“Aku bersyukur dilahirkan di Indonesia, dimana senyum masih menjadi karakter, budaya masih apik terjaga, dan optimisme masih menyulut semangat. Aku berharap, anak-anakku kelak harus lebih bangga dariku dalam memandang dan memperjuangkan Indonesianya. Jaya Selalu Negeriku Indonesia, Jayalah Selama-lamanya”

Stigma bergerak, Failing States, dan Keamanan Internasional


Oleh: Adi Rio Arianto Salamun, Arif Muliawan, Arizona Flora Krisandy, Farida Choirunisa, Diakonia Pungkassari, Evita, Frederik Sarira, Meutia Larasati, Muhtar Lutfi, Zulkifli H. Manna     
Meski telah ada institusi-institusi global yang dibangun dalam rangka menjamin keamanan internasional, tetap saja ancaman tersebut muncul. Dengan kondisi tersebut, maka tidak mengherankan jika negara dalam kategori “weak states” atau bahkan “failing states” tetap mengandalkan kemampuannya sendiri dalam menjamin keamanannya. Oleh sebab itu, menjadi sebuah keharusan bagi negara tersebut untuk mengusahakan kekuasaan bagi negara mereka. Problematisnya adalah keharusan usaha tersebut mengundang perimbangan kebijakan keamanan seperti halnya negara-negara lemah lain bisa mengambil mendefenisikan keamanan mereka.[1]
Perang yang terjadi akan menjadi tolak ukur bagi besaran relative kekuasaan negara. Bahkan ketikan masing-masing pihak hanya fokus untuk menyiagakan kebijakan pertahanan agar tidak diserang, dengan sendirinya akan lahir asumsi mengenai niatan terburuk yang dari yang lain bagi keamanan nasional.[2]Asumsi yang sama pula mampu menjelaskan bagaimana kebijakan mengenai perang preventif dan pre-emptive antara negara yang kuat dan lemah, atau antar negara yang mapan dan gagal “failing states”. Ketidakpastian dan kecemasan terkait potensi ancaman dari berbagai bidang menjadi pertimbangan bagi kebijakan perang yang kemudian dibuat. Dengan kondisi yang serba tidak menentu tersebut, maka kaum realis mendefinisikan keamanan dalam konteks tradisional. Ini adalah stigma bergerak dalam memahami jalur keamanan internasional.
Belajar dari pengalaman agresi militer AS dan sekutu di Iraq, serta invasi-invasi di wilayah lain, terlihat pola yang diterapkan. Tahapan awal biasanya pemberian cap terhadap negara atau wilayah yang akan diinvasi. Misalnya cap atau stigma pelanggaran hak asazi manusia (HAM), pemimpin otoriter, tidak demokratis, senjata pemusnah massal, genosida, membiayai atau sarang teroris, demi stabilitas keamanan dsb. Tahap berikutnya menggalang opini dunia, meminta restu dan dukungan melalui pembuatan agitasi, yaitu skenario peristiwa besar bahwa seolah-olah stigma itu nyata dan benar adanya. Tahap puncak biasanya invasi militer ke wilayah yang ditarget.

Sedangkan “stigma bergerak” contohnya kejatuhan Saddam Hussein. Awal invasi Barat di negeri 1001 malam, cuma berdasarkan asumsi bahwa Iraq menyimpan senjata pemusnah massal. Ketika Iraq sudah luluh-lantak dan ternyata tidak terbukti, maka stigma bergeser  “melawan pimpinan otoriter”. Dan tatkala Saddam Hussein telah digantung mirip kambing korban (eksekusi Saddam bertepatan Hari Raya Korban bagi umat Muslim), stigmanya berubah menjadi “demi stabilitas keamanan”, demikian seterusnya stigma berubah menyesuaikan situasi aktual di lapangan. 
Sejak serangan 11 September 2001 terjadi, AS telah menyatakan keseriusanya dalam memberantas terorisme internasional, dan stigma bergerak dilancarkan dalam operasi ini. Setidaknya hal ini dapat jelas terlihat dalam laporan Quadrennial Defense Review (QDR) 2001, yang dikeluarkan dua minggu setelah serangan terjadi, mengalami perubahan dalam strategi dan arah kepentingannya terutama dalam meningkatkan kemampuan mengamankan bagi perlindungan keamanan warga negara AS.
Cara pandang AS terhadap konsep keamanan secara otomatis juga berubah. AS tidak dapat lagi membanggakan kompleksitas institusi keamanan domestiknya yang selama ini dianggap terlengkap dan tercanggih di dunia, pada kenyataannya tidak memberikan garansi keamanan apa pun, terutama dari ancaman yang bersifat asimetris (non-state actor). Pemikiran yang kemudian mendorong AS menitikberatkan pengembangan militernya pasca 11 September adalah bahwa dilihat dari perpektif militer, serangan yang terjadi dengan mudah tanpa resistensi yang berarti dari pihak yang berwenang di AS pada saat itu telah memperlihatkan kelemahan intelejen dan badan pertahanan AS. Merujuk uraian singkat “stigma begerak” diatas, maka deklarasi Obama di Ceko agar dunia bebas nuklir, menimbulkan pertanyaan besar: jangan-jangan kampanye “dunia tanpa nuklir” merupakan embrio dari stigma baru yang dirancang AS, ketika ia dan sekutu kewalahan menghadapi para militan (Islam) di Iraq, Afghanistan dan Pakistan. Artinya, apakah bakal ada “lahan baru” yang merupakan target AS berikutnya. Maka ketika kini muncul WikiLeaks dengan berbagai bocoran rahasia yang cenderung mengadu-domba intra state dan inter state, apakah ini bukan bagian propagandanya. Tercatat di media hanya dua kepala pemerintahan yang tak percaya (Iran dan Turki), entah yang lainnya. Dunia memang perlu waspada dalam membangun keamanannya.


[1] Jill Steans dan Lloyd Pettiford, 2009, Hubungan Internasional; Perspektif dan Tema, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 70.
[2] J. Marshall Beier, 2008, Thinking and Rethinking the Causes of War, dalam Contemporary Security and Strategy (Craig A. Snyder; eds.), New York: Palgrave Macmillan. Hal. 80.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar