“Aku bersyukur dilahirkan di Indonesia, dimana senyum masih menjadi karakter, budaya masih apik terjaga, dan optimisme masih menyulut semangat. Aku berharap, anak-anakku kelak harus lebih bangga dariku dalam memandang dan memperjuangkan Indonesianya. Jaya Selalu Negeriku Indonesia, Jayalah Selama-lamanya”

Undemocratic Situations dalam WTO


Oleh: Adi Rio Arianto Salamun, Arif Muliawan, Arizona Flora Krisandy, Farida Choirunisa, Diakonia Pungkassari, Evita, Frederik Sarira, Meutia Larasati, Muhtar Lutfi, Zulkifli H. Manna      
Meskipun WTO memiliki prinsip-prinsip yang mengikat para anggotanya, pada kenytaannya prinsip-prinsip ini telah mencerminkan munculnya kondisi yang tidak adil dari semua anggotanya terutama negara-negara miskin dan negara berkembang. Jika dikaji satu persatu, sebenarnya prinsip-prinsip WTO telah mempertimbangkan kondisi-kondisi yang mungkin terjadi terutama pada negara miskin dan berkembang, dalam rangka menciptakan perdagangan yang adil, terbuka dan menghindari persaingan yang tidak sehat antar negara.
Misalnya pada prinsip pertama, nondiscrimination. WTO juga memberlakukan beberapa pengecualian. Misalnya, negara bisa membentuk kesepakatan pasar bebas yang hanya berlaku pada barang-barang yang diperdagangkan di dalam grup. Selain itu, WTO juga bisa memberikan akses spesial kepada negara berkembang ke dalam pasar negara lain. Atau, suatu negara juga bisa memberlakukan “barier” terhadap produk yang dianggap diperdagangkan secara tidak adil dari negara tertentu.  Dan untuk sektor jasa, dalam kondisi tertentu negara juga diizinkan untuk melakukan diskriminasi. Walaupun kesepakatan WTO hanya memperbolehkan pengecualian ini dalam kondisi-kondisi tertentu yang sangat strict.
Dan berkaitan dengan “national treatment”, prinsip ini hanya berlaku jika barang, jasa atau item properti intelektual itu telah memasuki pasar. Selain itu, pembebanan pajak atas produk impor juga bukan bentuk pelanggaran dari prinsip national treatment bahkan bila produk lokal tidak dibebankan pajak. Jadi, negara berkembang tetap bisa melindungi produk dalam negerinya dengan pemberlakuan pajak impor.
Selain itu, prinsip tentang pasar bebas yang dianjurkan oleh WTO juga dilakukan secara bertahap dan juga melalui negosiasi. Jadi tidak serta merta langsung harus diterapkan negara segera setelah negara itu bergabung dengan WTO. Dalam kesepakatannya, WTO membolehkan negara memperkenalkan perubahan perdagangan tersebut secara bertahap melalui “progressive liberalization”. Di mana dalam hal ini negara berkembang biasanya diberikan waktu yang lebih lama untuk memenuhi kewajibannya ini. Namun, negara maju dituntut harus segera memberlakukannya.

Dalam kondisi tertentu, sistem WTO juga memungkinkan tarif, begitupun kebijakan proteksi, WTO juga memberikan izin dalam kondisi tertentu. Hal ini dilakukan WTO untuk membentuk sistem aturan yang terbuka, adil, dan kompetisi yang tidak sehat. Kompetisi terjadi antar negara yang telah siap untuk berkompetisi. Terkait dengan prinsip binding, negara juga diperbolehkan mengubah binding nya, namun hanya setelah bernegosiasi dengan partner dagangnya. Hal ini berarti WTO memungkinkan upaya kompensasi untuk menghindari kerugian pada saat melakukan perdagangan.
Namun, walaupun prinsip WTO ini sudah dibuat dengan penuh pertimbangan dengan melihat kondisi-kondisi negara yang tidak sama, prinsip WTO ini masih memiliki kelemahan yang membuatnya menjadi tidak adil. Misalnya, dalam prinsip most-favoured nation. Dalam prinsip ini, dimungkinkan untuk mengurangi biaya negosiasi, karena negosiasi cukup dilakukan dengan beberapa negara saja. Dan keputusan akan berlaku pada semua negara. Walaupun secara ekonomi, biaya untuk melakukan pertemuan bisa dikurangi. Namun hal yang paling esensi dalam proses pengambilan keputusan adalah melibatkan semua pihak-pihak yang tergabung di dalamnya. Sehingga walaupun pada akhirnya keputusannya tetap sama, setidaknya negara berkembang / negara miskin memiliki kesempatan untuk menyampaikan aspirasi atau setidaknya mendapatkan pengecualian atas kebijakan tertentu.
Selain itu, walaupun prinsip-prinsip WTO ini secara tertulis telah mencerminkan kebaikan dan keadilan bagi negara anggotanya. Kenyataan dan realita di lapangan bisa saja berkata lain. Hingga hari ini, negara-negara maju seperti negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa sendiri yang melanggar prinsip-prinsip WTO. Kebanyakan negara Eropa “Keynes at home, Smith abroad”. Uni Eropa melindungi produksi dalam negerinya namun untuk penjualan produknya ke luar negeri mengharapkan pasar bebas seluas-luasnya. Hal inilah yang sangat membebani negara berkembang, di mana mereka dituntut untuk membuka pasar domestiknya untuk produk asing , namun distribusi produk mereka ke luar negeri dibatasi oleh negara maju. Sebuah ironi memang, bahwa ketika negara berkembang dan negara miskin selalu menjadi pihak yang dituntut harus mengikuti semua aturan yang mereka dibuat dengan negara maju, Negara maju malah menjadi pihak yang melanggarnya
 Budi Winarno, dalam bukunya Globalisasi dan Krisis Demokrasi menjelaskan bahwa beberapa pengamat menyatakan bahwa globalisasi pasar bebas akan mendorong demokratisasi politik, sedangkan kelompok lainnya mengatakan globalisasi telah menciptakan krisis demokrasi, atau bahkan kematian demokrasi. [1]
Di era globalisasi seperti saat ini, isu demokrasi sangat relevan untuk diperbincangkan (dikaji ulang) salah satu alasan yang paling mendasar adalah pergeseran kekuasaan yang mendorong pentingnya melakukan redefinisi atas peran negara. Jika entitas negara menjadi ‘ruang politik’ demokrasi, maka transformasi politik akibat globalisasi mestinya mendorong pentingnya diskusi mengenai hal tersebut lebih lanjut.[2] Dalam kasus ini terjadi reposisi peran negara dimana negara tidak lagi menjadi aktor tunggal dalam ekonomi politik baik dalam skala domestik maupun internasional. Kehadiran organisasi-organisasi kawasan dan  lembaga-lembaga internasional telah menggeser negara sebagai pemeran tunggal.
Di tingkat global (skala internasional) aktor-aktor ekonomi dan politik ini mendominasi dan memegang kendali lembaga-lembaga pengaturan global (global governance) seperti WTO, WB dan IMF. Peran badan-badan di bawah PBB yang menangani pembangunan dan ekonomi turut tergeser posisinya oleh rezim-rezim internasional tersebut. Dalam bahasan ini, kelompok kami akan memfokuskan pembahasan pada WTO sebagai badan yang diprakarsai oleh negara-negara maju khususnya AS sebagai  negara yang mencetuskan paham demokrasi pada kenyataannya justru sangat tidak demokratis. Agar pembahasan ini lebih terarah, maka pertanyaan yang akan kami elaborasi lebih lanjut adalah;
1.      Bagaimana kondisi kontemporer dalam WTO dan mengapa WTO disebut sebagai lembaga yang tidak demokratis ?
2.      Apa faktor penyebab demokrasi tidak berjalan dalam WTO?
3.      Dampak apa yang ditimbulkan oleh adanya ketidak-demokratis-an tersebut?
4.      Bagaimana pandangan dunia terhadap hal ini? Apa solusinya?


[1] Opcit, Budi Winarno, hal. 3
[2] Budi Winarno, 2011, “ Isu-Isu Global Kontemporer”, Yogyakarta: CAPS, hal.123, 124

Tidak ada komentar:

Posting Komentar