“Aku bersyukur dilahirkan di Indonesia, dimana senyum masih menjadi karakter, budaya masih apik terjaga, dan optimisme masih menyulut semangat. Aku berharap, anak-anakku kelak harus lebih bangga dariku dalam memandang dan memperjuangkan Indonesianya. Jaya Selalu Negeriku Indonesia, Jayalah Selama-lamanya”

Persepektif Dalam Politik Global "Konstruktivisme"


Oleh: Ahmad Syifa Rifai
Konstruktivisme adalah teori alternative dan kritis yang turut mewarnai teori hubungan internasional modern.  Konstruktivisme muncul pada abad 18 dari Glambattisca Vico dengan awalnya didasari oleh pandangan Friedrich Kratochwill,  Nicholas Onuf,  Alexander Wendt, John Ruggie. Kehadiran konstruktivisme dianggap sebagai teori dinamis,  dan secara kultural berbasis pada kondisi-kondisi sosial. Pada dasarnya, teori ini berasumsi pada pemikiran dan pengetahuan manusia secara mendasar. Nature dan human knowledge dari tiap individu mampu mengubah fenomena atau realita sosial ke dalam pengetahuan atau ilmu-ilmu sosial. Tokoh pemikiran konstruktif klasik berasal dari pemikir sosial seperti Hegel,  Kant, dan Grotius,  yang kental dengan paham idealisme. Sedangkan pasca Perang Dingin,  mulai bermunculan para kontruktivis yang cenderung berpikir tentang politik internasional, yakni Karl Deutch, Ernst Haas dan Hedley Bull.
Pemikir konstruktivisme dalam HI memiliki pandangan yang berbeda-beda (Mingst, 2011:84). Satu hal yang menjadi sebuah kesamaan oleh semua para pemikir konstruktivis adalah tidak adanya kepentingan (baik individu, negara maupun komunitas internasional) yang ada dengan sendirinya (given) dan tetap seperti itu adanya contoh misalnya, pemikiran realis yang mengatakan bahwa kepentingan utama sebuah negara adalah survival. Menurut konstruktivis, kepentingan terbentuk melalui interaksi sosial yang konstan. Dalam pandangan konstruktivisme,  kekuasaan juga penting. Namun konstruktivis tidak membatasi kekuasaan hanya yang ada di dimensi material. Kekuasaan tidak hanya sekedar militer, jumlah penduduk, persenjataan, ekonomi, namun juga wacana seperti gagasan dan legitimasi. (Mingst, 2011)
Debat antara neorealis dan neoliberal berakar pada asumsi yang sama bahwa negara adalah aktor rasional yang egois. Dengan demikian maka perdebatan neo-neo meletakkan identitas dan kepentingan negara sebagai sesuatu yang given (Wendt, 1992: 392). Karena itu, yang mereka perdebatkan sebenarnya adalah bagaimana perilaku negara in a given identity and a given structure. Meskipun yang mereka perdebatkan adalah apakah perilaku tersebut didorong oleh relative atau absolute gain.
Neoliberal dan Neorealis pada dasarnya memiliki kesepahaman pada dua hal: bahwa negara adalah aktor dominan dalam sistem internasional dan negara adalah “self interested creature”. Karena itulah, neoliberal sebenarnya lebih dekat pada realisme daripada liberal. Wendt sendiri menyebut bahwa neoliberal adalah a “weak realist” (lihat Wendt, 1992: 392). Hanya kepercayaan terhadap insitutusi yang mengatur perilaku negara lah yang membuat neoliberal go beyond realist.

Konstruktivis lah sebenarnya yang memiliki kedekatan dengan liberal. Dua-duanya mempercayai bahwa ide lah yang mempengaruhi perilaku negara, walaupun dengan cara yang berbeda. Jika liberal seringkali berpaling pada pemikiran filosofis sebagai sumber ide, konstruktuvis lebih melihat pada interaksi sosial yang terwujud dalam shared ideas/pemahaman intersubyektif lah yang mempengaruhi. Karena itu, baik liberal maupun konstruktuvis seringkali di kategorikan sebagai idealis, vis a vis dengan rasionalis yang diusung realisme klasik, neorealisme dan neoliberalisme. Wendt (1999:1) sendiri menyebut konstruktivisme sebagai  “structural idealism”.

Asumsi Dasar Konstruktivisme
1.     Structures of human association are determined primarily by shared ideas rather than material forces (Wendt, 1999)
Pemahaman ini bukan berarti bahwa struktur material tidak penting dan tidak perlu ada. Hanya saja, struktur idea/intersubyektivitas lebih penting karena struktur ini lah yang memberikan arti/meaning terhadap struktur material. Kuda yang berwarna hitam, akan menjadi sekedar “onggokan materi” tidak berarti jika tidak diberikan meaning oleh struktur pengetahuan yang kita terima sejak kecil. Bahwa yang memiliki bentuk seperti itu adalah kuda dan bahwa hitam adalah warna dengan ciri-ciri tertentu.
Dalam ranah HI, analogi yang sama bisa dikenakan pada pemahaman tentang struktur internasional yang anarki. Mengapa sistem internasional disebut anarki? Itu karena adanya intersubyektivitas /struktur meaning di pemikiran kita yang “menyepakati” bahwa memang strukturnya anarki (coba anda tidak belajar realisme, tentu anda tidak peduli apakah sistem internasional anarki atau tidak, karena anda bukan bagian dari intersubyektivitas tersebut). Apakah dengan demikian struktur internasionalnya itu sendiri tidak ada, dan yang ada hanya “ide”  tentang struktur internasional? Tidak. Struktur internasionalnya memang ada. Ada banyak indikasi yang menunjukkan bahwa struktur internasional memang ada. Namun, struktur tersebut tidak berarti apa-apa tanpa struktur of idea/meaning yang memberikan arti kepadanya. Dengan kata lain, “Anarchy is what states make of it” (Wendt, 1992,1999).
Termasuk juga perilaku negara di dalam struktur yang anarki. Dalam pandangan konstruktivisme, prinsip “self help”, seperti yang dipikirkan oleh realisme, pada dasarnya juga dipengaruhi oleh instersubyektivitas dan identitas yang dibentuk oleh negara (yang kedua akan kita bahas juga di asumsi dasar kedua).
Karena sistem internasional anarki dan hanya kita yang diandalkan untuk melindungi diri, bukan berarti bahwa perilaku semua negara terhadap negara lainnya sama: curiga dan konfliktual. Pembentukan identitas diri cukup mempengaruhi bagaimana negara merespon “ancaman” dari negara lain. Negara jelas berperilaku berbeda terhadap teman dan terhadap lawan karena tentu saja lawan dianggap lebih “mengancam” daripada teman. Contoh Amerika Serikat akan lebih khawatir dengan 5 nuklir yang dimiliki oleh korea utara daripada 500 nuklir yang dimiliki inggris karena kita tahu bahwa Inggris adalah sekutu Amerika Serikat dan Korea Utara adalah musuhnya.
2.     Identities and interests of actors are constructed by these shared ideas rather than given by nature (Wendt, 1999)
Shared ideas, dalam pandangan konstruktivisme, adalah yang membentuk identitas. Meskipun pembentukan identitas sendiri sebagian besar dilakukan oleh sekelompok elit pembuat kebijakan, namun pembentukan identitas tersebut merupakan respon terhadap shared ideas/pemahaman intersubyektivitas. Seperti dianalogikan oleh Wendt (1992:397): “Jika masyarakat ‘lupa’ apa yang dinamakan universitas, maka kekuasaan dan kegiatan profesor serta mahasiswa menjadi tidak lagi eksis; demikian juga ketika Amerika Serikat dan Uni Sovyet memutuskan bahwa mereka tidak lagi musuh, maka Perang Dingin akan usai”
Identitas, menurut Wendt, akan didapatkan pula oleh aktor dengan ikut serta dalam pembentukan shared ideas/pemahaman intersubyektivitas tersebut. Identitas diartikan sebagai “relative stable, role-specific understanding and expectation about self”. (Wendt, 1992: 397). Wendt juga mengatakan bahwa indentitas merupakan kepentingan mendasar dari sebuah negara yang bisa didapat melaui proses mendefinisikan sesuatu. Identitas yang mendasari kepentingan sebuah negara inilah kemudian yang “mengatur” perilaku negara. Contoh Korea Utara dan Korea Selatan ketika perang dingin mempunyai kekuatan materi berupa militer dan ekonomi yang seimbang, tetapi identitas seperti ideologi dan persepsi yang berbeda tentang kawan dan lawan membuat Korea selatan berada di pihak AS dan Korea utara di pihak lawannya, Soviet
3.     Agents and structures are mutually constitutive (Wendt, 1999)
Jika realisme berpendapat bahwa struktur internasional adalah abadi, tidak berubah dan selamanya anarkis, maka konstruktivisme berpendapat bahwa agent dan struktur saling mempengaruhi. Artinya, konstruktivisme membuka peluang perubahan terhadap struktur internasional, jika unit (dalam hal ini negara) mempengaruhi struktur untuk berubah. Konstruktivisme berpendapat bahwa baik agent maupun struktur saling mempengaruhi satu sama lain.

Kelebihan Konstruktivisme Dalam Menjawab Perubahan Global
Pemikiran neorealisme dan neoliberalisme tidak mampu untuk menjelaskan perubahan global. Kedua neo tersebut akan kesulitan menjelaskan kenapa prinsip intervensi kemanusiaan diterima secara luas dan dianggap legitimate dewasa ini. Konstruktivisme dianggap mampu menjawabnya dengan melihat pada perubahan “understanding” terhadap konsep non intervensi. Perubahan dalam keteraturan dunia (world order), dari kacamata konstruktivisme, mungkin terjadi jika hubungan saling mempengaruhi antara agent dan structure menggeser intersubyektivitas yang ada. Dengan kata lain, keteraturan dunia ikut berubah “by changing understanding of what constitute as a legitimate international order” (Barnett,in Baylis et al2008: 168).
Pasca berakhirnya perang dingin, muncul tendesi di negara-negara untuk menseragamkan kehidupan domestik dan internasional mereka, serta tendensi untuk menerima semakin banyak norma-norma internasional ataupun perubahannya. Bagaimana menjelaskan hal tersebut?
Michael Barnett (in Baylis et al 2008) menjelaskan bahwa ada dua jawaban atas pertanyaan tersebut. Pertama, terjadi penyebaran (difusi) ide dan pemikiran, kedua melalui internasionalisasi dan institusionalisasi norma. Pertama, penyebaran ide. Di bagian ini Barnett menjelaskan bahwa ada dua cara penyebaran: melalui institutional Isomorphism dan pemaksaan. Institutional isomorphism terjadi karena kecenderungan organisasi yang berada di lingkungan yang sama (dalam hal ini adalah lingkungan internasional) akan meniru satu sama lain. Misal, ketika gelombang demokratisasi melanda sebuah negara maka akan ada kecenderungan negara-negara di sekitarnya untuk melakukan hal yang sama. Sementara Penyebaran dengan cara pemaksaan bisa terjadi melalui kolonialisasi (Negara jajahan akan “dipaksa” untuk mengadopsi nilai-nilai yang dibawa oleh penjajahnya) atau keharusan strategis sebuah negara (misal, karena ingin menjadi bagian dari Uni Eropa, maka Turki “terpaksa” mengadopsi nilai-nilai Eropa)
Kedua, internasionalisasi dan institusionalisasi norma. Norma tidak tiba-tiba ada. Norma hadir melalui evolusi dari proses-proses politik yang mendahuluinya. Inilai yang saat ini sering disebut sebagai “life cycle of norms” (Barnett, in Baylis et al 2008). Semakin maju proses politik tersebut maka norma yang dibawa akan semakin diterima dan pada giliranya akan terinternasionalisasi. Semakin maju internasionalisasi tersebut maka norma akan menjadi terinstitusionalisasi. Misal yang terjadi pada norma Hak Asasi Manusia. Norma ini saat ini sudah mencapai tahapan terinstitusionalisasi sejak PBB (dan beberapa organisasi regional) memiliki dewan HAM  dan pengadilan internasional.

 Kelemahan Konstruktivisme
Sampai disini, cukup jelas jika disimpulkan sementara bahwa konstruktivisme bukan sekedar sebuah teori. Perbedaan dan tantangan yang cukup mendasar bagi paradigma mainstream membuat serangan balik terhadap konstruktivisme juga cukup gencar. Pertama, meskipun Wendt (1999) memiliki ambisi untuk menjadikan konstruktivisme sebagai teori komprehensif untuk semua aspek ilmu sosial, namun perhatian yang terlalu terpusat pada aspek filosofis menjadikan perspektif ini seolah hanya berupa kerangka analisis (analytical framework), tidak memiliki cukup kemampuan dalam kerangka teknis untuk menjadi sebuah teori yang mapan.
Kedua, adanya tuduhan eklektik yang melekat pada perspektif ini. Hal ini bisa dilihat dari asumsi-asumsi yang digunakan cenderung merupakan kesimpulan substansi dari perspektif-perspektif lain. Kemiripan ini dilihat Chernoff (2002: 152-153) sebagai kebingungan terselubung konstruktivisme dengan para kompetitornya seperti neorealist dan neoliberal. Gagasan World State Wendt dianggap Chernoff sebagai apresiasi tertinggi terhadap fenomena organisasi internasional yang menjadi prinsip kaum liberal.
Ketiga, sebagaimana diungkap Smit, konstruktivisme memiliki kesulitan dalam hal metodologi. Terdapat perbedaan pendekatan dalam konstruktivis sendiri untuk menganalisa konsep-konsep penting dan mendasar seperti norma, ide, dan nilai serta intersubjektivitas. Jurang yang cukup lebar terjadi ketika banyak pakar konstruktivis yang menggunakan pendekatan yang sangat berbeda, antara empiris quantitatif dengan pendekatan geneologis (Johnston, 1995 dan Price, 1997 dalam Smit: 204).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar