“Aku bersyukur dilahirkan di Indonesia, dimana senyum masih menjadi karakter, budaya masih apik terjaga, dan optimisme masih menyulut semangat. Aku berharap, anak-anakku kelak harus lebih bangga dariku dalam memandang dan memperjuangkan Indonesianya. Jaya Selalu Negeriku Indonesia, Jayalah Selama-lamanya”

Review Mengenai "Analyzing Conflict"


Oleh: Khoirul Amin
Sesuai dengan silabus dalam mata kuliah Foundation in Peace Studies, pada minggu ke tiga kelas dibuka dengan pembahasan mengenai analisis konflik (Analyzing Conflict). Diskusi diawali dengan pemaparan dari beberapa presentator yang mencoba menyajikan pemahaman mengenai hal-hal yang berhubungan dengan konflik, sepertihalnya definisi konflik, sebab-sebab lahirnya konflik, elemen-elemen yang ada dalam konflik, kepentingan-kepentingan yang melatar belakangi terjadinya konflik, hingga mekanisme dalam penyelesaian konflik secara efektif melalui pemetaan aktor, hubungan sebab-akibat dan tahap eksekusi dalam upaya resolusi konflik.
 Sejalan dengan berlangsungnya diskusi, perdebatan pada akhirnya difokuskan pada pembahasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan analisis konflik. Sebelum lebih jauh membedah elemen-elemen fundamental apa saja yang terkandung di dalam bagian ini, penekanan kepada definisi dari konflik kembali ditekankan. Satu kata kunci kemudian muncul mewakili definisi yang begitu luas mengenai konflik yakni, incompatible. Dengan kata lain, konflik muncul ketika terdapat satu kepentingan yang sama antara dua pihak, baik pada level individu, kelompok atau pada level yang lebih tinggi, akan tetapi diantara pihak yang saling mengejar kepentingan tersebut memiliki upaya pemenuhan yang saling kontradiktif. Sebagai ilustrasi, dua ekor keledai dengan keadaan saling terikat satu dengan lainnya, dan beridiri diantara dua sisi di mana rumput yang hijau tumbuh pada kedua ujung sisi tersebut. Keledai A menginginkan rumput pada sisi X, sedangakan keledai B menginginkan rumput pada sisi Y. Sehingga yang terjadi adalah proses tarik-menarik diantara dua keledai tersebut guna mencapai rumput yang diinginkan masing-masing dan tidak menghasilkan apa-apa (mencapai rumput yang diinginkan masing-masing). Hingga pada akhirnya proses negosiasi diantara kedua keledai tersebut mengantarkannya pada tujuan yang sebenarnya sama, rumput.

Berdasarkan ilustrasi di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa pada dasarnya konflik itu diperlukan sebagai instrumen untuk mencapai apa yang dinamakan sebagai perdamaian, kesepakatan maupun dalam istilah lain disebut sebagai titik konsensus diantara pihak yang saling berkepentingan. Selanjutnya, diskusi berlanjut dengan fokus pembahasan mengenai sebab-sebab terjadinya konflik dengan pendekatan sistem. Setidaknya ada tiga elemen  kunci yang menjelaskan mengapa konflik dapat timbul. Pertama, konflik dapat muncul dikarenakan faktor struktural. Dalam hal ini, aspek-aspek yang menjadi faktor konflik bersifat tidak langsung namun pada dasarnya mengikat. Sebut saja kebijakan pemerintah yang otoriter di Tunisia yang menyebabkan rakyatnya merasa tertekan dan hak asasinya dibatasi. Kedua, faktor proximate cases atau dapat dimaknai sebagai faktor turunan dari struktur. Sebagai contoh, kemiskinan dan pengangguran pada akhirnya muncul sebagai implikasi dari pemerintah yang otoriter dan tidak sepenuhnya mendistribusikan kewenangannya. Ketiga, trigger cases atau dalam hal ini diartikan sebagai momentum kunci yang menandai awal lahirnya konflik. Aksi bakar diri yang dilakukan oleh Boazizi di salah satu jalan di Tunisia pada akhirnya mendorong konflik vertikal antara masyarakat Tunisia dan pemerintah yang berakhir dengan tergulingnya presiden Tunisia, Ben Ali.
            Kelas ditutup dengan diskusi kelompok yang membahas sebuah fenomena dalam sebuah dokumentasi film. Kasus yang dibahas adalah sebuah konflik struktural yang terjadi diantara pemerintah Brazil dan masyarakat lokal (indigenous people) yang tinggal di area sungai Amazon. Konflik muncul dikarenakan program pembangunan bendungan Belo Monte sebagai wujud pembangunan energi alternatif yang diupayakan pemerintah Brazil. Akan tetapi, implikasi yang muncul layaknya ancaman banjir, rusaknya beberapa ekosistem tumbuhan, hewan dan kepada sekitar 20.000 orang yang tinggal di sekitar aliran sungai Amazon, di mana proyek yang diperkirakan mencapai 16 juta dolar AS tersebut dibangun. Dengan menggunakan model analisis konflik Johan Galtung, model eskalasi, jam gelas, dan pohon konflik, setiap kelompok berupaya memetakan aspek-aspek dan elemen-elemen apa saja yang ada pada konflik tersebut. Sebagai salah satu hasil analisis yang dihasilkan oleh salah satu kelompok. Berdasarkan model Hour Glasses, dapat dipetakan bahwa ada satu perbedaan dan kontradiksi yang terjadi diantara pemerintah dan masyarakat lokal. Salah satu diantaranya adalah mengenai kualitas pendidikan dan ekspektasi dari kedua kubu.
            Pemerintah memandang bahwasaanya masyarakat lokal kurang memiliki pengetahuan khususnya dalam bidang teknologi. Selain daripada itu, pemerintah memiliki ekspektasi tinggi terhadap pemenuhan energi yang besar pada masa mendatang melalui pembangunan bendungan tersebut. Sedangakan masyarakat lokal berkeyakinan bahwasanya pembangunan dam tersebut pada akhirnya hanya akan mengancam kelertarian ekosistem yang ada di sepanjang sungai tersebut, termasuk orang-orang yang tinggal di sekitar sungai. Kedua, terjadi polarisasi di mana dalam hal ini pemerintah dan pihak-pihak yang terlibat di dalam pembangunan bendungan air tersebut berhadapan dengan kubu dari masyarakat lokal dan dukungan aktivis lingkungan yang melakukan perlawanan dan penolakan atas pembangunan tersebut. Tahapan ketiga yakni munculnya kekerasan, dalam kasus ini, kekerasan yang terjadi adalah kekerasan struktural. Dengan kata lain, pemerintah melakukan intimidasi secara tidak langsung kepada masyarakat lokal dengan bentuk ancaman yang mengarah pada lingkungan di mana masyarakat menggantungkan hidupnya. Tahap berikutnya dalam istilah yang ada pada model hour glasses Galtung adalah tahap war. Tahapan ini merupakan puncak dari konflik yang terjadi, di mana terdapat perlawanan dari masyarakat secara langsung baik verbal maupun aksi seperti demonstrasi sebagai bentuk perlawanan dan penolakan terhadap proyek pemerintah.
            Meskipun pada model hour glasses masih terdapat tahapan berikutnya berupa agreement, normalization dan reconciliation. Namun pada kasus yang menjadi bahan diskusi kali ini, tahapan-tahapan yang mengarah pada penyelesaian konflik berupa pilihan yang saling menguntungkan diantara kedua pihak belum terlihat. Hal ini dibuktikan dengan tetap berjalannya pembangunan dan ketidakpastian keberlangsungan hidup dari masyarakat lokal yang berada di kawasan pembangunan bendungan sungai Amazon tersebut.     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar