Oleh: : Citra Istiqomah 13/352281/PSP/4666
Globalisasi tidak dapat dipungkiri memberi dampak yang sangat besar
terhadap dinamika kehidupan umat manusia, demikian pula terhadap dinamika
konflik dan kekerasan yang terjadi secara meluas di berbagai bidang, baik
politik, ekonomi, sosial, lingkungan hidup, maupun aspek-aspek lainnya. Di
sinilah pentingnya letak bina-damai (peacebuilding)
dalam menyelesaikan konflik yang terjadi dan mengelola situasi perdamaian
pasca-konflik. Pasca Perang Dingin, dunia dihadapkan pada berbagai
isu yang sangat bervariasi. Negara dianggap tidak lagi mampu menangani seluruh
persoalan tersebut, sehingga peran aktor-aktor non-negara menjadi penting dalam
proses penanganan konflik. Baik Fisher maupun Pugh dalam tulisannya menekankan urgensi
hal tersebut, dimana terjadi changing
patterns of power dan kekuasaan menjadi terdistribusikan. Negara memiliki
peran yang relatif kecil, dan agaknya muncul aktor-aktor baru yang memiliki
pengaruh lebih besar terhadap pasang-surut persoalan-persoalan yang timbul dan bersifat
konfliktual. Keduanya sama-sama menekankan pentingnya aktivisme masyarakat
sipil (civil society) dalam mengelola
kondisi perdamaian yang lebih stabil. Ini dapat dipahami karena pada hakikatnya
basis rekonsiliasi berada pada kemauan setiap individu untuk menghentikan
konflik.
Menurut
Pugh yang juga menekankan pentingnya peran masyarakat sipil, kondisi
konfliktual pada dasarnya bersumber dari struktur ekonomi liberal yang membuat
perdamaian yang tadinya akan disepakati bersama justru menjadi kacau karena
monopoli sejumlah pihak yang berkuasa dan memanfaatkan kekuasaan tersebut untuk
melegitimasi penggunaan sumber daya yang seharusnya menjadi milik bersama. Oleh
sebab itu, ia menekankan pada pentingnya integrasi aktor, termasuk engage dengan masyarakat sipil. Meskipun
muncul inisiatif dari entitas supranasional dan organisasi internasional seperti
PBB, khususnya UN Peacebuilding dalam
menangani konflik secara internasional, ini tidaklah cukup. Peran UN Peacebuilding sebagai salah satu agen
besar yang mengelola upaya bina-damai di daerah-daerah konflik di seluruh dunia
menurutnya semakin lama semakin lemah, terfragmentasi, dan ambigu, bahkan sarat
dengan kepentingan politik negara. Di sinilah letak urgensi peran masyarakat
sipil yang tidak terikat pada kepentingan-kepentingan politik untuk turut
menangani konflik.
Persoalannya,
apakah setiap orang mau melakukannya atau memilih untuk menutup mata dan tidak
ikut campur mengenai kondisi yang sebenarnya terjadi? Meskipun bina-damai pada
dasarnya merupakan aktivitas yang semestinya berada dalam kesadaran masyarakat,
seringkali upaya-upaya penanganan konflik oleh peacebuilders juga tidak relevan terhadap perubahan riil dan tidak
tahu tujuan paling riil dari bina-damai itu sendiri. Terdapat banyak opsi yang
digunakan untuk memetakan perdamaian, tetapi pada kenyataannya selalu hanya
menjadi teori dan kurang dipraktekkan. Peacebuilders
umumnya terjebak pada metode-metode teknis dalam pendekatan perdamaian untuk
menyelesaikan konflik, bukan transformatif. Oleh karena itulah Fisher dan
Zimina menyebutnya ibarat “just nice
people wasting their time”. Selain itu, hal mendasar yang seringkali juga
menjadi hambatan dalam proses rekonsiliasi konflik ialah adanya spoiler atau pihak-pihak yang ingin
mencegah rekonsiliasi. Tak jarang masyarakat sipil pun absen dari proses
rekonsiliasi dan bina-damai itu sendiri. Sejalan dengan itu pula, terjadi
hambatan-hambatan lain dalam upaya bina-damai, seperti over-simplifikasi
masalah, penyelesaian konflik yang sebatas bertujuan menyudahi konflik namun
tidak menyentuh pada akarnya, hingga persoalan kalkulasi biaya yang besar yang
seringkali menjadi penghalang bagi terwujudnya perdamaian positif.
Dari
sini, hal lain yang tidak kalah penting selain aktivisme masyarakat sipil dalam
proses bina-damai adalah pendekatan yang digunakan untuk menyelesaikan konflik.
Pendekatan transformatif yang menekankan pada penyelesaian konflik dengan
melihat pada akar masalahnya serta menjaga perdamaian agar lebih long-lasting seharusnya lebih
dipraktekkan dalam proses bina-damai. Menurut John Paul Lederach, kita
seharusnya memandang penyelesaian konflik lebih dari sekedar resolusi, namun
juga transformasi, yang dilandasi oleh framework
isi, konteks, dan struktur hubungan antarpihak.[1] Kita
harus melihat penyebab konflik pada akar sosialnya. Resolusi dan pendekatan
teknis bersifat sempit. Ia mungkin menyelesaikan masalah, tapi tidak melihat
potensi yang jauh lebih besar untuk perubahan yang konstruktif ke depannya.
Elemen
lain yang tidak kalah pentingnya dalam pendekatan transformatif dalam
bina-damai ialah penekanan pada pentingnya membina hubungan antarpihak yang
mulanya berkonflik yang tidak ditekankan dalam penyelesaian yang semata
bersifat resolutif. Oleh karena itu, saya sangat setuju terhadap pentingnya
menggunakan pendekatan transformatif, termasuk non-violence action dalam proses rekonsiliasi dan bina-damai
seperti yang ditekankan oleh Fisher dan Zimina dalam tulisannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar