Oleh: Anna Christy Swardi, Arief Muliawan, Bayu Setyawan, Citra Istiqomah, Novi Rizka Amalia
Soft power
adalah salah satu konsep yang diusung oleh Joseph S. Nye selain smart power. Soft power adalah sebuah istilah yang mulai banyak digunakan untuk
mengartikan atau menjelaskan sebuah proses relasi dan realisasi kekuasaan. Makna
soft power sendiri dapat dilihat dari
istilah ‘soft’ yang berarti ‘lunak’
atau ‘halus’ dan ‘power’, yakni suatu
kemampuan untuk melakukan segala sesuatu dan mengontrol pihak lain, untuk
membuatnya melakukan sesuatu yang belum tentu ingin mereka lakukan (“an
ability to do things and control others, to get others to do what they
otherwise would not”).[1]
Sehingga, soft power dapat
didefinisikan sebagai sebuah kemampuan suatu negara untuk mempengaruhi perilaku
negara lain dengan cara persuasif daripada dengan koersi atau maupun imbalan. Soft power ini bersumber dari
kebudayaan, nilai-nilai yang dianut dan elemen-elemen intangible lainnya yang menjadi daya tarik:
“ Soft power is the ability to get what you want through
attraction rather than through coercion or payments”[2]
– Joseph Nye
Menurut
Nye, soft power suatu negara bertumpu
pada tiga sumber: “budaya (di tempat-tempat menarik bagi orang lain),
nilai-nilai politik (ketika mereka hidup di dalam dan di luar negeri), dan
kebijakan luar negeri (saat orang lain melihat negara ini memiliki kepemilikan
yang sah atas suatu kebijakan politik dan otoritas.)”[3] Suatu
negara dapat memperoleh hasil yang diinginkan dalam politik dunia karena
negara-negara lain mengagumi nilai-nilainya, meniru contohnya, bercita-cita
untuk meningkatkan kemakmuran dan keterbukaan negaranya. Dalam pengertian ini
penting juga untuk mengatur agenda dan menarik pihak lain dalam politik dunia,
dan bukan hanya untuk memaksa mereka berubah dengan ancaman kekuatan militer
atau sanksi ekonomi tetapi juga dengan soft
power.
Beberapa
bentuk soft power antara lain ialah ideologi, teknologi, pendidikan,
dan kebudayaan. Dengan demikian, dalam mengejar kepentingan nasionalnya negara
tidak pernah bisa bertindak sendirian. Ia membutuhkan aktor-aktor lain seperti
agen-agen swasta, institusi keagamaan dan pendidikan, serta perusahaan
transnasional yang bergerak dalam bisnis perdagangan, komunikasi dan informasi,
seni, dan budaya (interdependence).
Konsep
ini mengacu pada kekuatan non-militer negara seperti perekonomian, budaya dan
hal-hal yang disebut kaum realis sebagai low
politics dibanding dengan hard power
seperti masalah pertahanan dan militer, soft power juga memiliki masalah yang
cukup kruisial bagi negara, menurut Joseph S Nye, “Soft power is more difficult,
because many of its crucial resources are outside the control of governments,
and their effects depend heavily on acceptance by the receiving audiences.
Moreover, soft power resources often work indirectly by shaping the environment
for policy, and sometimes take years to produce the desired outcomes.”[4]
[1] J.S. Nye, Jr., ‘Soft Power’,
dalam Foreign Policy, Twentieth Anniversary, No. 80, Autumun 1990, p.
154
[2]J.S. Nye, Soft Power and Higher Education, Harvard University, 2008, p. 11,
<http://net.educause.edu/ir/library/pdf/ffp0502s.pdf>, diakses 15 April 2013
[3] Op.Cit
[4]
J.S. Nye, SOFT POWER : The Means to
Succes in World Politics, Public Affairs, New York, 2004, p. 1
terimakasih buat tulisan nya ini, saya jadi ada gambaran tentang soft power, kebetulan saya sedang mengerjakan skripsi. BTW isi blognya sama dengan makul kuliah saya.
BalasHapussekali lagi terimakasih.
Too much helping ... Thank a lot !!! I'm student of international relatian and i am studying about these matery
BalasHapus