Oleh: Ahmad Syifa Rifai
Konstruktivisme
adalah teori alternative dan kritis yang turut mewarnai teori hubungan
internasional modern. Konstruktivisme muncul pada abad
18 dari Glambattisca Vico dengan awalnya didasari oleh pandangan Friedrich
Kratochwill, Nicholas Onuf, Alexander Wendt, John Ruggie. Kehadiran
konstruktivisme dianggap sebagai teori dinamis,
dan secara kultural berbasis pada kondisi-kondisi sosial. Pada dasarnya,
teori ini berasumsi pada pemikiran dan pengetahuan manusia secara mendasar. Nature dan human knowledge dari tiap individu mampu mengubah fenomena atau
realita sosial ke dalam pengetahuan atau ilmu-ilmu sosial. Tokoh pemikiran
konstruktif klasik berasal dari pemikir sosial seperti Hegel, Kant, dan Grotius, yang kental dengan paham idealisme. Sedangkan
pasca Perang Dingin, mulai bermunculan
para kontruktivis yang cenderung berpikir tentang politik internasional, yakni
Karl Deutch, Ernst Haas dan Hedley Bull.
Pemikir
konstruktivisme dalam HI memiliki pandangan yang berbeda-beda (Mingst, 2011:84).
Satu hal yang menjadi sebuah kesamaan oleh semua para pemikir konstruktivis
adalah tidak adanya kepentingan (baik individu, negara maupun komunitas
internasional) yang ada dengan sendirinya (given)
dan tetap seperti itu adanya contoh misalnya, pemikiran realis yang mengatakan
bahwa kepentingan utama sebuah negara adalah survival. Menurut konstruktivis,
kepentingan terbentuk melalui interaksi sosial yang konstan. Dalam pandangan
konstruktivisme, kekuasaan juga penting. Namun konstruktivis tidak
membatasi kekuasaan hanya yang ada di dimensi material. Kekuasaan tidak hanya
sekedar militer, jumlah penduduk, persenjataan, ekonomi, namun juga wacana
seperti gagasan dan legitimasi. (Mingst, 2011)
Debat antara
neorealis dan neoliberal berakar pada asumsi yang sama bahwa negara adalah
aktor rasional yang egois. Dengan demikian maka perdebatan neo-neo meletakkan
identitas dan kepentingan negara sebagai sesuatu yang given (Wendt, 1992: 392). Karena itu, yang mereka perdebatkan
sebenarnya adalah bagaimana perilaku negara in
a given identity and a given structure. Meskipun yang mereka perdebatkan
adalah apakah perilaku tersebut didorong oleh relative atau absolute
gain.
Neoliberal dan
Neorealis pada dasarnya memiliki kesepahaman pada dua hal: bahwa negara adalah
aktor dominan dalam sistem internasional dan negara adalah “self interested creature”.
Karena itulah, neoliberal sebenarnya lebih dekat pada realisme daripada
liberal. Wendt sendiri menyebut bahwa neoliberal adalah a “weak realist” (lihat Wendt, 1992: 392). Hanya kepercayaan terhadap
insitutusi yang mengatur perilaku negara lah yang membuat neoliberal go
beyond realist.
Konstruktivis lah
sebenarnya yang memiliki kedekatan dengan liberal. Dua-duanya mempercayai bahwa
ide lah yang mempengaruhi perilaku negara, walaupun dengan cara yang berbeda.
Jika liberal seringkali berpaling pada pemikiran filosofis sebagai sumber ide,
konstruktuvis lebih melihat pada interaksi sosial yang terwujud dalam shared ideas/pemahaman
intersubyektif lah yang mempengaruhi. Karena itu, baik liberal maupun
konstruktuvis seringkali di kategorikan sebagai idealis, vis a vis dengan rasionalis yang diusung
realisme klasik, neorealisme dan neoliberalisme. Wendt (1999:1) sendiri
menyebut konstruktivisme sebagai “structural idealism”.
Asumsi Dasar Konstruktivisme
1. Structures of human
association are determined primarily by shared ideas rather than material
forces (Wendt, 1999)
Pemahaman ini bukan
berarti bahwa struktur material tidak penting dan tidak perlu ada. Hanya saja,
struktur idea/intersubyektivitas lebih penting karena struktur ini lah yang
memberikan arti/meaning terhadap struktur material. Kuda yang berwarna hitam,
akan menjadi sekedar “onggokan materi” tidak berarti jika tidak diberikan meaning oleh struktur pengetahuan yang kita
terima sejak kecil. Bahwa yang memiliki bentuk seperti itu adalah kuda dan
bahwa hitam adalah warna dengan ciri-ciri tertentu.
Dalam ranah HI,
analogi yang sama bisa dikenakan pada pemahaman tentang struktur internasional
yang anarki. Mengapa sistem internasional disebut anarki? Itu karena adanya
intersubyektivitas /struktur meaning di pemikiran kita yang “menyepakati” bahwa
memang strukturnya anarki (coba anda tidak belajar realisme, tentu anda tidak
peduli apakah sistem internasional anarki atau tidak, karena anda bukan bagian
dari intersubyektivitas tersebut). Apakah dengan demikian struktur
internasionalnya itu sendiri tidak ada, dan yang ada hanya “ide” tentang
struktur internasional? Tidak. Struktur internasionalnya memang ada. Ada banyak
indikasi yang menunjukkan bahwa struktur internasional memang ada. Namun,
struktur tersebut tidak berarti apa-apa tanpa struktur of idea/meaning yang
memberikan arti kepadanya. Dengan kata lain, “Anarchy is what states make of it” (Wendt, 1992,1999).
Termasuk juga
perilaku negara di dalam struktur yang anarki. Dalam pandangan konstruktivisme,
prinsip “self help”, seperti yang
dipikirkan oleh realisme, pada dasarnya juga dipengaruhi oleh
instersubyektivitas dan identitas yang dibentuk oleh negara (yang kedua akan
kita bahas juga di asumsi dasar kedua).
Karena sistem
internasional anarki dan hanya kita yang diandalkan untuk melindungi diri, bukan
berarti bahwa perilaku semua negara terhadap negara lainnya sama: curiga dan
konfliktual. Pembentukan identitas diri cukup mempengaruhi bagaimana negara
merespon “ancaman” dari negara lain. Negara jelas berperilaku berbeda terhadap
teman dan terhadap lawan karena tentu saja lawan dianggap lebih “mengancam”
daripada teman. Contoh Amerika Serikat akan lebih khawatir dengan 5 nuklir yang
dimiliki oleh korea utara daripada 500 nuklir yang dimiliki inggris karena kita
tahu bahwa Inggris adalah sekutu Amerika Serikat dan Korea Utara adalah
musuhnya.
2. Identities and interests of
actors are constructed by these shared ideas rather than given by nature (Wendt, 1999)
Shared ideas,
dalam pandangan konstruktivisme, adalah yang membentuk identitas. Meskipun pembentukan
identitas sendiri sebagian besar dilakukan oleh sekelompok elit pembuat
kebijakan, namun pembentukan identitas tersebut merupakan respon terhadap
shared ideas/pemahaman intersubyektivitas. Seperti dianalogikan oleh Wendt
(1992:397): “Jika masyarakat ‘lupa’ apa yang dinamakan universitas, maka
kekuasaan dan kegiatan profesor serta mahasiswa menjadi tidak lagi eksis;
demikian juga ketika Amerika Serikat dan Uni Sovyet memutuskan bahwa mereka
tidak lagi musuh, maka Perang Dingin akan usai”
Identitas, menurut
Wendt, akan didapatkan pula oleh aktor dengan ikut serta dalam pembentukan shared ideas/pemahaman
intersubyektivitas tersebut. Identitas diartikan sebagai “relative stable, role-specific understanding and expectation about
self”. (Wendt, 1992: 397). Wendt juga mengatakan bahwa indentitas merupakan
kepentingan mendasar dari sebuah negara yang bisa didapat melaui proses
mendefinisikan sesuatu. Identitas yang mendasari kepentingan sebuah negara
inilah kemudian yang “mengatur” perilaku negara. Contoh Korea Utara dan Korea Selatan ketika perang dingin
mempunyai kekuatan materi berupa militer dan ekonomi yang seimbang, tetapi
identitas seperti ideologi dan persepsi yang berbeda tentang kawan dan lawan
membuat Korea selatan berada di pihak AS dan Korea utara di pihak lawannya,
Soviet
3. Agents and structures are
mutually constitutive (Wendt,
1999)
Jika realisme
berpendapat bahwa struktur internasional adalah abadi, tidak berubah dan
selamanya anarkis, maka konstruktivisme berpendapat bahwa agent dan struktur
saling mempengaruhi. Artinya, konstruktivisme membuka peluang perubahan
terhadap struktur internasional, jika unit (dalam hal ini negara) mempengaruhi
struktur untuk berubah. Konstruktivisme berpendapat bahwa baik agent maupun
struktur saling mempengaruhi satu sama lain.
Kelebihan Konstruktivisme
Dalam Menjawab Perubahan Global
Pemikiran
neorealisme dan neoliberalisme tidak mampu untuk menjelaskan perubahan global.
Kedua neo tersebut akan kesulitan menjelaskan kenapa prinsip intervensi
kemanusiaan diterima secara luas dan dianggap legitimate dewasa ini.
Konstruktivisme dianggap mampu menjawabnya dengan melihat pada perubahan “understanding” terhadap konsep non
intervensi. Perubahan dalam keteraturan dunia (world order), dari kacamata konstruktivisme, mungkin terjadi jika
hubungan saling mempengaruhi antara agent dan structure menggeser
intersubyektivitas yang ada. Dengan kata lain, keteraturan dunia ikut berubah “by changing understanding of what
constitute as a legitimate international order” (Barnett,in Baylis et al2008: 168).
Pasca berakhirnya
perang dingin, muncul tendesi di negara-negara untuk menseragamkan kehidupan
domestik dan internasional mereka, serta tendensi untuk menerima semakin banyak
norma-norma internasional ataupun perubahannya. Bagaimana menjelaskan hal
tersebut?
Michael Barnett (in
Baylis et al 2008) menjelaskan bahwa ada dua
jawaban atas pertanyaan tersebut. Pertama, terjadi penyebaran (difusi) ide dan
pemikiran, kedua melalui internasionalisasi dan institusionalisasi norma. Pertama,
penyebaran ide. Di bagian ini Barnett menjelaskan bahwa ada dua cara
penyebaran: melalui institutional Isomorphism dan pemaksaan. Institutional
isomorphism terjadi karena kecenderungan organisasi yang berada di lingkungan
yang sama (dalam hal ini adalah lingkungan internasional) akan meniru satu sama
lain. Misal, ketika gelombang demokratisasi melanda sebuah negara maka akan ada
kecenderungan negara-negara di sekitarnya untuk melakukan hal yang sama.
Sementara Penyebaran dengan cara pemaksaan bisa terjadi melalui kolonialisasi
(Negara jajahan akan “dipaksa” untuk mengadopsi nilai-nilai yang dibawa oleh
penjajahnya) atau keharusan strategis sebuah negara (misal, karena ingin
menjadi bagian dari Uni Eropa, maka Turki “terpaksa” mengadopsi nilai-nilai
Eropa)
Kedua,
internasionalisasi dan institusionalisasi norma. Norma tidak tiba-tiba ada.
Norma hadir melalui evolusi dari proses-proses politik yang mendahuluinya.
Inilai yang saat ini sering disebut sebagai “life cycle of norms” (Barnett, in
Baylis et al 2008). Semakin maju proses politik
tersebut maka norma yang dibawa akan semakin diterima dan pada giliranya akan
terinternasionalisasi. Semakin maju internasionalisasi tersebut maka norma akan
menjadi terinstitusionalisasi. Misal yang terjadi pada norma Hak Asasi Manusia.
Norma ini saat ini sudah mencapai tahapan terinstitusionalisasi sejak PBB (dan
beberapa organisasi regional) memiliki dewan HAM dan pengadilan internasional.
Kelemahan Konstruktivisme
Sampai disini, cukup jelas jika disimpulkan sementara
bahwa konstruktivisme bukan sekedar sebuah teori. Perbedaan dan tantangan yang
cukup mendasar bagi paradigma mainstream membuat serangan balik terhadap
konstruktivisme juga cukup gencar. Pertama, meskipun Wendt (1999) memiliki
ambisi untuk menjadikan konstruktivisme sebagai teori komprehensif untuk semua
aspek ilmu sosial, namun perhatian yang terlalu terpusat pada aspek filosofis
menjadikan perspektif ini seolah hanya berupa kerangka analisis (analytical framework), tidak memiliki
cukup kemampuan dalam kerangka teknis untuk menjadi sebuah teori yang mapan.
Kedua, adanya tuduhan eklektik yang melekat pada
perspektif ini. Hal ini bisa dilihat dari asumsi-asumsi yang digunakan
cenderung merupakan kesimpulan substansi dari perspektif-perspektif lain.
Kemiripan ini dilihat Chernoff (2002: 152-153) sebagai kebingungan terselubung
konstruktivisme dengan para kompetitornya seperti neorealist dan neoliberal.
Gagasan World State Wendt dianggap
Chernoff sebagai apresiasi tertinggi terhadap fenomena organisasi internasional
yang menjadi prinsip kaum liberal.
Ketiga, sebagaimana diungkap Smit, konstruktivisme
memiliki kesulitan dalam hal metodologi. Terdapat perbedaan pendekatan dalam
konstruktivis sendiri untuk menganalisa konsep-konsep penting dan mendasar
seperti norma, ide, dan nilai serta intersubjektivitas. Jurang yang cukup lebar
terjadi ketika banyak pakar konstruktivis yang menggunakan pendekatan yang
sangat berbeda, antara empiris quantitatif dengan pendekatan geneologis
(Johnston, 1995 dan Price, 1997 dalam Smit: 204).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar