Oleh: Najamuddin Khairurrijal
“Singkapkan sekujur tubuh, dan pampangkan setiap lapis kulitnya.”
J.F. Lyotard
Sekali lagi tentang perempuan. Nampaknya, tiada perbincangan paling menarik yang tidak pernah usang untuk diperbincangkan selain daripada perempuan dengan segala dimensinya. Perempuan senantiasa menjadi warna menarik dalam segala spektrum kehidupan. Bagi penulis, perempuan adalah sosok makhluk “misterius”. Misterius sebab sulit dijamah hakikatnya, sulit digapai makna tingkahnya dan sulit ditembus esensinya.
Membincangkan perempuan berarti membincangkan segala dimensinya, baik fisik maupun psikis. Sebabnya, adalah karena memang perempuan selalu menarik untuk ditilik dari beragam perspektif. Daripadanya dimaknai sejuta pelajaran dan darinya pula dituai sejuta keterpesonaan yang merangsang libido. Membincangkan perempuan berarti mencari titik-titik rahasia untuk menembus kemisteriusannya.
Oleh karena sosok misteriusnya itu pula, perempuan banyak dipuja dan dieskploitasi. Salah satu bentuknya adalah melalui arena pornografi yang menyajikan sebentuk realitas perempuan yang teramat “seksi” lewat sajian visual. Visualisasi perempuan, tubuh dan citra tubuh perempuan tersebut ternyata terbingkai melalui suatu sistem yang disebut kapitalisme. Bagaimana kapitalisme menelanjangi tubuh perempuan yang sebenarnya telah telanjang?. “Sebenarnya telah telanjang” dalam arti telah telanjang eksistensinya.
Tulisan ini diurai kemudian ditata dari salah satu bab pada buku Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan karya Yasraf Amir Piliang. Siapapun Anda, bisa saja menghakimi tulisan ini dengan sejuta kritik akibat kevulgaran bahasa dan kata-kata perangsang libidonya atau karena tata bahasa yang kaku. Bahkan bukan tidak mungkin, siapapun Anda, bisa saja mengikuti alur kevulgaran tersebut karena angan ilusi Anda terangsang. Namun, pada titik akhir, dengan berdiri pada satu perspektif yang sama, Anda harus sepakat bahwa seperti itulah adanya kini realitas perempuan dan tubuh serta citra tubuhnya dalam dimensi pornografi.
***
Perbincangan mengenai perempuan dan pornografi tidak bisa dilepaskan dari sistem yang memungkinkan berkembangnya pornografi dan eksploitasi di dalamnya. Salah satu sistem yang didalamnya perempuan, secara tubuh, tanda dan hasrat, dieksploitasi dalam rangka memproduksi pornografi adalah sistem (budaya) kapitalisme. Di dalam sistem budaya kapitalisme, tubuh dengan berbagai potensi tanda, citra, simulasi dan artifice-nya menjadi elemen sentral ekonomi- politik. Hal itu disebabkan karena tubuh (estetika, gairah, sensualitas, erotisisme) merupakan elemen produksi komoditi. Tubuh itu sendiri, terutama tubuh perempuan, menjadi komoditi sekaligus metakomoditi, yaitu komoditi yang digunakan untuk menjual atau mengomunikasikan komoditi-komoditi lainnya, seperti model, sales girl, cheerleader, dan lainnya. Proses pengomunikasian tersebut dilakukan lewat potensi fisik, tanda dan libidonya.
Di dalam budaya kapitalisme, tubuh perempuan tidak saja dieksplorasi nilai gunanya (use value) seperti pekerja, pelayan dan prostitusi, tetapi juga nilai tukarnya (exchange value) berupa gadis model dan gadis peraga. Selain itu, juga dengan nilai tandanya (sign value) melalui pornografi, erotic art, erotic video, film porno serta situs porno.
Dengan demikian, tubuh menjadi urat nadi ekonomi-politik dan budaya kapitalisme, dengan segala potensi dan nilai ekonomi yang dimilikinya. Di dalam sistem budaya kapitalisme, tubuh menjadi bagian dari politik tubuh (body politics), setidaknya pada tiga tingkat politik, yakni ekonomi-politik tubuh, ekonomi- politik tanda tubuh dan ekonomi-politik hasrat.
Tubuh dan Politik Tubuh
Pertama, ekonomi-politik tubuh (political-economy of the body), yakni bagaimana tubuh digunakan berdasarkan pada konstruksi sosial atau ideologi kapitalisme (dan patriarki). Persoalan ekonomi-politik tubuh berkaitan dengan sejauh mana tubuh perempuan secara fisik dieksplorasi ke dalam berbagai bentuk komoditi. Tubuh sebagai entitas fisik dipertukarkan di dalam sistem ekonomi dengan mengeksplorasi nilai tukarnya (exchange value) berdasarkan segala potensi ekonomi yang dimiliki tubuh itu secara fisik, seperti paras kecantikan dan sensualitas.
Kedua, ekonomi-politik tanda tubuh (political economy of the body signs), yaitu bagaimana tubuh diproduksi sebagai tanda-tanda di dalam sebuah sistem pertandaan (sign system) kapitalisme, yang membentuk citra, makna, dan identitas diri mereka didalamnya. Persoalan ini berkaitan dengan eksistensi tubuh perempuan sebagai tanda dan citra yang diproduksi di dalam berbagai media kapitalistik seperti televisi, film, video, musik, majalah, surat kabar, internet, serta fashion. Tubuh sebagai entitas tanda dan citra dieksploitasi segala potensinya, yakni kemampuannya menghasilkan tanda dan citra tertentu yang dapat menciptakan nilai ekonomi dalam rangka mencari keuntungan.
Ketiga, ekonomi-politik hasrat (political-economy of desire), yaitu bagaimana potensi libido perempuan menjadi sebuah ajang eksploitasi ekonomi, yakni bagaimana ia disalurkan, digairahkan, dikendalikan atau dijinakkan di dalam berbagai bentuk relasi sosial yang menyertai produksi komoditi. Ekonomi-politik hasrat menjelaskan bagaimana tubuh dan citra tubuh perempuan merupakan sebuah strategi di dalam sebuah politik eksplorasi hasrat perempuan dalam sebuah relasi psikis yang dibentuk kapitalisme. Jadi, hasrat sebagai sebuah objek psikis dapat diproduksi sebagai komoditi untuk dipertukarkan, yaitu bahwa hasrat itu sendiri adalah sebuah sistem produksi yang memproduksi “hasrat” itu sendiri lewat mesin hasrat (desiring mechine).
Eksploitasi dan Eksplorasi Tubuh
Dunia yang dibangun berlandaskan ideologi kapitalisme yang didalamnya inheren dengan ideologi patriarki adalah sebuah dunia yang didalamnya perempuan direpresentasikan lewat bahasa (verbal, visual, digital). Didalamnya perempuan ditempatkan pada posisi sebagai the second sex, yang lemah, pasif, tak berdaya, pelengkap dan tak lebih dari objek kesenangan dari dunia laki-laki yang dominan. Perempuan dijadikan objek komoditi semata untuk pemenuhan kesenangan laki-laki sebagai subjek. Adapun pornografi adalah sebuah arena yang didalamnya relasi subjek-objek yang tidak simetris ini berlangsung.
Perempuan menjadi objek komoditi dalam rangka penciptaan ilusi dan manipulasi sebagai cara untuk mendominasi selera masyarakat, khususnya penggunaan efek-efek sensualitas. Penggunaan efek sensualitas tersebut berupa penggunaan tubuh dan organ-organ tubuh perempuan atau representasinya sebagai sebuah kendaraan ekonomi dalam rangka menciptakan keterpesonaan dan merangsang libido serta histeria massa. Kehadiran perempuan di dalam berbagai komunikasi sosial komoditi atau di dalam komoditi tontonan (film, lawak, sinetron, video), terutama adalah dalam rangka dieksploitasi berbagai potensi sensualitasnya. Seperti misalnya penggunaan perempuan sebagai ilustrasi musik pada berbagai video clip yang fungsi utamanya adalah memberikan nilai-nilai tampilan tubuh, meningkatkan daya tarik massa sebab merangsang libido.
Dengan keadaan demikian yang disebutkan di atas, dengan menggunakan tubuh dan citra tubuh perempuan, tubuh perempuan dieksploitasi sehingga di dalam dunia tersebut laki-laki dapat mengembara di dalam berbagai fantasi dan obsesinya. Pada akhirnya, dengan menggunakan tubuh dan citra tubuh, komoditi menawarkan berbagai kemungkinan kesenangan, salah satu bentuknya adalah scopophilia. Scopophilia adalah kesenangan menjadikan orang lain sebagai objek yang dapat mengundang rasa ingin tahu yang bersifat seksualitas.
Perempuan, dengan demikian, dalam sistem pornografi kapitalistik menjadi korban komodifikasi pasif, yaitu eksploitasi dirinya oleh pihak lain (laki-laki) untuk kesenangan pihak lain tersebut. Didalamnya perempuan memegang peran sebagai pemain sentral, akan tetapi sentral hanya pada posisi subordinat, yakni pada posisi tidak berkuasa untuk mengendalikan dunia tersebut.
Efek Komoditasi Tubuh dan Citranya
Pada titik akhir, pertanyaannya adalah apa yang kemudian menjadi efek dari komoditasi tubuh dan citra tubuh perempuan?. Pertama, tanda kecabulan (obscene signs). Kecabulan tampak lewat tindakan seksual atau simulasinya yang ditampilkan, baik secara langsung maupun tersamar: memegang, mengelus, meraba, meremas, mendekap, memangku. Tindakan tersebut secara sosial mengganggu orang-orang yang melihat, dengan alasan tabu, larangan etis dan moral, norma agama dan sebagainya.
Kedua, overexposed sign, yaitu cara-cara mengekspos tubuh dan organ-organ tubuh perempuan seperti paha, betis, payudara dan kelamin sebagai domain tontonan publik dengan cara memasuki dan menjelajahi apa yang selama ini disebut sebagai domain private di dalam sebuah kebudayaan.
Ketiga, tanda seksual (sexual signs), yaitu tanda-tanda yang mengarah pada tindakan hubungan seksual. Hubungan seksual baik secara tersamar atau secara eksplisit. Maka, tidak jarang, representasi akhir dari hal tersebut adalah paling tidak akrabnya kita dengan onani dan masturbasi.
Thus, kondisi tersebut memang di satu pihak akan menciptakan berbagai “gairah baru” bagi kapitalisme itu sendiri. Akan tetapi, di lain pihak, ia telah menimbulkan kegamangan dan ketidakpastian pada kelompok-kelompok yang di dalam sistem ekonomi seperti itu semakin terpinggirkan, yakni perempuan. Perempuan akan semakin terpasung sebagai objek komoditi di dalam arena pornografi.
Lalu, bagaimana kita harus menghadapi berbagai kekhawatiran dan ketidakpastian menyangkut eksistensi perempuan di dalam budaya kapitalisme masa depan?. Memang, harus diakui bahwa masalah pornografi adalah persoalan dilematis. Dilematis dalam arti pertentangan antara kebebasan vs moralitas, pertumbuhan vs tradisi, kreativitas vs norma. Sementara itu, di masa depan peran negara tidak lagi bisa diharapkan dalam mengatur dan mengendalikan berbagai aspek kehidupan sosial, termasuk komoditi. Di masa depan, negara akan semakin kehilangan kedaulatannya (lost sovereignty) dalam mengatur globalisasi ekonomi, informasi dan budaya. Lalu, hendak kemanakah perempuan mengadu dan berharap?.
“Singkapkan sekujur tubuh, dan pampangkan setiap lapis kulitnya.”
J.F. Lyotard
Sekali lagi tentang perempuan. Nampaknya, tiada perbincangan paling menarik yang tidak pernah usang untuk diperbincangkan selain daripada perempuan dengan segala dimensinya. Perempuan senantiasa menjadi warna menarik dalam segala spektrum kehidupan. Bagi penulis, perempuan adalah sosok makhluk “misterius”. Misterius sebab sulit dijamah hakikatnya, sulit digapai makna tingkahnya dan sulit ditembus esensinya.
Membincangkan perempuan berarti membincangkan segala dimensinya, baik fisik maupun psikis. Sebabnya, adalah karena memang perempuan selalu menarik untuk ditilik dari beragam perspektif. Daripadanya dimaknai sejuta pelajaran dan darinya pula dituai sejuta keterpesonaan yang merangsang libido. Membincangkan perempuan berarti mencari titik-titik rahasia untuk menembus kemisteriusannya.
Oleh karena sosok misteriusnya itu pula, perempuan banyak dipuja dan dieskploitasi. Salah satu bentuknya adalah melalui arena pornografi yang menyajikan sebentuk realitas perempuan yang teramat “seksi” lewat sajian visual. Visualisasi perempuan, tubuh dan citra tubuh perempuan tersebut ternyata terbingkai melalui suatu sistem yang disebut kapitalisme. Bagaimana kapitalisme menelanjangi tubuh perempuan yang sebenarnya telah telanjang?. “Sebenarnya telah telanjang” dalam arti telah telanjang eksistensinya.
Tulisan ini diurai kemudian ditata dari salah satu bab pada buku Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan karya Yasraf Amir Piliang. Siapapun Anda, bisa saja menghakimi tulisan ini dengan sejuta kritik akibat kevulgaran bahasa dan kata-kata perangsang libidonya atau karena tata bahasa yang kaku. Bahkan bukan tidak mungkin, siapapun Anda, bisa saja mengikuti alur kevulgaran tersebut karena angan ilusi Anda terangsang. Namun, pada titik akhir, dengan berdiri pada satu perspektif yang sama, Anda harus sepakat bahwa seperti itulah adanya kini realitas perempuan dan tubuh serta citra tubuhnya dalam dimensi pornografi.
***
Perbincangan mengenai perempuan dan pornografi tidak bisa dilepaskan dari sistem yang memungkinkan berkembangnya pornografi dan eksploitasi di dalamnya. Salah satu sistem yang didalamnya perempuan, secara tubuh, tanda dan hasrat, dieksploitasi dalam rangka memproduksi pornografi adalah sistem (budaya) kapitalisme. Di dalam sistem budaya kapitalisme, tubuh dengan berbagai potensi tanda, citra, simulasi dan artifice-nya menjadi elemen sentral ekonomi- politik. Hal itu disebabkan karena tubuh (estetika, gairah, sensualitas, erotisisme) merupakan elemen produksi komoditi. Tubuh itu sendiri, terutama tubuh perempuan, menjadi komoditi sekaligus metakomoditi, yaitu komoditi yang digunakan untuk menjual atau mengomunikasikan komoditi-komoditi lainnya, seperti model, sales girl, cheerleader, dan lainnya. Proses pengomunikasian tersebut dilakukan lewat potensi fisik, tanda dan libidonya.
Di dalam budaya kapitalisme, tubuh perempuan tidak saja dieksplorasi nilai gunanya (use value) seperti pekerja, pelayan dan prostitusi, tetapi juga nilai tukarnya (exchange value) berupa gadis model dan gadis peraga. Selain itu, juga dengan nilai tandanya (sign value) melalui pornografi, erotic art, erotic video, film porno serta situs porno.
Dengan demikian, tubuh menjadi urat nadi ekonomi-politik dan budaya kapitalisme, dengan segala potensi dan nilai ekonomi yang dimilikinya. Di dalam sistem budaya kapitalisme, tubuh menjadi bagian dari politik tubuh (body politics), setidaknya pada tiga tingkat politik, yakni ekonomi-politik tubuh, ekonomi- politik tanda tubuh dan ekonomi-politik hasrat.
Tubuh dan Politik Tubuh
Pertama, ekonomi-politik tubuh (political-economy of the body), yakni bagaimana tubuh digunakan berdasarkan pada konstruksi sosial atau ideologi kapitalisme (dan patriarki). Persoalan ekonomi-politik tubuh berkaitan dengan sejauh mana tubuh perempuan secara fisik dieksplorasi ke dalam berbagai bentuk komoditi. Tubuh sebagai entitas fisik dipertukarkan di dalam sistem ekonomi dengan mengeksplorasi nilai tukarnya (exchange value) berdasarkan segala potensi ekonomi yang dimiliki tubuh itu secara fisik, seperti paras kecantikan dan sensualitas.
Kedua, ekonomi-politik tanda tubuh (political economy of the body signs), yaitu bagaimana tubuh diproduksi sebagai tanda-tanda di dalam sebuah sistem pertandaan (sign system) kapitalisme, yang membentuk citra, makna, dan identitas diri mereka didalamnya. Persoalan ini berkaitan dengan eksistensi tubuh perempuan sebagai tanda dan citra yang diproduksi di dalam berbagai media kapitalistik seperti televisi, film, video, musik, majalah, surat kabar, internet, serta fashion. Tubuh sebagai entitas tanda dan citra dieksploitasi segala potensinya, yakni kemampuannya menghasilkan tanda dan citra tertentu yang dapat menciptakan nilai ekonomi dalam rangka mencari keuntungan.
Ketiga, ekonomi-politik hasrat (political-economy of desire), yaitu bagaimana potensi libido perempuan menjadi sebuah ajang eksploitasi ekonomi, yakni bagaimana ia disalurkan, digairahkan, dikendalikan atau dijinakkan di dalam berbagai bentuk relasi sosial yang menyertai produksi komoditi. Ekonomi-politik hasrat menjelaskan bagaimana tubuh dan citra tubuh perempuan merupakan sebuah strategi di dalam sebuah politik eksplorasi hasrat perempuan dalam sebuah relasi psikis yang dibentuk kapitalisme. Jadi, hasrat sebagai sebuah objek psikis dapat diproduksi sebagai komoditi untuk dipertukarkan, yaitu bahwa hasrat itu sendiri adalah sebuah sistem produksi yang memproduksi “hasrat” itu sendiri lewat mesin hasrat (desiring mechine).
Eksploitasi dan Eksplorasi Tubuh
Dunia yang dibangun berlandaskan ideologi kapitalisme yang didalamnya inheren dengan ideologi patriarki adalah sebuah dunia yang didalamnya perempuan direpresentasikan lewat bahasa (verbal, visual, digital). Didalamnya perempuan ditempatkan pada posisi sebagai the second sex, yang lemah, pasif, tak berdaya, pelengkap dan tak lebih dari objek kesenangan dari dunia laki-laki yang dominan. Perempuan dijadikan objek komoditi semata untuk pemenuhan kesenangan laki-laki sebagai subjek. Adapun pornografi adalah sebuah arena yang didalamnya relasi subjek-objek yang tidak simetris ini berlangsung.
Perempuan menjadi objek komoditi dalam rangka penciptaan ilusi dan manipulasi sebagai cara untuk mendominasi selera masyarakat, khususnya penggunaan efek-efek sensualitas. Penggunaan efek sensualitas tersebut berupa penggunaan tubuh dan organ-organ tubuh perempuan atau representasinya sebagai sebuah kendaraan ekonomi dalam rangka menciptakan keterpesonaan dan merangsang libido serta histeria massa. Kehadiran perempuan di dalam berbagai komunikasi sosial komoditi atau di dalam komoditi tontonan (film, lawak, sinetron, video), terutama adalah dalam rangka dieksploitasi berbagai potensi sensualitasnya. Seperti misalnya penggunaan perempuan sebagai ilustrasi musik pada berbagai video clip yang fungsi utamanya adalah memberikan nilai-nilai tampilan tubuh, meningkatkan daya tarik massa sebab merangsang libido.
Dengan keadaan demikian yang disebutkan di atas, dengan menggunakan tubuh dan citra tubuh perempuan, tubuh perempuan dieksploitasi sehingga di dalam dunia tersebut laki-laki dapat mengembara di dalam berbagai fantasi dan obsesinya. Pada akhirnya, dengan menggunakan tubuh dan citra tubuh, komoditi menawarkan berbagai kemungkinan kesenangan, salah satu bentuknya adalah scopophilia. Scopophilia adalah kesenangan menjadikan orang lain sebagai objek yang dapat mengundang rasa ingin tahu yang bersifat seksualitas.
Perempuan, dengan demikian, dalam sistem pornografi kapitalistik menjadi korban komodifikasi pasif, yaitu eksploitasi dirinya oleh pihak lain (laki-laki) untuk kesenangan pihak lain tersebut. Didalamnya perempuan memegang peran sebagai pemain sentral, akan tetapi sentral hanya pada posisi subordinat, yakni pada posisi tidak berkuasa untuk mengendalikan dunia tersebut.
Efek Komoditasi Tubuh dan Citranya
Pada titik akhir, pertanyaannya adalah apa yang kemudian menjadi efek dari komoditasi tubuh dan citra tubuh perempuan?. Pertama, tanda kecabulan (obscene signs). Kecabulan tampak lewat tindakan seksual atau simulasinya yang ditampilkan, baik secara langsung maupun tersamar: memegang, mengelus, meraba, meremas, mendekap, memangku. Tindakan tersebut secara sosial mengganggu orang-orang yang melihat, dengan alasan tabu, larangan etis dan moral, norma agama dan sebagainya.
Kedua, overexposed sign, yaitu cara-cara mengekspos tubuh dan organ-organ tubuh perempuan seperti paha, betis, payudara dan kelamin sebagai domain tontonan publik dengan cara memasuki dan menjelajahi apa yang selama ini disebut sebagai domain private di dalam sebuah kebudayaan.
Ketiga, tanda seksual (sexual signs), yaitu tanda-tanda yang mengarah pada tindakan hubungan seksual. Hubungan seksual baik secara tersamar atau secara eksplisit. Maka, tidak jarang, representasi akhir dari hal tersebut adalah paling tidak akrabnya kita dengan onani dan masturbasi.
Thus, kondisi tersebut memang di satu pihak akan menciptakan berbagai “gairah baru” bagi kapitalisme itu sendiri. Akan tetapi, di lain pihak, ia telah menimbulkan kegamangan dan ketidakpastian pada kelompok-kelompok yang di dalam sistem ekonomi seperti itu semakin terpinggirkan, yakni perempuan. Perempuan akan semakin terpasung sebagai objek komoditi di dalam arena pornografi.
Lalu, bagaimana kita harus menghadapi berbagai kekhawatiran dan ketidakpastian menyangkut eksistensi perempuan di dalam budaya kapitalisme masa depan?. Memang, harus diakui bahwa masalah pornografi adalah persoalan dilematis. Dilematis dalam arti pertentangan antara kebebasan vs moralitas, pertumbuhan vs tradisi, kreativitas vs norma. Sementara itu, di masa depan peran negara tidak lagi bisa diharapkan dalam mengatur dan mengendalikan berbagai aspek kehidupan sosial, termasuk komoditi. Di masa depan, negara akan semakin kehilangan kedaulatannya (lost sovereignty) dalam mengatur globalisasi ekonomi, informasi dan budaya. Lalu, hendak kemanakah perempuan mengadu dan berharap?.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar