Oleh: Ahmad Anwar
Teori posmodernisme
berupaya untuk membuat sadar para ilmuan atas penjara konseptual. Konseptual
yang paling utama ialah modernitas itu sendiri, bahwa modernisasi menyebabkan
kemajuan dan kehidupan yang lebih baik (Jackson & Sorensen 1999: 303). Modernitas dengan positivismenya lebih
mengedepankan ilmu pengetahuan berdasarkan fakta-fakta empiris dan
kebenaran objektif. Pokok utama teori posmodernisme adalah mengkritik asumsi
dasar positivisme tersebut bahwa sebenarnya kebenaran yang ada adalah
subjektif. Tokoh pemikirnya antara lain Michel Foucault, Nietzsche, dan Jacques Derrida.
Menurut pandangan
posmodernis, pengetahuan dan kekuasaan itu saling mempengaruhi secara langsung satu sama lain. Foucault memandang bahwa
tidak ada kekuasaan tanpa adanya pembentukan korelatif atas sebuah bidang
pengetahuan, begitu juga tidak ada ilmu pengetahuan yang tidak menyaratkan dan
membentuk hubungan kekuasaan dalam waktu yang sama. Pengetahuan selalu
digerakkan oleh kepentingan tertentu. Penelitian tidak sepenuhnya dilakukan
demi kemajuan pengetahuan itu sendiri, tetapi juga dilakukan untuk mendukung
suatu kepentingan yang memotorinya (Burchill, 1996: 245). Sehingga seperti
teori kritis lainnya, menurut posmodernis suatu pengetahuan tidak bisa
dikatakan bebas nilai.
Hal ini dikorelasikan oleh Foucault dalam
metode Genealogy-nya. Genealogi memfokuskan pada usaha berusaha melacak
pengertian suatu hal sesuai dengan arti originalnya, yang belum terungkap atau
bahkan dikecualikan, seperti pada penulisan sejarah. Posmodernisme sangat
skeptis dalam menggunakan metodologi historis. Kebenaran penulisan sejarah
dipandang cenderung berisi pengulangan peristiwa-peristiwa dominan saja dan
menghilangkan esensi sejarah lainnya. Sejarah sebagai pengetahuan merupakan
kondisi yang tersituasi oleh kepentingan penguasa dan isu yang dominan saat itu
(Devetak, 2000: 163). Perkembangan dan pergeseran jaman memberikan
pengaruh yang kuat, sehingga sejarah tidak selamanya objektif. Kebenaran yang
ada hanyalah subjektivitas dari individu-individu yang berbeda karenanya. Karakteristik
penguasa negara juga mempengaruhi politik negaranya dalam membangun paradigma
saat itu. Peran pengetahuan yang ada telah mampu melanggengkan dominasi
terhadap kaum marjinal.
Kebenaran
adalah sebuah kesalahan atau ketidakbenaran yang kemudian mengktristal menjadi
kebenaran melalui proses sejarah yang panjang. Dalam perjalanannya, apa yang
dianggap sebagai kebenaran ini disisipi oleh nilai-nilai kekuasaan,
kepentingan, yang oleh aspek genealogi ditilik lebih dalam. Genealogi sendiri
berawal dari pemikiran dasar yang disebut sebagai Cultural Turn, yaitu bagaimana sebuah kekuatan mampu mempengaruhi
perkembangan sebuah ilmu pengetahuan. Postmodernisme mengakui bahwa kekuasaan
mampu menghasilkan ilmu pengetahuan. Hegemoni sebuah negara dapat membentuk
sebuah perspektif yang pada akhirnya membentuk sebuah ilmu pengetahuan.
Pengetahuan akan lebih condong terhadap pemaparan fakta dari seseorang yang
memiliki kekuatan tersebut.
Oleh sebab
itu, diperlukan sebuah rekonstruksi kritis terhadap hubungan antara ilmu
pengetahuan dan kekuasaan. Para penganut postmodernisme beranggapan, tidak ada
realita yang bernama rasio universal. Yang ada adalah relativitas dari
eksistensi plural. Oleh karenanya, perlu diubah dengan cara berpikir dari
totalitas menuju pluralitas dalam segala aspek kehidupan. Dari sini dapat
diketahui, betapa postmodernisme sangat bertumpu pada pemikiran individualisme
sehingga dari situlah muncul relativisme dalam pemikiran seorang postmodernis.
Konstruksi
merupakan hal utama yang membentuk pandangan dan perspektif seseorang. Hal ini
dianalogikan seperti dalam sebuah teks, fakta yang dipaparkan dalam sebuah teks
bukanlah hal yang absolut, masih ada kebenaran lain yang mungkin tidak
disertakan di dalam teks tersebut akibat persepsi dari masing-masing individu.
Setiap teks juga berhubungan satu sama lain. Akibatnya, nilai-nilai kebenaran
yang dipaparkan dalam sebuah teks bisa menjadi multi-interpretasi sehingga
diperlukan dekonstruksi dan pembacaan ganda untuk meninjau ulang fakta
kebenaran yang tertulis di dalam teks tersebut. Ada regime of truth yang
sangat kuasa menciptakan kebenaran (truth/knowledge) atau memproduksi
wacana (discourse).
Seperti
yang dipercayai oleh Foucault, bahwa beberapa kelompok mempunyai kekuasaan
untuk membuat klaim atas nama “seluruh umat manusia”. Dan menekankan sisi
positif “otherness” yang menghargai perbedaan dari pengalaman manusia
dan beragamnya perbedaan yang ada antara satu orang dengan yang lain. Selain
itu teori Focault juga berpendapat bahwa tidak ada bentuk pengetahuan yang
benar-benar murni. Semua pengetahuan tentang dunia dibangun dari sudut
tertentu. Proyek dialog untuk mencapai kesepakatan hanya akan menggantikan
hagemoni dari salah satu ke-ortodoks-an dengan yang lainnya. Kita tidak akan
bisa terbebas dari relasi penting atas pengetahuan dan kekuasaan.
Posmodernis tetap percaya bahwa setiap fenomena yang terjadi
adalah kurang lebih sama. Namun mereka mempunyai cara pandang yang berbeda atas
setiap fenomena tersebut. Dasar pemikiran yang mereka usung adalah Cultural Turn yang kemudian melahirkan
konsep genealogi. Cultural Turn dimaknai sebagai kesepakatan pemahaman yang
berlaku umum atas suatu hal. Padahal sebenarnya setiap individu mempunyai
inter-subjektif sendiri-sendiri. Sebagai contoh ketika seseorang menyampaikan
sebuah maksud tertentu dengan istilah lain yang tidak umum maka hal ini akan
mengurangi pemahaman lawan bicaranya. Namun kadang kita tahu bahwa substansi
atau apa yang ia maksud sebenarnya dapat dipahami walaupun ternyata cara ia
menyampaikan sesuatu berbeda dengan maknanya. Atau bahkan sama, hanya saja kita
tidak menyadari ada yang berbeda. Maka posmodernis memahami bahwa cultural turn berlawanan dengan substansial.
Cultural turn ini terdiri dari beberapa konsep dasar. Di antaranya
yaitu image, text, discourse dan language. Keempat hal ini mempunyai
maksud dan pola yang kurang lebih sama. Image merupakan apa yang dibayangkan
oleh seseorang atas suatu hal. Sebagai contoh ketika seseorang mendengar nama
suatu negara, maka dalam pikiran mereka mungkin akan terbayang peta akan negara
tersebut. Atau mungkin hal-hal lain yang mengidentikan dengan negara tersebut,
karena setiap individu mempunyai cara pikir yang berbeda. Padahal diketahui apa
yang ia bayangkan seakan-akan ia melihat secara langsung. Namun hal ini wajar,
karena setidaknya image telah merepresentasikan dan menunjukkan pemahaman
sesuatu.
Selanjutnya adalah Teks, seperti yang telah disinggung di atas. Sebuah
teks selalu ditandai oleh dinamika terus menerus, yang tidak mungkin
distabilkan ke dalam suatu tafsiran tunggal. Dasar pemikiran ini di perkenalkan
oleh Derrida. Ia memulai filsafatnya dengan menafsirkan teks-teks filosofis
lalu mencari kelemahan-kelemahan yang tersembunyi di dalamnya, sambil
mempermainkan logika dan asumsi dalam teks. Dengan begitu, ia ingin menunjukkan
bahwa tak ada makna yang stabil dalam teks. Hal ini kemudian digunakan sebagai
reaksi dan kritik (sistematis) terhadap keseluruhan proyek teks modernisme di
Barat yang pada dasarnya berintikan pandangan dunia yang berorientasi pada
kemajuan (the
idea of progress). Sejarah mencatat bahwa modernisme telah membawa
Barat ke ambang kemajuan yang ditandai dengan kapitalisme dan individualisme
serta kebangkitan Barat sebagai satu-satunya kekuatan peradaban.
Konsep selanjutnya yaitu discourse. Dalam sebuah konsep dikatakan
diskursus, mengandung arti yakni
mekanisme cara mendapatkan pengetahuan,beserta praktek sosial yang
menyertainya, bentuk subyektifitas yang terbentuk darinya, relasi berbagai
kekuasaan yang ada dibalik pengetahuan dan praktek sosial tersebut serta saling
keterkaitan diantara semua aspek. Realitas yang cukup jelas bagi postmodernisme
adalah sikapnya dalam memahami fenomena modern yang bernama
"pengetahuan", khususnya yang menyangkut pengetahuan sosial. Ia
memperkarakan tentang "Apa itu pengetahuan yang benar" secara
genealogis dan arkeologis. Artinya, dengan melacak bagaimana pengetahuan itu
telah beroperasi dan mengembangkan diri selama ini. Kategori-kategori
konseptual dengan segala macamnya misalnya tentang "kegilaan",
"seksualitas", "manusia", ”gender” dan sebagainya yang
biasanya dianggap "natural" itu sebetulnya adalah situs-situs
produksi pengetahuan. Hal ini membawa implikasi tumbuhnya gerak
mekanisme-mekanisme terselubung sebagai aparatus kekuasaan. Yakni kekuasaan untuk
"mendefinisikan" siapa kita, untuk menjelaskan posisi dan kedudukan
kita, untuk menggambarkan kita dan mereka, untuk mendeskripsikan yang superior
dan inferior dan lain-lain.
Kemudian yang terakhir adalah Ide
yang menekankan pentingnya bahasa (Hermeneutik, Filologi) dalam kehidupan manusia dengan segala konsep
dan analisanya yang kompleks, ini sebagai antitesa atas kondisi modernisme atas
kuasa tafsir oleh mesin birokrasi ilmu pengetahuan. Postmodernisme mengusung
problem keterbatasan bahasa, khususnya keterbatasan fungsi deskriptif bahasa yang sangat terbatas.
Bahasa haruslah dilihat melalui fungsi transformatifnya.
Pada akhirnya hubungan internasional pun menurut kaum posmodernis
hanyalah sebuah cultural turn. Hubungan internasional merupakan sekumpulan image, text, discourse dan language. Sehingga postmodernisme mengandung sejumlah konseptualisasi yang kompleks. Postmodernisme
memiliki pengertian yang cukup ambigu karena sifat inter-subjektif yang
ditekankannya.
Postmodernisme merupakan gabungan dan peleburan dari berbagaia gaya pemikiran
filosofis. Yang kesemuanya dirangkum dan diikat oleh sebuah nalar unik dan
seolah – olah tiada batasan dengan
rambu-rambu yang konkret dan jelas. Posmodernisme memberikan sudut
pandang akan pentingnya ide
tentang tumbuhnya kesadaran. Kesadaran yang dimaksud adalah
pentingnya interdependensi secara radikal dari semua pihak dengan cara
yang dapat dan memungkinkan terpikirkan oleh manusia sehingga hal- hal yang
mapan dan permanen harus di dekonstruksi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar