Oleh: Ahmad Mubarak Munir, Arnodya
Rizkiawan, Haryo Prasodjo, Rekha Kresana, Rochmy Hamdani Akbar, Zean Pratama
Thailand
banyak mengalami masa transisi demokrasi yang sangat panjang, melalui beberapa
kerusuhan disetiap kepemimpinan Thailand, sejak tahu 1932-2006 sudah terjadi 23
kudeta militer dan 18 kali perubahan konstitusi.[1]
Tahapan demokrasi di Thailand diawali dengan aksi kudeta untuk membatasi
kekuasaan raja dan memenuhi keinginan masyarakat dalam menjalankan
pemerintahan. Penerapan demokrasi di Thailand sebenarnya bertolak belakang
dengan nilai-nilai tradisionalnya karena semangat demokrasi yang tidak sejalan
dengan nilai tradisional Thailand. Esensi dari demokrasi adalah peran maksimal
dari rakyat. Pemikiran ini apakah sejalan dengan pada nilai-nilai tradisional
Thailand kedaulatan kekuasaan pada raja. Keputusan raja bertujuan untuk
stabilitas dan perdamaian orang Thailand karena raja berkeinginan adanya
ketentaraman pemikiran orang Thailand terhadap perdaban tradisional dan
perdaban modern, dimana mereka menerima demokrasi sebagai bagian dari
pemerintahan Thailand.
Transisi
yang paling besar di Thailand ketika Perdana Menteri Thaksin Shinawatra
dikudeta. Thaksin membuat sejarah dengan terpilihnya ia pada tahun 2005 sebagai
Perdana Menteri pertama yang melayani dua periode 2001-2006. Selama jabatannya
Thaksin diduga melakukan korupsi, gagal melakukan pemberontakan di selatan,
namun ketanggapannya dalam krisis tsunami menaikkan popularitasnya menjelang
pemilu. Mendapatkan kritik intens ketika menjual perusahaan keluarganya hampir
2 miliar dolar tanpa membayar pajak.[2]
Kemudia dituntut untuk mengundurkan dirinya, jatuh nya rezim Thaksin
menyebabkan masyarakat terbagi dalam dua kubu (pro dan kontara), kesempatan itu
kemudian dimanfaatkan oleh militer dalam mengamankan kesetabilan politik,
bahkan kontra terhadap Thaksin
Pada
dasarnya demokrasi di Thailand tidak terlepas dari campur tangan militer dan
peranan raja, sejak tahun 1932-1988 militer telah memainkan peranannya secara
dominan di kehidupan politik Thailand. Elit militer pula yang menjadi penentu
utama dari politikluar negeri seperti konflik diwilayah perbatasan, pembelian
senjata, penyusunan anggaran belanja militer dan pengelolan bantuan militer
ditangani oleh para perwira militer.[3]
Militer
sebagai lembaga satu-satunya yang mampu membuktikan sebagai lembaga pembela
bangsa. Masuknya kembali pada politik Thailand dikarenakan, pertama gagalnya sipil dalam mengelola
dan stabilitas negara, yang menyebabkan terjadinya kudeta tahun 2006. Militer
merasa kecewa atas kepemimpinan Thaksin yang sejak awal tahun 2006 selalu
dirundung permasalahan legitimasi kekuasaan akibat merebaknya kasus korupsi
yang melibatkan dirinya dan money politic
dalam upaya memenangkan pemilu menuju jabatan perdana menteri melalui pembelian
suara tahun 2006. Thaksin dituduh tidak nasionalis karena telah menjual
perusahaan keluarga yang bergerak dalam bidang komunikasi (shin corp) kepada
Singapura dan adanya penjualan saham keluarga yang dibebaskan dari pajak
sehingga membawa keuntungan kepada keluarga Thaksin. Disamping itu juga adanya
dukungan raja yang merupakan faktor penting adanya aksi kudeta.[4]
Penyebab
kedua adalah pasca terjadinya kudeta
yang mana militer menepati janjinya untuk menyerahkan kekuasaan kepada sipil,
namun setelah itu militer tidak mampu menghindari dari tekanan politik, seperti
pada pemilu pertama pasca kudeta banyak yang menilai bahwa militer memiliki
andil besar dalam mendukung aksi-aksi aliansi rakyat untuk demokrasi, reformasi
militer berjalan lamban dan kekacauan dalam negeri belum bisa diatasi. Kudeta
tahun 2006 merupakan pemicu masuknya militer dalam perpolitikan Thailand dan
tidak melakukan apa-apa dalam tranformasi di Thailand. Intervensi militer
berdampak pada beberapa hal yaitu semakin meruncingnya friksi antara sosial
politik antara dua fraksi dalam politik Thailand, dan intervensi militer dalam
dunia politik mengganggu demokrasi di Thailand dan meningkatkan kekerasan, pelanggaran HAM, melemahkan penegakan
hukum.[5]
Penyebab
ketiga adalalah Thaksin terkenal
dengan ambisinya menciptakan Thailand baru dengan menciptakan slogan “Think new, act new, for every thai”.
Thaksin juga memperkenalkan kebijakan baru yang terkenal dengan “Thaksonomic” yang berpijak pada argumen
“a company is a country, a country is a
company” . Layaknya seorang pimpinan perusahaan, Thaksin juga
memproyeksikan dirinya sebagai CEO (Chief Economi Executive). Thaksinisasi
membawa pola baru dalam hubungan masyarakat-negara yang pola ini tidak sesuai
dengan kehendak militer.[6]
Adanya
dukungan Raja Bhumibol Adulyadej dalam kudeta terhadap Perdana Menteri Thaksin,
yang dipimpin oleh Jenderal Sonthi Boonyaratglin, yang merupakan awal dari
intervensi militer dalam politik, dimana keputusan apapun yang dimabil oleh
militer dan sipil tidak akan berjalan apabila raja tidak mengizinkan. Begitu
pula denga kudeta terhadap Thaksin yang tidak akan terjadi bila tidak adanya
dukungan dari raja. Ada tiga peranan raja dalam sebagai kekuatan moral dalam
sejarah politik dan kehidupan berbangsa di Thailand;[7] Pertama,walaupun secara struktur
kekuasaan raja mulai dibatasi dengan adanya parlemen, militer dan elit politik.
Namun dengan adanya ketidakpercayaan antara masyarakay, elit politik dan
militer, maka raja dianggap sebagai tempat terakhir dalam menyelesaikan
masalah. Kedua, raja memiliki
kekuasaan turun-temurun yang dianggap orang Thailand sebagai wakil Tuhan untuk
menyelamatkan negara, ketika dalam jurang perpecahan nasional . Sehingga
demokrasi ala barat belum mampu menggantikan peran raja sebagai penguasa
tertinggi Thailand. Ketiga, raja
sebagai simbol tertinggi kekuatan moral, raja selalu menempatkan diri yang
tepat ketika krisis politik terjadi.
Kudeta
tak berdarah 1991 mirip kudeta tahun 2006. Raja sebagai pemimpin moral
tertinggi merestui masuknya militer dalam politik. Dengan adanya budaya
kudeta,maka demokrasi di Thailand tidak akan berjalan denga baik, sebab budaya
demokrasi tidak perlu adanya campur tangan militer. Kesalahan utama yang
menyebebkan krisis demokrasi yang menyebabkan kudeta adalah elit sipil tidak
mau membagi kekuasaan antara kelompok politik satu dengan yang lain, sehingga
menyebabkan militer masuk dalam politik dengan alasan stabilitas dan keamanan.
Ketidakmampuan politisi sipil dalam kekacauan dalam negeri merupakan pintu masuk
bagi otoritarianisme yang kemudian akan mengikis demokrasi.
Globalisasi telah
berdampak pada seluruh lapisan masyarakat. Gllobalisasi ditandai dengan
persebaran teknologi informasi secara masif membuat kehidupan tanpa batas.
Globalisasi telah mampu mendobrak dominasi militer dan birokrasi, sehingga
menciptakan kekuatan baru yang pada akhirnya membentuk segitiga kekuasaan
antara militer, pengusaha, dan birokrasi
[1] Isnaini
Khoirunisa,”Analisa Politik Demokrasi di Thailand,” http://id.scribd.com/doc/109299606/analisa-politik-demokrasi-di-Thailand,
akses 30 Maret 2014.
[2]Hikmat,”Sejarah
Negara Thailand”, http://hikmat.web.id/sejarah-dunia/sejarah-negara-thailand/,
akses 30 Maret 2014.
[3] Clark D.Neher, “The Foreign Policy of Thailand”, Wurfel and
Burton, The Political Economic of Foreign Policy in Southeast Asia.
[4] Ratna
Indah,”Peranan Militer dalam Politik Thailand”, http://politik.kompasiana.com/2012/04/05/peranan-militer-dalam-politik-thailand-452694.html,
akses 30 Maret 2014.
[5] Ibid.
[7] Edi Maszudi,”Demokrasi
dan Budaya Politik Thailand”,http://www.suaramerdeka.com/harian/0610/03/opi03.htm,
akses 29 Maret 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar