Oleh: Anna Christy Swardi, Arief Muliawan, Bayu Setyawan, Citra Istiqomah, Novi Rizka Amalia
Terorisme dan perang melawan
terorisme merupakan tema yang paling sering disebut-sebut sebagai tema yang mungkin
paling mempengaruhi konstelasi politik internasional saat ini. Meskipun begitu
sebenarnya para peneliti juga masih kesulitan mendefinisikan secara fixed tentang terorisme itu sendiri,
namun yang jelas terorisme telah membawa pergeseran fokus keamanan
internasional. Fokus keamanan yang dulunya sangat state centric yang hirau dengan masalah kedaulatan nasional harus
memberikan tempat yang istimewa kepada non
state actor yang dulunya seakan-akan diabaikan. Namun pada sub bab ini akan
lebih difokuskan pada masa sebelum terjadinya tragedi Black September.
Yang menjadi hal menarik adalah
bahwa menurut sejarah definisi terorisme ternyata sangatlah berbeda dengan
definisi terorisme yang kita pahami sekarang. Dalam buku “Terrorism, War, and International Law”, Myra Williamson mengatakan
bahwa terorisme adalah bentuk kebijakan dari pemerintah untuk melakukan represi
terhadap rakyatnya untuk menerima kebijakannya.[1] Hal ini penting karena
bentuk represi ini merupakan instrumen pemerintah yang ditujukan untuk
menciptakan stabilitas keamanan nasional, lebih dari itu bentuk tindakan terror
seperti ini juga menjadi alat intimidasi pemerintah untuk mempertahankan status quo.
The regime of terror was
designed to consolidate the new government’s power by intimidating
counter-revolutionaries, subversives and all other dissidents whom the new
regime regarded as ‘enemies of the people’. Historically, states have
conducted terror on a far more massive and lethal scale than groups. They have
employed terror as a weapon of tyranny and repression and as an instrument of
war. [2]
Di Indonesia, sebenarnya kita
melihat bagaimana pemerintahan Orde Baru melakukan represi terhadap rakyat
supaya patuh untuk menerima kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh
pemerintah. Dan benar pula bahwa tindakan semacam ini juga berfungsi untuk
mempertahankan status quo
sampai-sampai era Orde Baru mencapai 32 tahun berkuasa. Hal ini menarik untuk
penulis tunjukkan karena era ini merupakan suatu era yang penuh dengan terror,
represi, dan bahkan pembredelan terhadap pers. Lantas pertanyaannya adalah
mengapa masa ini tidak dijustifikasi sebagai sebuah tindakan terorisme oleh
dunia internasional? Bukankah intimidasi yang dilakukan pemerintah ini juga targeting civilians yakni warganya
sendiri?. Penulis meyakini jawaban atas pertanyaan itu adalah belum adanya
otoritas tunggal yang mengkonstruksi pemahaman dunia internasional terhadap
suatu fenomena, termasuk juga tentang terorisme. Hal ini akan menjadi berbeda
ketika kita memahami perkembangan konsep terorisme masa kini yang mana Amerika
Serikat sebagai hegemon mampu mengkonstruksi dan menghegemoni konstruksi dunia
internasional pada ancaman baru yakni terorisme ala transnational actor (pembahasan lebih lanjut bisa dilihat di bab
pembahasan).
Definisi yang seperti di atas sebenarnya
juga menunjukkan mengapa pada masa sebelum Black
September lebih banyak terjadi konflik antar negara (inter state war).[3]
Hal ini terbukti secara jelas ketika kita melihat peristiwa Perang Dunia I,
Perang Dunia II dan Perang Dingin sekalipun. Yang menjadi titik poin penting
kita adalah konstelasi politik dan keamanan internasional pada masa itu sangat state centric dan seakan-akan
mengabaikan pengaruh dari non state actor.
Terjadinya tragedi Black September memang menjadi milestone penting dalam memahami
konstelasi politik dan keamanan internasional saat ini. Betapa tidak, peranan
non state actor yang sebelumnya diabaikan justru memberikan pengaruh yang lebih
besar. Konflik yang dulunya inter state
berubah haluan menjadi konflik intra
state. Ditambah lagi non state actor
ini juga memberikan sentuhan baru dalam tipologi keamanan internasional saat
ini. Memang benar, jika dibandingkan dengan eskalasi konflik pada masa
sebelumnya memang konflik yang ditimbulkan oleh non state actor ini lebih sedikit memakan korban.[4] Tetapi yang berbeda adalah
korbannya itu sendiri, tipologi konflik saat ini lebih banyak memakan korban
sipil (civilians). Sementara
perang-perang sebelumnya lebih banyak adalah prajurit (combatants). Dan yang paling membedakan adalah tipologi konflik
yang makin kompleks. Konflik tak hanya terjadi berdasarkan clash of interest atau permasalahan kedaulatan tetapi juga
diakibatkan oleh stratifikasi sosial ekonomi dan bahkan berbasis psikologis,
budaya dan kepercayaan.[5]
Logikanya, dengan munculnya
aktor-aktor baru maka akan memunculkan suatu ancaman yang juga baru, untuk itu
perlu respons yang berbeda untuk menghadapi ancaman-ancaman baru tersebut. Untuk
melihat lebih detail bagaimana pengaruh non
state actor termasuk di dalamnya transnational
actor mempengaruhi tipologi keamanan masa kini akan dibahas pada sub bab
selanjutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar