Oleh: Ya'cub Usman (Mahasiswa Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2009)
Masyarakat adat dalam tradisi modern dikenal dengan istilah
“indigenous society”, yang
secara harafiah berarti seseorang yang dianggap memiliki keaslian kehidupan.
Adat dapat diartikan “pribumi” digunakan semata-mata sebagai suatu kata sifat,
orang-orang yang berasal dari suatu kultur atau kelompok menghormati asal usul
mereka dengan perasaan, pemaknaan dan pengertian yang mendalam atas suatu wilayah
yang mereka tempati. Masyarakat adat memiliki karakter yang membatasi diri dan
mengidentikan diri mereka sebagai sebuah kelompok kecil yang memiliki otoritas
dalam menempati sebuah wilayah tertentu berdasarkan ukuran-ukuran yang disepakati secara konvensional
(Aman, 2008).
Begitupun halnya dengan masyarakat suku Togutil yang ada di kecamatan
Oba, bila mendengar kata Togutil maka bayangan yang muncul dalam pikiran semua orang di
Ternate dan Maluku Utara pasti akan tertuju pada komunitas suku terasing yang
hidup secara nomaden di pedalaman pulau Halmahera Kecamatan Oba Kota Tidore Kepulauan. Tapi
mungkin lain halnya dengan masyarakat di luar provinsi muda ini, misalnya
orang-orang di Sulawesi, Jawa, Kalimantan, Sumatera dan sebagainya, nama suku Togutil mungkin baru
kali ini didengar. Bagi orang Ternate kata Togutil sebagai sebuah istilah, identik dengan makna kata primitif,
keterbelakangan, kebodohan, ketertinggalan, serta masih banyak lagi
konotasi-konotasi yang bermakna serupa lainnya (Latif, 2009).
Dalam keseharian kehidupan
masyarakat di Maluku Utara yang hingga sekarang ini juga telah memasuki era
digital sebagaimana orang-orang di pulau Jawa, namun ternyata masih ada
saudara-saudara yang ada di pedalaman pulau Halmahera yang hidupnya masih
primitif dan terbelakang serta jauh dari sentuhan modernisasi. Padahal negara
ini sudah merdeka lebih dari 60 tahun yang lalu.[1] Dengan kemerdekaan yang panjang itu
masih menyisakan penyesalan. Tak hanya karena taraf hidup rakyat yang tak
kunjung membaik, tapi juga masih banyak saudara kita yang hidup terasing.
Mereka asing bagi kita, dan kita asing bagi mereka, seperti orang-orang suku Togutil
yang hidup di pedalaman pulau Halmahera. Walaupun mereka masih primitif karena
cara hidup secara nomaden tanpa merubah dan merusak alam, namun
keberadaan mereka seperti itu telah memberikan pelajaran berharga kepada kita
semua dalam hal melestarikan hutan. Seakan-akan mereka berpesan janganlah
sekali-kali merusak alam (Latif, 2009).
Mereka
senang tinggal ditepian sungai, rumah yang mereka buat terbuat dari kayu, beratap dari daun
rumbia dan tidak berdinding. Mereka makan dengan menyantap makanan mentah atau
makanan yang telah di bakar,
dan mereka pun minum air langsung
dari sungai. Cara
hidup suku togutil yaitu nomaden atau berpindah-pindah, serta masih
sangat tertutup dengan lingkungan yang ada disekitar mereka. Sedangkan pola interaksi
diantara mereka memiliki bahasa tersendiri, jadi bagi orang-orang asing yang
masuk di perkampungan mereka harus ekstra hati-hati, karena mereka sangat
agresif dan menyerang siapa saja yang datang kekampung mereka. Apabila mereka merasa bahan makanan, seperti buah-buahan, sayuran dan hewan yang ada di hutan
sudah menipis, mereka akan pergi ke daerah lainnya.
Dengan
pembauran yang
terjadi antara masyarakat suku Togutil dengan masyarakat yang berada di
perkampungan sehingga
pola pikir merekapun yang dulunya masih begitu primitive dan pola hidup mereka
juga berpindah-pindah, sekarang mereka telah banyak mengenal pakaian dan berbusana dengan baik, rumah, serta menggunakan alat-alat
pertanian dengan benar, bercocok tanam dimulai dengan tanaman bulanan sampai
dengan tanaman tahunan sehingga kehidupan mereka tidak lagi berpindah-pindah
tempat. Suku Togutil di Halmahera yang
tinggal di hutan diperkirakan masih sekitar 200 kepala keluarga. Sedangkan 46
kepala keluarga telah direlokasi di Kecamatan Wasile Timur. Menurut pemerintah Halmahera Timur, program relokasi telah ada sejak Tahun 1967. Pada Tahun 2009
relokasi rumah mulai dibangun kembali. Sejak pertama
kali pemindahan masyarakat suku Togutil di sebuah pemukiman mereka
tidak betah karena terbiasa hidup
di ruang terbuka, selalu tergantung dengan alam.
Namun demikian masyarakat suku Togutil sudah mulai menempati sebuah
perkampungan dan berbaur dengan masyarakat yang ada disekitar mereka sampai
sekarang.[2]
Proses
pembauran yang terjadi antara suku Togutil dengan masyarakat sekitar adalah mereka
menyesuaikan diri sesuai dengan lingkungan yang ada disekitar mereka. Faktor
yang membuat sehingga perubahan perilaku, dapat berupa adanya program
pemerintah yakni alokasi pembangunan rumah khusus masyarakat suku Togutil, semuanya butuh keberanaian dalam menyesuaikan
diri dengan lingkungan yang dianggap baru tersebut. Dilihat dari kehidupan mereka
sehari-hari sudah bisa dikatakan perubahan sosial atau perubahan dari
norma-norma, peranan-peranan sosial, dan nilai sosial yang berlaku dalam kehidupan
sosial sebuah masyarakat, baik lingkungan maupun komposisi penduduk yang menjadi
warga masyarakat tersebut. Dengan adanya peminjaman suatu unsur kebudayaan
lain yang
disebabkan adanya
penemuan (discovery) dan penciptaan
(invention) dalam ekonomi yang mana suku Togutil
tidak mengenal sistem jual beli, teknologi, keyakinan, dan berbagai
aspek kehidupan lainnya dari masyarakat tersebut, sekarang telah mengenal
berbagai hal kehidupan luar.
[1] http://www.halmahera
utara.com/artl/106/asal-mula-suku-togutil-di-bumi-halmahera diakses
pada tanggal 08-04-2012, jam
07.50
[2] http://www.barulagi.com/2011/04/suku-togutil-di-maluku-utara.html?m=0 diaskes pada tanggal 26-03- 2013
jam 07: 24 Wib
Tidak ada komentar:
Posting Komentar