“Aku bersyukur dilahirkan di Indonesia, dimana senyum masih menjadi karakter, budaya masih apik terjaga, dan optimisme masih menyulut semangat. Aku berharap, anak-anakku kelak harus lebih bangga dariku dalam memandang dan memperjuangkan Indonesianya. Jaya Selalu Negeriku Indonesia, Jayalah Selama-lamanya”

Perspektif Post-Kolonialisme Dalam Hubungan Internasional


Oleh: Citra Istiqomah
Post-kolonialisme merupakan perspektif yang muncul sebagai kritik dari kolonialisme. Perspektif ini lahir sebagai bentuk kritik dan kekecewaan terhadap teori utama yang muncul sebelumnya yang cenderung memfokuskan diri pada aspek power, politik maupun negara. Perspektif ini mulai dikenal dan berkembang dalam hubungan internasional sejak tahun 1960-an melalui tulisan Edward Said “Orientalism” dan “The Wretched of The Earth” karya Frantz Fanon.[1] Dalam “Orientalism”, Said menitikberatkan pada perbedaan yang terjadi antara Barat dan Timur dimana bangsa Barat mempunyai kendali terhadap bangsa Timur. Sedangkan Fanon beranggapan bahwa kolonialisme yang terjadi membuat bangsa yang dijajah terutama negara dunia ketiga terus bergantung pada negara yang menjajah. Ketergantungan ini sengaja diciptakan oleh negara Barat untuk dapat tetap menguasai mereka baik itu dalam aspek sosial, ekonomi, politik dan lainnya. Dengan ketergantungan ini,  negara dunia ketiga tidak dapat hidup mandiri dan mengembangkan diri untuk mengatasi masalah yang ada.
Post-kolonialisme memandang fenomena yang terjadi dalam hubungan internasional dari perspektif bangsa yang dijajah (the oppressed). Untuk itu, para pemikir post-kolonialis berusaha memberikan kontribusinya untuk membantu negara-negara dunia ketiga untuk dapat lebih exist dalam hubungan antar negara. Menurut pandangan ini, kebodohan dan kemiskinan yang muncul dan berkembang dalam masyarakat merupakan akibat dari kolonialisasi yang dilakukan oleh bangsa Barat kepada bangsa Timur. Selain itu pada masa kolonialisme terjadi, kolonialisme meninggalkan beberapa peninggalan budaya a la Barat di negara jajahan dan mempengaruhi perkembangan pola pikir masyarakat. Selain itu, kolonialisme juga menciptakan adanya istilah dalam masyarakat seperti The Man and The Native di Eropa yang menganggap bahwa The Man berhak untuk menguasai The Native. Kemunculan post-kolonialisme bertujuan untuk menghapuskan peninggalan dan pola pikir yang ada serta menolak adanya golongan dalam masyarakat. Akibat dari permasalahan yang muncul tersebut, pandangan ini muncul dan berkembang sebagai bentuk perlawanan masyarakat anti-kolonialisme. Kaum post-kolonialisme ini mendambakan adanya tatanan dunia yang lebih baik yang didorong oleh adanya self-determination yang dapat mendorong adanya kebebasan negara dan masyarakat dalam berpolitik dan dekolonialisasi.
Fokus dari perspektif post-kolonialisme ini adalah power dan knowledge, identitas dan perlawanan. Power dan knowledge di sini tidak hanya berfokus pada kekuatan militer dan ekonomi suatu negara, namun juga diartikan sebagai kekuatan dan pengetahuan bangsa Barat yang lebih besar jika dibandingkan dengan negara dunia ketiga. Dengan demikian, bangsa Barat akan cenderung berusaha dan melakukan invasi ke negara lain yang dianggap mempunyai power dan knowledge yang lebih rendah dibandingkan bangsanya. Sedangkan identitas, merupakan suatu pengertian dan pemahaman bahwa ada negara yang menjadi penjajah dan terjajah, utara-selatan dan barat-timur sehingga sudah wajar ketika mereka yang kuat melakukan invasi dan menjajah negara yang lebih lemah. Terakhir adalah mengenai perlawanan. Perlawanan ini ditunjukkan oleh bangsa yang terjajah mampu beradaptasi dalam kondisi terjajah karena kolonialisme dan mendorong mereka untuk melakukan perlawanan penghapusan kolonialisme.[2]

Dari hal tersebut dapat dikatakan bahwa negara yang terlepas dari masa kolonialisme sebenarnya belum benar-benar bebas. Lepasnya sebuah negara dari penjajah hanya sebatas wilayah dan penduduknya saja. Kehidupan, kerangka berpikir dan kebijakan yang diambil oleh negara masih bercermin kepada bangsa Barat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara tidak langsung, negara tersebut masih terjajah dan belum bebas sepenuhnya. Bangsa Barat masih mempunyai pengaruh yang cukup kuat untuk mempengaruhi pemikiran masyarakat dan pemimpin sebuah negara melalui warisan yang mereka tinggalkan.
Seperti yang diungkapkan salah seorang tokoh post-kolonialis, Carl Schmitt bahwa “sovereign is he who decides on the exception”, dalam konteks politik (the political) terdapat perbedaan-perbedaan yang dikaburkan oleh dominasi pemikiran Barat, khususnya melalui pemikiran liberal dan praktik-praktik internasional selama bertahun-tahun, terutama pasca berakhirnya Perang Dunia I. Konteks politik ini juga memuat pembedaan antara kawan dan lawan.[3]
Adanya ambivalensi turut dipengaruhi oleh perkembangan studi-studi yang melegitimasi kecenderungan pemetaan dan pembagian atau diferensiasi terhadap berbagai konsep dalam tata kehidupan global. Karakter keamanan dan studi keamanan global yang bersifat Eropa-sentris atau Eurocentric yang berkembang sejak Perang Dunia II menjadi hal yang sangat dominan mempengaruhi kecenderungan politik global, pembentukan sejarah, relasi keamanan antara yang kuat dan yang lemah, dan semacamnya.[4]
Pandangan perspektif post-kolonialisme semacam ini lebih jauh dapat ditelaah melalui pemikiran-pemikiran para tokoh teoritisi kritis post-kolonial seperti Edward Said, Homi Bhabha, Gayatri Chakravorty Spivak, dan tokoh-tokoh lainnya. Homi K. Bhabha sebagai kritikus kultural post-kolonial memaparkan dalam konteks dikursus kolonial bahwa terminologi “ambivalensi” dapat menjelaskan proses hibridisasi ataupun pengdaptasian nilai-nilai kolonial yang terjadi di dunia kontemporer saat ini. Ambivalensi ---Penggunaan semantik ini bukan merupakan efek tanda dari kelemahan konseptual, melainkan sebuah pengakuan atas ketidakmampuan untuk sepenuhnya mengontrol makna dari peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di masa sebelumnya:
“…(in the context of colonial discourse), the production of ambivalence does not emerge from “the contestation of contradictories or the antagonism of dialectical opposition.” Ambivalence is rather a “splitting” of discourse, a denial of the possibility of either one or the other side of familiar binaries (e.g., security/insecurity, war/peace), resulting in “multiple and contradictory belief”; splitting is a “strategy for articulating contradictory and co-eval statements of belief.”[5]
Edward Said sebagai tokoh lain dalam perspektif post-kolonialisme pun menyoroti hal serupa. Ia memaparkan tentang pemetaan antara konsep-konsep Islam dan Barat dalam dunia kontemporer yang dimaksudkan untuk tidak sekedar mengidentifikasi dan mendeskripsikan reduksi atas fenomen dunia, suatu kehidupan yang berbeda ataupun yang secara fundamental berbeda dari konsep-konsep Barat yang sudah meluas. Perbedaan ini, menurut Said, diproduksi dan dipelihara tidak hanya secara sadar oleh banyak orang, termasuk para akademisi, namun juga oleh ketidaksadaran ataupun kekurangkritisan intelektual terhadap subjek-subjek tersebut.[6]
Oleh karena itu, para kritikus yang meyakini perspektif post-kolonialisme ini selalu menyoroti betapa esensialnya dekonstruksi terhadap narasi-narasi kolonial (grand narrative) yang melingkupi dunia. Seperti yang ditekankan tokoh post-kolonialisme lain, Gayatri Chakravorty Spivak, terdapat hal-hal yang ditinggalkan dalam sebuah narasi besar yang dahulu dibangun. Maka, ia pun menolak cara-cara konvensional berpikir kritis gaya Barat yang justru akan memunculkan kecenderungan penguatan terhadap peninggalan pemikiran kolonial, sekaligus pelemahan terhadap identitas pihak-pihak yang ditinggalkan itu sendiri.[7]
Hal yang terpenting ialah bahwa negara-negara yang diklaim “kurang maju” atau “dunia ketiga”, termasuk Iran, harus berhati-hati terhadap konstruksi identitasnya sendiri. Nosi mengenai krisis identitas seringkali muncul atas kecenderungan umum bahwa semakin lemah suatu negara, maka ia akan semakin jatuh ke krisis identitas yang berada pada landasan lemahnya kemampuan mengkonstruksikan diri sendiri. Proses emulasi sebagai upaya untuk terbebas dari pengaruh-pengaruh kolonial, bahkan melebihi mereka, terkadang justru menjadi proses mimikri atau meniru yang sulit dilepaskan secara mentalitas karena “image” yang terbentuk sudah sedemikian kuat mengakar akibat sedimentasi praktik maupun dalam ranah pemikiran. Hal yang seringkali terjadi ialah penolakan pihak yang terkolonialisasi (the oppressed) terhadap budaya kolonial, umumnya Barat, namun melakukannya dengan cara mereka untuk terbebas dari jeratan tersebut, atau yang seringkali digambarkan sebagai proses hibridisasi. Dalam studi kasus yang telah dipaparkan sebelumnya di atas, proliferasi nuklir bisa jadi merupakan salah satu manifestasi dari hal tersebut.



Pustaka Literatur
Baylis, John, Steve Smith and Patricia Owens. 2011. The Globalization of World Politic: Introduction to International Relation, Fifth edition. New York: Oxford University Press
Burchill, Scott. 2005. Theories of International Relations. 3rd edition. New York: Palgrave Macmillan
Edkins, Jenny, and Nick Vaughan Williams. 2010. Teori-teori Kritis: Menantang Pandangan Utama Studi Politik Internasional, edisi Bahasa Indonesia diterjemahkan oleh Teguh Wahyu Utomo. Yogyakarta: Pustaka Baca
Folker, Jennifer Sterling. 2003. Making Sense of International Relations Theory. London: Lynne Rienner Publisher
Griffiths, Martin, and Terry O’Callaghan. 2002. International Relations: The Key Concept. London: Taylor & Francis
Kegley, Charles W., and Eugene R. Witkopff. 2006. World Politics: Trend and Transformation, 10th edition. California: Thomson Wadsworth
Winarno, Budi. 2011. Isu-isu Global Kontemporer, Yogyakarta: CAPS

Pustaka Online
Abraham, Itty. 2004. ‘The Ambivalence of Nuclear Histories’, paper presented at Science, Technology and International Affairs: Historical Perspectives Workshop. Washington DC: Georgetown University. http://www9.georgetown.edu/faculty/khb3/osiris/papers/AbrahamRev1.pdf
Barkawi, Tarak, and Mark Laffey. 2006. ‘The Postcolonial Moment in Security Studies’. Review of International Studies. British International Studies Association. https://www.repository.cam.ac.uk/bitstream/handle/1810/236977/CUP%20Barkawi_Laff?sequence=1
Burr, William. 2009. ‘A brief History of U.S.-Iranian Nuclear Negotiation’. Bulletin of The Atomic Scientists. http://www.nuclearfiles.org/menu/key-issues/nuclear-weapons/issues/proliferation/iran/A%20brief%20history%20of%20U.S.-Iranian%20nuclear%20negotiations.pdf
History Guy. Iran-US Hostage Crisis (1979-1981). http://www.historyguy.com/iran-us_hostage_crisis.html#.UqshCSeue5s
Jahanpour, Farhang, Dr. ‘Chronology of Iran's Nuclear Programme, 1957-2007’. Oxford Research Group Paper. http://www.oxfordresearchgroup.org.uk/oxford_research_group_chronology_irans_nuclear_programme_1957_2007




[3] Jenny Edkins & Nick Vaughan Williams, Teori-teori Kritis: Menantang Pandangan Utama Studi Politik Internasional, edisi Bahasa Indonesia diterjemahkan oleh Teguh Wahyu Utomo, Pustaka Baca, Yogyakarta, 2010, hal. 400-401.
[4]Tarak Barkawi & Mark Laffey, ‘The Postcolonial Moment in Security Studies’, Review of International Studies, British International Studies Association, 2006, <https://www.repository.cam.ac.uk/bitstream/handle/1810/236977/CUP%20Barkawi_Laff?sequence=1>
[5] Itty Abraham, ‘The Ambivalence of Nuclear Histories’, paper presented at Science, Technology and International Affairs: Historical Perspectives Workshop, Georgetown University, Washington DC, 2004, <http://www9.georgetown.edu/faculty/khb3/osiris/papers/AbrahamRev1.pdf>
[6] Edkins & Williams, hal. 393.
[7] Edkins & Williams, hal. 415-416.

1 komentar: