Oleh: Adi Rio Arianto Salamun, Arif Muliawan, Arizona Flora Krisandy, Farida Choirunisa, Diakonia Pungkassari, Evita, Frederik Sarira, Meutia Larasati, Muhtar Lutfi, Zulkifli H. Manna
Meskipun WTO memiliki prinsip-prinsip yang mengikat
para anggotanya, pada kenytaannya prinsip-prinsip ini telah mencerminkan munculnya
kondisi yang tidak adil dari semua anggotanya terutama negara-negara miskin dan
negara berkembang. Jika dikaji satu persatu, sebenarnya prinsip-prinsip WTO
telah mempertimbangkan kondisi-kondisi yang mungkin terjadi terutama pada
negara miskin dan berkembang, dalam rangka menciptakan perdagangan yang adil,
terbuka dan menghindari persaingan yang tidak sehat antar negara.
Misalnya pada prinsip pertama, nondiscrimination. WTO juga memberlakukan beberapa pengecualian.
Misalnya, negara bisa membentuk kesepakatan pasar bebas yang hanya berlaku pada
barang-barang yang diperdagangkan di dalam grup. Selain itu, WTO juga bisa
memberikan akses spesial kepada negara berkembang ke dalam pasar negara lain. Atau,
suatu negara juga bisa memberlakukan “barier”
terhadap produk yang dianggap diperdagangkan secara tidak adil dari negara
tertentu. Dan untuk sektor jasa, dalam kondisi tertentu negara juga
diizinkan untuk melakukan diskriminasi. Walaupun kesepakatan WTO hanya
memperbolehkan pengecualian ini dalam kondisi-kondisi tertentu yang sangat strict.
Dan berkaitan dengan “national treatment”, prinsip ini hanya berlaku jika barang, jasa
atau item properti intelektual itu
telah memasuki pasar. Selain itu, pembebanan pajak atas produk impor juga bukan
bentuk pelanggaran dari prinsip national treatment bahkan bila produk lokal
tidak dibebankan pajak. Jadi, negara berkembang tetap bisa melindungi produk
dalam negerinya dengan pemberlakuan pajak impor.
Selain itu, prinsip tentang pasar bebas yang
dianjurkan oleh WTO juga dilakukan secara bertahap dan juga melalui negosiasi.
Jadi tidak serta merta langsung harus diterapkan negara segera setelah negara
itu bergabung dengan WTO. Dalam kesepakatannya, WTO membolehkan negara
memperkenalkan perubahan perdagangan tersebut secara bertahap melalui “progressive liberalization”. Di mana
dalam hal ini negara berkembang biasanya diberikan waktu yang lebih lama untuk
memenuhi kewajibannya ini. Namun, negara maju dituntut harus segera
memberlakukannya.
Dalam kondisi tertentu, sistem WTO juga memungkinkan
tarif, begitupun kebijakan proteksi, WTO juga memberikan izin dalam kondisi
tertentu. Hal ini dilakukan WTO untuk membentuk sistem aturan yang terbuka,
adil, dan kompetisi yang tidak sehat. Kompetisi terjadi antar negara yang telah
siap untuk berkompetisi. Terkait dengan prinsip binding, negara juga diperbolehkan mengubah binding nya,
namun hanya setelah bernegosiasi dengan partner dagangnya. Hal ini berarti WTO
memungkinkan upaya kompensasi untuk menghindari kerugian pada saat melakukan
perdagangan.
Namun, walaupun prinsip WTO ini sudah dibuat dengan
penuh pertimbangan dengan melihat kondisi-kondisi negara yang tidak sama,
prinsip WTO ini masih memiliki kelemahan yang membuatnya menjadi tidak adil.
Misalnya, dalam prinsip most-favoured nation. Dalam prinsip ini,
dimungkinkan untuk mengurangi biaya negosiasi, karena negosiasi cukup dilakukan
dengan beberapa negara saja. Dan keputusan akan berlaku pada semua negara.
Walaupun secara ekonomi, biaya untuk melakukan pertemuan bisa dikurangi. Namun
hal yang paling esensi dalam proses pengambilan keputusan adalah melibatkan
semua pihak-pihak yang tergabung di dalamnya. Sehingga walaupun pada akhirnya
keputusannya tetap sama, setidaknya negara berkembang / negara miskin memiliki
kesempatan untuk menyampaikan aspirasi atau setidaknya mendapatkan pengecualian
atas kebijakan tertentu.
Selain itu, walaupun prinsip-prinsip WTO ini secara
tertulis telah mencerminkan kebaikan dan keadilan bagi negara anggotanya.
Kenyataan dan realita di lapangan bisa saja berkata lain. Hingga hari ini,
negara-negara maju seperti negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa sendiri
yang melanggar prinsip-prinsip WTO. Kebanyakan negara Eropa “Keynes at home, Smith abroad”. Uni Eropa
melindungi produksi dalam negerinya namun untuk penjualan produknya ke luar
negeri mengharapkan pasar bebas seluas-luasnya. Hal inilah yang sangat
membebani negara berkembang, di mana mereka dituntut untuk membuka pasar
domestiknya untuk produk asing , namun distribusi produk mereka ke luar negeri
dibatasi oleh negara maju. Sebuah ironi memang, bahwa ketika negara berkembang
dan negara miskin selalu menjadi pihak yang dituntut harus mengikuti semua
aturan yang mereka dibuat dengan negara maju, Negara maju malah menjadi pihak
yang melanggarnya
Budi Winarno, dalam bukunya Globalisasi dan
Krisis Demokrasi menjelaskan bahwa beberapa pengamat menyatakan bahwa
globalisasi pasar bebas akan mendorong demokratisasi politik, sedangkan
kelompok lainnya mengatakan globalisasi telah menciptakan krisis demokrasi,
atau bahkan kematian demokrasi. [1]
Di era globalisasi seperti saat ini, isu demokrasi
sangat relevan untuk diperbincangkan (dikaji ulang) salah satu alasan yang
paling mendasar adalah pergeseran kekuasaan yang mendorong pentingnya melakukan
redefinisi atas peran negara. Jika entitas negara menjadi ‘ruang politik’
demokrasi, maka transformasi politik akibat globalisasi mestinya mendorong
pentingnya diskusi mengenai hal tersebut lebih lanjut.[2]
Dalam kasus ini terjadi reposisi peran negara dimana negara tidak lagi menjadi
aktor tunggal dalam ekonomi politik baik dalam skala domestik maupun
internasional. Kehadiran organisasi-organisasi kawasan dan lembaga-lembaga internasional telah menggeser
negara sebagai pemeran tunggal.
Di tingkat global (skala internasional) aktor-aktor
ekonomi dan politik ini mendominasi dan memegang kendali lembaga-lembaga
pengaturan global (global governance)
seperti WTO, WB dan IMF. Peran badan-badan di bawah PBB yang menangani
pembangunan dan ekonomi turut tergeser posisinya oleh rezim-rezim internasional
tersebut. Dalam bahasan ini, kelompok kami akan memfokuskan pembahasan pada WTO
sebagai badan yang diprakarsai oleh negara-negara maju khususnya AS
sebagai negara yang mencetuskan paham
demokrasi pada kenyataannya justru sangat tidak demokratis. Agar pembahasan ini lebih terarah, maka pertanyaan yang akan kami
elaborasi lebih lanjut adalah;
1. Bagaimana
kondisi kontemporer dalam WTO dan mengapa WTO disebut sebagai lembaga yang
tidak demokratis ?
2. Apa
faktor penyebab demokrasi tidak berjalan dalam WTO?
3. Dampak
apa yang ditimbulkan oleh adanya ketidak-demokratis-an tersebut?
4. Bagaimana
pandangan dunia terhadap hal ini? Apa solusinya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar