“Aku bersyukur dilahirkan di Indonesia, dimana senyum masih menjadi karakter, budaya masih apik terjaga, dan optimisme masih menyulut semangat. Aku berharap, anak-anakku kelak harus lebih bangga dariku dalam memandang dan memperjuangkan Indonesianya. Jaya Selalu Negeriku Indonesia, Jayalah Selama-lamanya”

Implementasi Demokrasi di Thailand Tahun 2013



Oleh: Ahmad Mubarak Munir, Arnodya Rizkiawan, Haryo Prasodjo, Rekha Kresana, Rochmy Hamdani Akbar,  Zean Pratama
Thailand banyak mengalami masa transisi demokrasi yang sangat panjang, melalui beberapa kerusuhan disetiap kepemimpinan Thailand, sejak tahu 1932-2006 sudah terjadi 23 kudeta militer dan 18 kali perubahan konstitusi.[1] Tahapan demokrasi di Thailand diawali dengan aksi kudeta untuk membatasi kekuasaan raja dan memenuhi keinginan masyarakat dalam menjalankan pemerintahan. Penerapan demokrasi di Thailand sebenarnya bertolak belakang dengan nilai-nilai tradisionalnya karena semangat demokrasi yang tidak sejalan dengan nilai tradisional Thailand. Esensi dari demokrasi adalah peran maksimal dari rakyat. Pemikiran ini apakah sejalan dengan pada nilai-nilai tradisional Thailand kedaulatan kekuasaan pada raja. Keputusan raja bertujuan untuk stabilitas dan perdamaian orang Thailand karena raja berkeinginan adanya ketentaraman pemikiran orang Thailand terhadap perdaban tradisional dan perdaban modern, dimana mereka menerima demokrasi sebagai bagian dari pemerintahan Thailand.
Transisi yang paling besar di Thailand ketika Perdana Menteri Thaksin Shinawatra dikudeta. Thaksin membuat sejarah dengan terpilihnya ia pada tahun 2005 sebagai Perdana Menteri pertama yang melayani dua periode 2001-2006. Selama jabatannya Thaksin diduga melakukan korupsi, gagal melakukan pemberontakan di selatan, namun ketanggapannya dalam krisis tsunami menaikkan popularitasnya menjelang pemilu. Mendapatkan kritik intens ketika menjual perusahaan keluarganya hampir 2 miliar dolar tanpa membayar pajak.[2] Kemudia dituntut untuk mengundurkan dirinya, jatuh nya rezim Thaksin menyebabkan masyarakat terbagi dalam dua kubu (pro dan kontara), kesempatan itu kemudian dimanfaatkan oleh militer dalam mengamankan kesetabilan politik, bahkan kontra terhadap Thaksin

Pada dasarnya demokrasi di Thailand tidak terlepas dari campur tangan militer dan peranan raja, sejak tahun 1932-1988 militer telah memainkan peranannya secara dominan di kehidupan politik Thailand. Elit militer pula yang menjadi penentu utama dari politikluar negeri seperti konflik diwilayah perbatasan, pembelian senjata, penyusunan anggaran belanja militer dan pengelolan bantuan militer ditangani oleh para perwira militer.[3]
Militer sebagai lembaga satu-satunya yang mampu membuktikan sebagai lembaga pembela bangsa. Masuknya kembali pada politik Thailand dikarenakan, pertama gagalnya sipil dalam mengelola dan stabilitas negara, yang menyebabkan terjadinya kudeta tahun 2006. Militer merasa kecewa atas kepemimpinan Thaksin yang sejak awal tahun 2006 selalu dirundung permasalahan legitimasi kekuasaan akibat merebaknya kasus korupsi yang melibatkan dirinya dan money politic dalam upaya memenangkan pemilu menuju jabatan perdana menteri melalui pembelian suara tahun 2006. Thaksin dituduh tidak nasionalis karena telah menjual perusahaan keluarga yang bergerak dalam bidang komunikasi (shin corp) kepada Singapura dan adanya penjualan saham keluarga yang dibebaskan dari pajak sehingga membawa keuntungan kepada keluarga Thaksin. Disamping itu juga adanya dukungan raja yang merupakan faktor penting adanya aksi kudeta.[4]
Penyebab kedua adalah pasca terjadinya kudeta yang mana militer menepati janjinya untuk menyerahkan kekuasaan kepada sipil, namun setelah itu militer tidak mampu menghindari dari tekanan politik, seperti pada pemilu pertama pasca kudeta banyak yang menilai bahwa militer memiliki andil besar dalam mendukung aksi-aksi aliansi rakyat untuk demokrasi, reformasi militer berjalan lamban dan kekacauan dalam negeri belum bisa diatasi. Kudeta tahun 2006 merupakan pemicu masuknya militer dalam perpolitikan Thailand dan tidak melakukan apa-apa dalam tranformasi di Thailand. Intervensi militer berdampak pada beberapa hal yaitu semakin meruncingnya friksi antara sosial politik antara dua fraksi dalam politik Thailand, dan intervensi militer dalam dunia politik mengganggu demokrasi di Thailand dan meningkatkan  kekerasan, pelanggaran HAM, melemahkan penegakan hukum.[5]
Penyebab ketiga adalalah Thaksin terkenal dengan ambisinya menciptakan Thailand baru dengan menciptakan slogan “Think new, act new, for every thai”. Thaksin juga memperkenalkan kebijakan baru yang terkenal dengan “Thaksonomic” yang berpijak pada argumen “a company is a country, a country is a company” . Layaknya seorang pimpinan perusahaan, Thaksin juga memproyeksikan dirinya sebagai CEO (Chief Economi Executive). Thaksinisasi membawa pola baru dalam hubungan masyarakat-negara yang pola ini tidak sesuai dengan kehendak militer.[6]
Adanya dukungan Raja Bhumibol Adulyadej dalam kudeta terhadap Perdana Menteri Thaksin, yang dipimpin oleh Jenderal Sonthi Boonyaratglin, yang merupakan awal dari intervensi militer dalam politik, dimana keputusan apapun yang dimabil oleh militer dan sipil tidak akan berjalan apabila raja tidak mengizinkan. Begitu pula denga kudeta terhadap Thaksin yang tidak akan terjadi bila tidak adanya dukungan dari raja. Ada tiga peranan raja dalam sebagai kekuatan moral dalam sejarah politik dan kehidupan berbangsa di Thailand;[7] Pertama,walaupun secara struktur kekuasaan raja mulai dibatasi dengan adanya parlemen, militer dan elit politik. Namun dengan adanya ketidakpercayaan antara masyarakay, elit politik dan militer, maka raja dianggap sebagai tempat terakhir dalam menyelesaikan masalah. Kedua, raja memiliki kekuasaan turun-temurun yang dianggap orang Thailand sebagai wakil Tuhan untuk menyelamatkan negara, ketika dalam jurang perpecahan nasional . Sehingga demokrasi ala barat belum mampu menggantikan peran raja sebagai penguasa tertinggi Thailand. Ketiga, raja sebagai simbol tertinggi kekuatan moral, raja selalu menempatkan diri yang tepat ketika krisis politik terjadi.
Kudeta tak berdarah 1991 mirip kudeta tahun 2006. Raja sebagai pemimpin moral tertinggi merestui masuknya militer dalam politik. Dengan adanya budaya kudeta,maka demokrasi di Thailand tidak akan berjalan denga baik, sebab budaya demokrasi tidak perlu adanya campur tangan militer. Kesalahan utama yang menyebebkan krisis demokrasi yang menyebabkan kudeta adalah elit sipil tidak mau membagi kekuasaan antara kelompok politik satu dengan yang lain, sehingga menyebabkan militer masuk dalam politik dengan alasan stabilitas dan keamanan. Ketidakmampuan politisi sipil dalam kekacauan dalam negeri merupakan pintu masuk bagi otoritarianisme yang kemudian akan mengikis demokrasi.
Globalisasi telah berdampak pada seluruh lapisan masyarakat. Gllobalisasi ditandai dengan persebaran teknologi informasi secara masif membuat kehidupan tanpa batas. Globalisasi telah mampu mendobrak dominasi militer dan birokrasi, sehingga menciptakan kekuatan baru yang pada akhirnya membentuk segitiga kekuasaan antara militer, pengusaha, dan birokrasi


[1] Isnaini Khoirunisa,”Analisa Politik Demokrasi di Thailand,” http://id.scribd.com/doc/109299606/analisa-politik-demokrasi-di-Thailand, akses 30 Maret 2014.
[2]Hikmat,”Sejarah Negara Thailand”, http://hikmat.web.id/sejarah-dunia/sejarah-negara-thailand/, akses 30 Maret 2014.
[3] Clark D.Neher, “The Foreign Policy of Thailand”, Wurfel and Burton, The Political Economic of Foreign Policy in Southeast Asia.
[4] Ratna Indah,”Peranan Militer dalam Politik Thailand”, http://politik.kompasiana.com/2012/04/05/peranan-militer-dalam-politik-thailand-452694.html, akses 30 Maret 2014.
[5] Ibid.

[7] Edi Maszudi,”Demokrasi dan Budaya Politik Thailand”,http://www.suaramerdeka.com/harian/0610/03/opi03.htm, akses 29 Maret 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar