“Aku bersyukur dilahirkan di Indonesia, dimana senyum masih menjadi karakter, budaya masih apik terjaga, dan optimisme masih menyulut semangat. Aku berharap, anak-anakku kelak harus lebih bangga dariku dalam memandang dan memperjuangkan Indonesianya. Jaya Selalu Negeriku Indonesia, Jayalah Selama-lamanya”

Krisis Kemanusiaan, HAM, dan Keamanan Internasional



Oleh: Adi Rio Arianto Salamun, Arif Muliawan, Arizona Flora Krisandy, Farida Choirunisa, Diakonia Pungkassari, Evita, Frederik Sarira, Meutia Larasati, Muhtar Lutfi, Zulkifli H. Manna
Pertempuran Darfur, antara suku pemberontak dan pasukan pemerintah Sudan, telah memicu meningkatnya pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia yang berakibat pada terancamnya keamanan internasional di kawasan tersebut. Menurut PBB bahwa akibat konflik ini telah menewaskan sebanyak 300.000 orang serta membuat 2,7 juta orang lagi kehilangan tempat tinggal. Sementara di alin hal, Dewan Keamanan PBB pada 2008 mengirim pasukan cangkokan, operasi gabungan PBB-Uni Afrika (AU) di Darfur (UNAMID), dalam satu misi ke wilayah rapuh itu guna meredam kerusuhan yang tak terkendali dan melindungai warga sipil. Namun hal ini tentu masih sangat minim, sebab konflik di lapangan masih sangat memanas.
Konflik Darfur meletus  tahun 2003 bersamaan dengan perang Irak, ketika kelompok pemberontak JEM (Gerakan Keadilan dan Persamaan Hak) yang non-Arab dan SLA (Tentara Pembebasan Sudan) mengangkat senjata melawan pemerintah. Kedua kelompok ini menuduh pemerintah Sudan tidak membangun wilayah itu dan merasa dipinggirkan. Sebagai tindak lanjutnya, Pemerintah Sudan di Ibukota; Khartoum, memobilisasi milisi yang sebagian besar warga Arab  untuk menumpas pemberontakan.
Konflik Darfur terus meluas di Afrika. Di Sudan, konflik dan pelanggaran HAM di wilayah Darfur barat terus terjadi kendatipun Perjanjian Perdamaian tahun 2006 antara pemerintah dan satu faksi Gerakan/Tentara Sudan Selatan. Pasukan yang disponsori pemerintah mengebom desa-desa, membunuh warga sipil, dan mendukung kelompok-kelompok pemberontak Chad. Wanita dan anak-anak terus mengalami tindak kekerasan.

Presiden Sudan Omar Hassan Al Bashir, dan puluhan pejabat berkumpul untuk konferensi membicarakan rencana strategis memerintah Sudan. Pemerintah Sudan menandatangani gencatan senjata dengan Gerakan Keadilan dan Persamaan (JEM), kelompok utama pemberontak Darfur, di Doha, Qatar, Selasa. Ini merupakan langkah besar untuk mengakhiri konflik  yang telah berlangsung tujuh tahun. Kesepakatan gencatan senjata sementara itu dipandang sebagai pendahuluan ke arah kesepakatan perdamaian permanen, yang harus mendapat dukungan kelompok pemberontak lain di wilayah Sudan barat. Presiden Sudan, Omar al-Bashir, menandatangani kesepakatan gencatan senjata yang telah lama ditunggu bersama Khalil Ibrahim, pemimpin JEM. Penandatanganan itu adalah langkah penting ke arah diakhirinya konflik di Darfur dan berharap kesepakatan perdamaian akhir dapat ditandatangani pada pertengahan Maret. Ibrahim mengatakan, kesepakatan gencatan senjata tersebut, yang menembus bertahun-tahun kebuntuan dalam proses perdamaian di wilayah Sudan barat, berlaku mulai Selasa tengah malam. Ia memuji kerangka kerja kesepakatan tersebut sebagai langkah maju yang sangat penting. Tayangan TV dari Al-Jazira, yang berpusat di Doha, memperlihatkan para pemimpin berjabat tangan dan berpelukan setelah penandatanganan kesepakatan yang bersejarah itu. Khartoum dan JEM, yang dipimpin oleh Khalil Ibrahim mulanya mencapai kesepakatan kerangka kerja gencatan senjata senjata pada Sabtu di Chad, sehingga mengakhiri beberapa babak pembicaraan dan perundingan alot. Kerangka kerja tersebut akan menetapkan perundingan perdamaian pada masa depan, termasuk kesepakatan gencatan senjata permanen  yang mesti dicapai pada pertengahan Maret, sebelum pemilihan anggota dewan legislatif dan presiden di negeri itu pada April.
Beberapa Bulan kemudian, Presiden Sudan Omar al Beshir menyatakan perang Darfur telah berakhir. Hal itu dikatakannya dalam pidato di negara yang dilanda konflik itu. Ia mengatakan, dari 57 anggota kelompok pemberontak utama, 50 di antaranya yang berada dalam daftar hukuman mati, telah dibebaskan. Beshir, dalam pidatonya di El Fasher, ibukota negara bagian Darfur Utara, menyampaikan pengumuman itu sehari setelah pemerintah Sudan dan pemberontak Gerakan Keadilan dan Persamaan Hak (JEM) menandatangani perjanjian gencatan senjata dan sepakat bekerja untuk mencapai sebuah perjanjian perdamaian penuh. “Krisis di Darfur selesai; perang di Darfur berlalu. Darfur kini dalam perdamaian,” kata Beshir mengenai konflik tujuh tahun yang telah menghancurkan kawasan tersebut. “Pertempuran senjata berakhir, dan satu kemajuan kini dimulai,” kata presiden Sudan itu, yang menjadi sasaran surat perintah penangkapan internasional karena kejahatan perang di Darfur. “Kita harus melakukan upaya lebih besar untuk membangun Sudan dan Darfur,”. Tahanan-tahanan yang dibebaskan itu mewakili separuh dari anggota JEM yang berada di dalam penjara, kata Menteri Kehakiman Abdel Basit Sabdarat di luar penjara Kober di daerah pinggiran Khartoum. Pertempuran itu menewaskan 220 orang dan sejumlah besar pemberontak ditangkap. Pengadilan khusus kemudian dibentuk untuk menyidangkan para tersangka dan 105 orang divonis hukuman mati. Pemerintah Sudan dan JEM, kelompok pemberontak utama di Darfur, menandatangani perjanjian dan kerangka kesepakatan di ibukota Qatar, dan perjanjian final akan ditandatangani sebelum 15 Maret.
Pada Bulan Mei, JEM sepakat memulai lagi perundingan dengan Khartoum yang dihentikannya setelah pengadilan internasional mengeluarkan surat perintah penangkapan bagi Presiden Sudan Omar Hassan al-Beshir karena kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan di Darfur, Sudan barat. Perundingan antara pemerintah Khartoum dan pemberontak Darfur untuk mengatasi konflik itu telah ditunda beberapa kali pada tahun lalu. Perundingan yang dituanrumahi Qatar itu sebelumnya dijadwalkan berlangsung pada 28 Oktober namun pertemuan tersebut ditunda sampai 16 November karena waktunya bertepatan dengan pertemuan puncak Uni Afrika. Jadwal terakhir itu pun ditunda hingga waktu yang belum ditentukan, kata penengah PBB dan Uni Afrika. Sejumlah pejabat PBB yang tidak bersedia disebutkan namanya mengatakan, pengusiran badan-badan bantuan itu akan memiliki dampak yang sangat merugikan bagi rakyat Darfur.
Para ahli internasional mengatakan, pertempuran enam tahun di Darfur telah menewaskan 200.000 orang dan lebih dari 2,7 juta orang terusir dari tempat tinggal mereka. Khartoum mengatakan, hanya 10.000 orang tewas. PBB mengatakan, lebih dari 300.000 orang tewas sejak konflik meletus di wilayah Darfur, pada 2003, ketika pemberontak etnik minoritas mengangkat senjata melawan pemerintah yang didominasi orang Arab untuk menuntut pembagian lebih besar atas sumber-sumber daya dan kekuasaan.
Dengan demikian, Sudan selatan, kawasan semi-otonomi yang dilanda konflik antarsuku dan kelaparan, akan menghadapi situasi kemanusiaan yang memburuk pada beberapa tahun ke depan. Sebab pada 9 Januari 2011, beberapa bulan setelah pemilu, rencananya akan diselenggarakan referendum tentang kemerdekaan. Dan  referendum ini diperkirakan akan menghasilkan sebuah negara baru Afrika. Namun, pelaksaaan referendum ini hamya akan menimbulkan konflik baru di kawasan itu karena pihak-pihak yang berkonflik masih belum bisa melakukan kesepakatan di tingkat dasar, yaitu bagaimana bersama-sama memahami kebebasan hak manusia untuk menjaga kondusifitas keamanan internasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar