“Aku bersyukur dilahirkan di Indonesia, dimana senyum masih menjadi karakter, budaya masih apik terjaga, dan optimisme masih menyulut semangat. Aku berharap, anak-anakku kelak harus lebih bangga dariku dalam memandang dan memperjuangkan Indonesianya. Jaya Selalu Negeriku Indonesia, Jayalah Selama-lamanya”

Reformasi Militer pada Masa Pemerintahan Shinzo Abe dan Realpolitik Jepang


Oleh: Citra Istiqomah 
Jepang memiliki sejarah panjang ekspansionisme jauh sebelum era Perang Dunia dan Perang Dingin terjadi. Berakhirnya Perang Dunia II membawa Jepang pada keharusan memenuhi tuntutan para pemenang perang. Pasca menyerahnya Jepang pada Sekutu, negara tersebut segera berada dalam kendali Amerika Serikat melalui pemerintahan sementara SCAP (Supreme Commander Alliance on Pacific) dibawah perwakilan Jendral Doughlas MacArthur. Jepang kemudian berkomitmen menjadi negara pasifis, yang berkomitmen untuk tidak terlibat dalam perang dan selalu menegakkan perdamaian.
Dalam perkembangannya, --- Apakah ini relevan dengan kondisi sekarang ketika anggaran militer Jepang terus meningkat, 3% sejak tahun 2012. Mengapa Shinzo Abe memutuskan untuk melakukan reformasi militer Jepang? Alasan yang paling rasional adalah ancaman Cina. Kedua, melemahnya kekuatan Amerika Serikat. Alasan ini menjadi sangat berpengaruh karena Jepang selama ini berlindung di bawah payung AS.

Sejarah Militer Jepang dan Self Defence Forces (SDF)
Sejarah militer Jepang diwarnai dengan upaya ekspansionisme Jepang untuk menjadi kekuatan kolonial besar layaknya bangsa-bangsa Barat. Jepang menduduki beberapa wilayah, terutama di kawasan Asia Pasifik untuk mempraktekkan doktrin “fukoku kyohei”, negara yang kuat ialah negara yang memiliki kekuatan militer yang besar. Namun demikian, kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II mengakibatkan Jepang harus menyerah kepada pihak Sekutu.
Sejak saat itu, Sekutu melucuti kekuatan militer Jepang. Melalui konstitusi baru, atau yang dikenal sebagai Konstitusi Demokrasi 1947, Jepang dilarang mengembangkan militer. Namun demikian, sebagai bentuk ---, Jepang diperbolehkan memiliki pasukan pertahanan atau self defense forces (SDF) yang sesuai namanya, hanya boleh digunakan ketika Jepang mempertahankan diri terhadap serangan militer dari luar.
Kejatuhan Saigon membawa implikasi berkurangnya keterlibatan AS di kawasan Astim (p. 93). Masa pemerintahan Hatoyama (JSP) mempengaruhi proses pembuatan kebijakan Jepang terkait sektor keamanan dan militernya, terutama SDF. Konsep JSP mengenai “unarmed neutrality” menjadi akar bagi terbentuknya 4 prinsip perdamaian dalam tubuh partai tersebut. à permanent neutrality and no re-armament; total peace. Memasuki era 1950an, kebijakan yang demikian menjadi terlalu idealistic untuk menjadi opsi kebijakan yang praktikal, meskipun mampu mengalahkan LDP. Pada masa itu, pasifisme di Jepang tidak lagi diidentifikasi sebagai bagian dari aspirasi massa proletariat dan rearmament diasosiasikan dengan elit yang kapitalis yang dipercaya sebagai cara mencapai kejayaan dan kekuatan. China mensupport aliansi Jepang dengan AS, termasuk kerja sama militer & hal ini melemahkan argument anti-militeris. Ini membantu restorasi tolok ukur realisme sebagai bagian dari perdebatan militer di Jepang. Tahun 1970-an image SDF di hadapan public masih rendah dan hanya digunakan untuk disaster relief, dihadapkan pada isu legal dan politis yang a lot. Namun pada pertengahan era itu, perubahan konstelasi politik internasional melemahkan atmosfir pasifis yang selalu menjadi hambatan bagi kepentingan pengembangan militer & imobilitas dalam politik Jepang. Dibawah PM Miki, image SDF ditingkatkan dengan mengisukan Defence White Papers di tahun 1976 yang disetujui cabinet agar SDF menjadi lebih fleksibel dan mengembangkan kapabilitas defensif. Anggaran defense di bawah Sato didorong ke tingkat max. 1 % dari GNP. (Shibusawa Masahide, Japan and the Asian Pacific Region: profile of Change, Routledge, Royal Institute of International Affairs, London, 1984, p. 94-96)



       Pembentukan SDF Jepang pada dasarnya diimbangi oleh persoalan-persoalan politik, ekonomi, dan ikatan legal yang demikian serius sejak tahun 1950. Seiichiro Onishi, mantan kepala Japan’s Defense Academy dan sekjen Research Institute for Peace and Security di Tokyo mengatakan bahwa terdapat hambatan-hambatan ekonomi-politik yang membuat SDF sulit menghadapi ancaman terkini, salah satu hal terbesar ialah kedekatan hubungan antara Jepang dengan AS. (Seiichiro Onishi, ‘Japan’s Self-Defense Requirements and Capabilities’, in U. Alexis Johnson, George R. Packard, The Common Security Interests of Japan, The United States, and NATO, Massachusetss, Ballinger Publishing Company, 1981, p. 143)
Japan rearmament terjadi karena muncul Perang Korea sebagai stimulus untuk kembali mengembangkan kekuatan militer Jepang, memunculkan reinterpretasi atas klausul renunsiasi perang dalam artikel 9 Konstitusi Jepang 1947. Pasal ini menjadi hambatan utama bagi Jepang untuk mengembangkan kemungkinan pasukan militer yang telah disetujui melalui konsensus nasional. Survei public menginginkan amandemen konstitusi yang pro-defense.
Article 9: “Aspiring sincerely to an international peace based on justice and order, the Japanese people forever renounce war as a sovereign rigt of the nation and the threat of use of force as a means of settling international disputes.
In order to accomplish the aim of the preceding paragraph, land, sea and air forces, as well as other war potential, will never be maintained. The right of belligerency of the state will not be recognized.” (p. 144)
Karena amandemen itulah Jepang mulanya mengembangkan SDF yang didasari oleh teori of a national right of self-defense. Namun demikian, perdebatan yang ada tetap menjaga potensi jepang untuk tdk jadi ofensif, tidak dibuat berdasarkan strategic viewpoint mengenai bagaimana japan’s sec. requirement meets current int’l envi., melainkan legal view. (145)
Hambatan konstitusional bkin jepang jd defensive. Konsep defense berdasar interpretasi artikel 9 ini kurang fleksibel dan irasional dari sudut pandang militer, karenanya sering terjadi perdebatan yang tidak produktif di Diet, termasuk mengenai senjata. (146)
Sejak pertengahan era 1970-an, 80% masyarakat Jepang mengerti fungsi SDF, 40-45% mendukung konstitusi. Sisanya encourage anti-SDF agar militer berfungsi sebagaimana mestinya dan ingin menantang basis konstitusional. 1976 courts mengatakan bahwa SDF dibuat dan dikembangkan oleh pemerintah sebagai legitimate action in ruling the country, dan courts tidak berhak mengatur apakah keberadaan SDF bertentangan dengan konstitusi. Gerakan melawan SDF karenanya kehilangan basis legal di pengadilan dan menjadi tidak efektif. 4 periode pengembangan kekuatan militer dari tahun 1957-1976.(p. 147)
Defense programe oleh pemerintah tahun 1976 dipersiapkan oleh defense agency sekitar tahun 1979 dan dieksekusi 1980. Ground Self Defense (GSDF) merupakan yang terbesar dengan 12 divisi infanteri dan 1 divisi mekanis. Namun kekurangan SDM. Semua peralatan disuplai dari AS. Namun dalam Maritime SDF (MSDF), peralatannya banyak yang usang dan tidak berkembang baik bila dibandingkan GSDF dan Air SDF. 1970an kekuatan militer laut Rusia memberi threat pada MSDF. ASDF dapet asistensi baik dari AS karena permintaannya untuk mengamankan wilayah udara, bahkan diperintahkan merespon secara ofensif serangqan asing. (pp. 148-150)
Sejak 1970-an, terdapat penurunan yang signifikan untuk resistensi kebijakan-kebijakan militer pemerintah dari partai oposisi. (p. 157)

Kebijakan Keamanan Jepang: Dilema antara Realisme dan Idealisme Pasifis
Pasca kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II, negara ini dihadapkan pada tuntutan besar untuk memetakan dan menjalin hubungan antarnegara dengan tetap berpegang pada alur politik luar negeri Jepang yang bersesuaian dengan Konstitusi Demokrasi 1947. Di lain pihak, Jepang tentu tidak dapat benar-benar menutup mata terhadap kondisi realpolitik yang terjadi di lingkup global. Negara-negara cenderung berlomba-lomba umenghimpun kekuatan militer mereka untuk menghadapi ancaman yang mungkin muncul sewaktu-waktu.
Pasca Perang Dunia II yang menimbulkan banyak korban jiwa, masyarakat Jepang lebih berhati-hati dalam memilih keterlibatan mereka untuk perang. Salah satu hal yang juga mendukung tindakan ini adalah dibuatnya pasal 9 dalam Konstitusi Demokrasi oleh AS yang melarang atau membatasi ruang gerak militer Jepang. Namun, Perang Dingin tampaknya membawa dampak yang cukup signifikan bagi kehidupan Jepang. Perdana Menteri Shigeru Yoshida kemudian berinisiatif membentuk Japanese Self Defence Force (JSDF) untuk melindungi Jepang dari serangan musuh. Hal tersebut dilakukan Jepang karena Jepang merasa perlu membentuk sebuah kerjasama pertahanan dengan Amerika demi menghadang serangan blok komunis.
Terkait konsep perdamaian dan keamanan domestik di Jepang, terdapat perdebatan yang cukup alot antara kaum pasifis dan realis yang cukup menimbulkan kekisruhan serta perdebatan hebat dalam politik domestik Jepang. Terdapat tiga poin yang menjadi inti dari perdebatan, yaitu: Pertama, kebijakan dan pengawasan secara legal terhadap kendala konstitusional pada tindakan militer; Kedua, apakah hasil kebijakan tersebut akan diterima secara luas oleh masyarakat Jepang atau tidak; dan Ketiga, apakah pemerintah yang terpilih secara demokratis dapat menjamin tidak akan membawa Jepang kembali ke dalam jurang militerisme.
Pertama, aspek legalitas. Hal ini terkait penggunaan JSDF dalam koridornya sebagai pasukan bela diri. SDF hanya boleh digunakan untuk melawan pasukan asing yang menyerang masuk ke dalam wilayah Jepang, bukan dalam koridor pertahanan pakta melainkan untuk membantu sekutu Jepang yang diserang. Namun pada kenyataannya, SDF sebagai sekutu dari pasukan Amerika kerapkali melakukan operasi pendukung untuk membantu pasukan mereka seperti dalam hal penyediaan logistik dan pengisian bahan bakar. SDF seharusnya dapat mempertahankan konsistensinya dengan merujuk pada satu definisi khusus mengenai apa itu aksi militer yang layak untuk dilakukan oleh SDF (use of force). Terlebih lagi semenjak 9/11, JSDF diberikan lingkup yang lebih luas dalam aksi penganggulangan terorisme. Inti dari perdebatan mengenai aspek legalitas ini adalah pemerintah Jepang harus dapat mempertahankan konsistensinya terhadap JSDF.
Kedua, terkait gagasan pencegahan (notion of deterrence). Kaum pasifis berpendapat bahwa gagasan mengenai deterrence yang mengutamakan kerjasama militer dengan Amerika justru berpotensi menyeret Jepang ke dalam peperangan. Seperti halnya dalam Perang Dingin, Jepang menanggung efek psikologis paling berat karena jaraknya yang begitu dekat dengan negara-negara komunis, dimana ancaman nuklir terasa sangat nyata. Terlebih lagi, dengan mengirim anggota SDF keluar wilayah Jepang dalam koridor deterrence yang juga menjadi hal tabu bagi kaum pasifis dalam parlemen Jepang.
Terakhir, adalah rasa percaya diri yang besar terhadap sistem demokrasi Jepang. Rakyat Jepang era Perang Dunia II merasa dikhianati oleh rezim militeris yang membawa Jepang pada keterpurukan peperangan. Namun, dengan diberlakukannya sistem demokrasi di Jepang saat ini melalui Konstitusi 1947 kondisi Jepang dapat dikatakan telah jauh lebih baik dibandingkan era Perang Dunia II. Hal ini membuat kaum pasifis Jepang merasa bahwa Jepang tidak perlu memiliki militer yang kuat, karena dengan sistem demokrasi yang baik, pemerintah tidak akan semena-mena membawa Jepang dalam perang seperti yang terjadi sebelum tahun 1945.[1] Namun demikian, argumentasi kaum pasifis ini tidak lantas sepenuhnya membentuk politik luar negeri maupun kebijakan keamanan Jepang ke arah yang pasifis. Pada kenyataannya, banyak peristiwa yang membuat Jepang terkadang harus meninggalkan idealismenya itu. Misalnya pada saat AS meminta bantuan Jepang untuk mengirimkan pasukan militer dalam Perang Korea 1950-1953. ---Dalam perkembangannya pun, idealisme pasifis Jepang ini agaknya berkembang ke arah yang lebih realis dalam merespon dinamika politik global dan menghadapi ancaman-ancaman yang semakin riil, baik di lingkup regional maupun internasional.

Reformasi Militer Jepang Pada Masa Pemerintahan Shinzo Abe
Dalam kurun waktu belakangan, Jepang mengumumkan untuk mereformasi militernya dan bahkan menaikkan alokasi anggaran militer sebesar 3%. Hal ini menjadi indikasi bahwa perkembangan militer Jepang barangkali sedang bergerak ke arah fungsional militer yang sebenarnya, ofensif. Terlepas dari penamaan istilah SDF sebagai kekuatan defensif, pengembangan militer Jepang kini cenderung bergerak ke arah ofensif.
Perdana Menteri menjabat, Shinzo Abe yang berasal dari partai LDP kini menguasai pemerintahan, baik di lower house maupun upper house. Abe tidak hanya berupaya untuk memberikan solusi bagi kebuntuan atau stagnansi ekonomi Jepang melalui kebijakan three arrows of economic policy atau yang juga sering disebut sebagai Abenomics, namun juga kebijakan nasional. Salah seorang professor dari Sophia Univesity mengatakan bahwa Abe tidak hanya revisionis --.
Dengan adanya pendudukan di upper maupun lower house tersebut, pemerintahan Abe tentu akan lebih mudah mengonsolidasikan kebijakan-kebijkan di lingkungan pemerintah, termasuk kebijakan-kebijakan terkait keamanan dan militer Jepang.

Reformasi Militer dan Relevansinya dengan Isu Keamanan Kontemporer
            Drifte Reinhard dalam bukunya “Japan’s Foreign Policy for the 21st Century: From Economic Superpower to What Power?” menyebutkan beberapa alasan mengapa Jepang mengalami perubahan. Pertama, berakhirnya Perang Dingin. Berakhirnya Perang Dingin yang ditandai dengan kemenangan ideologi liberal-kapitalis atas kubu sosialis-komunis membuat konstelasi politik internasional berubah. Hal ini juga berdampak pada situasi keamanan di era kontemporer pasca Perang Dingin.
Pada dasarnya, reformasi militer yang dilakukan oleh Jepang merupakan sebuah tindakan yang rasional. Jepang tidak lagi dapat terus mengandalkan AS untuk melindungi keamanan nasional mereka karena situasi keamanan internasional yang kian tidak terduga, terjadi perlombaan kekuatan. Disamping itu, kekuatan AS yang selama ini dianggap sebagai pelindung atau back-up Jepang tidak lagi dapat diandalkan karena semakin melemah. AS mengalami kerugian besar dari perang, invasi, dan berbagai aksi intervensi militernya di seluruh dunia yang tentu menghabiskan banyak biaya. Ini membuat Jepang rentan akan kondisi realpolitik yang terjadi dalam kancah internasional dimana perang dan konflik dapat muncul kapan saja. Bila Jepang tidak memiliki pertahanan sendiri, hampir bisa dipastikan ia akan dengan mudah menjadi sasaran bagi negara lain. Dengan demikian, Jepang tidak lagi dapat mepertahankan idealismenya yang demikian pasifis itu. Ia harus membuka mata terhadap kemungkinan-kemungkinan realpolitik yang terjadi di lngkungan global.

KESIMPULAN
Jepang merupakan negara yang dikenal sebagai pasifis karena tidak diperbolehkan memiliki militer yang memadai sebagai bagian dari --- yang tertuang dalam Konstitusi 1947. Dalam kurun waktu belakangan, Jepang mulai mengembangkan kapabilitas militernya. Hal ini terjadi karena pergeseran konstelasi kekuatan keamanan regional maupun internasional. Bangkitnya kekuatan Cina menjadi faktor yang sangat kuat mempengaruhi perubahan politik luar negeri Jepang dalam merespon stabilitas politik-keamanan di kawasan Asia Timur.

REFERENSI

Drifte, Reinhard. 1998. Japan’s Foreign Policy for the 21st Century: From Economic Superpower to What Power?. Hampshire: Macmillan
Kataoka, Tetsuya. 1980. Waiting for a “Pearl Harbor”: Japan Debates Defense. California: Hoover Institution Press
Kawashima, Yutaka. 2003. Japanese Foreign Policy at the Crossroads: Challenges and Options for the Twenty-First Century. Washington D.C.: Brookings Institution Press
Levin, Norman D., Mark Lorell, and Arthur Alexander. 1993. The Wary Warriors: Future Directions in Japanese Security Policies. California: RAND
Masahide, Shibusawa. 1984. Japan and the Asian Pacific Region: Profile of Change. London: Routledge
Moore, Ray A., and Donald L. Robinson. 2004. Partners for Democracy: Crafting the New Japanese State under MacArthur. Oxford: Oxford University Press


[1] Yutaka Kawashima

Tidak ada komentar:

Posting Komentar