“Aku bersyukur dilahirkan di Indonesia, dimana senyum masih menjadi karakter, budaya masih apik terjaga, dan optimisme masih menyulut semangat. Aku berharap, anak-anakku kelak harus lebih bangga dariku dalam memandang dan memperjuangkan Indonesianya. Jaya Selalu Negeriku Indonesia, Jayalah Selama-lamanya”

Response Paper fondation and Peace Studies


Oleh: Citra Istiqomah  13/352281/PSP/4666


Globalisasi tidak dapat dipungkiri memberi dampak yang sangat besar terhadap dinamika kehidupan umat manusia, demikian pula terhadap dinamika konflik dan kekerasan yang terjadi secara meluas di berbagai bidang, baik politik, ekonomi, sosial, lingkungan hidup, maupun aspek-aspek lainnya. Di sinilah pentingnya letak bina-damai (peacebuilding) dalam menyelesaikan konflik yang terjadi dan mengelola situasi perdamaian pasca-konflik. Pasca Perang Dingin, dunia dihadapkan pada berbagai isu yang sangat bervariasi. Negara dianggap tidak lagi mampu menangani seluruh persoalan tersebut, sehingga peran aktor-aktor non-negara menjadi penting dalam proses penanganan konflik. Baik Fisher maupun Pugh dalam tulisannya menekankan urgensi hal tersebut, dimana terjadi changing patterns of power dan kekuasaan menjadi terdistribusikan. Negara memiliki peran yang relatif kecil, dan agaknya muncul aktor-aktor baru yang memiliki pengaruh lebih besar terhadap pasang-surut persoalan-persoalan yang timbul dan bersifat konfliktual. Keduanya sama-sama menekankan pentingnya aktivisme masyarakat sipil (civil society) dalam mengelola kondisi perdamaian yang lebih stabil. Ini dapat dipahami karena pada hakikatnya basis rekonsiliasi berada pada kemauan setiap individu untuk menghentikan konflik.
Menurut Pugh yang juga menekankan pentingnya peran masyarakat sipil, kondisi konfliktual pada dasarnya bersumber dari struktur ekonomi liberal yang membuat perdamaian yang tadinya akan disepakati bersama justru menjadi kacau karena monopoli sejumlah pihak yang berkuasa dan memanfaatkan kekuasaan tersebut untuk melegitimasi penggunaan sumber daya yang seharusnya menjadi milik bersama. Oleh sebab itu, ia menekankan pada pentingnya integrasi aktor, termasuk engage dengan masyarakat sipil. Meskipun muncul inisiatif dari entitas supranasional dan organisasi internasional seperti PBB, khususnya UN Peacebuilding dalam menangani konflik secara internasional, ini tidaklah cukup. Peran UN Peacebuilding sebagai salah satu agen besar yang mengelola upaya bina-damai di daerah-daerah konflik di seluruh dunia menurutnya semakin lama semakin lemah, terfragmentasi, dan ambigu, bahkan sarat dengan kepentingan politik negara. Di sinilah letak urgensi peran masyarakat sipil yang tidak terikat pada kepentingan-kepentingan politik untuk turut menangani konflik.

Persoalannya, apakah setiap orang mau melakukannya atau memilih untuk menutup mata dan tidak ikut campur mengenai kondisi yang sebenarnya terjadi? Meskipun bina-damai pada dasarnya merupakan aktivitas yang semestinya berada dalam kesadaran masyarakat, seringkali upaya-upaya penanganan konflik oleh peacebuilders juga tidak relevan terhadap perubahan riil dan tidak tahu tujuan paling riil dari bina-damai itu sendiri. Terdapat banyak opsi yang digunakan untuk memetakan perdamaian, tetapi pada kenyataannya selalu hanya menjadi teori dan kurang dipraktekkan. Peacebuilders umumnya terjebak pada metode-metode teknis dalam pendekatan perdamaian untuk menyelesaikan konflik, bukan transformatif. Oleh karena itulah Fisher dan Zimina menyebutnya ibarat “just nice people wasting their time”. Selain itu, hal mendasar yang seringkali juga menjadi hambatan dalam proses rekonsiliasi konflik ialah adanya spoiler atau pihak-pihak yang ingin mencegah rekonsiliasi. Tak jarang masyarakat sipil pun absen dari proses rekonsiliasi dan bina-damai itu sendiri. Sejalan dengan itu pula, terjadi hambatan-hambatan lain dalam upaya bina-damai, seperti over-simplifikasi masalah, penyelesaian konflik yang sebatas bertujuan menyudahi konflik namun tidak menyentuh pada akarnya, hingga persoalan kalkulasi biaya yang besar yang seringkali menjadi penghalang bagi terwujudnya perdamaian positif.
Dari sini, hal lain yang tidak kalah penting selain aktivisme masyarakat sipil dalam proses bina-damai adalah pendekatan yang digunakan untuk menyelesaikan konflik. Pendekatan transformatif yang menekankan pada penyelesaian konflik dengan melihat pada akar masalahnya serta menjaga perdamaian agar lebih long-lasting seharusnya lebih dipraktekkan dalam proses bina-damai. Menurut John Paul Lederach, kita seharusnya memandang penyelesaian konflik lebih dari sekedar resolusi, namun juga transformasi, yang dilandasi oleh framework isi, konteks, dan struktur hubungan antarpihak.[1] Kita harus melihat penyebab konflik pada akar sosialnya. Resolusi dan pendekatan teknis bersifat sempit. Ia mungkin menyelesaikan masalah, tapi tidak melihat potensi yang jauh lebih besar untuk perubahan yang konstruktif ke depannya.
Elemen lain yang tidak kalah pentingnya dalam pendekatan transformatif dalam bina-damai ialah penekanan pada pentingnya membina hubungan antarpihak yang mulanya berkonflik yang tidak ditekankan dalam penyelesaian yang semata bersifat resolutif. Oleh karena itu, saya sangat setuju terhadap pentingnya menggunakan pendekatan transformatif, termasuk non-violence action dalam proses rekonsiliasi dan bina-damai seperti yang ditekankan oleh Fisher dan Zimina dalam tulisannya.


[1] J.P. Lederach, The Little Book of Conflict Transformation, Good books, 2003, p. 12.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar