“Aku bersyukur dilahirkan di Indonesia, dimana senyum masih menjadi karakter, budaya masih apik terjaga, dan optimisme masih menyulut semangat. Aku berharap, anak-anakku kelak harus lebih bangga dariku dalam memandang dan memperjuangkan Indonesianya. Jaya Selalu Negeriku Indonesia, Jayalah Selama-lamanya”

Perspektif Marxisme


Oleh: Citra Istiqomah
Marxisme telah lama dikenal sebagai salah satu meta-theory dalam ilmu hubungan internasional. Ajaran Marxisme berangkat dari pemikiran-pemikiran Karl Heinrich Marx, seorang sosiolog, filsuf yang kemudian menjadi tokoh revolusioner dari Trier, Jerman yang hidup pada tahun 1818-1883. Pemikiran-pemikiran Marx menjadi landasan bagi munculnya pemikiran-pemikiran kritis yang berkembang pada abad berikutnya.
            Para Marxist dan Neo-Marxist seringkali bertolak pada pemikiran-pemikiran Marx yang tertuang dalam karya-karya mendekati akhir hayatnya, seperti Communist Manifesto dan Capital yang dengannya, mereka memahami dan sepaham mengenai asas-asas dasar dalam pemikiran Marx berupa materialisme historis, perjuangan kelas dan nilai lebih. Hal ini kemudian membentuk basis pandangan yang kemudian mengarahkan orang pada konseptualisasi bahwa ajaran Marx materialistik, tidak humanis, dan juga ateis, sehingga orang perlu menutup diri terhadap ajaran tersebut. Di AS misalnya, Erich Fromm melihat kecenderungan orang menjustifikasi atau memberikan pandangan klise dan cenderung negatif bahwa Marxisme semata bersikap materialistik, mengesampikan individu di bawah negara atau masyarakat, dan oleh karena itu berlawanan dengan nilai-nilai kemanusiaan.[1]
Di sisi lain, orang seringkali melupakan ajaran Marx yang tidak kalah esensial, lebih filosofis-humanis ketimbang ekonomi-politik, yang tertuang dalam gagasan-gagasan awal atau karya-karya masa mudanya, seperti Economic and Philosophical Manuscripts (1844). Dalam karya awalnya itu Marx bahkan berupaya untuk memerangi materialisme yang muncul dalam gaya hidup borjuis untuk menciptakan kondisi masyarakat di mana manusia adalah kebaikan tertinggi (summum bonum). Dari sini kita dapat melihat dimensi humanis Marx. Namun dalam perkembangannya, orang lebih sering melihat sisi-sisi dari pemikiran Marx yang umum, yang dikenal lebih radikal.

Meskipun demikian, esensi humanis Marx yang ingin ditunjukkannya tetaplah menjadi sesuatu yang tidak kalah pentingnya dalam memahami arah pemikiran Marx. Mengutip dari terjemahan dalam buku Marx Muda karya Baskara T. Wardaya:
“Komunisme adalah penghapusan positif milik pribadi sebagai keterasingan diri manusia, dan karena itu pemilikan (adalah) hakikat manusia oleh dan bagi manusia; … komunisme itu sebagai naturalisme utuh = humanisme, dan sebagai humanisme utuh = naturalisme; ia adalah pemecahan nyata pertentangan antara manusia dengan alam dan dengan manusia, … antara kebebasan dan keniscayaan… Ia adalah pemecahan teka-teki sejarah.” – Karl Marx

Pertanyaan:
Mengapa pemikiran-pemikiran Marx Muda mengenai dimensi humanis tidak dapat menyaingi dimensi humanis dalam liberal-kapitalis?

JAWABAN & HASIL DISKUSI KELAS:
            Dalam memahami pemikiran-pemikiran Marx, semestinya kita memandangnya secara lebih utuh, dalam artian tanpa perlu mengotak-kotakkan antara pemikiran Marx muda ataupun Marx tua. Karena sejatinya, keduanya merupakan fase-fase pemikiran dalam sebuah rangkaian pemikiran seorang Marx semasa hidupnya. Dalam dimensi humanis, tujuan yang ingin dicapai pada hakikatnya ialah memanusiakan manusia. Dalam konteks pemikiran Marx, kelas tidak hanya harus diruntuhkan, namun manusia juga harus diangkat martabatnya. Aspek ini pula yang sejatinya juga diangkat oleh kaum liberal-kapitalis untuk mencapai tujuannya mengangkat kebebasan individu. Namun dalam mencapai tujuannya itu, kapitalis ataupun kaum borjuis memberikan insentif pada kaum proletar. Inilah yang barangkali tidak diduga Marx, bahwa kapitalis juga dapat “membalikkan posisi” dalam artian menggunakan proposisi memanusiakan manusia melalui “pola pemberian kemapanan” untuk mencapai tujuannya. Ketika seseorang diberikan kemapanan, hampir dapat dipastikan bahwa sangat kecil kemungkinan ia akan memberontak.
            Kelemahan-kelemahan teori Marx, bukan karena dia bersifat deterministik, karena baik Marxisme maupun liberalisme-kapitalisme pun keduanya memang bersifat demikian, namun lebih kepada mana yang memberi pengaruh lebih signifikan terhadap kecenderungan pola pemikiran umat manusia. Mengacu pada kritik Gramsci terhadap pemikiran Marxis yang memuat beberapa kelemahan, dalam struktur kapitalis, proletar “dipaksa tunduk” tanpa sadar bahwa mereka sedang dikuasai. Sehingga terdapat konsep hegemoni di sini, dimana kelompok borjuis menciptakan sistem penguasaan yang rapi dan terstruktur untuk memanfaatkan kaum proletar demi mencapai tujuan kemakmuran manusia, lebih tepatnya sekelompok individu. Liberal-kapitalisme melakukan propaganda bahwa semua orang harus sepakat menerima kapitalis sebagai sebuah kebenaran. Dalam dimensi ini, maka liberal-kapitalisme dapat dikatakan sudah “menang sebelum memberi kesempatan pada pihak lain untuk menyatakan versi kebenaran yang dipercayainya”. Mereka menanamkan nilai “kebenaran” tersebut secara perlahan dan halus, layaknya brainwashing, tidak koersif layaknya gerakan-gerakan revolusi. Ini pula yang membuat dimensi humanis Marxis justru seakan mengingkari humanitas itu sendiri.
            Hal lain yang juga dipandang sebagai kelemahan dimensi humanis Marx seperti digambarkan oleh teoritisi-teoritisi kritis lain, seperti Habermas mengungkapkan bahwa tindakan dasar manusia semestinya melibatkan aspek interaksi sebagai refleksi diri sekaligus prasyarat untuk mengembalikan kebebasan manusia layaknya pengandaian Marx mengenai masyarakat ideal. Namun dalam ajaran Marxis, hal tersebut direduksi sebagai homo faber, semata-mata sebagai manusia yang bekerja dan melalui hal itu akan meningkatkan kualitas dirinya atau memanusiakan dirinya.[2]
            Terlepas dari hal tersebut, Marxisme pernah menjadi teori ataupun ideologi terbesar dalam sejarah sekaligus telah menjadi pionir bagi kemunculan serta perkembangan teori-teori kritis lain yang penting artinya dalam studi hubungan internasional.

Referensi:
Burchill, Scott. 2005. Theories of International Relations. 3rd edition. New York: Palgrave Macmillan
Downs, Robert. 1961. Buku-buku Jang Merobah Dunia, edisi bahasa Indonesia diterjemahkan oleh Asrul Sani. Jakarta: PT. Pembangunan
Folker, Jennifer Sterling. 2003. Making Sense of International Relations Theory. London: Lynne Rienner Publisher
Fromm, Erich. 2001. Konsep Manusia menurut Marx, edisi bahasa Indonesia diterjemahkan oleh Agung Prihantoro. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Griffiths, Martin. 2007. International Relations Theory for the Twenty-First Century: An Introduction. USA: Routledge
Suseno, Franz Magnis. 1992. Filsafat sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta: Kanisius
Ritzer, George, dan Douglas J. Goodman. 2011. Teori Marxis dan Berbagai Ragam Teori Neo-Marxian. Bantul: Kreasi Wacana
Wardaya, Baskara T. 2003. Marx Muda: Marxisme Berwajah Manusiawi (Menyimak Sisi Humanis Karl Marx bersama Adam Schaff). Yogyakarta: Buku Baik


[1] B.T. Wardaya, Marx Muda: Marxisme Berwajah Manusiawi (Menyimak Sisi Humanis Karl Marx bersama Adam Schaff), Buku Baik, Yogyakarta, 2003, hal. 4
[2] F.M. Suseno, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, Kanisius, Yogyakarta, 1992, hal. 140

Tidak ada komentar:

Posting Komentar