Oleh: Adi Rio Arianto Salamun, Arif
Muliawan, Arizona Flora Krisandy, Farida Choirunisa, Diakonia
Pungkassari, Evita, Frederik Sarira, Meutia
Larasati, Muhtar Lutfi, Zulkifli H. Manna
Pertempuran Darfur, antara
suku pemberontak dan pasukan pemerintah Sudan, telah memicu meningkatnya
pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia yang berakibat pada terancamnya keamanan
internasional di kawasan tersebut. Menurut PBB bahwa akibat konflik ini telah
menewaskan sebanyak 300.000 orang serta membuat 2,7 juta orang lagi kehilangan
tempat tinggal. Sementara di alin hal, Dewan Keamanan PBB pada 2008 mengirim
pasukan cangkokan, operasi gabungan PBB-Uni Afrika (AU) di Darfur (UNAMID),
dalam satu misi ke wilayah rapuh itu guna meredam kerusuhan yang tak terkendali
dan melindungai warga sipil. Namun hal ini tentu masih sangat minim, sebab
konflik di lapangan masih sangat memanas.
Konflik Darfur meletus tahun 2003 bersamaan dengan perang Irak, ketika
kelompok pemberontak JEM (Gerakan Keadilan dan Persamaan Hak) yang non-Arab dan
SLA (Tentara Pembebasan Sudan) mengangkat senjata melawan pemerintah. Kedua
kelompok ini menuduh pemerintah Sudan tidak membangun wilayah itu dan merasa
dipinggirkan. Sebagai tindak lanjutnya, Pemerintah Sudan di Ibukota; Khartoum,
memobilisasi milisi yang sebagian besar warga Arab untuk menumpas pemberontakan.
Konflik Darfur terus meluas
di Afrika. Di Sudan, konflik dan pelanggaran HAM di wilayah Darfur barat terus
terjadi kendatipun Perjanjian Perdamaian tahun 2006 antara pemerintah dan satu
faksi Gerakan/Tentara Sudan Selatan. Pasukan yang disponsori pemerintah
mengebom desa-desa, membunuh warga sipil, dan mendukung kelompok-kelompok
pemberontak Chad. Wanita dan anak-anak terus mengalami tindak kekerasan.
Presiden Sudan Omar Hassan Al
Bashir, dan puluhan pejabat berkumpul untuk konferensi membicarakan rencana
strategis memerintah Sudan. Pemerintah Sudan menandatangani gencatan senjata
dengan Gerakan Keadilan dan Persamaan (JEM), kelompok utama pemberontak Darfur,
di Doha, Qatar, Selasa. Ini merupakan langkah besar untuk mengakhiri
konflik yang telah berlangsung tujuh
tahun. Kesepakatan gencatan senjata sementara itu dipandang sebagai pendahuluan
ke arah kesepakatan perdamaian permanen, yang harus mendapat dukungan kelompok
pemberontak lain di wilayah Sudan barat. Presiden Sudan, Omar al-Bashir,
menandatangani kesepakatan gencatan senjata yang telah lama ditunggu bersama
Khalil Ibrahim, pemimpin JEM. Penandatanganan itu adalah langkah penting ke
arah diakhirinya konflik di Darfur dan berharap kesepakatan perdamaian akhir
dapat ditandatangani pada pertengahan Maret. Ibrahim mengatakan, kesepakatan
gencatan senjata tersebut, yang menembus bertahun-tahun kebuntuan dalam proses
perdamaian di wilayah Sudan barat, berlaku mulai Selasa tengah malam. Ia memuji
kerangka kerja kesepakatan tersebut sebagai langkah maju yang sangat penting. Tayangan
TV dari Al-Jazira, yang berpusat di Doha, memperlihatkan para pemimpin berjabat
tangan dan berpelukan setelah penandatanganan kesepakatan yang bersejarah itu.
Khartoum dan JEM, yang dipimpin oleh Khalil Ibrahim mulanya mencapai
kesepakatan kerangka kerja gencatan senjata senjata pada Sabtu di Chad,
sehingga mengakhiri beberapa babak pembicaraan dan perundingan alot. Kerangka
kerja tersebut akan menetapkan perundingan perdamaian pada masa depan, termasuk
kesepakatan gencatan senjata permanen
yang mesti dicapai pada pertengahan Maret, sebelum pemilihan anggota
dewan legislatif dan presiden di negeri itu pada April.
Beberapa Bulan kemudian, Presiden
Sudan Omar al Beshir menyatakan perang Darfur telah berakhir. Hal itu
dikatakannya dalam pidato di negara yang dilanda konflik itu. Ia mengatakan,
dari 57 anggota kelompok pemberontak utama, 50 di antaranya yang berada dalam
daftar hukuman mati, telah dibebaskan. Beshir, dalam pidatonya di El Fasher,
ibukota negara bagian Darfur Utara, menyampaikan pengumuman itu sehari setelah
pemerintah Sudan dan pemberontak Gerakan Keadilan dan Persamaan Hak (JEM)
menandatangani perjanjian gencatan senjata dan sepakat bekerja untuk mencapai
sebuah perjanjian perdamaian penuh. “Krisis di Darfur selesai; perang di Darfur
berlalu. Darfur kini dalam perdamaian,” kata Beshir mengenai konflik tujuh
tahun yang telah menghancurkan kawasan tersebut. “Pertempuran senjata berakhir,
dan satu kemajuan kini dimulai,” kata presiden Sudan itu, yang menjadi sasaran
surat perintah penangkapan internasional karena kejahatan perang di Darfur. “Kita
harus melakukan upaya lebih besar untuk membangun Sudan dan Darfur,”. Tahanan-tahanan
yang dibebaskan itu mewakili separuh dari anggota JEM yang berada di dalam
penjara, kata Menteri Kehakiman Abdel Basit Sabdarat di luar penjara Kober di
daerah pinggiran Khartoum. Pertempuran itu menewaskan 220 orang dan sejumlah
besar pemberontak ditangkap. Pengadilan khusus kemudian dibentuk untuk
menyidangkan para tersangka dan 105 orang divonis hukuman mati. Pemerintah
Sudan dan JEM, kelompok pemberontak utama di Darfur, menandatangani perjanjian
dan kerangka kesepakatan di ibukota Qatar, dan perjanjian final akan ditandatangani
sebelum 15 Maret.
Pada Bulan Mei, JEM sepakat
memulai lagi perundingan dengan Khartoum yang dihentikannya setelah pengadilan
internasional mengeluarkan surat perintah penangkapan bagi Presiden Sudan Omar
Hassan al-Beshir karena kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan di
Darfur, Sudan barat. Perundingan antara pemerintah Khartoum dan pemberontak
Darfur untuk mengatasi konflik itu telah ditunda beberapa kali pada tahun lalu.
Perundingan yang dituanrumahi Qatar itu sebelumnya dijadwalkan berlangsung pada
28 Oktober namun pertemuan tersebut ditunda sampai 16 November karena waktunya
bertepatan dengan pertemuan puncak Uni Afrika. Jadwal terakhir itu pun ditunda
hingga waktu yang belum ditentukan, kata penengah PBB dan Uni Afrika. Sejumlah
pejabat PBB yang tidak bersedia disebutkan namanya mengatakan, pengusiran
badan-badan bantuan itu akan memiliki dampak yang sangat merugikan bagi rakyat
Darfur.
Para ahli internasional
mengatakan, pertempuran enam tahun di Darfur telah menewaskan 200.000 orang dan
lebih dari 2,7 juta orang terusir dari tempat tinggal mereka. Khartoum
mengatakan, hanya 10.000 orang tewas. PBB mengatakan, lebih dari 300.000 orang
tewas sejak konflik meletus di wilayah Darfur, pada 2003, ketika pemberontak
etnik minoritas mengangkat senjata melawan pemerintah yang didominasi orang
Arab untuk menuntut pembagian lebih besar atas sumber-sumber daya dan
kekuasaan.
Dengan demikian, Sudan
selatan, kawasan semi-otonomi yang dilanda konflik antarsuku dan kelaparan,
akan menghadapi situasi kemanusiaan yang memburuk pada beberapa tahun ke depan.
Sebab pada 9 Januari 2011, beberapa bulan setelah pemilu, rencananya akan diselenggarakan
referendum tentang kemerdekaan. Dan referendum ini diperkirakan akan menghasilkan
sebuah negara baru Afrika. Namun, pelaksaaan referendum ini hamya akan
menimbulkan konflik baru di kawasan itu karena pihak-pihak yang berkonflik
masih belum bisa melakukan kesepakatan di tingkat dasar, yaitu bagaimana
bersama-sama memahami kebebasan hak manusia untuk menjaga kondusifitas keamanan
internasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar