Oleh: Citra Istiqomah
Latar Belakang
Kekuasaan (power)
merupakan salah satu konsepsi paling mendasar dalam memetakan politik dan
hubungan internasional. Namun demikian, kekuasaan seringkali menjadi --. Inilah
yang disoroti oleh perspektif postmodernisme dan post-kolonialisme.
Postmodernisme dan
post-kolonialisme merupakan dua perspektif dalam studi hubungan internasional
yang sama-sama menyoroti mengenai terbentuknya cerita-cerita besar (grand narrative) dalam sejarah dunia
yang dapat dikatakan timpang karena meninggalkan pihak-pihak tertentu dalam
formulasinya. Oleh karena itu, keduanya mengajukan preskripsi dekonstruksi bagi
hal tersebut demi membenahi tatanan dunia agar lebih baik dan adil. Namun
demikian, aspek dekonstruksi dalam pandangan masing-masing perspektif tersebut
tentu berbeda. Bagaimana perspektif
posmodernisme dan post-kolonialisme memandang
aspek kekuasaan (power)? Bagaimana preskripsi
yang masing-masing perspektif ini ajukan melalui dekonstruksi?
Pembahasan
Perspektif Postmodernisme
Perspektif modernism lahir
sebagai kritik atas kemapanan dalam modernisme.
Kebenaran bersifat subjektif
dan dibentuk oleh kronologi historis yang panjang. Sejarah yang membentuk kebenaran
ini secara genealogi disisipi oleh nilai-nilai kekuasaan, kepentingan, dan
intimidasi. Genealogi dalam pengkajian posmodernisme merupakan sebuah proses
pengkajian “asal usul” sejarah dengan jalan melacak bagaimana sebuah
pengetahuan berkembang dari dulu hingga saat ini, bagaimana sebuah kekuatan
mampu mempengaruhi perkembangan sebuah ilmu pengetahuan. Lebih lanjut Foucault (dalam
Ritzer, 2008: 80) mengartikan genealogi sebagai analisis hubungan historis
antara kekuasaan dan diskursus, meskipun kritisisme diarahkan pada proses yang
terdapat pada kontrol diskursus. Namun demikian, kekuasaan
juga dapat menghasilkan ilmu pengetahuan. Oleh karenanya dapat
disimpulkan secara sederhana bahwa kekuasaan bukan hanya berfokus pada represi
fisik semata namun juga bahwa manusia berupaya mengakses kekuasaan melalui
wacana ilmu pengetahuan.
Adanya hubungan antara kekuasaan
dan ilmu pengetahuan menyebabkan hegemoni sebuah negara dapat membentuk sebuah
perspektif yang pada akhirnya membentuk sebuah ilmu pengetahuan pada negara
tersebut. Pengetahuan yang dihasilkan biasanya akan lebih condong terhadap
pemaparan fakta dari seseorang (resources
of history) yang memiliki kekuatan tersebut. Akibatnya, nilai-nilai
kebenaran yang dipaparkan dalam sebuah teks bisa menjadi multi-interpretasi
sehingga diperlukan dekonstruksi dan pembacaan ganda untuk meninjau ulang fakta
kebenaran yang tertulis di dalam teks tersebut.
Dalam teks, ada regime of
truth yang sangat berkuasa untuk menciptakan kebenaran (truth/knowledge)
atau memproduksi wacana (discourse). Kita tidak bisa mendefinisikan
siapa yang membuat atau memberikan klaim universalitas sebagai sebuah klaim
kebenaran, namun dalam hal ini, wacana klaim terhadap berbagai Program Nuklir
Iran sebagai sesuatu yang diangap benar oleh Iran atau sesuatu yang dianggap
tidak benar oleh Negara-negara yang menentangnya, dalam hal ini Amerika beserta
sekutunya. Perbedaan sudut pandang tentang program nuklir Iran diciptakan oleh
setiap negara untuk memenuhi kepentingannya. Seperti yang dipercayai oleh
Foucault, bahwa beberapa kelompok mempunyai kekuasaan untuk membuat klaim atas
nama “seluruh umat manusia”. Dan menekankan sisi positif “otherness”
yang menghargai perbedaan dari pengalaman manusia dan beragamnya perbedaan yang
ada antara satu orang dengan yang lain.
Kondisi ini persis sejalan
dengan pandangan posmodernisme yang mengatakan bahwa tidak ada “kebenaran”
objektif, yang ada hanyalah “rejim
kebenaran” yang saling bersaing dalam rangka memenangkan wacana, dalam hal ini
kebenaran itu subjektif tergantung siapa penguasa hari itu, sehingga mampu
mempengaruhi klaim atas pengetahuan akan kebenaran tersebut.
Penjelasan di atas semakin
memberikan indikasi yang memiliki kemiripan dengan apa yang dimaksud oleh
posmodernisme bahwa “tidak ada ciri yang tunggal, yang ada hanyalah sebuah
manifestasi historis dari sejumlah interpretasi yang bertentangan, di mana
kesatuan dan identitas merupakan hasil kemenangan dari konflik ini.” Dalam
konteks posmodernisme ini merupakan proses konstruksi kekuasaan masing-masing negara dalam mempertahankan
rezim melalui pembentukan ilmu pengetahuan
melalui klaim akan kebutuhan pihak Iran atau
klaim akan ancaman pihak
AS, keduanya saling menbentuk pandangan
kebenaran atas program nuklir Iran.
Dari analisis posmodernisme
lainnya, dapat dihubungkan dengan teori Focault yang berpendapat bahwa “tidak ada bentuk pengetahuan yang benar-benar murni”. Semua pengetahuan tentang dunia dibangun dari sudut
tertentu. Dari sisi posmodernisme, intervensi hegemoni dari luar
justru kemungkinan hanya akan meningkatkan ekskalasi konflik yang ada dan
justru akan semakin memperkeruh suasana konflik nuklir tersebut. Ia menjadi sarana menancapkan kuasanya atas suatu entitas
dan komunitas masyarakat global. Padahal, kaum posmodernisme menginginkan
independensi dari setiap komunitas atau entitas masyarakat untuk memilih dari
menggali konsep-konsep hidup mereka sesuai dengan latar budaya dan sejarah
mereka masing-masing, sehingga konsep-konsep akan dimaknai secara berbeda
sesuai dengan kebutuhan masyarakat global.
Klaim kebenaran atau rezim,
klaim teks, bahkan sejarah tentang program nuklir Iran merupakan analisis
posmodernisme yang dilihat dari segi struktur negara, eskalasi ancaman
keamanan, dan faktor pergantian rezim, dalam hal ini masuk dalam wacana besar
posmodernisme. Di sisi lain, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu
masyarakat global perlu menganalisis ilmu pengetahuan yang sedang dibangun Iran
dan AS maupun sekutunya. Dalam hal ini, masyarakat global dituntut untuk bisa
memperhatikan dari sisi kemanusiaan sebagai entitas humaniter global.
Perspektif Post-kolonialisme
Post-kolonialisme merupakan perspektif
yang muncul sebagai kritik dari kolonialisme. Perspektif ini lahir sebagai bentuk kritik dan kekecewaan
terhadap teori utama yang muncul sebelumnya yang cenderung memfokuskan diri
pada aspek power, politik maupun
negara. Perspektif ini mulai dikenal dan berkembang dalam
hubungan internasional sejak tahun 1960-an melalui tulisan Edward Said “Orientalism”
dan “The Wretched of The Earth” karya
Frantz Fanon.[1]
Dalam “Orientalism”, Said
menitikberatkan pada perbedaan yang terjadi antara Barat dan Timur dimana
bangsa Barat mempunyai kendali terhadap bangsa Timur. Sedangkan Fanon
beranggapan bahwa kolonialisme yang terjadi membuat bangsa yang dijajah
terutama negara dunia ketiga terus bergantung pada negara yang menjajah.
Ketergantungan ini sengaja diciptakan oleh negara Barat untuk dapat tetap
menguasai mereka baik itu dalam aspek sosial, ekonomi, politik dan lainnya.
Dengan ketergantungan ini, negara dunia
ketiga tidak dapat hidup mandiri dan mengembangkan diri untuk mengatasi masalah
yang ada.
Post-kolonialisme
memandang fenomena yang terjadi dalam hubungan internasional dari perspektif
bangsa yang dijajah (the oppressed). Untuk itu, para pemikir post-kolonialis berusaha
memberikan kontribusinya untuk membantu negara-negara dunia ketiga untuk dapat
lebih exist dalam hubungan antar
negara. Menurut pandangan ini, kebodohan dan kemiskinan yang muncul dan
berkembang dalam masyarakat merupakan akibat dari kolonialisasi yang dilakukan
oleh bangsa Barat kepada bangsa Timur. Selain itu pada masa kolonialisme
terjadi, kolonialisme meninggalkan beberapa peninggalan budaya a la Barat di negara jajahan dan mempengaruhi
perkembangan pola pikir masyarakat. Selain itu, kolonialisme juga menciptakan
adanya istilah dalam masyarakat seperti The
Man and The Native di Eropa yang
menganggap bahwa The Man berhak untuk
menguasai The Native. Kemunculan
post-kolonialisme bertujuan untuk menghapuskan peninggalan dan pola pikir yang
ada serta menolak adanya golongan dalam masyarakat. Akibat dari permasalahan
yang muncul tersebut, pandangan ini muncul dan berkembang sebagai bentuk
perlawanan masyarakat anti-kolonialisme. Kaum post-kolonialisme ini mendambakan
adanya tatanan dunia yang lebih baik yang didorong oleh adanya self-determination yang dapat mendorong
adanya kebebasan negara dan masyarakat dalam berpolitik dan dekolonialisasi.
Fokus
dari perspektif post-kolonialisme ini adalah power dan knowledge,
identitas dan perlawanan. Power dan knowledge di sini tidak hanya berfokus
pada kekuatan militer dan ekonomi suatu negara, namun juga diartikan sebagai
kekuatan dan pengetahuan bangsa Barat yang lebih besar jika dibandingkan dengan
negara dunia ketiga. Dengan demikian, bangsa Barat akan cenderung berusaha dan
melakukan invasi ke negara lain yang dianggap mempunyai power dan knowledge yang lebih
rendah dibandingkan bangsanya. Sedangkan identitas, merupakan suatu pengertian
dan pemahaman bahwa ada negara yang menjadi penjajah dan terjajah,
utara-selatan dan barat-timur sehingga sudah wajar ketika mereka yang kuat
melakukan invasi dan menjajah negara yang lebih lemah. Terakhir adalah mengenai
perlawanan. Perlawanan ini ditunjukkan oleh bangsa yang terjajah mampu
beradaptasi dalam kondisi terjajah karena kolonialisme dan mendorong mereka
untuk melakukan perlawanan penghapusan kolonialisme.[2]
Dari
hal tersebut dapat dikatakan bahwa negara yang terlepas dari masa kolonialisme
sebenarnya belum benar-benar bebas. Lepasnya sebuah negara dari penjajah hanya
sebatas wilayah dan penduduknya saja. Kehidupan, kerangka berpikir dan
kebijakan yang diambil oleh negara masih bercermin kepada bangsa Barat. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa secara tidak langsung, negara tersebut masih
terjajah dan belum bebas sepenuhnya. Bangsa Barat masih mempunyai pengaruh yang
cukup kuat untuk mempengaruhi pemikiran masyarakat dan pemimpin sebuah negara
melalui warisan yang mereka tinggalkan.
Seperti
yang diungkapkan salah seorang tokoh post-kolonialis, Carl Schmitt bahwa “sovereign is he who decides on the exception”,
dalam konteks politik (the political)
terdapat perbedaan-perbedaan yang dikaburkan oleh dominasi pemikiran Barat,
khususnya melalui pemikiran liberal dan praktik-praktik internasional selama
bertahun-tahun, terutama pasca berakhirnya Perang Dunia I. Konteks politik ini
juga memuat pembedaan antara kawan dan lawan.[3]
Adanya
ambivalensi turut dipengaruhi
oleh perkembangan studi-studi yang melegitimasi kecenderungan pemetaan dan
pembagian atau diferensiasi terhadap berbagai konsep dalam tata kehidupan
global. Karakter keamanan dan studi keamanan global yang bersifat Eropa-sentris
atau Eurocentric yang berkembang
sejak Perang Dunia II menjadi hal yang sangat dominan mempengaruhi
kecenderungan politik global, pembentukan sejarah, relasi keamanan antara yang
kuat dan yang lemah, dan semacamnya.[4]
Pandangan perspektif post-kolonialisme semacam ini lebih
jauh dapat ditelaah melalui pemikiran-pemikiran para tokoh teoritisi kritis
post-kolonial seperti Edward Said, Homi Bhabha, Gayatri Chakravorty Spivak, dan
tokoh-tokoh lainnya. Homi K. Bhabha sebagai kritikus kultural post-kolonial
memaparkan dalam konteks dikursus kolonial bahwa terminologi “ambivalensi”
dapat menjelaskan proses hibridisasi
ataupun pengdaptasian nilai-nilai kolonial yang terjadi di dunia kontemporer saat ini. Ambivalensi ---Penggunaan
semantik ini bukan merupakan efek tanda dari kelemahan konseptual, melainkan
sebuah pengakuan atas ketidakmampuan untuk sepenuhnya mengontrol makna dari
peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di
masa sebelumnya:
“…(in the
context of colonial discourse), the production of ambivalence does not emerge
from “the contestation of contradictories or the antagonism of dialectical
opposition.” Ambivalence is rather a “splitting” of discourse, a denial of the
possibility of either one or the other side of familiar binaries (e.g.,
security/insecurity, war/peace), resulting in “multiple and contradictory belief”;
splitting is a “strategy for articulating contradictory and co-eval statements
of belief.”[5]
Edward
Said sebagai tokoh lain dalam perspektif post-kolonialisme pun menyoroti hal
serupa. Ia memaparkan tentang pemetaan antara konsep-konsep Islam dan Barat dalam
dunia kontemporer yang dimaksudkan untuk tidak sekedar mengidentifikasi dan
mendeskripsikan reduksi atas fenomen dunia, suatu kehidupan yang berbeda
ataupun yang secara fundamental berbeda dari konsep-konsep Barat yang sudah
meluas. Perbedaan ini, menurut Said, diproduksi dan dipelihara tidak hanya
secara sadar oleh banyak orang, termasuk para akademisi, namun juga oleh ketidaksadaran
ataupun kekurangkritisan intelektual terhadap subjek-subjek tersebut.[6]
Oleh
karena itu, para kritikus yang meyakini perspektif post-kolonialisme ini selalu
menyoroti betapa esensialnya dekonstruksi terhadap narasi-narasi kolonial (grand narrative) yang melingkupi dunia. Seperti
yang ditekankan tokoh post-kolonialisme lain, Gayatri Chakravorty Spivak, terdapat
hal-hal yang ditinggalkan dalam sebuah narasi besar yang dahulu dibangun. Maka,
ia pun menolak cara-cara konvensional berpikir kritis gaya Barat yang justru
akan memunculkan kecenderungan penguatan terhadap peninggalan pemikiran
kolonial, sekaligus pelemahan terhadap identitas pihak-pihak yang ditinggalkan
itu sendiri.[7]
Hal
yang terpenting ialah bahwa negara-negara yang diklaim “kurang maju” atau
“dunia ketiga”, termasuk Iran, harus berhati-hati terhadap konstruksi
identitasnya sendiri. Nosi mengenai krisis identitas seringkali muncul atas
kecenderungan umum bahwa semakin lemah suatu negara, maka ia akan semakin jatuh
ke krisis identitas yang berada pada landasan lemahnya kemampuan
mengkonstruksikan diri sendiri. Proses emulasi sebagai upaya untuk terbebas
dari pengaruh-pengaruh kolonial, bahkan melebihi mereka, terkadang justru
menjadi proses mimikri atau meniru yang sulit dilepaskan secara mentalitas
karena “image” yang terbentuk sudah
sedemikian kuat mengakar akibat sedimentasi praktik maupun dalam ranah
pemikiran. Hal yang seringkali terjadi ialah penolakan pihak yang
terkolonialisasi (the oppressed) terhadap
budaya kolonial, umumnya Barat, namun melakukannya dengan cara mereka untuk terbebas
dari jeratan tersebut, atau yang seringkali digambarkan sebagai proses
hibridisasi. Dalam studi kasus yang telah dipaparkan sebelumnya di atas, proliferasi
nuklir bisa jadi merupakan salah satu manifestasi dari hal tersebut.
A. KESIMPULAN
Dari
pemaparan-pemaparan di atas, dapat dikatakan bahwa negara yang terlepas dari kolonialisme
sebenarnya belum benar-benar bebas. Kehidupan mereka masih dikendalikan secara
sadar maupun tidak sadar melalui ide, pemikiran, norma, nilai, asas, kebijakan,
dan berbagai produk kolonialisme baru yang diciptakan oleh para kolonialis.
Pihak yang menjadi objek kolonialisasi pun dapat dikatakan masih bercermin
kepada pihak kolonial tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara
tidak langsung, negara tersebut masih terjajah dan belum bebas sepenuhnya.
Dalam studi kasus nuklir Iran, isu nuklir dan proliferasinya barangkali
merupakan salah satu manifestasi dari bentuk kolonialisasi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Pustaka Literatur
Baylis, John, Steve Smith and Patricia Owens. 2011. The Globalization of World Politic:
Introduction to International Relation, Fifth edition. New York: Oxford
University Press
Burchill, Scott. 2005. Theories of International Relations. 3rd edition. New
York: Palgrave Macmillan
Edkins, Jenny, and Nick Vaughan Williams. 2010. Teori-teori Kritis: Menantang Pandangan
Utama Studi Politik Internasional, edisi Bahasa Indonesia diterjemahkan
oleh Teguh Wahyu Utomo. Yogyakarta: Pustaka Baca
Folker, Jennifer Sterling. 2003. Making Sense of International Relations Theory. London: Lynne Rienner
Publisher
Griffiths, Martin, and Terry O’Callaghan. 2002. International Relations: The Key Concept.
London: Taylor & Francis
Kegley, Charles W., and Eugene R. Witkopff. 2006. World Politics: Trend and Transformation,
10th edition. California: Thomson Wadsworth
Winarno, Budi. 2011. Isu-isu
Global Kontemporer, Yogyakarta: CAPS
Pustaka
Online
Abraham, Itty. 2004. ‘The
Ambivalence of Nuclear Histories’, paper presented at Science, Technology and International Affairs: Historical Perspectives
Workshop. Washington DC: Georgetown University. http://www9.georgetown.edu/faculty/khb3/osiris/papers/AbrahamRev1.pdf
Barkawi, Tarak, and Mark
Laffey. 2006. ‘The Postcolonial Moment in Security Studies’. Review of International Studies. British
International Studies Association. https://www.repository.cam.ac.uk/bitstream/handle/1810/236977/CUP%20Barkawi_Laff?sequence=1
Burr, William. 2009. ‘A brief History of U.S.-Iranian Nuclear
Negotiation’. Bulletin of The Atomic
Scientists. http://www.nuclearfiles.org/menu/key-issues/nuclear-weapons/issues/proliferation/iran/A%20brief%20history%20of%20U.S.-Iranian%20nuclear%20negotiations.pdf
History Guy. Iran-US Hostage Crisis (1979-1981). http://www.historyguy.com/iran-us_hostage_crisis.html#.UqshCSeue5s
Jahanpour, Farhang, Dr. ‘Chronology of Iran's Nuclear Programme, 1957-2007’. Oxford Research Group Paper. http://www.oxfordresearchgroup.org.uk/oxford_research_group_chronology_irans_nuclear_programme_1957_2007
Nurhadi. Poskolonial: Sebuah Pembahasan.
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/POSKOLONIAL%20SEBUAH%20PEMBAHASAN.pdf
Walcott,
Derek. ‘The Idea of Black and White
Races which Reveal Human Identity’. Pantomime. http://www.scribd.com/document_downloads/direct/161928299?extension=pdf&ft=1386947987<=1386951597&source=embed&user_id=56932522&uahk=LJrB/lzDgjMDPO9JodnbuWVxnyk
[1] Derek Walcott, ‘The Idea of Black
and White Races which Reveal Human Identity’, Pantomime, <http://www.scribd.com/document_downloads/direct/161928299?extension=pdf&ft=1386947987<=1386951597&source=embed&user_id=56932522&uahk=LJrB/lzDgjMDPO9JodnbuWVxnyk>
[2] Nurhadi, Poskolonial: Sebuah Pembahasan, <http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/POSKOLONIAL%20SEBUAH%20PEMBAHASAN.pdf>
[3] Jenny
Edkins & Nick Vaughan Williams, Teori-teori
Kritis: Menantang Pandangan Utama Studi Politik Internasional, edisi Bahasa
Indonesia diterjemahkan oleh Teguh Wahyu Utomo, Pustaka Baca, Yogyakarta, 2010,
hal. 400-401.
[4]Tarak
Barkawi & Mark Laffey, ‘The Postcolonial Moment in Security Studies’, Review of International Studies, British
International Studies Association, 2006, <https://www.repository.cam.ac.uk/bitstream/handle/1810/236977/CUP%20Barkawi_Laff?sequence=1>
[5] Itty
Abraham, ‘The Ambivalence of Nuclear Histories’, paper presented at Science, Technology and International
Affairs: Historical Perspectives Workshop, Georgetown University,
Washington DC, 2004, <http://www9.georgetown.edu/faculty/khb3/osiris/papers/AbrahamRev1.pdf>
[6] Edkins
& Williams, hal. 393.
[7] Edkins
& Williams, hal. 415-416.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar