Oleh: Zulkifli Hi Manna
Pasca
perang dingin telah melahirkan diskursus baru dalam perkembangan teori hubungan
internasional, dimana sebelum perang dingin, hubungan internasional hanya fokus
pada state-centic yang mengedepankan
analisis yang positivis, selain itu juga sebelum perang dingin lebih banyak
didominasi oleh wacana-wacana tentang perang, perdamaian, arms control,
deterrence hingga militery force, sehingga dengan diskursus seperti itu,
hubungan internasional bertumpu pada cara pandang negara-negara maju (great power).
Seiring
berjalannya waktu, dalam hubungan internasional mulai mengalami pergeseran
dalam perspektif, dimana isu-isu terkait identitas dan lokalitas mulai
dipertimbangkan dalam analisis hubungan internasional, sehingga
analisis-analisis yang melawan mainstream dan hegemoni mulai mendapat perhatian
yang ditandai dengan munculnya teori kritis yang mengkritik ideologi sebagai
pijakan utama dimana dalam perspektif kritis, universalisme akan menjadikan
teori tersebut hegemoni karena tidak bisa dilepaskan dari kekuatan kepentingan.
Hal menunjukkan bahwa pada dasarnya dalam ilmu hubungan internasional itu tidak
tunggal, hal ini sangat dimungkinkan dibukanya sebuah cara pandang baru dalam
hubungan internasional yang merefleksikan perspektif negara-negara dunia ketiga
untuk membaca realitas yang ada.
Salah satu varian dari teori kritis adalah
perspektif postkolonialisme yang menekankan pada kritik positivis, dimana
penelitian yang objektif (bebas nilai) terhadap fenomena sosial sulit tercapai
dan fenomena sosial itu tidak bisa diteliti melalui pendekatan saintifik. Perspektif
ini berguna untuk membongkar motif dan tujuan dari sebuah gerakan perlawanan
terhadap hegemoni yang dianggap menindas.
Secara etimologis, istilah postkolonialisme berasal dari bahasa inggris
postcolonialisme yang dibentuk oleh kata post + colonial +
isme, yang secara harfiah berarti paham mengenai teori yang lahir
setelah kolonial, namun “post” disini bukan diartikan sebagai setelah atau
sesudah kolonial (penjajahan) karena postkolonial bukan akhir dari proses
kolonial, sebab pada kenyataannya proses penguasaan lewat bentuk-bentuk dan
sistem-sistem baru belum berakhir, misalnya dilihat dari segi budaya, definisi
postkolonial selalu dihubungkan dengan proses konstruksi budaya menuju budaya
kulit putih. Kebudayaan kulit putih dipandang sebagai acuan perkembangan bagi
semua budaya, bahkan acuan ini tetap berlangsung walaupun sebuah negara telah
memperoleh kemerdekaannya, dimana sebuah pemerintahan yang baru yang berasal
dari masyarakat setempat memandang rakyatnya dengan cara pandang orang-orang
kolonial (penjajah/barat) terhadap penduduknya yang non kolonial, masyarakatnya
tetap dipandang sebagai penduduk yang terbelakang, miskin dan lain sebagainya,
sehingga harus dididik dan diangkat agar sejajar dengan masyarakat negara
lainnya khusunya masyarakat Barat. Jadi dalam masyarakat global, pandangan yang
menjadikan barat sebagai acuan seolah-olah meminggirkan budaya sendiri, karena
telah dihegemoni oleh budaya orang kulit putih terhadap budaya masyarakat yang
pernah terjajah. Hal ini membuktikan bahwa pada masa kolonial,
negara-negara penjajah memiliki dominasi yang kuat di wilayah-wilayah
jajahannya. Dominasi tersebut dapat dilihat melalui sejarah, terutama pada
sejarah kolonial yang mempengaruhi pembentukan identitas diwilayah-wilayah
jajahannya.
Menurut Bill Aschroft dkk sebagai pelopor kajian postkolonial
menyatakan bahwa, postkolonialisme sebagai “... deals with the effects of colonization
on cultures and societies”. Artinya postkolonialisme mengedepankan kajian
terhadap efek atau pengaruh kolonialisme terhadap kebudayaan atau masyarakat
tertentu
dengan cara mencoba mengungkapkan akibat-akibat yang
ditimbulkan oleh kolonialisme.
Secara umum postkolonialisme didefinisikan sebagai
teori yang lahir sesudah kebanyakan negara-negara terjajah memperoleh
kemerdekaannya, dimana negara-negara terjajah ini tersadar atas kondisi mereka
yang selama ini diperlakukan tidak adil dan tidak seimbang dengan para
penjajah, sehingga kemerdekaan negara-negara jajahan Barat ini kemudian
membangkitkan wacana baru tentang kemandirian untuk bertindak sebagai sebuah
negara yang merdeka, yakni negara yang bukan hanya secara fisik merdeka
(berdaulat, memiliki masyarakat, dan mendapat pengakuan) tetapi juga terbebas
dari pemikiran-pemikiran positivis yang selama ini dipengaruhi oleh
wacana-wacana Barat (grand narrative). Oleh karena
itu teori poskolonialis sangat amat berkaitan dengan pemikiran post-strukturalis
yang dikemukakan oleh Foucoult dan Derrida.
Dalam
pemikiran postrukturalis Foucoult menyebutkan bahwa pengetahuan yang ada di
dunia ini sengaja dikonstruksi dan dibenarkan oleh grand narasi Barat yang
bertujuan untuk mengakses kekuasaan melalui wacana ilmu pengetahuan. Derrida
dalam pemikirannya juga melihat bahwa di dunia ini terdapat dua sistem biner
yang saling beroposisi satu sama lain dan hanya akan ada apabila oposan dan
oposisinya saling dipertemukan. Hal ini pada akhirnya membentuk sebuah struktur
kebenaran tertentu dimana oposan dibuat lebih benar dibanding oposisinya yang
sebenarnya dikonstruksi oleh sebuah pemikiran. Ada ketidaknaturalan dalam
penentuan status kebenaran oposisi biner tersebut. Grand narative dan
oposisi biner ini membuat munculnya wacana Barat-Timur yang secara positivis
mendiskreditkan masyarakat Timur bahkan istilah “the others” (sebagai konstruksi Barat atas Timur) mampu
menciptakan gambaran yang tidak objektif dalam hal politik, sosiologi,
militeri, ideologi, dan sains yang sebenarnya imajiner.
Wacana tentang
oposisi biner yang tidak setara ini menjadi landasan berpikir dari teori
poskolonialisme dimana penekanan struktural yang diambil adalah antara negara
kolonialis dan negara jajahannya. Poskolonialisme melihat bahwa negara yang
merdeka selama ini sebenarnya belum merdeka secara pikiran dan budaya karena
hegemoni atas ilmu pengetahuan yang masih belum bisa dihilangkan dari pemikiran
negara-negara baru merdeka ini tadi. Pemikiran
Barat sejatinya masih mempengaruhi perilaku negara dan berbagai hal
lainnya yang membuat Timur atau negara baru merdeka tetap berada pada posisi
inferior bahkan ketergantungan karena pemikiran-pemikiran barat yang membuatnya
tetap terkolinialisasi secara ide. Poskolonialisme menawarkan ide untuk
menyadarkan negara-negara berkembang akan kemerdekaan dirinya untuk berpikir
dan bertindak berdasarkan lingkungan dan kebudayaan natural yang selama ini
tidak bisa mereka ekspresikan sebagai akibat dari adanya hegemoni pemikiran
Barat. Secara singkat, teori poskolonialisme muncul sebagai
kritik terhadap kolonial yang membagi manusia atau
bangsa menjadi bangsa yang menjajah (superioritas) dan yang dijajah (inferior), dimana bangsa yang
menjajah dikenal sebagai bangsa yang superior yang lebih kuat dibandingkan
dengan bangsa yang dijajah yang dianggap lebih inferior. Selain itu juga pada
masa kolonialisme terdapat istilah the man and
the native. The Man merujuk
pada golongan Eropa yang berasal dari ras kaukasoid di mana mereka (bangsa
Eropa) percaya bahwa mereka diciptakan dengan begitu unik dan merupakan
gambaran terbaik dari manusia dan diberkati dengan berbagai talenta dan
kekuasaan, sehingga mereka memiliki hak khusus untuk melakukan ekspansi dan
kolonialisasi terhadap bangsa lain yang mereka anggap sebagai The Native. The Native sendiri adalah bangsa lain yang bukan merupakan ras
kaukasoid yang termasuk dalam negara-negara yang terbelakang dan terjajah.
Dari
hal ini, dapat dipahami bahwa postkolonialisme merupakan sebuah pemahaman
tentang bagaimana identitas itu terbentuk dari sejarah masa lalu yang berkaitan
dengan bagaimana kolonial mempengaruhi identitas wilayah jajahannya. Sehingga postkolonialisme lebih fokus pada identitas dan budaya, ras dan gender
yang merupakan lanjutan dari kepentingan hubungan kolonial (hubungan antara
penjajah dan jajahan).
Dalam postkolonialisme
terdapat karakter utama, yaitu power dan
knowledge, identitas, dan perlawanan.
Pertama, dalam aspek power dan knowledge, bangsa Barat yang memiliki
aset Power dan Knowledge yang lebih mapan membuatnya cenderung melakukan invansi
dan ekspansi ke negara-negara yang dianggap tidak memiliki keunggulan yang sama
atas Power dan Knowledge tersebut. Kedua, berkaitan dengan identitas, yang di dalam
pendekatan postkolonialisme berpusat pada kategorisasi yang bersifat paradoks,
seperti Barat dan Timur, Utara dan Selatan, hitam dan putih, serta penjajah (colonizer)
dan terjajah (colonized ). Pilar terakhir adalah
berkaitan dengan perlawanan (resistance),
dimana adanya perlawanan sebagai bentuk untuk memperjuangkan kesetaraan dari
pihak terjajah.
Dalam perspektif
postkolonialisme ini terdapat beberapa tokoh yang menyumbangkan pemikirannya
antara lain: Edward Said, Homi Bhabha, Gayatri C. Spivak dan Frantz Fanon.
Walaupun banyak tokoh yang berkontribusi dalam perkembangan teori
postkolonialisme ini,
namun melalui pemikiran Edward Saidlah teori ini mulai banyak dibicarakan.
Edward Said dalam bukunya orientalisme, menitikberatkan pada perbedaan bangsa
Barat dan Timur atau West and East. Barat memiliki kendali terhadap
Timur, oleh karenanya Barat berhak menjajah bangsa Timur. Edward said menolak
oposisi biner yang diciptakan oleh Barat, yaitu model berpikir yang menempatkan
kedudukan Barat sebagai rasional, berbudi, matang dan normal menganggap diri
memiliki posisi unggul dibanding dengan Timur yang tidak rasional bertabiat
buruk, kekanakan dan berbeda.
Menurut
Edward W.Said, pandangan kaum kolonialis Barat (khususnya kaum oriental) yang
merendahkan pandangan Timur (masyarakat jajahannya) sebagai konstruksi
sosial-budaya yang tidak terlepas dari kepentingan dan kekuasaan mereka. Karena
itu pandangan dan teori-teori yang dihasilkannya tidaklah netral dan obyektif
sebagaimana mereka duga. Edward Said menggunakan pemikiran Foucault dan Teori
Kritis sebagai dasar untuk teori poskolonialnya. Edward Said mengatakan bahwa
konstruk Barat (kolonial) terhadap budaya dan identitas orang dan budaya Timur
tidak terlepas dari kepentingan, ideologi dan etnosentrisme Barat. Oleh karena
itu fokus kajian poskolonial adalah masalah ketikadilan dalam bidang sosial
budaya dan ilmu pengetahuan yang diakibatkan oleh hegemoni, kolonialisme serta
narsisme dan kekerasan epistemologi Barat yang sudah berkembang sejak awal abad
modern.
Oleh
karena itu, wacana postkolonial disebut juga wacana yang berada “di luar
Orientalisme” karena berupaya untuk mengubah “konstruksi” realitas kontemporer
model berpikir Barat modern. Jika teori kolonial menggunakan paradigma
positivisme sebagai dasar epistemologinya, maka teori poskolonial menggunakan
teori kritis dan posmodernisme terutama melalui postrukturalisme sebagai
dasarnya. Ada Tiga
tujuan utama kajian post-kolonialisme yaitu:
1.
mengangkat kembali sejarah ilmu,
teknologi dan pengobatan barat, seperti ilmu pengetahuan dalam perspektif
Islam, India, Cina maupun pengetahuan pribumi dan pengetahuan dari budaya lain
melalui kajian empiris dan historis.
2.
mengembangkan wacana kontemporer tentang
sifat, gaya dan lingkup ilmu pengetahuan, teknologi dan pengobatan non-Barat.
3.
mengembangkan kebijakan ilmu pengetahuan
yang mengakui dan menghargai praktik-praktik ilmiah, teknologi dan pengobatan
Timur.
Dapat
disimpulkan bahwa Teori postkolonialisme bukan hanya teori semata, tetapi juga
sebagai kesadaran sebagai sebuah bangsa dalam mengatasi berbagai permasalahan,
terutama bangsa-bangsa di negara dunia ketiga dalam memerangi imperialisme,
kolonialisme, orientalisme, dan berbagai bentuk hegemoni lain yang dibentuk
oleh negara-negara penjajah.
Referensi
Griffiths,
Martin. International Relations Theory for the Twenty-First Century: An
introduction. 2007. New York: Routledge
Said,
Edward W. Orientalisme. 2010. Celeban
Timur: Pustaka Pelajar
Mudji
Sutrisno dan Hendar Putranto. Hermeneutika
Pascakolonial Soal Identitas. 2004. Yogyakarta: Kanisius
good website
BalasHapusterima kasih, sangat membantu sekali. sering-sering bikin mahzab yang lain yaa
BalasHapus