Oleh: Khoirul Amin
Sesuai
dengan silabus dalam mata kuliah Foundation in Peace Studies, pada
minggu ke tiga kelas dibuka dengan pembahasan mengenai analisis konflik (Analyzing
Conflict). Diskusi diawali dengan pemaparan dari beberapa presentator yang
mencoba menyajikan pemahaman mengenai hal-hal yang berhubungan dengan konflik,
sepertihalnya definisi konflik, sebab-sebab lahirnya konflik, elemen-elemen
yang ada dalam konflik, kepentingan-kepentingan yang melatar belakangi
terjadinya konflik, hingga mekanisme dalam penyelesaian konflik secara efektif
melalui pemetaan aktor, hubungan sebab-akibat dan tahap eksekusi dalam upaya
resolusi konflik.
Sejalan dengan berlangsungnya diskusi,
perdebatan pada akhirnya difokuskan pada pembahasan mengenai apa sebenarnya
yang dimaksud dengan analisis konflik. Sebelum lebih jauh membedah
elemen-elemen fundamental apa saja yang terkandung di dalam bagian ini,
penekanan kepada definisi dari konflik kembali ditekankan. Satu kata kunci
kemudian muncul mewakili definisi yang begitu luas mengenai konflik yakni, incompatible.
Dengan kata lain, konflik muncul ketika terdapat satu kepentingan yang sama
antara dua pihak, baik pada level individu, kelompok atau pada level yang lebih
tinggi, akan tetapi diantara pihak yang saling mengejar kepentingan tersebut
memiliki upaya pemenuhan yang saling kontradiktif. Sebagai ilustrasi, dua ekor
keledai dengan keadaan saling terikat satu dengan lainnya, dan beridiri
diantara dua sisi di mana rumput yang hijau tumbuh pada kedua ujung sisi
tersebut. Keledai A menginginkan rumput pada sisi X, sedangakan keledai B
menginginkan rumput pada sisi Y. Sehingga yang terjadi adalah proses
tarik-menarik diantara dua keledai tersebut guna mencapai rumput yang
diinginkan masing-masing dan tidak menghasilkan apa-apa (mencapai rumput yang
diinginkan masing-masing). Hingga pada akhirnya proses negosiasi diantara kedua
keledai tersebut mengantarkannya pada tujuan yang sebenarnya sama, rumput.
Berdasarkan
ilustrasi di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa pada dasarnya konflik
itu diperlukan sebagai instrumen untuk mencapai apa yang dinamakan sebagai
perdamaian, kesepakatan maupun dalam istilah lain disebut sebagai titik
konsensus diantara pihak yang saling berkepentingan. Selanjutnya, diskusi
berlanjut dengan fokus pembahasan mengenai sebab-sebab terjadinya konflik
dengan pendekatan sistem. Setidaknya ada tiga elemen kunci yang menjelaskan mengapa konflik dapat timbul. Pertama,
konflik dapat muncul dikarenakan faktor struktural. Dalam hal ini, aspek-aspek
yang menjadi faktor konflik bersifat tidak langsung namun pada dasarnya
mengikat. Sebut saja kebijakan pemerintah yang otoriter di Tunisia yang
menyebabkan rakyatnya merasa tertekan dan hak asasinya dibatasi. Kedua,
faktor proximate cases atau dapat dimaknai sebagai faktor turunan dari
struktur. Sebagai contoh, kemiskinan dan pengangguran pada akhirnya muncul
sebagai implikasi dari pemerintah yang otoriter dan tidak sepenuhnya
mendistribusikan kewenangannya. Ketiga, trigger cases atau dalam
hal ini diartikan sebagai momentum kunci yang menandai awal lahirnya konflik.
Aksi bakar diri yang dilakukan oleh Boazizi di salah satu jalan di Tunisia pada
akhirnya mendorong konflik vertikal antara masyarakat Tunisia dan pemerintah
yang berakhir dengan tergulingnya presiden Tunisia, Ben Ali.
Kelas ditutup dengan diskusi
kelompok yang membahas sebuah fenomena dalam sebuah dokumentasi film. Kasus
yang dibahas adalah sebuah konflik struktural yang terjadi diantara pemerintah
Brazil dan masyarakat lokal (indigenous people) yang tinggal di area
sungai Amazon. Konflik muncul dikarenakan program pembangunan bendungan Belo
Monte sebagai wujud pembangunan energi alternatif yang diupayakan pemerintah
Brazil. Akan tetapi, implikasi yang muncul layaknya ancaman banjir, rusaknya
beberapa ekosistem tumbuhan, hewan dan kepada sekitar 20.000 orang yang tinggal
di sekitar aliran sungai Amazon, di mana proyek yang diperkirakan mencapai 16
juta dolar AS tersebut dibangun. Dengan menggunakan model analisis konflik
Johan Galtung, model eskalasi, jam gelas, dan pohon konflik, setiap kelompok
berupaya memetakan aspek-aspek dan elemen-elemen apa saja yang ada pada konflik
tersebut. Sebagai salah satu hasil analisis yang dihasilkan oleh salah satu
kelompok. Berdasarkan model Hour Glasses, dapat dipetakan bahwa ada satu
perbedaan dan kontradiksi yang terjadi diantara pemerintah dan masyarakat
lokal. Salah satu diantaranya adalah mengenai kualitas pendidikan dan
ekspektasi dari kedua kubu.
Pemerintah memandang bahwasaanya
masyarakat lokal kurang memiliki pengetahuan khususnya dalam bidang teknologi.
Selain daripada itu, pemerintah memiliki ekspektasi tinggi terhadap pemenuhan
energi yang besar pada masa mendatang melalui pembangunan bendungan tersebut. Sedangakan
masyarakat lokal berkeyakinan bahwasanya pembangunan dam tersebut pada akhirnya
hanya akan mengancam kelertarian ekosistem yang ada di sepanjang sungai
tersebut, termasuk orang-orang yang tinggal di sekitar sungai. Kedua, terjadi
polarisasi di mana dalam hal ini pemerintah dan pihak-pihak yang terlibat di
dalam pembangunan bendungan air tersebut berhadapan dengan kubu dari masyarakat
lokal dan dukungan aktivis lingkungan yang melakukan perlawanan dan penolakan
atas pembangunan tersebut. Tahapan ketiga yakni munculnya kekerasan,
dalam kasus ini, kekerasan yang terjadi adalah kekerasan struktural. Dengan
kata lain, pemerintah melakukan intimidasi secara tidak langsung kepada
masyarakat lokal dengan bentuk ancaman yang mengarah pada lingkungan di mana
masyarakat menggantungkan hidupnya. Tahap berikutnya dalam istilah yang ada
pada model hour glasses Galtung adalah tahap war. Tahapan ini
merupakan puncak dari konflik yang terjadi, di mana terdapat perlawanan dari
masyarakat secara langsung baik verbal maupun aksi seperti demonstrasi sebagai
bentuk perlawanan dan penolakan terhadap proyek pemerintah.
Meskipun pada model hour glasses
masih terdapat tahapan berikutnya berupa agreement, normalization
dan reconciliation. Namun pada kasus yang menjadi bahan diskusi kali
ini, tahapan-tahapan yang mengarah pada penyelesaian konflik berupa pilihan
yang saling menguntungkan diantara kedua pihak belum terlihat. Hal ini
dibuktikan dengan tetap berjalannya pembangunan dan ketidakpastian
keberlangsungan hidup dari masyarakat lokal yang berada di kawasan pembangunan
bendungan sungai Amazon tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar