Oleh: Ahmad Mubarak Munir, Arnodya Rizkiawan, Haryo Prasodjo, Rekha Kresana, Rochmy Hamdani Akbar, Zean Pratama
Di era
globalisasi dewasa ini, isu mengenai demokrasi menjadi semakin relevan untuk
diperbincangkan karena setidaknya dua alasan pokok. Pertama, pergeseran kekuasaan yang mendorong pentingnya melakukan
pendefinisian ulang atas peran negara. Jika entitas negara menjadi “ruang
politik” demokrasi, maka transformasi politik yang diakibatkan oleh globalisasi
mestinya mendorong pentingnya diskusi mengenai hal tersebut lebih lanjut. Kedua, menguatnya tatanan neoliberal
yang menciptakan kemiskinan dan ketimpangan dalam skala luas. Jika kondisi
sosio-ekonomi merupakan variabel penting yang harus dipertimbangkan ketika kita
membahas demokrasi, maka persoalan pokoknya adalah bagaimana neoliberalisme
memberikan kontribusi atas hal tersebut. Karena Robert Dahl telah mengingatkan,
kapitalisme modern cenderung menciptakan ketimpangan dalam sumber daya sosial
dan ekonomi yang sangat besar yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran terhadap persamaan politik dan, karena itu,
terhadap proses demokrasi. Oleh karena itu, sangat penting untuk melihat suatu
visi demokrasi yang juga menjamin tidak hanya hak-hak politik warga negara,
tetapi juga hak-hak sosial-ekonomi.[1]
Merujuk
pada Stiglitz, Puji Rianto, Peneliti Pada Pusat Kajian Media dan Budaya
Populer, mengemukakan bahwa keuntungan perdagangan bebas tidak bisa
dimanfaatkan oleh semua negara di dunia karena ketiadaan informasi yang sama.
Dalam hal ini, ada orang-orang atau masyarakat yang mempunyai cukup informasi (the have) dan ada orang-orang atau
kelompok masyarakat yang tidak mempunyai cukup informasi (the have not). Rianto juga mengemukakan bahwa tatanan neoliberal
telah membuat akses informasi semakin timpang. Hal ini disebabkan, seperti apa
yang dikemukakan Herbert Schiller, inovasi informasi dan komunikasi sangat
dipengaruhi oleh tekanan-tekanan pasar melalui pembelian, penjualanan dan
perdagangan dalam rangka mencetak keuntungan. Pada akhirnya, ketidakimbangan
kelas (class inequalities) menjadi
faktor utama yang menentukan distribusi, akses dan kapasitas untuk menghasilkan
informasi.[2]
Tidak
bisa dipungkiri, kecenderungan globalisasi neoliberal adalah menguatnya
kekuasaan baik ekonomi-politik pada segelintir orang atau kelompok orang. Oleh
karena itu, ia dapat membahayakan demokrasi karena ketimpangan yang
diciptakannya. Perusahaan-perusahaan transnasional yang beroprasi lintas batas negara negara kini
merepresentasikan dirinya sebagai kekuatan ekonomi dan sekaligus politik.
Perusahaan-perusahaan inilah yang sekarang berkuasa dan melakukan “pembajakan”
atas demokrasi yang kini tengah berlangsung. Noreena Hertz menggambarkannya
dengan sangat baik ketika ia mengatakan, “This
is the world of the Silent Takeover, the world at the dawn of the new
millennium. Government’s hand appears tied and we are increasingly dependent on
corporations. Bussiness is in the driver’s seat, corporations determine the
rules of the game, and the governments have become the referees, enforcing
rules laid down by others”. Pengaruh perusahaan-perusahaan multinasional
dan transnasional yang semakin menguat tidak hanya di pemerintahan, tetapi juga
lembaga-lembaga multilateral, seperti IMF dan WTO.[3]
Dalam
bukunya Isu-Isu Global Kontemporer, Budi Winarno mengidentifikasi adanya dua
faktor penyebab mengapa kekuasaan negara di era global seperti saat ini semakin
menurun:[4]
·
Pertama, interdependensi. Revolusi teknologi
komunikasi dan semakin rendahnya biaya tranportasi telah mendorong globalisasi.
Pada tahap tertentu, revolusi ini akan mendorong interdependensi negara-negara
di dunia. Interdependensi ini juga ditopang oleh munculnya kesadaran global
akan persoalan-persoalan yang muncul ke permukaan yang menegaskan bahwa negara
bangsa tidak dapat menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut tanpa bantuan
negara lain. Di bawah situasi interdependensi yang kompleks, makna kedaulatan
akan mengalami pergeseran. Negara bangsa di dalam batas teritorial tertentu
tidak akan dapat lagi menggunakan kekuasaan otoritatifnya atas nama kedaulatan
nasional menyangkut segala persoalan dalam negeri, yang seharusnya menjadi
wewenangnya. Ini karena keputusan-keputusan penting mungkin diformulasikan oleh
perusahaan-perusahaan transnasional yang berbasis global atau kebijakan yang
diambil suatu negara akan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap negara
lain. Artinya, otonomi negara semakin berkurang karena semua kebijakan dan
keputusan yang diambil oleh elite-elite pemegang kekuasaan tidak dapat
melepaskan diri dari dampak dan pengaruh negara lain.
·
Kedua, munculnya lembaga-lembaga supranasional.
Globalisasi telah memunculkan kerjasama di tingkat regional. Kekuasaan parlemen
Eropa sekarang ini mengatasi dewan perwakilan di masing-masing negara, dan
keputusan-keputusan yang dibuat seringkali bertolak belakang dengan keinginan
masyarakat yang merupakan warga negara anggota Uni Eropa. Di sisi lain,
lembaga-lembaga ekonomi global juga semakin mengambil peran signifikan di era
sekarang ini. IMF, World Bank, dan WTO telah menjadi organisasi-organisasi governance global yang menentukan banyak
kebijakan di negara dunia ketiga, terutama negara-negara yang lumpuh
perekonomiannya akibat krisis.
Berkurangnya
otonomi negara telah memaksa kita untuk kembali memperdebatkan arti penting
kedaulatan. Hal ini oada akhirnya akan memberikan batas-batas terhadap sistem
politik dalam kemampuan merespon tuntutan warga negara. Di sisi lain,
menguatnya kekuasaan korporasi-korporasi global telah “mengkooptasi” kekuasaan
politik agar lebih berusaha memperjuangkan kepentingan-kepentingan mereka.
Kekuasaan korporasi ini akan semakin besar seiring kemampuan mereka dalam
melobi atau bahkan mendikte lembaga-lembaga multilateral, seperti Bank Dunia.
Namun, di luar pergeseran kekuasaan itu, ada hal paling krusial yang muncul
akibat globalisasi neoliberal, yakni kemiskinan dan ketimpangan. Hal ini
penting dilihat sebagai bagian tak terpisahkan dalam membahas demokrasi karena
menjadi halangan untuk terciptanya demokrasi yang berkualitas. Kedua hal inilah
yang menjadi titik kritis demokrasi yang muncul seiring era globalisasi pasar
bebas neoliberal.[5]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar