“Aku bersyukur dilahirkan di Indonesia, dimana senyum masih menjadi karakter, budaya masih apik terjaga, dan optimisme masih menyulut semangat. Aku berharap, anak-anakku kelak harus lebih bangga dariku dalam memandang dan memperjuangkan Indonesianya. Jaya Selalu Negeriku Indonesia, Jayalah Selama-lamanya”

Perspektif Posmodernisme


Oleh: Ahmad Anwar
Teori posmodernisme berupaya untuk membuat sadar para ilmuan atas penjara konseptual. Konseptual yang paling utama ialah modernitas itu sendiri, bahwa modernisasi menyebabkan kemajuan dan kehidupan yang lebih baik (Jackson & Sorensen 1999: 303). Modernitas dengan positivismenya lebih mengedepankan ilmu pengetahuan berdasarkan fakta-fakta empiris dan kebenaran objektif. Pokok utama teori posmodernisme adalah mengkritik asumsi dasar positivisme tersebut bahwa sebenarnya kebenaran yang ada adalah subjektif. Tokoh pemikirnya antara lain Michel Foucault, Nietzsche, dan Jacques Derrida.
Menurut pandangan posmodernis, pengetahuan dan kekuasaan itu saling mempengaruhi secara langsung  satu sama lain. Foucault memandang bahwa tidak ada kekuasaan tanpa adanya pembentukan korelatif atas sebuah bidang pengetahuan, begitu juga tidak ada ilmu pengetahuan yang tidak menyaratkan dan membentuk hubungan kekuasaan dalam waktu yang sama. Pengetahuan selalu digerakkan oleh kepentingan tertentu. Penelitian tidak sepenuhnya dilakukan demi kemajuan pengetahuan itu sendiri, tetapi juga dilakukan untuk mendukung suatu kepentingan yang memotorinya (Burchill, 1996: 245). Sehingga seperti teori kritis lainnya, menurut posmodernis suatu pengetahuan tidak bisa dikatakan bebas nilai.
Hal ini dikorelasikan oleh Foucault dalam metode Genealogy-nya. Genealogi memfokuskan pada usaha berusaha melacak pengertian suatu hal sesuai dengan arti originalnya, yang belum terungkap atau bahkan dikecualikan, seperti pada penulisan sejarah. Posmodernisme sangat skeptis dalam menggunakan metodologi historis. Kebenaran penulisan sejarah dipandang cenderung berisi pengulangan peristiwa-peristiwa dominan saja dan menghilangkan esensi sejarah lainnya. Sejarah sebagai pengetahuan merupakan kondisi yang tersituasi oleh kepentingan penguasa dan isu yang dominan saat itu (Devetak, 2000: 163). Perkembangan dan pergeseran jaman memberikan pengaruh yang kuat, sehingga sejarah tidak selamanya objektif. Kebenaran yang ada hanyalah subjektivitas dari individu-individu yang berbeda karenanya. Karakteristik penguasa negara juga mempengaruhi politik negaranya dalam membangun paradigma saat itu. Peran pengetahuan yang ada telah mampu melanggengkan dominasi terhadap kaum marjinal.

Kebenaran adalah sebuah kesalahan atau ketidakbenaran yang kemudian mengktristal menjadi kebenaran melalui proses sejarah yang panjang. Dalam perjalanannya, apa yang dianggap sebagai kebenaran ini disisipi oleh nilai-nilai kekuasaan, kepentingan, yang oleh aspek genealogi ditilik lebih dalam. Genealogi sendiri berawal dari pemikiran dasar yang disebut sebagai Cultural Turn, yaitu  bagaimana sebuah kekuatan mampu mempengaruhi perkembangan sebuah ilmu pengetahuan. Postmodernisme mengakui bahwa kekuasaan mampu menghasilkan ilmu pengetahuan. Hegemoni sebuah negara dapat membentuk sebuah perspektif yang pada akhirnya membentuk sebuah ilmu pengetahuan. Pengetahuan akan lebih condong terhadap pemaparan fakta dari seseorang yang memiliki kekuatan tersebut.
Oleh sebab itu, diperlukan sebuah rekonstruksi kritis terhadap hubungan antara ilmu pengetahuan dan kekuasaan. Para penganut postmodernisme beranggapan, tidak ada realita yang bernama rasio universal. Yang ada adalah relativitas dari eksistensi plural. Oleh karenanya, perlu diubah dengan cara berpikir dari totalitas menuju pluralitas dalam segala aspek kehidupan. Dari sini dapat diketahui, betapa postmodernisme sangat bertumpu pada pemikiran individualisme sehingga dari situlah muncul relativisme dalam pemikiran seorang postmodernis.
Konstruksi merupakan hal utama yang membentuk pandangan dan perspektif seseorang. Hal ini dianalogikan seperti dalam sebuah teks, fakta yang dipaparkan dalam sebuah teks bukanlah hal yang absolut, masih ada kebenaran lain yang mungkin tidak disertakan di dalam teks tersebut akibat persepsi dari masing-masing individu. Setiap teks juga berhubungan satu sama lain. Akibatnya, nilai-nilai kebenaran yang dipaparkan dalam sebuah teks bisa menjadi multi-interpretasi sehingga diperlukan dekonstruksi dan pembacaan ganda untuk meninjau ulang fakta kebenaran yang tertulis di dalam teks tersebut. Ada regime of truth yang sangat kuasa menciptakan kebenaran (truth/knowledge) atau memproduksi wacana (discourse).
Seperti yang dipercayai oleh Foucault, bahwa beberapa kelompok mempunyai kekuasaan untuk membuat klaim atas nama “seluruh umat manusia”. Dan menekankan sisi positif “otherness” yang menghargai perbedaan dari pengalaman manusia dan beragamnya perbedaan yang ada antara satu orang dengan yang lain. Selain itu teori Focault juga berpendapat bahwa tidak ada bentuk pengetahuan yang benar-benar murni. Semua pengetahuan tentang dunia dibangun dari sudut tertentu. Proyek dialog untuk mencapai kesepakatan hanya akan menggantikan hagemoni dari salah satu ke-ortodoks-an dengan yang lainnya. Kita tidak akan bisa terbebas dari relasi penting atas pengetahuan dan kekuasaan.
Posmodernis tetap percaya bahwa setiap fenomena yang terjadi adalah kurang lebih sama. Namun mereka mempunyai cara pandang yang berbeda atas setiap fenomena tersebut. Dasar pemikiran yang mereka usung adalah Cultural Turn yang kemudian melahirkan konsep genealogi. Cultural Turn dimaknai sebagai kesepakatan pemahaman yang berlaku umum atas suatu hal. Padahal sebenarnya setiap individu mempunyai inter-subjektif sendiri-sendiri. Sebagai contoh ketika seseorang menyampaikan sebuah maksud tertentu dengan istilah lain yang tidak umum maka hal ini akan mengurangi pemahaman lawan bicaranya. Namun kadang kita tahu bahwa substansi atau apa yang ia maksud sebenarnya dapat dipahami walaupun ternyata cara ia menyampaikan sesuatu berbeda dengan maknanya. Atau bahkan sama, hanya saja kita tidak menyadari ada yang berbeda. Maka posmodernis memahami bahwa cultural turn berlawanan dengan substansial.
Cultural turn ini terdiri dari beberapa konsep dasar. Di antaranya yaitu image, text, discourse dan language. Keempat hal ini mempunyai maksud dan pola yang kurang lebih sama. Image merupakan apa yang dibayangkan oleh seseorang atas suatu hal. Sebagai contoh ketika seseorang mendengar nama suatu negara, maka dalam pikiran mereka mungkin akan terbayang peta akan negara tersebut. Atau mungkin hal-hal lain yang mengidentikan dengan negara tersebut, karena setiap individu mempunyai cara pikir yang berbeda. Padahal diketahui apa yang ia bayangkan seakan-akan ia melihat secara langsung. Namun hal ini wajar, karena setidaknya image telah merepresentasikan dan menunjukkan pemahaman sesuatu.
Selanjutnya adalah Teks, seperti yang telah disinggung di atas. Sebuah teks selalu ditandai oleh dinamika terus menerus, yang tidak mungkin distabilkan ke dalam suatu tafsiran tunggal. Dasar pemikiran ini di perkenalkan oleh Derrida. Ia memulai filsafatnya dengan menafsirkan teks-teks filosofis lalu mencari kelemahan-kelemahan yang tersembunyi di dalamnya, sambil mempermainkan logika dan asumsi dalam teks. Dengan begitu, ia ingin menunjukkan bahwa tak ada makna yang stabil dalam teks. Hal ini kemudian digunakan sebagai reaksi dan kritik (sistematis) terhadap keseluruhan proyek teks modernisme di Barat yang pada dasarnya berintikan pandangan dunia yang berorientasi pada kemajuan (the idea of progress). Sejarah mencatat bahwa modernisme telah membawa Barat ke ambang kemajuan yang ditandai dengan kapitalisme dan individualisme serta kebangkitan Barat sebagai satu-satunya kekuatan peradaban.
Konsep selanjutnya yaitu discourse. Dalam sebuah konsep dikatakan diskursus, mengandung arti  yakni mekanisme cara mendapatkan pengetahuan,beserta praktek sosial yang menyertainya, bentuk subyektifitas yang terbentuk darinya, relasi berbagai kekuasaan yang ada dibalik pengetahuan dan praktek sosial tersebut serta saling keterkaitan diantara semua aspek. Realitas yang cukup jelas bagi postmodernisme adalah sikapnya dalam memahami fenomena modern yang bernama "pengetahuan", khususnya yang menyangkut  pengetahuan sosial. Ia memperkarakan tentang "Apa itu pengetahuan yang benar" secara genealogis dan arkeologis. Artinya, dengan melacak bagaimana pengetahuan itu telah beroperasi dan mengembangkan diri selama ini. Kategori-kategori konseptual dengan segala macamnya misalnya tentang  "kegilaan", "seksualitas", "manusia", ”gender” dan sebagainya yang biasanya dianggap "natural" itu sebetulnya adalah situs-situs produksi pengetahuan. Hal ini membawa implikasi tumbuhnya gerak mekanisme-mekanisme terselubung sebagai aparatus kekuasaan. Yakni kekuasaan untuk "mendefinisikan" siapa kita, untuk menjelaskan posisi dan kedudukan kita, untuk menggambarkan kita dan mereka, untuk mendeskripsikan yang superior dan inferior dan lain-lain.
Kemudian yang terakhir adalah Ide  yang menekankan pentingnya bahasa (Hermeneutik, Filologi)  dalam kehidupan manusia dengan segala konsep dan analisanya yang kompleks, ini sebagai antitesa atas kondisi modernisme atas kuasa tafsir oleh mesin birokrasi ilmu pengetahuan. Postmodernisme mengusung problem keterbatasan bahasa, khususnya keterbatasan fungsi deskriptif bahasa yang sangat terbatas. Bahasa haruslah dilihat melalui fungsi transformatifnya.
Pada akhirnya hubungan internasional pun menurut kaum posmodernis hanyalah sebuah cultural turn. Hubungan internasional merupakan sekumpulan image, text, discourse dan language. Sehingga postmodernisme  mengandung sejumlah  konseptualisasi yang kompleks. Postmodernisme memiliki pengertian yang cukup ambigu karena sifat inter-subjektif yang ditekankannya. Postmodernisme merupakan gabungan dan peleburan dari berbagaia gaya pemikiran filosofis. Yang kesemuanya dirangkum dan diikat oleh sebuah nalar unik dan seolah – olah tiada batasan  dengan rambu-rambu yang konkret dan jelas. Posmodernisme memberikan sudut pandang akan pentingnya ide tentang tumbuhnya kesadaran. Kesadaran yang dimaksud adalah pentingnya interdependensi secara radikal dari semua pihak dengan cara yang dapat dan memungkinkan terpikirkan oleh manusia sehingga hal- hal yang mapan dan permanen  harus di dekonstruksi.


Sumber Bacaan:

Burchill, Scott & Andrew Linklater. 2009. Teori-teori Hubungan Internasional. Bandung: Nusa Media
Burchill, Scott, Andrew Linklater, Richard Devetak, Jack Donnelly, Matthew Paterson, Christian, Reus-Smit and Jacqui True. 2005. Theories of International Relations. Basingstoke: Palgrave Macmillan
Jackson, Robert & George Sorensen. 2005. Pengantar Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar