Oleh: Anna Christy Swardi, Arief Muliawan, Bayu Setyawan, Citra Istiqomah, Novi Rizka Amalia
Pembentukan
Korean Wave sebagai soft power Korea Selatan melibatkan
unsur-unsur seperti sumber soft power,
aktor yang terlibat (“referees” dan “receivers”) serta agenda setting dan attraction
yang disertai dengan faktor-faktor pendukung daya tarik soft power. Menurut Nye, soft power suatu negara bersumber dari
tiga hal, yakni kebijakan luar negeri, nilai-nilai dan kebijakan domestik,
serta kebudayaan[1]. Korean Wave dalam hal ini menjadi soft power Korea Selatan dengan sumber soft power berupa budaya populer (pop culture). Korean Wave dapat terbentuk sebagai soft power karena sumber budaya populer tersebut diekspor ke
berbagai negara dalam bentuk produk budaya antara lain drama televisi, film,
musik K-Pop, animasi dan games.
Budaya populer seperti ini diciptakan untuk dapat dinikmati oleh masyarakat luas
dari berbagai kalangan dan generasi. Terkait dengan nilai-nilai yang terkandung
dalam pembuatan budaya populer, terutama dalam drama televisi dan film, Korea
Selatan memadukan modernitas dan teknologi dengan tradisi dan nilai
kekeluargaan, sehingga drama Korea dapat diterima banyak kalangan. Demikian
dengan K-Pop, animasi dan games,
Korea Selatan memproduksi produk budaya yang diminati dan digemari oleh
masyarakat luas karena keunikan unsur domestik khas Korea dengan teknologi dan
modernitas ala Barat[2].
Dengan upaya ini Korea Selatan berhasil menjembatani budaya Barat dan Timur dan
menghasilkan suatu produk yang bisa diterima oleh keduanya.
Aktor
yang terlibat dalam pembentukan Korean
Wave sebagai soft power Korea
Selatan adalah pemerintah, media (televisi, internet), industri produk budaya
(industri drama televisi, musik, film, animasi, games), industri produk komersial (MNC seperti Samsung dan LG)
sebagai “referees” serta publik negara-negara di Asia,
Eropa dan Amerika sebagai “receivers”.
Sebagai referee, pemerintah Korea
Selatan terlibat dalam mendukung promosi budaya populer dalam Korean Wave melalui
kebijakan-kebijakannya. Sedangkan media berperan sebagai sarana sumber rujukan
untuk menikmati produk budaya seperti drama, film, animasi, K-Pop dan online games. Industri drama televisi,
film, musik, animasi dan games adalah
pihak yang terlibat dalam produksi kreatif budaya populer. Industri produk
komersial seperti perusahaan multinasional Samsung dan LG adalah pihak yang
terlibat dalam mendukung sekaligus memanfaatkan Korean Wave sebagai alat promosi produk komersial. Di sisi lain, receivers dari Korean Wave adalah publik di negara-negara Asia, Eropa dan Amerika
yang menerima ekspor budaya populer Korea Selatan dan mengkonsumsi baik produk
budayanya maupun produk komersial yang dipasarkan dengan memanfaatkan
popularitas Korean Wave.
Korean Wave sebagai
soft power melibatkan agenda setting dan attraction sebagai perilaku dalam spektrum co-optive power untuk dapat mempengaruhi dan membentuk apa yang
pihak lain inginkan (what others want).[3]
Agenda setting atau pembentukan
agenda Korean Wave sebagai soft power, merujuk agenda peningkatan
perekonomian Korea Selatan pasca krisis ekonomi dengan institusi pemerintah
Korea Selatan sebagai referee yang
menentukan agenda tersebut. Menurut The
Economist, Korean Wave diagendakan
sebagai potensi soft power sejak
kejatuhan ekonomi Korea pada masa krisis finansial Asia tahun 1998 dengan GDP
yang turun drastis hingga 7% kala itu.[4]
Selama satu dekade berikutnya yang diiringi dengan stagnansi perekonomian, tiga
administrasi pemerintahan Korea mulai melihat Hallyu (Korean Wave)
sebagai instrumen soft power, dengan
harapan bahwa ekspansi profil Korea Selatan ke luar negeri melalui Korean Wave akan diikuti dengan
permintaan terhadap ekspor produk budaya
dan pariwisatanya.[5]
Dengan memberikan pencitraan Korea Selatan dalam Korean Wave, Korea Selatan ingin membentuk profil yang dikenal oleh
negara-negara di dunia yang selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk peningkatan
perekonomian pasca krisis 1998 melalui ekspor produk-produk dengan label Korea
Selatan.
Sedangkan
attraction yang dilakukan dalam Korean Wave sebagai soft power bersumber pada produk budaya populer yang diekspor ke
berbagai negara dan melibatkan aktor-aktor seperti pemerintah, media televisi
dan internet, industri drama televisi, film, musik, animasi, games serta perusahaan multinasional
sebagai referees-nya. Attraction atau daya tarik dari Korean Wave ini memiliki beberapa faktor
yang mendukung popularitas dan penerimaannya oleh publik negara-negara lain.
Faktor pertama adalah kebijakan pemerintah terkait Korean Wave seperti dukungan
anggaran finansial untuk perkembangan promosi budaya Korea Selatan ke luar
negeri dan kebijakan liberal pemerintah Korea Selatan yang menghormati
kreativitas individu, mengijinkan adanya struktur pasar budaya yang transparan
serta kemampuan membangun suatu budaya populer yang kritis dan mampu bersaing.
Dukungan finansial oleh pemerintah dapat dilihat melalui tindakan pemerintah
Korea Selatan dalam beberapa tahun terakhir melalui Kementerian Kebudayaan,
Olahraga dan Pariwisata yang mulai menaruh perhatian lebih pada pengembangan
industri budaya populer di Korea Selatan dengan memberikan dukungan
administratif bagi ekspor budaya Korea. Contoh upaya tersebut dapat dilihat
melalui pembentukan pusat-pusat kebudayaan Korea di luar negeri sebagai sarana
diplomasi publik untuk mempromosikan Korean
Wave serta dukungan finansial bagi industri budaya populer seperti memberi
subsidi pada industri musik sebesar 40 miliar Won pada tahun 2007 serta
investasi sebesar 2 triliun Won pada tahun 2008 untuk membentuk “Korean Wave
Hollywood” sebagai upaya untuk membentuk Budaya Asia Timur yang dapat
disandingkan dengan Hollywood di Amerika Serikat.[6]
Sedangkan kebijakan liberal pemerintah yang mendukung pengembangan kreativitas
budaya populer dalam Korean Wave
terlihat pada dukungan pemerintahan Presiden Korea Selatan, Roh Moo-hyun yang
menginginkan Korea Selatan berkembang menjadi salah satu kekuatan kultural
global (global cultural power).[7]
Faktor lain yang juga mempengaruhi penyebaran
budaya Korea Selatan adalah fusi antara nilai-nilai Konfusianisme dan
modernitas yang disajikan melalui produk budaya seperti drama televisi dan film.
Konfusianisme adalah tradisi yang secara historis dimiliki bersama oleh
negara-negara di Asia Timur yang membuat negara-negara tersebut memiliki
kedekatan kultural.[8]
Tema-tema drama televisi dalam Korean
Wave menggunakan nilai-nilai dalam Konfusianisme seperti nilai-nilai
kekeluargaan, penghormatan terhadap generasi yang lebih tua, ketaatan terhadap
tradisi sebagai bagian dari dramatisasi Korea Selatan akan “sensibilitas Asia”[9]
yang membuat drama-drama Korea dapat dinikmati lintas generasi, terutama di negara-negara
Asia Timur yang berbagi kesamaan nilai Konfusianisme.[10]
Namun nilai tersebut
tidak membatasi penerimaan Korean Wave
hanya pada publik negara-negara Asia Timur. Bagi publik di negara lain, nilai
kekeluargaan yang ditonjolkan dalam drama televisi dan film Korea Selatan
diterima sebagai suatu kekuatan emosional tersendiri. Publik Amerika mendapati
drama Korea santai dan menyenangkan, publik Eropa mendapati alur cerita dalam
drama Korea romantis dan tidak rumit, di negara-negara Timur Tengah, tayangan
drama Korea lebih bisa diterima karena dianggap lebih “aman” akan konten
kekerasan dan seksualitas seperti yang didapati dalam tayangan Hollywood, dan
drama Korea memiliki kesetiaan pada penggunaan tradisi lokal[11].
Selain itu, nilai domestik lain yang juga dimuat dalam drama-drama televisi
Korea Selatan adalah modernitas.
Faktor
berikutnya adalah pemanfaatan media internet khususnya dalam mempromosikan
produk drama televisi dan K-Pop. Di Amerika dan Eropa, drama televisi dan K-Pop berhasil
menarik banyak minat publik melalui media internet. Dari penelitian internet,
jumlah akses video terkait dengan K-Pop di Youtube
mencapai 123.47 juta di Amerika Utara dan 55,37 juta di Eropa
dari total akses K-Pop 793.57 juta di seluruh dunia.[12]
Selain
itu, sejak tahun 1990 hingga tahun 2010, dapat dilihat bahwa jumlah kedatangan
turis ke Korea Selatan cenderung meningkat. Dari hanya sekitar 2,95 juta orang
di tahun 1990, jumlah turis pasca booming
Korean Wave meningkat hingga mencapai 8,79 juta orang pada tahun 2010.[13]
Serupa dengan hasil statistik KTO di atas, Pusat Statistik Korea (KOSTAT) juga
melaporkan jumlah turis yang datang ke Korea Selatan pada tahun 2010 mencapai
8,8 juta orang, yang merupakan kenaikan sebanyak 70,9% dari jumlah turis pada
tahun 2001 yang hanya sejumlah 5,1 juta orang[14].
Data di atas menunjukkan pada periode kemunculan Korean Wave dari akhir tahun 1990-an hingga tahun 2010, industri
pariwisata di Korea Selatan mengalami keuntungan peningkatan jumlah turis
asing.
Di
samping keuntungan pada industri pariwisata, Korea Selatan melalui penggunaan Korean Wave mendapatkan keuntungan yang
lebih besar pada pemasaran dan penjualan produk budaya serta produk
komersialnya. Ekspor produk budaya yang dilakukan terutama di negara-negara
Asia mencakup ekspor produk drama televisi, produk industri musik, film,
animasi dan online games. Ekspor Korea Selatan dalam produk
program televisi misalnya, mengalami peningkatan yang cukup signifikan sejak tahun
2000 (yang termasuk dalam periode awal kemunculan Korean Wave) hingga tahun 2007 dengan hanya 13 juta US dolar pada
tahun 2000 menjadi 162 juta US dolar
pada tahun 2007. Bahkan jika sebelumnya pada tahun 2000 impor Korea
lebih tinggi dari ekspornya, yakni 29 juta US dolar, pada tahun 2007 neraca
berbalik ketika Korea Selatan mengekspor sekitar 130 juta US dolar lebih banyak
dari jumlah impornya yang hanya sebesar 32 juta US dolar.
Ekspor budaya Korea
dalam Korean Wave tidak hanya
menguntungkan dari sisi keuntungan ekspor produk budaya, namun juga
meningkatkan keuntungan pemasaran produk komersial lain ke pasar internasional.
Kepopuleran produk budaya dalam Korean
Wave, seperti drama televisi membiasakan publik dengan gaya hidup ala Korea
yang digambarkan dalam drama tersebut. Pembiasaan ini dapat mendorong konsumsi
publik terhadap produk-produk yang digunakan dalam penggambaran gaya hidup ala
Korea, misalnya gadget dengan
teknologi terkini atau pakaian dan kosmetik untuk mendapatkan penampilan ala
Korea. Selain itu, menurut Lash and Urry, dikatakan bahwa ada suatu proses yang
disebut dengan aestheticization of
commodities, yaitu proses penanaman komponen nilai estetis/keindahan pada
obyek material.[15]
Proses ini terjadi ketika artis-artis dengan pencitraan glamor dan pesonanya
dilibatkan dalam mempromosikan produk yang membuat produk tersebut menjadi
lebih menarik bagi konsumen.[16]
Dalam masyarakat visual seperti saat ini, hal tersebut dapat mempengaruhi dan
menimbulkan perasaan kedekatan melalui pencitraan oleh idola atau agen-agen
lain yang mempromosikan budaya Korea Selatan.
Kebudayaan
pada hakikatnya dapat menjadi salah satu sarana yang digunakan untuk mencapai
kepentingan suatu negara. Budaya itu sendiri
merupakan suatu proses berpikir masyarakat yang kemudian menjadi suatu
identitas negara yang dapat dibentuk dan dimanfaatkan agar persepsi masyarakat
internasional sesuai dengan citra/image
yang ingin ditunjukkan. Ini juga dapat berarti bahwa negara bisa menggunakan
kebudayaan sebagai soft power melalui
transfer budaya ke dunia global dan menggunakan dampak dari perkembangan budaya
sebagai kekuatan baru.
Beberapa
data tersebut menunjukkan bahwa budaya populer Korea Selatan membawa efek positif
tidak hanya bagi perekonomian, namun juga politik Korea. Secara umum, dampak
yang diberikan oleh industri budaya dapat digolongkan menjadi dua, yaitu secara
langsung dan tidak langsung. Peningkatan secara langsung yang didapatkan adalah
keuntungan secara konkret melalui industri hiburan Korea, seperti contohnya
penghasilan dari penjualan CD/DVD, konser, RBT, merchandise, hak siar dan sebagainya, yang didapatkan oleh industri
hiburan dan peningkatan perekonomian Korea Selatan.
Sementara
itu, peningkatan secara tidak langsung yang dimaksud adalah keuntungan pada
segi lain yang tidak berhubungan secara langsung dengan penyebaran Korean Wave tersebut, misalnya
terbentuknya national branding dimata
para peminatnya. Peningkatan national branding melalui budaya pada akhirnya memiliki pengaruh positif pada faktor-faktor lain yang membentuk citra nasional dan
merubah persepsi internasional secara keseluruhan, seperti faktor politik, sosial dan ekonomi[17].
Salah satu petinggi Korean Broadcasting
System, Sung Tae-Ho memaparkan:
“So
based upon that cultural background, we exchange our emotions, what we think
and what we feel. There is a low cultural barrier to crossover with our
content. It is kind of a syndrome”[18]
Penjelasan ini
menggambarkan bahwa Korean Wave
berhasil menjadi daya tarik sekaligus alat promosi. Ini membuktikan bahwa
melalui industri hiburannya Korea berhasil menciptakan national branding yang menguntungkan bagi sektor ekonomi serta
politik.
Dalam
konteks yang lebih politis, dapat dilihat bahwa budaya populer Korea Selatan
juga memberikan pengaruh yang cukup signifikan bagi dinamika politik
antarnegara. Budaya populer sebagai soft
power dapat mempengaruhi dan bahkan meningkatkan posisi tawar (bargaining position) dan daya tawar (bargaining power) Korea Selatan di mata
dunia internasional melalui pencitraan sebagai negara yang ‘ramah’ dan
kooperatif. Secara politis hal ini dapat mempengaruhi dinamika interaksi dan
relasi politik antara Korea Selatan dengan negara lainnya, misalnya mendorong
sebuah negara untuk kemudian melakukan kerjasama dengan Korea Selatan. Ketika
kedekatan seperti itu terbentuk, bukan tidak mungkin negara-negara yang bekerja
sama dan mengenal Korea Selatan melalui soft
power semacam itu secara tidak sadar akan bersikap kooperatif terhadapnya
atau berada di pihaknya ketika harus menentukan konsensus internasional. Ini berarti,
soft power dapat bekerja layaknya
proses hegemoni.
Selain
itu, budaya populer Korea Selatan sebagai soft
power juga dapat menjadi instrumen baru dalam berdiplomasi (diplomatic tool). Contohnya dalam kasus
hubungan antara Korea Selatan dengan Korea Utara. Sejak setidaknya satu dekade
lalu, masyarakat Korea Selatan semakin aktif menggelar konser-konser maupun
pertunjukan dalam rangka mendorong reunifikasi kedua Korea, seperti Peace Talk DMZ Tour yang diprakarsai
oleh kalangan mahasiswa di Korea Selatan, serta konser reunifikasi yang
diprakarsai oleh Samsung di tahun 2006 dengan mendatangkan penyanyi Korea
Selatan Lee Hyo Ri dan penari Korea Utara Jo Myung Ae.[19]
Inisiasi semacam ini pada dasarnya telah sejak lama dimulai, salah satunya oleh
konser musik klasik sejak era 1990-an oleh Yun I Sang, composer ternama Korea Selatan beserta musisi-musisi lain dari
kedua negara.[20] Ini
menunjukkan bahwa pemerintah, masyarakat sipil, maupun kalangan-kalangan lain
di Korea Selatan telah memanfaatkan asepek budaya sebagai alat berdiplomasi
dengan Korea Utara. Di Korea Utara sendiri, budaya populer Korea Selatan dalam
setidaknya satu dekade terakhir telah cukup marak tersebar di masyarakat. Ini
tidak lepas dari perkembangan teknologi dan informasi yang juga telah menyentuh
akses ke Korea Utara melalui Cina, terutama melalui penjualan alat elektronik
seperti EVD (Enhanced Versatile Disk)
atau TV portable buatan Cina yang bisa
didapatkan dengan harga terjangkau.[21]
[1] Nye, J.S. (2008), Op. Cit.
[3] Nye, J.S. (2005), ‘Soft Power
and Higher Education’, Forum for the Future of Higher Education, diunduh dari http://www.educause.edu/Resources/SoftPowerandHigherEducation/158676
[4] The Economist, South
Korea’s pop-cultural exports: Hallyu, yeah! A “Korean wave” washes warmly over
Asia, 25 Januari 2010, (Seoul dan Phnom Penh) dalam http://www.economist.com/node/15385735
[5] Ibid.
[6] Liu, X. (2007), The Rising Korean wave among Chinese Youth,
CSP 104 Academic Writing Skills, Chua Chongjin, hlm. 4
[7] Guoliang, Z. (2005, February
17), Toward the New Era of East Asian Culture through emerging of Korean wave.
and China Wind, Cheong Wae Da Office of the president, Retrieved May 24, 2007,
from http://english.president.go.kr/cwd/en/archive/archive_view.php?meta_id=for_your_info&m_def=3&ss_def=4&id=923b8c455dd8de7fbd228f6c dalam Liu, X. (2007), Op. Cit.
[8] Chua B.H. (2010), ‘Korean Pop Culture’, Malaysian journal of
media studies volume 12 Vol. 12, no. 1:15-24, hlm. 16
[9] Korean Culture and Information
Service,
(2011), Op. Cit., hlm. 72
[10] Chua B.H. (2010), Op. Cit.
[11] Korean Culture and Information
Service,
(2011), Op. Cit.,
[12] Korean Culture and Information
Service,
(2011), Op. Cit., hlm. 38
[13] Visitor Arrivals, Korean Departures, International Tourism Receipts
&Expenditures, http://kto.visitkorea.or.kr/eng/tourismStatics/keyFacts/visitorArrivals.kto, diakses pada tanggal 14 Mei
2012 pada pukul 13.00 WIB
[14] Korea in the world seen through
statistics [2] Culture and Travel, 2011/11/17, http://www.hancinema.net/korea-in-the-world-seen-through-statistics-2-culture-and-travel-35406.html, diakses pada tanggal 14 Mei 2012
pukul 14.00 WIB
[15] Lash S. dan Urry, J. (1994) Economies of Signs and Space, (London:
Sage) dalam Huang, S. (2011), Op. Cit., hlm. 10
[16] Ibid.
[17]S.J.Lee, ‘The Korean Wave: The
Seoul of Asia’, Elon University(online),
2011, <http://www.elon.edu/docs/e-web/academics/communications/research/vol2no1/09suejin.pdf>, diakses 27 Maret 2013.
[18] CNN, ‘Korean Wave’ of pop culture sweeps across Asia(online), 31
Desember 2010, <http://edition.cnn.com/2010/WORLD/asiapcf/12/31/korea.entertainment/index.html?iref=NS1>, diakses 27 Maret 2013.
[19] C. Ahn, ‘Reunification is on the
March’, The New York Times, 9
February 2006, <http://www.nytimes.com/2006/02/09/opinion/09iht-edahn.html?_r=0>
[21] Yonhap News, ‘Spread of Portable
EVD Players Fueling ‘Korean Wave’ in N. Korea: Expert’, Global Post (online), 22 October 2013, <http://www.globalpost.com/dispatch/news/yonhap-news-agency/131022/spread-portable-evd-players-fueling-korean-wave-n-korea-expe >
Tidak ada komentar:
Posting Komentar