Oleh: Adi Rio Arianto Salamun, Arif Muliawan, Arizona Flora Krisandy, Farida Choirunisa, Diakonia Pungkassari, Evita, Frederik Sarira, Meutia Larasati, Muhtar Lutfi, Zulkifli H. Manna
Abstract
This paper
explains about the definition of democracy and globalization, its effects in
level of global, in this case the WTO justice and equality mean to be respected
as democratic organizations. As long as we know like Prof. Budi Winarno
analytically explained, that
democracy and globalization has impact the WTO policy, such promise not only
economic growth but also new system that unifies the world as one place, called
democratic as one world government (cosmopolitanism). This idea, even until
now, WTO creates pro and contra in case of “undemocratic situations” such: “no one
man, one vote”, “the role of green room”, and “the decision making process” in WTO. The collaboration between globalization, commercialization
and capitalism increasingly erode the principle of autonomy of the WTO that
skepticism towards liberal democracy excellence in the welfare and prosperity
of the member. Followed by erosion and the shift WTO orientation make this
organization creating crisis of democracy which is restrain from ideally
democratic organization as Prof. Budi Winarno offers cosmopolitan democracy
(democracy cosmopolitan vision) in WTO as a solution. Hopefully this article will bring clarity of democracy
and globalization in internal WTO as a whole.
Keyword:
Demokrasi liberal, globalisasi,
prinsip WTO, krisis demokrasi,
dan demokrasi kosmopolitan.
A.
Pendahuluan
Lembaga-lembaga
multilateral seperti IMF, Bank Dunia, dan WTO tidak hanya mempunyai kekuasaan ekonomi,
tetapi juga politik yang sangat besar.[1]
Lembaga-lembaga ini diharapkan agar bersifat bijak atau pro terhadap keadilan
demi mensejahterakan dan memakmurkan masyarakat internasional atau dunia.
Tetapi yang terjadi malah ketimpangan, karena mereka bertolak belakang dengan
tujuan awal
didirikannya lembaga tersebut, dimana
keberadaannya lebih merefleksikan kepentingan-kepentingan perusahaan
transnasional dibandingkan dengan warga negara diseluruh dunia. Makanya didalam lembaga-lembaga
yang melampaui kekuatan negara telah terjadi pembajakan demokrasi (garis miring istilah dari demos).
WTO
sebagai organisasi internasional mengalami perkembangan sesuai dengan kondisi
zaman kontemporer. Seiring dengan perkembangan
itu, maka tidak menutup kemungkinan dalam WTO kebijakan yang mendasari
pendiriannya mengalami proses pergeseran sehingga melahirkan situasi “krisis
demokrasi” dalam pengambilan kebijakan.
WTO, merupakan sebuah organisasi perdagangan
internasional yang dibentuk pada tanggal 15 April 1994 di Marakesh, Maroko
setelah perundingan panjang mengenai perdagangan dunia yang disebut Putaran
Uruguay dan hingga kini telah menaungi 153 negara di dalamnya. Organisasi ini
berfungsi sebagai forum bagi kerjasama internasional dalam hal kebijakan
perdagangan antarnegara.
WTO berlaku efektif sejak 1 Januari 1995. Dalam
membuat kebijakan, negara-negara anggota WTO menerapkan prinsip konsensus. Di
mana konsensus ini membutuhkan pemungutan suara atau voting. Dalam
meberikan voting ini akan didasarkan pada andil perdagangan yang
dilakuka suatu negara. Sebagai contoh, Amerika Serikat memiliki 17% suara,
sedangkan negara berkembang yang memiliki andil perdagangan kurang dari 1% dari
perdagangan dunia juga memiliki kurang dari 1% suara. Namun, jalan ini ternyata
mendapat banyak kritikan, sebagai akibat dari melencengnya penggunaan hak
voting dalam menjalankan prinsip WTO. Ssejalan dengan pendapat dari Hoekman bahwa “There has been much criticism of the
WTO decision making process as being undemocratic, non-transparent and
accountable to none. War on Want, a British NGO fighting poverty in developing
countries.”[2]
Dalam pelaksanaan tugasnya, WTO berupaya untuk
membangun skema perekonomian yang sehat bagi semua negara anggota dengan cara
membentuk kerangka kebijakan perdagangan yang dapat menfasilitasi kepentingan
setiap negara dalam hal perdagangan internasional. Kerangka untuk mengatur
kebijakan perdagangan ini tertuang dalam prinsip-prinsip WTO yang menjadi dasar
dari sistem perdagangan multilateral. Selain itu, WTO juga memiliki perangkat
pengambilan keputusan dalam rapat-rapat penting anatar anggota. Namun, melihat
semakin meluasnya keanggotaan WTO maka tidak bias dihindari munculnya dominasi
kepentingan anatara-negara-negara yang memiliki kepentingan besar dalam setiap
agenda yang diluncurkan oleh WTO dibawah rejim yang sangat didominasi oleh negara
maju.
B. Prinsip
penting dalam WTO[3]
1. Nondiscrimination
Dalam prinsip nondiscrimination ini, terdapat
dua komponen, yaitu most-favored nation dan prinsip national
treatment. Dan intinya, di bawah kesepakatan WTO, negara-negara anggota
tidak bisa secara sengaja mendiskriminasi partner dagang mereka. Jika suatu
negara memberlakukan “special favor” seperti menurunkan pajaknya terhadap satu
negara, maka negara tersebut harus memberlakukan hal yang sama terhadap semua
negara anggota WTO
2. Reciprocity
Resiprocity merupakan
elemen fundamental dalam proses negosiasi merupakan aturan timbal balik, bila
suatu negara mereduksi hambatan perdagangannya, maka negara tersebut juga
berhak menerima hal yang sama dari negara lain.
3. Binding and Enforceable Commitment
Prinsip ini berarti bahwa komitmen tarif yang telah
dibentuk negara anggota WTO dalam negosiasi perdagangan multilateral memiliki
sifat “ceiling binding”, mengikat secara hukum , namun juga bersifat terbatas.
4. Transparency
Merupakan pilar dasar di mana WTO berupaya untuk
menciptakan peraturan perdagangan yang jelas dan terbuka. Termasuk di dalamnya
kewajiban anggota WTO untuk mempublikasikan regulasi perdagangannya.
5. Safety Valve
Dalam prinsip ini negara diizinkan untuk membatasi
perdagangannya dalam kondisi tertentu. Termasuk di dalamnya adalah melakukan
proteksinisme terhadap masuknya barang produksi Negara terntu yang tidak sesuai
dengan kebutuhan Negara.
B.
Undemocratic Situations dalam WTO
Meskipun WTO memiliki prinsip-prinsip yang mengikat
para anggotanya, pada kenytaannya prinsip-prinsip ini telah mencerminkan munculnya
kondisi yang tidak adil dari semua anggotanya terutama negara-negara miskin dan
negara berkembang. Jika dikaji satu persatu, sebenarnya prinsip-prinsip WTO
telah mempertimbangkan kondisi-kondisi yang mungkin terjadi terutama pada
negara miskin dan berkembang, dalam rangka menciptakan perdagangan yang adil,
terbuka dan menghindari persaingan yang tidak sehat antar negara.
Misalnya pada prinsip pertama, nondiscrimination. WTO juga memberlakukan beberapa pengecualian.
Misalnya, negara bisa membentuk kesepakatan pasar bebas yang hanya berlaku pada
barang-barang yang diperdagangkan di dalam grup. Selain itu, WTO juga bisa
memberikan akses spesial kepada negara berkembang ke dalam pasar negara lain. Atau,
suatu negara juga bisa memberlakukan “barier”
terhadap produk yang dianggap diperdagangkan secara tidak adil dari negara
tertentu. Dan untuk sektor jasa, dalam kondisi tertentu negara juga
diizinkan untuk melakukan diskriminasi. Walaupun kesepakatan WTO hanya
memperbolehkan pengecualian ini dalam kondisi-kondisi tertentu yang sangat strict.
Dan berkaitan dengan “national treatment”, prinsip ini hanya berlaku jika barang, jasa
atau item properti intelektual itu
telah memasuki pasar. Selain itu, pembebanan pajak atas produk impor juga bukan
bentuk pelanggaran dari prinsip national treatment bahkan bila produk lokal
tidak dibebankan pajak. Jadi, negara berkembang tetap bisa melindungi produk
dalam negerinya dengan pemberlakuan pajak impor.
Selain itu, prinsip tentang pasar bebas yang
dianjurkan oleh WTO juga dilakukan secara bertahap dan juga melalui negosiasi.
Jadi tidak serta merta langsung harus diterapkan negara segera setelah negara
itu bergabung dengan WTO. Dalam kesepakatannya, WTO membolehkan negara
memperkenalkan perubahan perdagangan tersebut secara bertahap melalui “progressive liberalization”. Di mana
dalam hal ini negara berkembang biasanya diberikan waktu yang lebih lama untuk
memenuhi kewajibannya ini. Namun, negara maju dituntut harus segera
memberlakukannya.
Dalam kondisi tertentu, sistem WTO juga memungkinkan
tarif, begitupun kebijakan proteksi, WTO juga memberikan izin dalam kondisi
tertentu. Hal ini dilakukan WTO untuk membentuk sistem aturan yang terbuka,
adil, dan kompetisi yang tidak sehat. Kompetisi terjadi antar negara yang telah
siap untuk berkompetisi. Terkait dengan prinsip binding, negara juga diperbolehkan mengubah binding nya,
namun hanya setelah bernegosiasi dengan partner dagangnya. Hal ini berarti WTO
memungkinkan upaya kompensasi untuk menghindari kerugian pada saat melakukan
perdagangan.
Namun, walaupun prinsip WTO ini sudah dibuat dengan
penuh pertimbangan dengan melihat kondisi-kondisi negara yang tidak sama,
prinsip WTO ini masih memiliki kelemahan yang membuatnya menjadi tidak adil.
Misalnya, dalam prinsip most-favoured nation. Dalam prinsip ini,
dimungkinkan untuk mengurangi biaya negosiasi, karena negosiasi cukup dilakukan
dengan beberapa negara saja. Dan keputusan akan berlaku pada semua negara.
Walaupun secara ekonomi, biaya untuk melakukan pertemuan bisa dikurangi. Namun
hal yang paling esensi dalam proses pengambilan keputusan adalah melibatkan
semua pihak-pihak yang tergabung di dalamnya. Sehingga walaupun pada akhirnya
keputusannya tetap sama, setidaknya negara berkembang / negara miskin memiliki
kesempatan untuk menyampaikan aspirasi atau setidaknya mendapatkan pengecualian
atas kebijakan tertentu.
Selain itu, walaupun prinsip-prinsip WTO ini secara
tertulis telah mencerminkan kebaikan dan keadilan bagi negara anggotanya.
Kenyataan dan realita di lapangan bisa saja berkata lain. Hingga hari ini,
negara-negara maju seperti negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa sendiri
yang melanggar prinsip-prinsip WTO. Kebanyakan negara Eropa “Keynes at home, Smith abroad”. Uni Eropa
melindungi produksi dalam negerinya namun untuk penjualan produknya ke luar
negeri mengharapkan pasar bebas seluas-luasnya. Hal inilah yang sangat
membebani negara berkembang, di mana mereka dituntut untuk membuka pasar
domestiknya untuk produk asing , namun distribusi produk mereka ke luar negeri
dibatasi oleh negara maju. Sebuah ironi memang, bahwa ketika negara berkembang
dan negara miskin selalu menjadi pihak yang dituntut harus mengikuti semua
aturan yang mereka dibuat dengan negara maju, Negara maju malah menjadi pihak
yang melanggarnya
Budi Winarno, dalam bukunya Globalisasi dan
Krisis Demokrasi menjelaskan bahwa beberapa pengamat menyatakan bahwa
globalisasi pasar bebas akan mendorong demokratisasi politik, sedangkan
kelompok lainnya mengatakan globalisasi telah menciptakan krisis demokrasi,
atau bahkan kematian demokrasi. [4]
Di era globalisasi seperti saat ini, isu demokrasi
sangat relevan untuk diperbincangkan (dikaji ulang) salah satu alasan yang
paling mendasar adalah pergeseran kekuasaan yang mendorong pentingnya melakukan
redefinisi atas peran negara. Jika entitas negara menjadi ‘ruang politik’
demokrasi, maka transformasi politik akibat globalisasi mestinya mendorong
pentingnya diskusi mengenai hal tersebut lebih lanjut.[5]
Dalam kasus ini terjadi reposisi peran negara dimana negara tidak lagi menjadi
aktor tunggal dalam ekonomi politik baik dalam skala domestik maupun
internasional. Kehadiran organisasi-organisasi kawasan dan lembaga-lembaga internasional telah menggeser
negara sebagai pemeran tunggal.
Di tingkat global (skala internasional) aktor-aktor
ekonomi dan politik ini mendominasi dan memegang kendali lembaga-lembaga
pengaturan global (global governance)
seperti WTO, WB dan IMF. Peran badan-badan di bawah PBB yang menangani
pembangunan dan ekonomi turut tergeser posisinya oleh rezim-rezim internasional
tersebut. Dalam bahasan ini, kelompok kami akan memfokuskan pembahasan pada WTO
sebagai badan yang diprakarsai oleh negara-negara maju khususnya AS
sebagai negara yang mencetuskan paham
demokrasi pada kenyataannya justru sangat tidak demokratis. Agar pembahasan ini lebih terarah, maka pertanyaan yang akan kami
elaborasi lebih lanjut adalah;
1. Bagaimana
kondisi kontemporer dalam WTO dan mengapa WTO disebut sebagai lembaga yang
tidak demokratis ?
2. Apa
faktor penyebab demokrasi tidak berjalan dalam WTO?
3. Dampak
apa yang ditimbulkan oleh adanya ketidak-demokratis-an tersebut?
4. Bagaimana
pandangan dunia terhadap hal ini? Apa solusinya?
C.
Kondisi
Kontemporer WTO
Hubungan-hubungan perdagangan internasional antar
negara sudah ada sejak lama. Hubungan-hubungan ini sudah ada sejak adanya
negara-negara dalam arti negara kebangsaan, yaitu bentuk-bentuk awal negara
dalam arti modern. Perjuangan negara-negara ini untuk memperoleh kemandirian
dan pengawasan (kontrol) terhadap ekonomi internasional telah memaksa
negara-negara ini untuk mengadakan hubungan-hubungan perdagangan yang mapan
dengan negara-negara lainnya.
Sejarah membuktikan bahwa perdagangan internasional
memegang peranan sangat menentukan dalam meneiptakan kemakmuran seluruh bangsa,
tetapi di pihak lain perdagangan dan investasi internasional itu juga dapat
menyengsarakan bangsa sehingga akhimya menjadi negeri jajahan. Oleh sebab itu
kita perlu bertindak sangat hati-hati. Di bidang perdagangan internasional,
saling ketergantungan tidak dapat dihindarkan lagj pada saat ini, apalagi dalam
abad ke 21. World Trade Organization (WTO) sebagai sebuah organisasi
perdagangan internasional diharapkan dapat menjembatani semua kepentingan
negara di dunia dalam sektor perdagangan melalui ketentuan-ketentuan yang
disetujui bersama. WTO ditujukan untuk menghasilkan kondisi-kondisi yang
bersifat timbal balik dan saling menguntungkan sehingga semua negara dapat
menarik manfaatnya. Melalui WTO, diluncurkan suatu model perdagangan dimana
kegiatan perdagangan antar negara diharapkan dapat berjalan dengan lancar.
Pada prinsipnya World Trade Organization (WTO)
merupakan suatu sarana untuk mendorong terjadinya suatu perdagangan bebas yang
tertib dan adil di dunia ini. Dalam menjalankan tugasnya untuk mendorong
terciptanya perdagangan bebas tersebut, World Trade Organization (WTO)
memberlakukan beberapa prinsip yang menjadi pilar-pilar World Trade
Organization (WTO). Yang terpenting di antara prinsip-prinsip tersebut adalah
sebagai berikut: Prinsip Perlindungan Melalui Tarif, Prinsip National Treatment,
Prinsip Most Favoured Nations, Prinsip Reciprocity (Timbal Balik), Prinsip
Larangan Pembatasan Kuantitatif.[6]
Prinsip Most Favoured Nations merupakan prinsip
dasar (utama) WTO yang menyatakan bahwa suatu kebijakan perdagangan harus
dilaksanakan atas dasar nondiskriminatif, yakni semua negara harus diperlakukan
atas dasar yang sama dan semua negara menikmati keuntungan dari suatu
kebijaksanaan perdagangan. Skripsi ini mencoba memaparkan bagaimana prinsip
Most Favoured Nations diterapkan dalam sistem perdagangan multilateral di dalam
kerangka WTO.
D.
Hegemoni
dari Quadilateral Group (The quads)
Kelompok Segiempat atau
Quad merupakan kelompok
informal yang meliputi para
menteri perdagangan dari Komisi
Eropa, Amerika Serikat, Jepang dan
Kanada. Ini pertama kali
diusulkan selama pertemuan pribadi selama KTT G7-7 pada
bulan Juli 1981.[7] Awalnya, kelompok trilateral
diusulkan (termasuk Kanada) karena ketegangan antara kedua negara Amerika Utara pada saat itu tetapi akhirnya, pemerintah Kanada berhasil melobi untuk dimasukkan.
E.
Dampak
Undemocratic Situations
Negara berkembang dirugikan
dalam persaingan perdagangan global. Selain itu globalisasi dan demokrasi
juga menimbulkan efek semakin kuatnya wewenang lembaga-lembaga ekonomi global.
IMF, WORLD Bank, dan WTO sering kali mengambil alih kewenangan pemerintahan
suatu negara apabila dinilai sudah tidak dapat mengatasi krisis ekonomi yang
memuncak.
Demokrasi bukan
lagi pure sebagai sistem politik,
akan tetapi saat ini telah ada konsep yang mengatakan bahwa demokrasi bukan
hanya merupakan sistem politik maupun sistem pemerintahan saja, akan tetapi
dibalik itu semua terdapat agenda-agenda yang sengaja diselipkan demi
kemakmuran sebagian orang.Salah satunya ialah, ketika berbicara mengenai
masalah demokrasi maka tidak bisa dipisahkan dengan permasalahan liberalisasi
ekonomi atau saat ini lebih dikenal dengan sebutan neoliberalisme.
Neoliberalisme mengakibatkan adanya pasar bebas dimana perusahaan transnasional ke dalam
sebuah negara. Tentu saja liberalisasi ekonomi akan memiliki dampak yang
berbeda bagi kelompok negara maju, dan kelompok negara berkembang meskipun pada
dasarnya mereka menggunakan sistem demokrasi.
F. Mendorong kebijakan yang “democratic (cosmopolitanism)”
Dengan berbagai
kontradiksi yang diakibatkan oleh aktor-aktor yang berkepentingan dalam
memanpaatkan derasnya laju globalisasi, Budi Winarno menawarkan demokrasi
kosmopolitan.[8]
Beliau meyakini bahwa demokrasi masih bisa diandalkan sebagai suatu sistem dan
juga mekanisme pemerintahan yang menjamin prinsip akuntabilitas selagi ia bisa
berjalan sebagaimana mestinya. Bagaimana mendemokratisasikan lembaga-lembaga
kekuasaan global dan pada waktu bersamaan mencari jalan alternatif atas
paradigma dominan, neoliberal. Gagasan demokrasi kosmopolitan tidak bisa
dilepaskan dari konteks “the
reconfiguration of politic power”. Demokrasi kosmopolitan dipahami sebagai
demokrasi yang memperhitungkan interlocking
proses-proses politik dan ekonomi pada level lokal, nasional, dan global
dan akan terjadi demokratisasi ganda (double-democratized).
Demokrasi akan diperkuat di tingkat nasional dan organisasi-organisasi
internsional, baik melalui masyarakat sipil maupun melalui wakil-wakilnya.
Demokrasi kosmopolitan ini disokong
oleh keadailan distributif (distributive
justice). Ini diberikan untuk memberikan legitimasi terhadap
lembaga-lembaga governance global dan
tatanan dunia pada saat negara menghadapkan penekanan kembali. Agar model
demokrasi kosmopolitan ini dapat dilaksanakan, terdapat beberapa proses yang
harus berlangsung. Pertama, langsung diambil dari Held, hukum publik demokratis
ini perlu ditunjang oleh struktur hukum internasional yang ia sebut sebagai hukum demokratis kosmopolitan.
Kedua, model demokrasi kosmopolitan
akan mengusahakan terciptanya legistlatif dan eksekutif transnasional yang
efektif pada tingkat regional dan global, yang terkait oleh dan syarat-syarat hukum
demokratis pokok.
G.
Kesimpulan
- Solusi untuk menghidupkan kembali prinsip-prinsip WTO dengan tujuan untuk menciptkan kondisi yang demokratis bias dilakukan dengan menghadirkan niali-nilai demokrasi kosmopolitan. Hal ini dapat dilakukan dengan jalan menghilangkan bentuk undemocratic tersebut dengan jalan: pertama, usulan perbaikan sistem penyelesaian sengketa, yaitupenghapusan syarat konsensus dalam penyelesaian sengketa dengan menciptakan “one man, one vote”. Kedua, engimbangi “the role of green room”, : Prinsip National Treatment: warga negara anggota WTO lain tidak boleh diberi perlakuan kurang baik (no less favourable) daripada perlakuan kpd warga negaranya sendiri berkenaan dengan perlindungan anggota. Mendorong terciptanya “one man, one vote”: dalam prinsip Most Favoured Nations (MFN): sebaiknya perlakuan yang sama oleh suatu negara anggota kepada warga negara dari semua negara anggota WTO (immediately dan unconditionally)
- Meminimalisir “dominating of the decision making process” in WTO: agar negara peserta tertentu termasuk pihak yang menang tak dapat memblokir keputusan-keputusan dari seluruh anggoata.
- Mendorong terbentuknya Demokrasi kosmopolitan dalam tubuh WTO terutama dalam hal “decision making process “ yang disokong oleh keadailan distributif (distributive justice).
- Agar model demokrasi kosmopolitan ini dapat dilaksanakan, terdapat beberapa proses yang harus berlangsung: Pertama, hukum pengambilan keputusan demokratis dalam tubuh WTO perlu ditunjang oleh struktur hukum internasional yang sebut sebagai hukum demokratis kosmopolitan, ini penting sehingga bisa mendorong anggota untuk melakukan “fair decission” dalam rapat-rapat “green room” WTO. Kedua, model demokrasi kosmopolitan akan mengusahakan terciptanya legistlatif dan eksekutif dalam tubuh WTO yang efektif pada tingkat pengambilan keputusan, ini juga terkait oleh syarat-syarat hukum demokratis pokok yang sudah dibangun oleh WTO sejak pendiriannya. Yakni terkait prinsip-prinsip dasar yang menyokong tujuan dibentuknya WTO oleh seluruh anggotanya.
DAFTAR PUSTAKA
Bello, Walden, 2004, “Deglobalization:Ideas
For a New World Economy (de-globalisasi : gagasan-gagasan Ekonomi Baru)”,
Bantul:Pondok
Edukasi.
Cohn, Theodore H, 2002, “Governing Global Trade:
International institutions in conflict and convergence” Hampshire, England:
Ashgate Publishing Limited.
Fukuyama,
Francis, 2011,
“The End Of History and The Last Man”, Yogyakarta:CV.QALAM.
Hoekman, Bernard, “The WTO: Function and
Basic Principles”, hlm 42
Mahbubani,
Kishore, 2011,“Asia Hemisfer
Baru Dunia: Pergeseran Kekuatan Global Ke Timur Yang Tak Terelakkan”, Jakarta: Kompas.
Misses, Ludwiq
Von, 2011, “Menemukan
Kembali Liberalisme”, Jakarta:
Freedom Institute dan FNS.
Piliang, Yasraf
Amir, 2011, “Dunia Yang
Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan”¸ Bandung: Matahari.
Winarno, Budi, 2007, “Globalisasi dan Krisis Demokrasi”, Yogyakarta: MedPress
____________, 2012, “Isu-Isu Global Kontemporer”, Yogyakarta: CAPS.
[1] Budi Winarno, 2007, “Globalisasi dan Krisis Demokrasi”, Yogyakarta: MedPress, hal. 67
[2] Hoekman, Bernard, “The WTO: Function and
Basic Principles”, hlm 42
[3] Ibid,
hal 44
[4] Opcit,
Budi Winarno, hal. 3
[5] Budi Winarno, 2011, “ Isu-Isu Global Kontemporer”, Yogyakarta: CAPS, hal.123, 124
[6] Opcit,
Budi Winarno, hal. 120-121
[7] Cohn, Theodore H, 2002,
“Governing Global Trade: International institutions in conflict and
convergence.” Hampshire, England: Ashgate Publishing Limited.
[8] Opcit,
Budi Winarno, hal. 140.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar