian
dan pemahaman bahwa ada negara yang menjadi penjajah dan terjajah,
utara-selatan dan barat-timur sehingga sudah wajar ketika mereka yang kuat
melakukan invasi dan menjajah negara yang lebih lemah. Terakhir adalah mengenai
perlawanan. Perlawanan ini ditunjukkan oleh bangsa yang terjajah mampu
beradaptasi dalam kondisi terjajah karena kolonialisme dan mendorong mereka
untuk melakukan perlawanan penghapusan kolonialisme.[2]
Dari
hal tersebut dapat dikatakan bahwa negara yang terlepas dari masa kolonialisme
sebenarnya belum benar-benar bebas. Lepasnya sebuah negara dari penjajah hanya
sebatas wilayah dan penduduknya saja. Kehidupan, kerangka berpikir dan
kebijakan yang diambil oleh negara masih bercermin kepada bangsa Barat. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa secara tidak langsung, negara tersebut masih
terjajah dan belum bebas sepenuhnya. Bangsa Barat masih mempunyai pengaruh yang
cukup kuat untuk mempengaruhi pemikiran masyarakat dan pemimpin sebuah negara
melalui warisan yang mereka tinggalkan.
Seperti
yang diungkapkan salah seorang tokoh post-kolonialis, Carl Schmitt bahwa “sovereign is he who decides on the exception”,
dalam konteks politik (the political)
terdapat perbedaan-perbedaan yang dikaburkan oleh dominasi pemikiran Barat,
khususnya melalui pemikiran liberal dan praktik-praktik internasional selama
bertahun-tahun, terutama pasca berakhirnya Perang Dunia I. Konteks politik ini
juga memuat pembedaan antara kawan dan lawan.[3]
Adanya
ambivalensi turut dipengaruhi
oleh perkembangan studi-studi yang melegitimasi kecenderungan pemetaan dan
pembagian atau diferensiasi terhadap berbagai konsep dalam tata kehidupan
global. Karakter keamanan dan studi keamanan global yang bersifat Eropa-sentris
atau Eurocentric yang berkembang
sejak Perang Dunia II menjadi hal yang sangat dominan mempengaruhi
kecenderungan politik global, pembentukan sejarah, relasi keamanan antara yang
kuat dan yang lemah, dan semacamnya.[4]
Pandangan perspektif post-kolonialisme semacam ini lebih
jauh dapat ditelaah melalui pemikiran-pemikiran para tokoh teoritisi kritis
post-kolonial seperti Edward Said, Homi Bhabha, Gayatri Chakravorty Spivak, dan
tokoh-tokoh lainnya. Homi K. Bhabha sebagai kritikus kultural post-kolonial
memaparkan dalam konteks dikursus kolonial bahwa terminologi “ambivalensi”
dapat menjelaskan proses hibridisasi
ataupun pengdaptasian nilai-nilai kolonial yang terjadi di dunia kontemporer saat ini. Ambivalensi ---Penggunaan
semantik ini bukan merupakan efek tanda dari kelemahan konseptual, melainkan
sebuah pengakuan atas ketidakmampuan untuk sepenuhnya mengontrol makna dari
peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di
masa sebelumnya:
“…(in the
context of colonial discourse), the production of ambivalence does not emerge
from “the contestation of contradictories or the antagonism of dialectical
opposition.” Ambivalence is rather a “splitting” of discourse, a denial of the
possibility of either one or the other side of familiar binaries (e.g.,
security/insecurity, war/peace), resulting in “multiple and contradictory belief”;
splitting is a “strategy for articulating contradictory and co-eval statements
of belief.”[5]
Edward
Said sebagai tokoh lain dalam perspektif post-kolonialisme pun menyoroti hal
serupa. Ia memaparkan tentang pemetaan antara konsep-konsep Islam dan Barat dalam
dunia kontemporer yang dimaksudkan untuk tidak sekedar mengidentifikasi dan
mendeskripsikan reduksi atas fenomen dunia, suatu kehidupan yang berbeda
ataupun yang secara fundamental berbeda dari konsep-konsep Barat yang sudah
meluas. Perbedaan ini, menurut Said, diproduksi dan dipelihara tidak hanya
secara sadar oleh banyak orang, termasuk para akademisi, namun juga oleh ketidaksadaran
ataupun kekurangkritisan intelektual terhadap subjek-subjek tersebut.[6]
Oleh
karena itu, para kritikus yang meyakini perspektif post-kolonialisme ini selalu
menyoroti betapa esensialnya dekonstruksi terhadap narasi-narasi kolonial (grand narrative) yang melingkupi dunia. Seperti
yang ditekankan tokoh post-kolonialisme lain, Gayatri Chakravorty Spivak, terdapat
hal-hal yang ditinggalkan dalam sebuah narasi besar yang dahulu dibangun. Maka,
ia pun menolak cara-cara konvensional berpikir kritis gaya Barat yang justru
akan memunculkan kecenderungan penguatan terhadap peninggalan pemikiran
kolonial, sekaligus pelemahan terhadap identitas pihak-pihak yang ditinggalkan
itu sendiri.[7]
Hal
yang terpenting ialah bahwa negara-negara yang diklaim “kurang maju” atau
“dunia ketiga”, termasuk Iran, harus berhati-hati terhadap konstruksi
identitasnya sendiri. Nosi mengenai krisis identitas seringkali muncul atas
kecenderungan umum bahwa semakin lemah suatu negara, maka ia akan semakin jatuh
ke krisis identitas yang berada pada landasan lemahnya kemampuan
mengkonstruksikan diri sendiri. Proses emulasi sebagai upaya untuk terbebas
dari pengaruh-pengaruh kolonial, bahkan melebihi mereka, terkadang justru
menjadi proses mimikri atau meniru yang sulit dilepaskan secara mentalitas
karena “image” yang terbentuk sudah
sedemikian kuat mengakar akibat sedimentasi praktik maupun dalam ranah
pemikiran. Hal yang seringkali terjadi ialah penolakan pihak yang
terkolonialisasi (the oppressed) terhadap
budaya kolonial, umumnya Barat, namun melakukannya dengan cara mereka untuk terbebas
dari jeratan tersebut, atau yang seringkali digambarkan sebagai proses
hibridisasi. Dalam studi kasus yang telah dipaparkan sebelumnya di atas, proliferasi
nuklir bisa jadi merupakan salah satu manifestasi dari hal tersebut.
Pustaka Literatur
Baylis, John, Steve Smith and Patricia Owens. 2011. The Globalization of World Politic:
Introduction to International Relation, Fifth edition. New York: Oxford
University Press
Burchill, Scott. 2005. Theories of International Relations. 3rd edition. New
York: Palgrave Macmillan
Edkins, Jenny, and Nick Vaughan Williams. 2010. Teori-teori Kritis: Menantang Pandangan
Utama Studi Politik Internasional, edisi Bahasa Indonesia diterjemahkan
oleh Teguh Wahyu Utomo. Yogyakarta: Pustaka Baca
Folker, Jennifer Sterling. 2003. Making Sense of International Relations Theory. London: Lynne Rienner
Publisher
Griffiths, Martin, and Terry O’Callaghan. 2002. International Relations: The Key Concept.
London: Taylor & Francis
Kegley, Charles W., and Eugene R. Witkopff. 2006. World Politics: Trend and Transformation,
10th edition. California: Thomson Wadsworth
Winarno, Budi. 2011. Isu-isu
Global Kontemporer, Yogyakarta: CAPS
Pustaka
Online
Abraham, Itty. 2004. ‘The
Ambivalence of Nuclear Histories’, paper presented at Science, Technology and International Affairs: Historical Perspectives
Workshop. Washington DC: Georgetown University. http://www9.georgetown.edu/faculty/khb3/osiris/papers/AbrahamRev1.pdf
Barkawi, Tarak, and Mark
Laffey. 2006. ‘The Postcolonial Moment in Security Studies’. Review of International Studies. British
International Studies Association. https://www.repository.cam.ac.uk/bitstream/handle/1810/236977/CUP%20Barkawi_Laff?sequence=1
Burr, William. 2009. ‘A brief History of U.S.-Iranian Nuclear
Negotiation’. Bulletin of The Atomic
Scientists. http://www.nuclearfiles.org/menu/key-issues/nuclear-weapons/issues/proliferation/iran/A%20brief%20history%20of%20U.S.-Iranian%20nuclear%20negotiations.pdf
History Guy. Iran-US Hostage Crisis (1979-1981). http://www.historyguy.com/iran-us_hostage_crisis.html#.UqshCSeue5s
Jahanpour, Farhang, Dr. ‘Chronology of Iran's Nuclear Programme, 1957-2007’. Oxford Research Group Paper. http://www.oxfordresearchgroup.org.uk/oxford_research_group_chronology_irans_nuclear_programme_1957_2007
Nurhadi. Poskolonial: Sebuah Pembahasan.
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/POSKOLONIAL%20SEBUAH%20PEMBAHASAN.pdf
Walcott, Derek. ‘The Idea of Black and White Races which
Reveal Human Identity’. Pantomime.
http://www.scribd.com/document_downloads/direct/161928299?extension=pdf&ft=1386947987<=1386951597&source=embed&user_id=56932522&uahk=LJrB/lzDgjMDPO9JodnbuWVxnyk
[1] Derek Walcott, ‘The Idea of Black
and White Races which Reveal Human Identity’, Pantomime, <http://www.scribd.com/document_downloads/direct/161928299?extension=pdf&ft=1386947987<=1386951597&source=embed&user_id=56932522&uahk=LJrB/lzDgjMDPO9JodnbuWVxnyk>
[2] Nurhadi, Poskolonial: Sebuah Pembahasan, <http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/POSKOLONIAL%20SEBUAH%20PEMBAHASAN.pdf>
[3] Jenny
Edkins & Nick Vaughan Williams, Teori-teori
Kritis: Menantang Pandangan Utama Studi Politik Internasional, edisi Bahasa
Indonesia diterjemahkan oleh Teguh Wahyu Utomo, Pustaka Baca, Yogyakarta, 2010,
hal. 400-401.
[4]Tarak
Barkawi & Mark Laffey, ‘The Postcolonial Moment in Security Studies’, Review of International Studies, British
International Studies Association, 2006, <https://www.repository.cam.ac.uk/bitstream/handle/1810/236977/CUP%20Barkawi_Laff?sequence=1>
[5] Itty
Abraham, ‘The Ambivalence of Nuclear Histories’, paper presented at Science, Technology and International
Affairs: Historical Perspectives Workshop, Georgetown University,
Washington DC, 2004, <http://www9.georgetown.edu/faculty/khb3/osiris/papers/AbrahamRev1.pdf>
[6] Edkins
& Williams, hal. 393.
[7] Edkins
& Williams, hal. 415-416.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus