“Aku bersyukur dilahirkan di Indonesia, dimana senyum masih menjadi karakter, budaya masih apik terjaga, dan optimisme masih menyulut semangat. Aku berharap, anak-anakku kelak harus lebih bangga dariku dalam memandang dan memperjuangkan Indonesianya. Jaya Selalu Negeriku Indonesia, Jayalah Selama-lamanya”

Isu keamanan, perlengkapan militer, dan persenjataan


Oleh: Adi Rio Arianto Salamun, Arif Muliawan, Arizona Flora Krisandy, Farida Choirunisa, Diakonia Pungkassari, Evita, Frederik Sarira, Meutia Larasati, Muhtar Lutfi, Zulkifli H. Manna   
  Isu tentang proliferasi terlarang “small arms and light weapon (SALW)” pertama  kali diangkat dalam Resolusi Majelis Umum 1995 (A/RES/50/70B). [1] Ketika, dua kelompok tim yang dibentuk oleh Sekretaris Jenderal, mengeluarkan laporan pada dalam artikel (A/52/298 (1997) dan A/54/258 (1999)), keduanya menegaskan perlunya mengontrol bersama penyebaran senjata di seluruh dunia. Kerjasama multilateral ini telah menunjukkan langkah yang signifikan dengan dibentuknya Konferensi PBB tentang “Perdagangan Gelap Senjata Kecil dan Senjata Ringan” di semua aspek, yang berlangsung pada Juli 2001 di Markas Besar PBB di New York. Pada kesempatan ini, para negara peserta sepakat untuk mengadopsi Program Aksi (PoA) untuk mencegah, menangkis, dan memberantas perdagangan gelap SALW.
SALW termasuk dalam senjata konvensional, yaitu senjata yg lazim umum, biasa digunakan tidak termasuk senjata atom, nuklir, kuman (kimia dan biologi), dan senjata-senjata inkonvensional lainnya. Senjata konvensional dalam halini termasuk “Small arms include light weapons such as hand guns, pistols, sub-machine guns, mortars, landmines, grenades, and light missiles”.[2] Sedangkan, menurut PBB  small arms” adalah senjata-senjata yang khusus dibuat dengan spesifikasi militer yang di desain untuk digunakan secara perorangan, dan berbeda dari senjata berat yang membutuhkan beberapa orang untuk mengoperasikan dan memeliharanya.[3] Penyebaran gelap SALW telah membuktikan banyaknya jumlah kematian dalam konflik bersenjata sejak 1945.

Pada masa perang dingin SALW merupakan bagian dasar dari perlengkapan militer dan keamanan negara, tidak begitu kontroversial, dan seperti senjata pemusnah massal, penyebarannya tidak diatur. Pada akhir tahun 1990-an ada faktor yang telah membawa isu penyebaran SALW menjadi perhatian komunitas internasional.[4] Ada tiga isu penting dari masalah SALW. Pertama, kontrol terhadap SALW ini adalah sesuatu yang amat penting bagi agenda keamanan internasional.
Kedua, isu SALW lebih dari pada sekedar persoalan pengawasan dan pelucutan senjata. Ketiga, SALW tidak menyebar dengan sendirinya, tetapi senjata itu dirancang, diproduksi dandi beli sebagai respons atas permintaan pemerintah atau kelompok masyarakat untuk merespon tingkat keamanan negaranya.[5] SALW menjadi sebuah permasalahan yang sifatnya mendesak, artinya harus segera ditanggulangi dan mendapat perhatian baik oleh dunia internasional maupun oleh domestik negara-negara yang berkonflik agar tidak berakibat lebih buruk bagi stabilitas keamanan. Jika, terjadi instabilitas keamanan negara, maka akan berpengaruh dengan terjadinya instabilitas di dalam politik dan perekonomian. Hal ini dapat merugikan bagi pertumbuhan dan perkembangan negara-negara dalam usaha mencapai kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan seperti ekonomi, sosial dan politik.
Masalah peredaran SALW secara illegal telah muncul sebagai masalah global karena sumbanganya tehadap kekerasan, ancaman keamanan, dan instabilitas di berbagai kawasan, termasuk telah merusak pembangunan dan membahayakan keamanan manusia. Senjata kecil cenderung murah, ringan, dan mudah untuk diperoleh, termasuk mudah untuk disimpan dan disembunyikan. Sebuah penumpukan senjata kecil saja mungkin tidak menciptakan konflik di mana mereka digunakan, namun akumulasi yang berlebihan dan ketersediaan yang cukup luas memperburuk ketegangan. Kekerasan menjadi lebih mematikan dan berlangsung lebih lama, dan rasa tidak aman tumbuh, yang pada gilirannya menyebabkan permintaan yang lebih besar untuk senjata.[6] Ini penting karena akan “Supplying arms is to held fulfill the security requirements of allies and friends.”[7] Oleh karena itu senja dan keamanan internasional mestilah berjalan beriringan.  
Senjata juga menjadi kekuatan militer dan teknologi perang yang belum ada tandingannya. Oleh karena itu, keberhasilan pasukan AS menguasai negara-negara dominasinya dalam waktu yang relatif singkat telah mempertegas negara tersebut dalam hal dominiasi kepemilikan senjata sebagai kekuatan bagi negaranya, dan itu juga yang membuatnya masih menjadi sebagai adidaya tunggal (the only superpower) dalam menciptakan keamanan internasional di hampir seluruh kawasan dunia.


[1] Department of Foreign Affairs of the Republic of Indonesia, 2001, “United Nations Conference On The Illicit Trade In Small Arms And Light Weapons in All Its Aspects, hal. 53
[2]Philippe Riviere, in Small Arms Cover-up; The problem of proliferation, jurnal Le Monde diplomatique, January 2001.
[3] UN Document (A/52/298),  27 Agustus 1997, hal. 11
[4] David Capie, 2002,  Small Arms Production and Transfers in Southeast Asia . Canberra on Strategy and Defence No 146. Hal. 1
[5] Bantarto Bandoro, 2002, Senjata Ringan dan Kaliber Kecil : Sebuah Persoalan Rumit dengan Penanganan yang Sulit”, Analisis CSIS Vol 31 no 1. Hal 58.
[6]Dikshif, P, 1994, “Proliferation of Small Arms and Minor Weapons”, Jurnal Strategic Analysis, Vol. 17(2).
[7] Andrew J. Pierre, 1982. “The Global Politic of Arms Sales. UK: Princeton University Press, hal. 19

Tidak ada komentar:

Posting Komentar