“Aku bersyukur dilahirkan di Indonesia, dimana senyum masih menjadi karakter, budaya masih apik terjaga, dan optimisme masih menyulut semangat. Aku berharap, anak-anakku kelak harus lebih bangga dariku dalam memandang dan memperjuangkan Indonesianya. Jaya Selalu Negeriku Indonesia, Jayalah Selama-lamanya”

Perspektif Liberalisme Dalam Politik Global


Oleh: Adi Rio Arianto
Liberalisme adalah suatu paham menjunjung tinggi sebuah kebebasan individu. Kata liberal berasal dari bahasa latin liber yang artinya adalah bebas “free”.[1] Pemahaman liberalisme berangkat dari sebuah asumsi dasar bahwa pada dasarnya manusia baik. Asusmsi ini dimaknai dengan positif, bebas dari prasangka burukfree from narrow prejudice dan memiliki rasa toleransi free from bigotry. Asumsi ini selanjutnya diadopsi untuk menjelaskan perilaku negara, dimana di dalamnya individu sebagai aktor memiliki kecenderungan untuk menciptakan suasana yang lebih “harmony and cooperation.”[2] Dalam kasus ini manusia tidak hanya sebagai subyek moral, tetapi juga disposisikan sebagai “key agents” dalam melihat konstalasi politik global.[3]
Kaum liberal pada umumnya mengambil pandangan positif tentang sifat manusia, mereka yakin bahwa prinsip-prinsip rasional dapat dipakai untuk menyelesaikan masalah-masalah internasional. Kaum liberal mengakui bahwa individu selalu mementingkan diri sendiri dan bersaing terhadap suatu hal. Namun, mereka tetap percaya bahwa banyaknya kepentingan akan mendorong individu semakin terlibat dalam aksi sosial yang kolaboratif dan kooperatif, baik domestik maupun internasional, yang menghasilkan manfaat besar bagi setiap orang baik di dalam negeri maupun luar negeri. Teori liberal ini juga meyakini bahwa akal pikiran manusia dapat mengalahkan ketakutan manusia, nafsu akan kekuasaan, dan mampu menghindari perang.
Keyakinan terhadap kemajuan menuju yang lebih baik adalah asumsi dasar liberal. Tetapi itu juga merupakan titik perdebatan di antara kaum liberal. Ruang lingkup dan derajat optimisme liberal mengacu pada kemajuan berfluktuasi sepanjang waktu. Kebanyakan kaum liberal terdahulu cenderung optimis. Setelah Perang Dunia II berakhir, optimisme liberal telah berubah drastis. Selain itu, munculnya gelombang optimisme kaum liberal lain setelah akhir Perang Dingin, didorong oleh pemikiran “berakhirnya sejarah” yang berdasarkan pada runtuhnya komunisme dan kemenangan universal demokrasi liberal. (Fukuyama 1989;1992).[4]

Kaum liberal juga sepakat bahwa, dalam jangka panjang kerjasama yang berdasarkan pada kepentingan timbal balik akan berlaku. Hal itu di sebabkan modernisasi yang terus menerus meningkatkan ruang lingkup dan kebutuhan bagi kerjasama. Kemajuan bagi kaum liberal selalu merupakan kemajuan bagi individu. Perhatian dasar libealisme adalah kebahagiaan dan kesenangan individu. Negara muncul untuk menjamin kebebasan warga negaranya dan kemudian mengijinkan mereka menghidupi kehidupannya dan menggapai kebahagiaannya tanpa campur tangan dari orang lain. Liberaslime juga melihat negara sebagai entitas konstitusional, yang membentuk dan menjalankan aturan hukum yang menghormati hak warga negara untuk hidup, bebas dan sejahtera.  
Oleh sebab itu, sangat penting untuk melihat dan memposisikan negara yang memiliki peran untuk menjamin keberadaan struktur sosial yang sesuai dengan pandangan dan asumsi di atas daripada melihatnya sebagai sebuah aktor. Negara dan pemerintah harus berperan sebagai penyedia berbagai perangkat regulasi yang menjamin tersedianya kesempatan dan jaminan kebebasan individu dalam mengakses dan meraih kepentigannya.
Di level yang lebih luas, di tingkat global, juga dibutuhkan struktur atau institusi-institusi yang berperan sama dengan negara di level domestik. Institusi tersebut menjamin tetap tersedianya kesempatan bagi persaingan dan kerjasama berikut kebebasan dalam mengakses sumber-sumber ekonomi di seluruh dunia. Hal ini akan menjadi dasar bagi keyakinan terhadap kemajuan dan kesejahteraan di seluruh dunia. Negara liberal modern akan menginisiasi sebuah struktur atau sistem ekonomi politik di level internasional atau global yang akan membawa umat manusia ke dalam fase “utilitarianism”, kemanfaatan menyeluruh dalam jumlah besar.[5]
Dalam jangka panjang ke depan, kerjasama akan berkembang lebih besar berdasarkan pada kepentingan timbal balik. Hal ini dikarenakan ketidakmampuan manusia untuk mencapai dan memenuhi kebutuhannya secara mandiri yang cenderung meningkat dan bertambah serta modernisasi yang terus menerus meningkatkan ruang lingkup dan kebutuhan bagi kerjasama. Dengan jaminan negara terkait kebebasan warga negaranya dan kemudian mengijinkan mereka memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa campur tangan manusia lainnya untuk mencapai kesejahteraan. Oleh sebab itu, “liberalisme khususnya terkait dengan bidang ekonomi” dan pemenuhan kebutuhan hidup manusia sangat penting untuk diterapkan dan didukung oleh kekuatan sistem dan struktur di level nasional maupun internasional.
Dari beberapa penjelasan di atas dapat kita simpulkan beberapa poin dasar tentang liberalisme. Liberalisme menekankan bahwa negara adalah aktor yang sengaja dibuat untuk mengatur kebutuhan individunya, negara di sini ialah bersifat konstitusional modern yang akan meregulasi kebutuhan mereka, dan karena manusia cenderung sulit untuk memenuhi kebutuhannya secara sendirian maka ia butuh kerjasama. Kerjasama ini diharapkan mampu menciptakan sebuah aksi sosial yang kolaboratif dan kooperatif, baik domestik maupun internasional, yang menghasilkan manfaat besar bagi kelangsuangan hidup manusia.

Pertanyaan:   Dari asusmsi dan uraian di atas, jelas menyatakan bahwa kerjasama antarindividu akan mendorong liberalisme, selanjutnya liberalisme khususnya dalam sektor ekonomi akan membawa dampak kepada kesejahteraan manusia di seluruh dunia. Namun, pada kenyataannya, mengapa liberalisme terkait ekonomi hari ini malah mendapat banyak penentangan dan kecaman dari negara-negara di dunia? Bagaimana seharusnya liberalisme disikapi?


[1] Jonathan Gross, 2001, Byron: the erotic liberal, Lanham: Rowman and Littlefield Publishers, Inc., ISBN 0-7425-1162-6, hal 15.
[2] Scott Burchill, Richard Devetak, Andrew Linklater, Matthew Paterson, Christian Reus-Smit, and Jacqui True, 2005, Theories of International Relations, New York: Palgrave Macmillan, Edisis 3, hal. 58.
[3] Martin Griffith, 2007, International relations theory for 21st century, New York: Routledge, hal. 22.
[4] Burchill, Opcit, hal. 56.
[5] Jeremy Bentham,  1776,  A Fragment on Government, London, Preface (2nd para.), hal. 1.

2 komentar: