“Aku bersyukur dilahirkan di Indonesia, dimana senyum masih menjadi karakter, budaya masih apik terjaga, dan optimisme masih menyulut semangat. Aku berharap, anak-anakku kelak harus lebih bangga dariku dalam memandang dan memperjuangkan Indonesianya. Jaya Selalu Negeriku Indonesia, Jayalah Selama-lamanya”

Parameter Sejarah Dalam Politik Luar Negeri Jepang


Oleh: Erwina Salsabila
Politik luar negeri Jepang ditujukan untuk menjamin keamanan dan kesejahteraan negara. Hal ini tercermin dari kapabilitas pemerintah pasca Perang Dunia II untuk meminimalisir dampak negatif terhadap keamanan Jepang terlepas dari peperangan dan revolusi di Asia Timur. Sebaliknya, pemerintah Jepang mampu memanfaatkan sistem ekonomi Bretton Woods untuk memajukan kesejahteraan masyarakat. Keberhasilan pemerintah dalam melaksanakan politik luar negeri inilah yang meningkatkan kepercayaan masyarakat Jepang terhadap kemampuan pemerintah dalam memformulasikan politik luar negeri.
Pasca Perang Dingin, konstelasi politik internasional diwarnai oleh isu-isu yang bervariasi, mulai dari hubungan buruk antara Jepang dan Korea, kemajuan ekonomi Cina, hingga perang melawan terorisme. Pemerintah Jepang dituntut untuk merespon berbagai tantangan dan memetakan kembali hubungan bilateral baik dengan Amerika maupun dengan Cina. Hal ini merupakan tantangan besar bagi Jepang, karena mereka tidak hanya dituntut untuk tetap mengikuti pola politik luar negeri yang sudah berjalan selama ini namun juga harus mampu menganalisa dan membaca peta hubungan antar negara.
Beberapa tantangan pun muncul dalam merealisasikan tuntutan-tuntutan tersebut. Hal ini sejatinya dilatarbelakangi oleh dua hal: Pertama, adanya perbedaan generasi yang memimpin hubungan luar negeri Jepang. Generasi masa kini mungkin tidak merasakan secara langsung ketegangan dengan beberapa negara seperti Cina dan Korea yang tentunya akan berpengaruh bagi pemetaan hubungan luar negeri Jepang. Kedua, sistem pemerintahan Jepang yang lebih transparan menuntut pemerintah untuk lebih peka dalam memenuhi aspirasi masyarakat. Salah satu implikasi hal ini adalah desus krisis legitimasi pemerintahan dan ketidakpercayaan masyarakat terutama salah satu contohnya adalah akibat adanya kasus penyimpangan yang terungkap dari departemen luar negeri Jepang.
Oleh sebab itu, beberapa parameter penting yang mempengaruhi politik luar negeri Jepang pasca Perang Dunia II akan ditelaah di bawah ini.

A.     Menyejajarkan diri dengan Barat versus Mempertahankan Identitas Asia
Sejak memasuki era modernisasi, para pemimpin Jepang telah menyadari adanya kontradiksi
dalam identitas nasional Jepang. Chomin Nakae[1] dalam esainya yang terkenal menjelaskan mengenai perdebatan antara dua karakter nasional: keluar dari Asia untuk bergabung dengan kekuatan Barat, atau tetap menjadi bagian dari Asia. Namun, segala usaha modernisasi yang dilakukan oleh Jepang semenjak Restorasi Meiji dapat dikatakan sebagai usaha nasional untuk mengejar ketinggalan atas kemajuan bangsa Barat.
Proses mengejar ketinggalan yang dilakukan oleh Jepang dapat dibedakan ke dalam dua fase, yaitu sejak Restorasi Meiji hingga dimulainya Perang Dunia II serta pasca Perang Dunia II hingga era 1970-an. Pada fase yang pertama yaitu antara tahun 1868-1945, pertentangan antara kedua peran memang belum terlalu banyak mempengaruhi kebijakan nasional Jepang. Demi mengejar ketinggalan dari bangsa Barat dan barangkali untuk mencegah kolonisasi kekuatan Barat, Jepang berpartisipasi secara ‘liar’ dalam penjajahan di Asia. Tujuan utama Jepang pada saat itu bukanlah meninggalkan Asia, namun dipicu oleh tekanan yang dirasa Jepang atas identitasnya serta kegusaran terhadap hegemoni Barat terutama Britania Raya (UK) dan Amerika Serikat. Bahkan, Perdana Menteri Jepang Fumimaro Konoe sempat menuliskan sebuah esai yang mengutuk supremasi kedua negara Barat tersebut dalam politik internasional pada tahun 1918.

Semenjak berakhirnya Perang Dunia II, identitas Jepang sebagai negara Asia mengundang banyak perdebatan yang seringkali berakhir dengan memojokkan Jepang untuk merefleksikan diri atas banyak isu terkait nilai-nilai, terutama hak asasi manusia (HAM). Pada era 1970-an, Jepang memegang peranan penting berkat kekuatan industrinya. Salah satu contohnya dapat dilihat dari keanggotaan Jepang dalam G-6. Sejak saat itu, Jepang memiliki tanggung jawab baru sebagai bagian dari kekuatan industri besar dunia.
Sementara itu, seiring perkembangan waktu masyarakat Jepang saat ini sangat berkomitmen pada nilai-nilai universal seperti demokrasi dan kebebasan. Namun, ketika bangsa Barat bersikeras untuk menyebarkan agenda HAM di negara-negara Asia, Jepang menyatakan bahwa nilai-nilai Asia berbeda dengan nilai-nilai Barat. Salah satu sikap Jepang yang menunjukkan pernyataan tersebut adalah penolakan terhadap inisiatif Barat untuk menjatuhkan sanksi di beberapa negara yang dinyatakan melanggar HAM.


B.     Pasifis versus Realis dalam Isu Keamanan
Pasca Perang Dunia II yang menimbulkan banyak korban jiwa, masyarakat Jepang lebih berhati-hati dalam memilih keterlibatan mereka untuk perang. Salah satu hal yang juga mendukung tindakan ini adalah dibuatnya pasal 9 dalam Konstitusi Demokrasi oleh Amerika yang melarang atau membatasi ruang gerak militer Jepang. Namun, Perang Dingin tampaknya membawa dampak yang cukup signifikan bagi kehidupan Jepang. Shigeru Yoshida kemudian berinisiatif membentuk Japanese Self Defence Force (JSDF) untuk melindungi Jepang dari serangan musuh. Hal tersebut dilakukan Jepang karena Jepang merasa perlu membentuk sebuah kerjasama pertahanan dengan Amerika demi menghadang serangan blok komunis.
Terkait konsep perdamaian dan keamanan domestik di Jepang, terdapat perdebatan yang cukup alot antara kaum pasifis dan realis dimana menimbulkan kekisruhan dalam politik Jepang.  Terdapat tiga poin yang menjadi inti dari perdebatan; 1.) kebijakan dan pengawasan secara legal terhadap kendala konstitusional pada tindakan militer; 2.) apakah hasil kebijakan akan diterima atau tidak; dan 3.) apakah pemerintah yang terpilih secara demokratis dijamin tidak akan membawa Jepang kembali dalam jurang militerisme. Ketiga poin perdebatan tersebut akan dipaparkan lebih mendalam dalam pembahasan berikut.
Pertama, aspek legalitas. Hal ini terkait penggunaan JSDF dalam koridornya sebagai pasukan bela diri. JSDF hanya boleh digunakan untuk melawan pasukan asing yang menyerang masuk ke dalam wilayah Jepang, bukan dalam koridor pertahanan pakta melainkan untuk membantu sekutu Jepang yang diserang. Namun pada kenyataannya, JSDF sebagai sekutu dari pasukan Amerika kerapkali melakukan operasi pendukung untuk membantu pasukan mereka seperti dalam hal penyediaan logistik dan pengisian bahan bakar. JSDF seharusnya dapat mempertahankan konsistensinya dengan merujuk pada satu definisi khusus mengenai apa itu aksi militer yang layak untuk dilakukan oleh JSDF (use of force). Terlebih lagi semenjak 9/11, JSDF diberikan lingkup yang lebih luas dalam aksi penganggulangan terorisme. Inti dari perdebatan mengenai aspek legalitas ini adalah pemerintah Jepang harus dapat mempertahankan konsistensinya terhadap JSDF.
Kedua, terkait gagasan pencegahan (notion of deterrence). Kaum pasifis berpendapat bahwa gagasan mengenai deterrence yang mengutamakan kerjasama militer dengan Amerika justru berpotensi menyeret Jepang kedalam peperangan. Seperti halnya dalam Perang Dingin, Jepang menanggung efek psikologis paling berat karena jaraknya yang begitu dekat dengan negara-negara komunis, dimana ancaman nuklir terasa sangat nyata. Terlebih lagi, dengan mengirim anggota JSDF keluar wilayah Jepang dalam koridor deterrence yang juga menjadi hal tabu bagi kaum pasifis dalam parlemen Jepang.
Terakhir, adalah rasa percaya diri yang besar terhadap sistem demokrasi Jepang. Rakyat Jepang era Perang Dunia II merasa dikhianati oleh rezim militeris yang membawa Jepang pada keterpurukan peperangan. Namun, dengan diberlakukannya sistem demokrasi di Jepang saat ini melalui Konstitusi 1947 kondisi Jepang dapat dikatakan telah jauh lebih baik dibandingkan era Perang Dunia II. Hal ini membuat kaum pasifis Jepang merasa bahwa Jepang tidak perlu memiliki militer yang kuat, karena dengan sistem demokrasi yang baik, pemerintah tidak akan semena-mena membawa Jepang dalam perang seperti yang terjadi sebelum tahun 1945.

C.     Realpolitik versus Pendekatan Idealistik
Setelah berakhirnya Perang Dunia II, muncul ketidakpercayaan rakyat Jepang terhadap pemerintah yang telah membawa penderitaan yang cukup besar bagi rakyat Jepang melalui kebijakan perangnya. Rakyat beranggapan bahwa kekuatan militer merupakan faktor yang berbanding terbalik dengan tingkat demokrasi di negaranya. Paham pasifisme tumbuh subur dan muncul pertentangan dengan paham realisme. Konflik diantara paham idealisme dan realisme mempengaruhi politik luar negeri Jepang. Pada akhir tahun 1980-an, Jepang memutuskan untuk memasukkan konsep kontribusi terhadap pemeliharaan tatanan dunia sebagai batu penjuru dari politik luar negeri Jepang. Konsep ini tentunya sejalan dengan kedua paham tersebut.
Dalam politik luar negeri Jepang, nilai-nilai kemanusiaan bukanlah parameter kunci yang diperhitungkan. Politik luar negeri Jepang lebih banyak dipertimbangkan berdasarkan kepentingan nasionalnya. Di wilayah Asia, realpolitik yang mengutamakan kepentingan nasional berkisar pada keseimbangan kekuatan melalui jaringan persekutuan dan hubungan-hubungan strategis dengan aktor-aktor utama seperti Amerika Serikat. Salah satu contoh kebijakan Realpolitik yang berhasil adalah kebijakan AS yang membina hubungan dengan Cina pada masa pemerintahan Kissinger. Namun, menurut sudut pandang kaum Realis Jepang pada masa Perang Dingin, Asia masih belum siap untuk menjalankan permainan balance of power seperti itu. Yang menjadi konsen utama Jepang pada saat itu adalah hubungan dengan AS. Sebenarnya perdebatan yang ada ini adalah antara realis dan idealis, bukan antara realis dan pasifis.
Pada saat ini, konflik antara pemikiran idealis dan pasifis terdapat pada bidang ekonomi, terutama dalam hal sanksi ekonomi dalam hubungannya dengan nilai-nilai kemanusiaan. Kaum idealis berpendapat bahwa negara yang melakukan pelanggaran nilai-nilai kemanusiaan perlu diberikan sanksi ekonomi. Sementara, kaum realis berpendapat bahwa sanksi ekonomi tersebut tidak perlu dilakukan, karena justru akan mengurangi hubungan antara Jepang dengan negara tersebut dan pada akhirnya mengganggu pemenuhan kepentingan nasional Jepang. Salah satu contohnya adalah suspensi bantuan ekonomi terhadap Cina yang dianggap merupakan pelaku pelanggaran HAM.

D.     Apologis versus Nonapologis
Pada tahun 1995 tepatnya lima puluh tahun setelah Perang Dunia II berakhir, Perdana Menteri Jepang, Tomiichi Murayama mengeluarkan sebuah pernyataan mengenai posisi pemerintah Jepang terhadap perang. Ia menyatakan penyesalan mendalam atas perang yang telah menimbulkan banyak korban dan membuat rakyat menderita hingga mengakibatkan ketidaknyamanan bagi warga negara-negara tetangga Jepang di Asia. Oleh karena itu, Murayama memohon maaf sedalam-dalamnya kepada publik terkait masa lalu Jepang yang membuat banyak orang menderita. Pernyataan Murayama ini memunculkan komentar dari kelompok-kelompok yang setelah tujuh tahun kemudian dikenal dengan ‘apologists dan nonapologists’.
Menurut kelompok nonapologists, Jepang tidak perlu setiap saat memohon maaf atas apa yang terjadi di masa lalu walaupun negara-negara Asia menginginkan hal tersebut. Kelompok ini berpendapat bahwa tidak ada yang salah dengan apa yang telah diperbuat oleh Jepang di masa lalu dan masa sebelum perang. Oleh karenanya, Jepang tidak perlu meminta maaf secara berlebihan di hadapan publik. Sementara kelompok apologists, menyatakan hal sebaliknya. Para apologists menyatakan bahwa Jepang telah melakukan kejahatan yang kejam di masa lalu dan oleh karena itu, Jepang harus meminta maaf secara sungguh-sungguh kepada masyarakat Asia. Jepang juga sebaiknya memberikan kompensasi dan bantuan-bantuan kepada para masyarakat yang menjadi korban Jepang di masa lalu. Selain itu, Jepang seharusnya bisa mengambil hikmah atas kejadian tersebut dan menjadikannya sebagai pembelajaran agar tidak terulang lagi di masa mendatang.
Atas pendapat kedua kelompok ini, masalah sejarah mungkin akan menjadi parameter yang sulit dan sensitif bagi kebijakan luar negeri Jepang ke depannya.
E.     Nasionalisme versus Internasionalisme
Pada 1980, pemerintah Jepang mengadopsi pemikiran untuk internasionalisasi yang disesuaikan dengan keinginan melakukan perubahan struktur perekonomian dalam negeri yang akan diwarnai oleh pemain asing. Di masa itu, pihak asing merasa putus asa akibat hambatan yang mereka temui ketika mencoba terlibat aktif dalam sektor perdagangan dan investasi. Internasionalisasi ini dilakukan untuk mengelola hubungan baik antara Jepang dengan negara lain, mengingat selama kurun waktu tersebut Jepang mengalami surplus perdagangan dengan negara-negara tersebut.
Namun, di sisi lain hal yang menjadi permasalahan adalah nasionalisme yang kemudian sulit untuk dibedakan antara nasionalisme yang “sehat” dengan “tidak sehat”. Hal ini juga lah yang tercermin dalam beberapa permasalahan yang dihadapi oleh Jepang, baik itu menyangkut kebencian mereka terhadap pihak asing maupun kebencian asing terhadap mereka. Salah satu hal yang dapat digunakan untuk menjelaskan hal ini adalah kebijakan yang diambil Jepang selama ini tidak terlepas dari tekanan pihak asing, terutama Amerika Serikat. Adanya tekanan ini kemudian memunculkan wacana pemikiran bahwa Jepang adalah “korban” dari kepentingan asing.
Sumber permasalahan Jepang berikutnya adalah perjanjian kerjasama yang terjalin antara Jepang dengan Amerika. Terdapat dua kelompok yang menentang adanya kerjasama ini, yaitu kelompok pasifis dan kelompok tengah-kanan. Kelompok ini beranggapan bahwa bentuk kerja sama ini seakan menjadi cara bagi Amerika untuk menundukkan Jepang. Hal lain yang juga menyulut kemarahan adalah tingginya tingkat kejahatan dan kekerasan yang melibatkan para prajurit Amerika.
Sumber frustasi yang ketiga bagi Jepang adalah kebangkitan negara tetangga mereka yakni Cina. Kebangkitan Cina di sektor ekonomi (yang kemudian dianggap menjadi pesaing Jepang) dan adanya kecenderungan Cina yang anti-Jepang serta keengganan Cina untuk mengubur sejarah masa lalu, menjadi masalah sensitif bagi kedua negara. Hal ini pula lah yang menjadi salah satu hambatan hubungan dan interaksi kedua negara.
Permasalahan nasionalisme diatas dapat dianggap sebagai hambatan internasionalisme Jepang. Seringkali permasalahan ini mempengaruhi pengambilan kebijakan luar negeri Jepang. Jepang harus memikirkan cara untuk bisa berhubungan baik dengan tipe nasionalisme yang “tidak sehat”, yang dekat kaitannya dengan xenophobia. Akan lebih baik jika kemudian Jepang dapat memulihkan sikap positif dan kepercayaan diri mereka sehingga kemudian dapat menghadapi permasalahan ini dengan lebih baik dan dapat menjalin hubungan yang baik dengan negara lain.

F.      Obsesi mengenai Vulnerabilitas Ekonomi
Jepang telah mengalami kemajuan perekonomian yang sangat pesat semenjak negara Matahari Terbit ini hancur disebabkan insiden bom nuklir di Hirosima dan Nagasaki pada Perang Dunia II. Usai Perang Dunia II, prioritas utama Jepang ialah menjadi aktor penting dalam perekonomian dunia. Upaya Jepang saat itu benar-benar mendapatkan dukungan penuh dari Amerika. Dukungan tersebut terrefleksikan dari berbagai hal, misalkan Amerika membuka pasarnya untuk dimasuki barang-barang murah produksi Jepang dan Amerika juga membantu Jepang untuk bergabung di dalam General Agreement on Tariffs and Trade (GATT).
Bergabungnya Jepang dalam GATT sempat membuat Jepang ‘lega’, mengingat mereka sangat khawatir akan memperoleh perlakuan penuh diskriminasi (seperti diblok) oleh negara lain dalam perdagangan internasional. Sebagai catatan, perlakuan yang demikian pernah diterima Jepang pada dekade 1930-an. Oleh karena itu, menjadi hal yang logis dan traumatis dimana masih menjadi momok yang menakutkan bagi Jepang bahkan hingga sekarang. Terlepas daripada ketakutan Jepang tersebut, faktanya, perekonomian Jepang masih tergolong kuat. Bukti konkrit dapat dilihat dari indeks World Bank tahun 2011 yang menempatkan mereka menjadi negara terkaya ke-19 di dunia.
Akan tetapi, di balik kesuksesan ekonomi tersebut ternyata sektor ini juga memiliki beberapa kelemahan. Setidaknya terdapat dua faktor yang melatarbelakangi fenomena tersebut:
1.        Tidak adanya regionalisme di Asia Timur, yang berujung pada ketiadaan Free Trade Area (FTA) di kawasan tersebut
Dewasa ini dapat dikatakan sebagai era regionalisme. Pasca Perang Dingin, tiap kawasan di muka bumi seperti berlomba-lomba untuk melahirkan komunitas regional seperti Uni Eropa yang merupakan organisasi supranasional dari negara-negara di Eropa dan ASEAN di Asia Tenggara. Keberadaan regionalisme tentu memberikan implikasi dalam berbagai bidang, terutama di bidang ekonomi. Regionalisme cenderung mengakibatkan perdagangan antarnegara dalam suatu kawasan menjadi lebih mudah karena pada umumnya pembentukan regionalisme seringkali diikuti oleh penghapusan hambatan (barrier) dan hal-hal lain yang memudahkan atau menguntungkan negara anggota namun merugikan negara yang bukan anggota.
Jepang tentu dihantui oleh kemungkinan tersebut, yakni ketika negara-negara anggota dalam sebuah regionalisme secara sengaja maupun tidak, membentuk blok ekonomi yang tidak mengikutsertakan Jepang di dalamnya (apalagi mengingat trauma mereka yang pernah diblok dari perdagangan internasional pada tahun 1930-an). Sehingga apabila demikian keadaannya, maka Jepang akan merasa terdiskriminasi dan dirugikan.
Jepang sendiri merasa perkembangan European Common Market merupakan sebuah ancaman. Apalagi dalam perkembangannya, banyak kawasan yang mengadaptasi formasi serupa seperti yang telah diterapkan oleh Uni Eropa. Jepang mulai merasa khawatir. Bagi mereka, konsep Most Favored Nation yang ada dalam GATT sudah ideal karena mereka diuntungkan, atau paling tidak bukan menjadi pihak yang merugi. Dan sulit bagi mereka untuk berdamai dengan kenyataan, bahwa ada kecenderungan formasi ideal GATT akan tergeserkan dan berganti dengan formasi FTA berbasis regionalisme. Patut diingat bahwa sangat sulit bagi Jepang untuk memiliki formasi yang sama seperti European Common Market di Asia Timur. Hal ini disebabkan oleh kawasan Asia Timur yang memiliki tantangan cukup besar untuk melahirkan sebuah regionalisme. Sejarah masa lalu antar negara di kawasan Asia Timur yang penuh konflik cenderung belum usai hingga dewasa ini. Hal tersebut menjadi hambatan bagi mereka untuk terintegrasi dalam berbagai sektor.
2.        Ketidakmandirian Jepang dalam sumber daya alam, terutama minyak
Jepang memang banyak mengekspor barang-barang produksi seperti manufaktur dan barang elektronik, namun mereka juga mengimpor minyak dalam jumlah yang sangat besar. Minyak adalah hal yang krusial dan esensial bagi negara industri seperti Jepang. Kebutuhan mereka yang besar atas minyak  tidak didukung dengan adanya sumber daya minyak yang melimpah di Jepang. Hal ini membuat Jepang perlu mengimpor dari negara-negara penghasil minyak. Jepang menjadi negara yang tergantung terhadap negara lain, atau dengan kata lain tidak mandiri.
Semula, Jepang tidak begitu mempermasalahkan hal tersebut. Namun, mereka kemudian menyadari ketergantungan mereka akan sumber daya minyak terhadap negara lain dapat menjadi ancaman bagi mereka. Kesadaran tersebut dipicu insiden embargo minyak di tahun 1970-an. Singkat cerita, negara-negara Timur Tengah menolak untuk mengekspor minyak ke Jepang sehingga negeri matahari terbit ini mengalami masa yang penuh kesulitan dalam menggerakkan roda ekonomi dan pemerintahan. Jepang secara mendadak terpaksa kehilangan sumber impor minyak mereka (pada tahun 1970, 84.6% minyak yang ada di Jepang berasal dari Teluk). Masa-masa tersebut menyadarkan Jepang bahwa jalan mereka menjadi negara yang kuat dan makmur, ternyata memiliki tantangan yang cukup besar.
Dari kejadian tersebut, Jepang belajar untuk tidak terlalu bergantung dengan negara lain. Jepang berhasil mengurangi prosentase impor minyak mereka dari negara Teluk. Terbukti pada tahun 1985 impor minyak yang berasal dari negara Teluk turun menjadi 68.8%. Insiden krisis minyak yang seringkali disebut ‘Oil Shock’ tersebut merupakan contoh dari kerentanan perekonomian yang dirasakan oleh Jepang.

Kesimpulan
Terdapat beberapa parameter sejarah yang mempengaruhi politik luar negeri Jepang saat ini. Pertama, peralihan orientasi politik luar negeri Jepang pasca Perang Dunia II yang menitikberatkan pada pemulihan dan peningkatan ekonomi negara dibandingkan keterlibatan dalam bidang militer. Kedua, tuntutan untuk memetakan dan menjalin hubungan antar negara dengan tetap berpegang pada alur politik luar negeri Jepang yang bersesuaian dengan Konstitusi Demokrasi 1947. Ketiga, kontradiksi akan identitas Jepang; apakah akan mengikuti Asia atau bergabung dengan peradaban Barat. Keempat, perdebatan konsep keamanan dan perdamaian oleh kelompok pasifis dan realis Jepang. Kelima, permasalahan kelompok apologi dan non-apologi atas kejahatan perang yang dilakukan Jepang di era perang masa lalu terutama bagi negara-negara di Asia. Keenam, permasalahan nasionalisme masyarakat yang menghambat upaya internasionalisasi Jepang. Dan ketujuh, adalah trauma Jepang terhadap krisis ekonomi yang dialami di masa lalu.
Selain menjadi hal-hal yang paling mempengaruhi dinamika politik luar negeri Jepang, parameter-parameter tersebut juga seringkali menjadi sumber dilema dalam konstelasi relasi Jepang dengan negara-negara lain. Jepang seringkali dihadapkan pada masalah kebingungan dalam merespon sebuah fenomena yang terjadi di dunia internasional, terutama dengan negara-negara di regional Asia Timur yang memiliki sentimen historis dalam lingkup hubungan mereka. Hal ini tidak lain karena ketika Jepang ingin menanggapi persoalan-persoalan itu, ia kembali terbentur pada parameter-parameter sejarah tersebut.


[1] Yutaka Kawashima, Japanese Foreign Policy at the Crossroads, Brookings Institution Press, Washington D.C, 2003, p. 4.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar