Oleh: Mohammad Nailur Rochman (09260029)
Sebelumnya telah disebutkan oleh Peter Gourevitch bahwa politik
domestik sangat berkaitan dengan sistem internasional dan juga sebaliknya.
Struktur domestik menentukan sistem apa yang berlaku dalam hubungan antar
negara dan kemudian kesepakatan internasional itu berbalik memengaruhi urusan
dalam negeri masing-masing negara. Menurut Gourevitch, kajian mengenai hubungan
sistem internasional dan politik domestik adalah kajian yang tidak dapat
dipisahkan[1].
Kajian kali ini adalah mengenai bagaimana proses pembentukan benang
yang saling mengaitkan antara keduanya? kapan hubungan itu akan saling
menetukan satu sama lain? dan siapa saja yang menjadi aktor di dalamnya?. Oleh
karena itu, yang menjadi fokus kajian kali ini adalah pendekatan yang paling
bisa menjelaskan proses keterlibatan antara unsur-unsur domestik dan politik
internasional (bisa juga dikatakan sebagai kebijiakan-kebijakan yang berlaku
secara internasional).
Satu contoh yang mengilustrasikan kajian kali ini adalah kebijakan
yang memengaruhi politik internasional yang lahir dari konferensi informal
negara-negara industri maju dunia yang tergabung dalam perkumpulan Group of
Seven (G7) yaitu Prancis yang direpresentasikan oleh Presiden Valery
Giscard d’Estaing, Jerman oleh Kanselir Helmut Schmidt, Italia oleh PM Giulio
Andreotti, Jepang oleh PM Takeo Fukuda, Inggris Raya oleh PM James Callaghan,
AS oleh Presiden Jimmy Carter, Kanada oleh PM Pierre Trudeau dan komisi negara-negara
Eropa (resmi terbentuk tahun 1981) oleh Presiden komisi Roy Jenkins. KTT ini
dimaksudkan sebagai tempat untuk menyelesaikan perbedaan di antara anggotanya. Praktisnya,
KTT ini juga dipahami sebagai suatu kesempatan bagi anggota untuk saling memberikan
dorongan satu sama lain dalam memutuskan kebijakan-kebijakan ekonomi disaat
ekonomi dunia sedang mengalami krisis yang serius.
Beberapa keputusan yang merupakan hasil dari KTT Bonn di Jerman ini
dapat terlihat jelas dalam pernyataan-pernyataan berikut[2]:
1.
"We agreed on a comprehensive
strategy covering growth, employment and inflation, international monetary
policy, energy, trade and other issues of particular interest to developing
countries....W are dealing with longterm problems....This strategy is a
coherent whole, whose parts are interdependent....
2.
We are concerned, above all, about worldwide
unemployment...."We will build...But we need an improvement in growth
...Improved growth will help to reduce protectionist pressures. We need it also
to encourage the flow of private investment, on which economic progress
depends. We will seek to reduce impediments to private investment, both
domestically and internationally.
3.
It articulated what each country
would do to fight inflation....
a.
Canada : reduce inflation,
b.
Germany : it will proposed additional measures up to 1% of GNP ...
c.
France : To increase by 1/2 of 1% of GNP the deficit of the budget of
the State
d.
Italy : raise economic growth in 1979 by 1.5% over 1978. Cut
public expenditure while stimulation investment
e.
Japan : real growth is 1.5% higher than 1977.
f.
UK :
1% fiscal stimulus over GNP to fight inflation
g.
US :
Major actions to counter inflation by: tax cutting, reduce government
expenditure very tight budget for 1980 and direct contribution by government
regulations or restrictions to rising costs and prices..
4. Determined
to expand international trade---one of the driving forces for more sustained
and balanced economic growth. Through joint efforts we will
maintain/strengthen the open international trading system...set forth in the
Framework of Understanding on the Tokyo Round of Multilateral TRADE
Negotiations made PUBLIC in Geneva on July 13, 1978.
5. There
must be a readiness over time to accept and facilitate structural change...
Measures to prevent such change perpetuate economic inefficiency....place the
using burden...on trading partners and inhibit
the integration of developing countries into the world economy.
6. We are
determined in our industrial, social, structural and regional policy
initiatives....
7. Need for
countries with large current accounts deficits to increase exports and for countries
with large current accounts surpluses to facilitate increases in imports.
8. We support
the soft loan funds of the World Bank and the three regional development banks
9. We
agreed to pursue actively the negotiations of a Common Fund to successfully
conclusion and to continue our efforts to conclude INDIVIDUAL COMMODITY
AGREEMENTS and to complete studies of various ways of stabilizing export
earnings.
10. Our
monetary authorities will continue to intervene to the extent necessary to
counter disorderly conditions in the exchange
markets. They will maintain extensive consultation to enhance these
efforts' effectiveness. We will support surveillance by the IMF to
promote effective functioning of the international monetary system.
Sepuluh
keputusan ini adalah contoh dari beberapa keputusan yang disahkan dalam KTT G7
Juni 1978. Namun yang menjadi penting dalam kajian disini bukanlah tentang
apakah bentuk keputusan ekonomi hasil KTT Bonn ini sesuai atau tidak jika
diterapkan di saat krisis masa itu, akan tetapi bagaimana kemudian keputusan
ekonomi dapat disetujui secara politis. Bagi Jerman misalnya, kesepakatan Bonn
ini lahir akibat tekanan-tekanan eksternal dari dalam pemerintahan Schmidt yang
secara sembunyi-sembunyi disusupkan. Faktanya, para pejabat di dalam kantor
Kekonsuleran dan Kementerian Ekonomi, serta di dalam Partai Demokrasi Sosial
dan serikat buruh berpendapat bahwa harus ada penambahan stimulus domestik
perihal ekonomi, mengingat tahun 1980 akan diadakan Pemilu. Namun, mereka sulit
untuk merubah itu karena kekuatan oposisi di dalam Kementerian Keuangan, Partai
Demokrasi Liberal (partai koalisi pemerintahan), komunitas pebisnis dan
perbankan, khususnya para petinggi Bundesbank. Menurut salah satu penasehat
terdekatnya, Schmidt berpura-pura enggan dalam menyepakati KTT Bonn tersebut,
tapi di memang sengaja mengeluarkan kebijakan yang sebenarnya dia sukai dan dia
juga sadar bahwa kebijakan tersebut tidak akan terwujud tanpa menyepakati
serangkaian paket yang ada di dalam KTT. Potret seperti ini menunjukkan bahwa
tidak selamanya kebijakan yang diambil dalam forum internasional selalu mewakili
aspirasi-aspirasi dalam negeri masing-masing negara. Peran diplomasi sangat
penting mengingat interaksi antar diplomat akan sangat memengaruhi politik
domestik suatu negara.
Dalam
memahami keterkaitan yang tergambar dalam contoh diatas, banyak ilmuwan yang
mencoba mendalaminya dengan berbagai macam teori. James Rosenau mengatakan
bahwa politik domestik dan internasional memang “terhubung”. Karl Deutsch dan Ernst Haas menekankan bahwa
tekanan partai dan kelompok kepentingan lah yang berperan dalam sistem internasional,
seperti integrasi negara-negara Eropa misalnya. Joseph Nye dan Robert Keohane
lebih menekankan pada teori interdependensia dan transnasionalisme, dimana
rezim internasional lebih mendominasi rezim nasional. Graham Allison melihatnya
dari sisi hubungan birokratik antar-negara (relation between nations)
dalam menentukan pembuatan kebijakan luar negeri. Peter Katzenstein mengatakan
bahwa tujuan utama
dari semua strategi kebijakan ekonomi asing adalah untuk membuat kebijakan dalam negeri
kompatibel dengan ekonomi politik internasional. Ia menitikberatkan bahwa pusat pengambilan keputusan yaitu negara[3] harus memperhatikan tekanan domestik dan internasional secara bersamaan. Tapi menurut Putnam, penelitian mengenai pengaruh faktor domestik terhadap kondisi internasional dan vice versa, harus lebih ditingkatkan dengan pendalaman teori lain yang bisa menyatukan kedua hal tersebut dan mengukur seberapa erat keterlibatan antara kedua hal ini.
dari semua strategi kebijakan ekonomi asing adalah untuk membuat kebijakan dalam negeri
kompatibel dengan ekonomi politik internasional. Ia menitikberatkan bahwa pusat pengambilan keputusan yaitu negara[3] harus memperhatikan tekanan domestik dan internasional secara bersamaan. Tapi menurut Putnam, penelitian mengenai pengaruh faktor domestik terhadap kondisi internasional dan vice versa, harus lebih ditingkatkan dengan pendalaman teori lain yang bisa menyatukan kedua hal tersebut dan mengukur seberapa erat keterlibatan antara kedua hal ini.
METAFORA PENDEKATAN TWO
LEVEL-GAME
Metafora
pendekatan two level-game digunakan Putnam untuk melihat masalah ini
lebih jeli. Menurutnya, situasi politik dalam proses negosiasi tingkat internasional
mengandung dua tingkatan. Pertama, adalah tingkat nasional dimana
kelompok-kelompok penekan dalam negeri terus menekan pemerintah agar kebijakan
yang dikeluarkan pemerintah sesuai dengan kepentingan mereka, dan di sisi lain,
politisi juga mengejar kekuasaan melalui pembinaan hubungan yang baik dengan
kelompok-kelompok tersebut. Kedua, tingkat internasional dimana pemerintah akan
selalu berusaha secara maksimal untuk memuaskan pihak-pihak domestik sambil
berusaha menghindari konsekuensi yang merugikan situasi domestik dari pihak
luar. Kedua permainan/pertimbangan ini tidak bisa diabaikan oleh sang pengambil
keputusan selama negara yang dipimpin adalah negara yang saling bergantung dengan
negara lain.
Permasalahan
rumit yang sering dihadapi dalam permainan dua tingkatan ini adalah ide-ide
yang menurut salah satu pemain rasional, tidak selalu dianggap demikian oleh
pemain yang lain. Oleh karena itu, Walton, McKersie dan Daniel Druckman
berpendapat bahwa ini bukanlah permainan antara dua pemain yang sama-sama
mengusahakan kepuasan nasional dan internasional, tapi permainan ini melibatkan
banyak pemain karena interaksi ‘dalam proses’ negosiasi inilah yang menentukan,
bukan interaksi antar negosiator.
TEORI RATIFIKASI: PENTINGNYA
MENANG DALAM SET (WIN-SETS)
Negosiator bertugas untuk “memuaskan” kedua belah pihak -domestik
dan internasional- yang tidak memiliki banyak pilihan dan hanya mengejar
kesepakatan yang akan menguatkan posisi kekuasaannya di kalangan konsituennya.
Untuk itu, maka perlu adanya penguraian proses negosiasi. Putnam membagi proses
ini menjadi dua bagian:
1.
Proses
tawar-menawar antar negosiator; dinamakan Tingkat I
2.
Proses diskusi dalam
setiap kelompok (pejabat birokrasi, kelompok kepentingan, perserikatan sosial,
dan opini publik) mengenai ratifikasi persetujuan; dinamakan Tingkat II
Apa yang terjadi di Tingkat II sangat menentukan proses tawar
menawar (Tingkat I) karena negosiator berperan sesuai dengan rekomendasi dan
hasil konsultasi di Tingkat II. Adapun faktor-faktor yang menentukan kesuksesan
dalam win-sets adalah:
a.
Pembagian
kekuasaan, pilihan-pilihan dan kemungkinan untuk bersekutu diantara konstituen
di Tingkat II
b.
Lembaga-lembaga
politik di Tingkat II
c.
Strategi-strategi
yang digunakan oleh negosiator di Tingkat I
Adapun peran seorang negosiator meliputi:
·
Meningkatkan
posisinya di Tingkat I dengan meningkatkan sumber daya politiknya dan
meminimalisir potensi kerugian
·
Menggeser
keseimbangan kekuatan di Tingkat I untuk mendukung kebijakan dalam negeri. Negosiasi internasional kadang-kadang
memungkinkan para pemimpin pemerintah
untuk melakukan apa yang mereka inginkan
secara pribadi untuk dilakukan, tetapi
tidak mampu melakukannya dalam negeri.
·
Mengejar
kepentingan nasional dalam konteks internasional sesuai dengan pandangannya
atau konsepsinya
KESIMPULAN
Pendekatan teoritis seperti ini memunculkan beberapa faktor
penjelas yang mampu menjelaskan keterhubungan antara diplomasi dan politik
domestik, diantaranya:
1.
Perbedaan yang
jelas antara persetujuan internasional yang sukarela dan tidak sukarela
2.
Perbedaan yang
jelas antara isu-isu yang unsur domestiknya homogen dimana keputusan yang
diambil sangat realis, dengan isu-isu yang unsur domestiknya heterogen yang
hasil keputusannya lebih kooperatif
3.
fakta yang paradoksal
bahwa pengaturan kelembagaan yang memperkuat
posisi pembuat keputusan di dalam negeri dapat melemahkan posisi tawar internasional mereka, dan sebaliknya
posisi pembuat keputusan di dalam negeri dapat melemahkan posisi tawar internasional mereka, dan sebaliknya
4.
pentingnya memperhatikan ancaman internasional,
penawaran-penawaran, dan efek samping
terhadap insiden domestik mereka
di dalam negeri dan luar negeri.
[1]
Selengkapnya baca David A. Baldwin, 2008, Theories of Internasional
Relations, England, Ashgate Publishing Limited, hal: 177
[2] http://www.womensgroup.org/G7REVIEW.html
[3]
Negara disini bukanlah diartikan sebagai wilayah atau kekuasaan, tapi negara
lebih dilihat dari segi siapa yang memainkan peran dalam negara tersebut. Oleh
karena itu negara adalah bentuk wadah yang keberadaannya diwakili oleh satu
aktor yang dipengaruhi oleh beberapa aktor lain.
ini dari Robert Putnam, Diplomacy and domestic policy: the logic of two level games, kan? thank you!! i really need the translator to understand it!!
BalasHapus