Oleh: Adi Rio Arianto Salamun, Arif Muliawan, Arizona Flora Krisandy, Farida Choirunisa, Diakonia Pungkassari, Evita, Frederik Sarira, Meutia Larasati, Muhtar Lutfi, Zulkifli H. Manna
Meski telah ada institusi-institusi global yang
dibangun dalam rangka menjamin keamanan internasional, tetap saja ancaman
tersebut muncul. Dengan kondisi tersebut, maka tidak mengherankan jika negara
dalam kategori “weak states” atau bahkan “failing states” tetap mengandalkan
kemampuannya sendiri dalam menjamin keamanannya. Oleh sebab itu, menjadi sebuah
keharusan bagi negara tersebut untuk mengusahakan kekuasaan bagi negara mereka.
Problematisnya adalah keharusan usaha tersebut mengundang perimbangan kebijakan
keamanan seperti halnya negara-negara lemah lain bisa mengambil mendefenisikan
keamanan mereka.[1]
Perang yang terjadi akan menjadi tolak ukur bagi
besaran relative kekuasaan negara. Bahkan ketikan masing-masing pihak hanya
fokus untuk menyiagakan kebijakan pertahanan agar tidak diserang, dengan
sendirinya akan lahir asumsi mengenai niatan terburuk yang dari yang lain bagi
keamanan nasional.[2]Asumsi
yang sama pula mampu menjelaskan bagaimana kebijakan mengenai perang preventif dan pre-emptive antara negara
yang kuat dan lemah, atau antar negara yang mapan dan gagal “failing states”. Ketidakpastian dan
kecemasan terkait potensi ancaman dari berbagai bidang menjadi pertimbangan
bagi kebijakan perang yang kemudian dibuat. Dengan kondisi yang serba tidak
menentu tersebut, maka kaum realis mendefinisikan keamanan dalam konteks tradisional.
Ini adalah stigma bergerak dalam memahami jalur keamanan internasional.
Belajar dari pengalaman agresi militer AS dan sekutu
di Iraq, serta invasi-invasi di wilayah lain, terlihat pola yang diterapkan.
Tahapan awal biasanya pemberian cap terhadap negara atau wilayah yang akan
diinvasi. Misalnya cap atau stigma pelanggaran hak asazi manusia (HAM),
pemimpin otoriter, tidak demokratis, senjata pemusnah massal, genosida,
membiayai atau sarang teroris, demi stabilitas keamanan dsb. Tahap berikutnya
menggalang opini dunia, meminta restu dan dukungan melalui pembuatan agitasi,
yaitu skenario peristiwa besar bahwa seolah-olah stigma itu nyata dan benar
adanya. Tahap puncak biasanya invasi militer ke wilayah yang ditarget.
Sedangkan “stigma bergerak” contohnya kejatuhan
Saddam Hussein. Awal invasi Barat di negeri 1001 malam, cuma berdasarkan asumsi
bahwa Iraq menyimpan senjata pemusnah massal. Ketika Iraq sudah luluh-lantak
dan ternyata tidak terbukti, maka stigma bergeser “melawan pimpinan otoriter”. Dan tatkala
Saddam Hussein telah digantung mirip kambing korban (eksekusi Saddam bertepatan
Hari Raya Korban bagi umat Muslim), stigmanya berubah menjadi “demi stabilitas
keamanan”, demikian seterusnya stigma berubah menyesuaikan situasi aktual di
lapangan.
Sejak serangan 11 September 2001 terjadi, AS telah
menyatakan keseriusanya dalam memberantas terorisme internasional, dan stigma
bergerak dilancarkan dalam operasi ini. Setidaknya hal ini dapat jelas terlihat
dalam laporan Quadrennial Defense Review (QDR) 2001, yang dikeluarkan
dua minggu setelah serangan terjadi, mengalami perubahan dalam strategi dan
arah kepentingannya terutama dalam meningkatkan kemampuan mengamankan bagi
perlindungan keamanan warga negara AS.
Cara pandang AS terhadap konsep keamanan secara
otomatis juga berubah. AS tidak dapat lagi membanggakan kompleksitas institusi
keamanan domestiknya yang selama ini dianggap terlengkap dan tercanggih di
dunia, pada kenyataannya tidak memberikan garansi keamanan apa pun, terutama
dari ancaman yang bersifat asimetris (non-state actor). Pemikiran yang
kemudian mendorong AS menitikberatkan pengembangan militernya pasca 11
September adalah bahwa dilihat dari perpektif militer, serangan yang terjadi
dengan mudah tanpa resistensi yang berarti dari pihak yang berwenang di AS pada
saat itu telah memperlihatkan kelemahan intelejen dan badan pertahanan AS. Merujuk
uraian singkat “stigma begerak” diatas, maka deklarasi Obama di Ceko agar dunia
bebas nuklir, menimbulkan pertanyaan besar: jangan-jangan kampanye “dunia tanpa
nuklir” merupakan embrio dari stigma baru yang dirancang AS, ketika ia dan
sekutu kewalahan menghadapi para militan (Islam) di Iraq, Afghanistan dan
Pakistan. Artinya, apakah bakal ada “lahan baru” yang merupakan target AS
berikutnya. Maka ketika kini muncul WikiLeaks dengan berbagai bocoran rahasia
yang cenderung mengadu-domba intra state dan inter state, apakah ini bukan
bagian propagandanya. Tercatat di media hanya dua kepala pemerintahan yang tak
percaya (Iran dan Turki), entah yang lainnya. Dunia memang perlu waspada dalam
membangun keamanannya.
[1] Jill Steans dan Lloyd Pettiford, 2009, Hubungan Internasional;
Perspektif dan Tema, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 70.
[2] J. Marshall Beier, 2008, Thinking and Rethinking the Causes of War,
dalam Contemporary Security and Strategy (Craig A. Snyder; eds.), New York:
Palgrave Macmillan. Hal. 80.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar