Oleh: Ahmad Mubarak Munir, Arnodya
Rizkiawan, Haryo Prasodjo, Rekha Kresana, Rochmy Hamdani Akbar, Zean Pratama
1) Instabilitas Keuangan Global
Instabilitas
keuangan global dan demokrasi memiliki hubungan yang terjadi secara tidak
langsung. Meskipun demikian, sifat dasar keuangan global yang menciptakan
“ketidakamanan” ekonomi negara nasional dan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh
krisis keuangan jelas memiliki kontribusi pada demokrasi. Ketidak stabilan
keuangan global telah menciptakan krisis ekonomi yang dalam banyak kasus
menjadi celah penting masuknya kekuasaan global dalam perekonomian nasional.
Selain itu, krisis keuangan yang ditandai dengan anjloknya nilai mata uang
suatu negara, membawa pada krisis ekonomi yang, dalam banyak kasus,
melipatgandakan kemiskinan.[1]
Misalnya
di Indonesia, krisis moneter yang berujung pada krisis ekonomi telah menjadi
katalisator bagi demokratisasi politik. Kegagalan rezim otoriter Soeharto dalam
menangani krisis telah menyulut demonstrasi yang berujung pada kejatuhan rezim
tersebut dan membawa Indonesia pada era reformasi. Di sini, krisis moneter
kemudian memberikan sumbangan signifikan bagi usaha membangun demokrasi di
Indonesia. Meskipun akibat yang ditimbulkan krisis ternyata meciptakan sisi
lain yang merusak.[2]
Krisis
ekonomi yang terjadi di penghujung 1997 telah melipatgandakan penduduk miskin
di Indonesia. Menurut laporan BPS, kemiskinan (pada bulan Juni 1998 saat
terjadi krisis) adalah sekitar 39%; sedangkan UNDP/ILO mencatat proporsi
penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan melompat dari 11% menjadi 48%.
Kondisi yang semakin diperburuk dengan tingginya jumlah anak putus sekolah.
Sementara itu, dalam rangka pemulihan krisis, pemerintah yang telah berada di
ujung kejatuhan mengundang IMF untuk menyelesaikan krisis, dan sebagai syarat
pemerintah harus menandatangani Lol. Lol ini berisi program-program penyesuaian
struktural yang berisi tiga hal pokok, yakni liberalisasi, deregulasi dan
privatisasi. Dikuranginya subsidi oleh pemerintah sebagai bagian dari program
struktural IMF telah menyulut demostrasi dan kerusuhan di banyak tempat, dan
membuat orang miskin semakin miskin. Lamanya krisis telah menciptakan ketidakpastian
dalam masyarakat, dan membuat proses demokrasi tensendat mengingat kinerja
ekonomi menjadi dalah satu variabel penting keberhasilan demokrasi. Di sisi
lain, proses demokrasi menjadi semakin mahal oleh biaya-biaya kampanye.
Akibatnya, para pemimpin politik banyak yang menjadi “titipan”
perusahaan-perusahaan besar, sehingga ketika mereka memegang tampuk kekuasaan
agenda pemberi modal menjadi prioritas utama dibanding masyarakat.[3]
Dengan
melihat apa yang terjadi di Indonesia, instabilitas keuangan global telah
menciptakan krisis yang berimplikasi pada dua hal pokok. Pertama, krisis menyulut demokratisasi politik. Kedua, krisis menciptakan tatanan
neoliberal dalam negeri yang semakin kuat, sehingga kesenjangan semakin kuat.
Hal ini yang dapat mengurangi kualitas demokrasi. Ditambah dengan pencabutan
berbagai subsidi yang membuat biaya kesehatan dan pendidikan semakin besar yang
berimplikasi pada kemiskinan dan kesenjangan yang semakin parah. Hal ini
menyebabkan demokrasi substansial menjadi kurang bermakna. Kondisi ini semakin
diperparah oleh menguatnya kekuatan korporasi global dalam perekonomian.
Perbincangan dan perdebatan politik tidak lagi menyentuh persoalan-persoalan
mendasar warganegara, melainkan pada persoalan kalangan elite yang sebetulnya kurang
menyentuh kebutuhan warganegara.[4]
2) Kesenjangan Sosial dan Ekonomi
David
Held mengemukakan bahwa ketika anggota masyarakt menderita kekurangan gizi
kronis dan sakit-sakitan, partisipasi dalam persoalan-persoalan umum yang luas
maupun khusus menjadi sulit dipertahankan. Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa
ketika masyrakat seringkali menderita kelaparan akut, atau ketika penyakit
merajalela, harapan atas demokrasi sejati dalam masyarakat adalah naif.
Perluasan argumentasi bahwa kondisi sosio-ekonomi hendaknya menjadi variabel
penting untuk menilai kualitas demokrasi barangkat dari argumentasi Martin
Lipset yang mengatakan bahwa semakin kaya suatu bangsa maka semakin besar
peluang negara tersebut untuk melangsungkan demokrasi. Argumen ini telah
menjadi dasar bagi pengambil kebijakan publik untuk mengambil jalan secara
konsisten guna mendorong pertumbuhan ekonomi.[5]
Demokrasi
memang memerlukan prakondisi-prakondisi tertentu agar menjadi lebih substantif.
Sebagaimana ditegaskan oleh Sorensen, “Modernisasi dan kesejahteraan akan
selalu disertai sejumlah faktor yang kondusif bagi demokrasi, seperti
meningkatnya tingkat melek huruf dan pendidikan, urbanisasi dan pembangunan
media massa.” Lebih jauh, argumen
mengenai pentingnya kondisi sosial ekonomi harus dipertimbangkan sebagai
kodeterminan dalam melihat kualitas demokrasi sangat relevan karena setidaknya
dua alasan:[6]
·
Pertama,
demokrasi akan lebih substantif jika diikuti adanya kesempatan yang kurang
lebih sama di antara warga negara dalam mengakses keputusan-keputusan politik
penting. Sangat disayangkan, modernisasi ekonomi yang menempatkan pertumbuhan
sebagai ukuran pokok pembangunan ekonomi telah meningkatkan ketimpangan dalam
masyarakat. Di sisi lain, tingkat pendidikan, melek huruf, dan kesejahteraan
barangkali memang menjadi variabel penting dalam mendorong demokrasi yang
substansial.
·
Kedua, langkanya
transformasi masyarakat karena biaya-biaya layanan publik yang mahal sebagai
akibat dari leberalisasi sehingga hanya keluarga-keluarga kaya saja yang mampu
mengakses pendidikan berkualitas. Jika demikian, pendidikan gagal sebagai alat
transformasi kelas. Kelompok miskin tetap akan menjadi buruh rendahan karena
minimnya pendidikan, dan kondisi ini akan semakin buruk ketika layanan-layanan
kesehatan dipangkas. Dengan demikian, persoalan pokok yang dihadapi demokrasi
di era neoliberal ini adalah menurunnya kulitas hidup sebagian kelompok
masyarakat, yang pada saat bersamaan diikuti oleh menguatnya kualitas hidup
sebagian kolompok masyarakat lainnya. Singkatnya, kemiskinan dan ketimpangan
menjadi persoalan pokok demokrasi di era globalisasi sekarang ini. Oleh sebab
itu, jika kondisi sosial ekonomi dijadikan kodeterminan untuk menilai kualitas
demokrasi, maka bisa dikatakan, di banyak negara, demokrasi mengalami kemajuan.
Sementara di beberapa negara yang lain, demokrasi mungkin stagnan atau bahkan
mengalami kemunduran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar